BAB 11


Yok vote yok sebelum baca.

==========================================

BAGIAN

SEBELAS (11)

==========================================

"Bu Gratha ingin makan apa? Akan saya pesankan untuk makan siang Ibu."

"Saya masih punya roti di ruangan. Saya akan makan itu saja, Devina."

"Ibu yakin? Atau Bu Gratha mau sa-"

Sang sekretaris tentu tak meneruskan lagi ucapan, saat ia menggelengkan kepala.

Penolakannya sudah bersifat final.

"Baik, Bu Gratha."

Devina pun menuruti kemauannya, tanpa menunjukkan pertentangan, tentu saja.

"Saya akan makan di resto depan. Jika Bu Gratha ingin menitip, bisa telepon saya."

"Iya, Devina."

Selesai menjawab, Agratha langsung saja memasuki lift untuk naik ke ruangannya.

Berada di lantai delapan.

Dalam hitungan detik, ia sudah sampai.

Saat keluar dari lift, dilihat beberapa staf administrasi yang lewat di sekitarnya. Ia pun memperoleh sikap sopan mereka.

Sapaan juga sarat keramahan untuknya.

Sebagai pimpinan utama di dalam partai, para pegawai dan sebagian besar kader, pasti akan hormat dengannya.

Bisa juga saat di belakang, membicarakan dirinya dengan segudang komplain.

Tak ada yang akan benar-benar tulus.

Bukannya ingin berburuk sangka, namun sudah sering ia menghadapi orang-orang yang bermuka dua saat ada kepentingan.

Mereka tak segan bersikap baik, manakala inginmeminta bantuan pada dirinya.

Tak jarang pula setelahnya menunjukkan sikap sombong karena urusan telah selesai.

Jadi, Agratha hanya akan percaya dengan orangtua dan dua saudari perempuannya.

"Haahh." Napas diembuskan panjang, saat masuk ke ruangan kerjanya dan mendapati sudah ada banyak buket bunga.

Semua adalah kirimkan dari para kader dan juga kolega-kolega politik yang tahu dirinya mengalami keguguran. Tentu saja mereka ingin menunjukkan duka cita.

Bahkan, sudah berdatangan sejak beberapa hari lalu. Jumlahnya mencapai ratusan.

Agratha tak suka menjadi perhatian, tapi karena ia adalah ketua umum partai, pasti akan banyak pihak yang menyoroti.

Termasuk juga, para jurnalis dari berbagai media massa, baik elektronik dan cetak.

Dirinya sudah banyak diberitakan.

Sejauh ini, belum ada artikel-artikel yang menciptakan informasi tentangnya. Jadi, ia tak bisa mengambil upaya hukum apa pun.

Walau merasa amat risih dan tidak nyaman karena masih menjadi bahan pemberitaan.

"Haahhh." Agratha menghela napas sekali lagi dengan panjang, baru kemudian pintu ruangan kerjanya ditutup kembali.

Diputuskan tak jadi masuk.

Mungkin akan menyeduh segelas kopi dan diminum di rooftop gedung yang tersedia ruang hijau untuk tempat beristirahat.

Namun ketika baru melangkah di koridor beberapa meter, dilihat sosok sang suami.

Berjalan mengarah padanya.

Tentu pria itu segera menyadari kehadiran dirinya, sehingga melayangkan sorot mata tajam dengan ekspresi yang dingin.

Terlihat sangat membencinya.

Seketika pula benaknya memutar kembali percakapan sengit mereka, pekan lalu.

Pertengkaran yang sukses membuat Dhega Sentana tak pernah pulang ke rumah lagi. Mereka juga tidak berkomunikasi.

Dan baru berjumpa hari ini.

Agratha pun memutuskan untuk bersikap acuh tak acuh akan keberadaan pria itu.

Ingin dilewati Dhega Sentana, manakala mereka harus berpapasan di depan.

Namun sang suami malah berhenti dan juga meraih tangannya. Lalu, menariknya hingga mereka berdiri sangat dekat.

Pria itu merangkul mesra pinggangnya.

"Selamat siang, Pak Dhega."

"Selamat siang, Bu Ketum."

Yang menyapa adalah Rangga Pranomo.

Politisi senior menjabat posisi strategi di pemerintahan dan menduduki juga salah satu dewan kehormatan fraksi.

Dan Rangga Pranomo merupakan petinggi partai yang kontra akan pemilihan dirinya sebagai ketua umum fraksi. Tak akan segan pula menunjukkan kritik pedas.

