BAB 10
Yok vote yok sebelum baca.
==========================================
BAGIAN
SEPULUH (10)
==========================================
"Sup herbal dan rebusan ayam ini, bagus untuk pemulihan, Bu Gratha."
Hanya dehaman yang dikeluarkan untuk membalas penjabaran Devinata Faniva. Ia tak punya apa pun ingin