"Selamat siang, Pak Rangga."

Sang suami lebih dulu membalas sapaan.

"Selamat siang," ucapnya hormat pada Rangga Pranomo. Badan dibungkukan.

"Bagaimana rapatnya tadi, Bu? Sudah bisa menentukan kader-kader akan dipilih maju menjadi calon anggota dewan?"

"Sudah kami tentukan, Pak."

"Perhatian dengan saksama latar belakang mereka. Yang pernah berkasus tidak bisa dicalonkan. Sudah Ibu melakukannya?"

"Kami menyeleksi sesuai dengan aturan partai, Pak." Agratha menjawab sopan.

"Bagus, Bu Agratha. Saya hanya berusaha mengingatkan sebagai pendahulu di sini."

"Saya ingin Bu Agratha tidak salah dalam mengambil keputusan memilih kader jika mengingat pengalaman Bu Agratha masih sangat minim menjadi pimpinan di sini."

"Putri pendiri partai juga harus banyak belajar. Tidak hanya mengandalkan nama orangtua yang sebelumnya berkuasa."

"Jadi Ibu Agratha harus bisa mene-"

"Terima kasih untuk saran yang Anda beri untuk Ibu Ketum." Dhega memotong. Ia sudah tak tahan mendengar sindiran.

"Jangan ragukan kredibilitas Ibu Ketum memilih calon-calon anggota dewan. Anda bisa melihat hasilnya dalam sidang final nanti, jika Anda ragu, Pak Rangga."

"Ibu Ketum tidak akan mengikuti jejak Anda, lima tahun silam, yang sudah salah memilih kader berkasus korupsi."

Dhega tidak akan segan-segan membidik balik lawan jika ditantang lebih dulu. Ia pun sudah tahu banyak kartu hitam politisi senior ini karena lama saling mengenal.

Reaksi Rangga Pranomo? Jelas tak terima dengan kata-katanya. Dan, ia siap untuk meladeni jika memang masih ada yang politikus itu sampaikan di depannya.

Tak boleh ada pihak mana pun di dalam partai mengusik sang istri. Akan dijaganya martabat Agratha sebagai ketua umum.

Sekalipun ia membenci wanita itu karena sudah membuat calon anaknya meninggal.

"Kami undur diri."

"Selamat siang," ujarnya Dhega dingin.

Lantas, digandeng sang istri ke arah salah satu lift yang terletak di ujung ruangan.

Sedangkan, Rangga Pramono hanya diam sambil memandang mereka meremehkan.

Dan ketika ia sampai di dalam lift, dilepas segera tangan dari pinggang Agratha.

Menjauhi wanita itu juga. Menjaga jarak agar mereka tidak perlu berdekatanm

"Apakah adil untukku diceraikan, saat aku baru saja mengalami keguguran anakmu, Mas? Kesalahan apa yang aku lakukan?"

Dhega seketika merasa geram.

Spontan diraih kedua lengan sang istri dan mendorong wanita itu hingga tersudut ke dinding. Menatap tajam Agratha.

"Kamu tidak sadar kesalahanmu?"

"Aku tidak merasa melakukan kesalahan apa pun yang membuatku harus diceraikan seperti ini, oleh kamu, Mas Dhega."

Cengkraman pada lengan sang istri kian diperkuat, ketika amarahnya menguat.

"Saya tidak menyesal menceraikan kamu."

"Saya akan mengembalikan kamu ke Pak Hanom yang terhormat itu, Gratha."

"Kamu dan perwira militer itu akan bisa memadu kasih dengan bebas, tanpa harus bermain di belakang saya lagi."

Setelah menyelesaikan ucapannya dengan nada pedas dan amat dingin, Dhega pun keluar dari lift yang pintunya membuka.

Ditinggalkan sang istri di dalam.

Agratha Dewantara belum beranjak. Ia larut akan pikirannya sendiri. Kini, dapat diambil kesimpulan untuk tindakan sang suami yang melayangkan gugatan cerai.

Dhega Sentana berpikir ia punya kisah terlarang dengan sang mantan kekasih, Hanom Brawijaya. Pria itu pasti juga telah tahu pertemuannya beberapa waktu lalu.

Namun kenapa sang suami tak bertanya alasannya melakukan semua diam-diam?

Tidak kah Dhega tahu jika ia hanya ingin mencegah mantan kekasihnya yang coba mencelakai pria itu? Sampai-sampai harus ditanggung derita kehilangan bayinya?

====================

Yok komen yookk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top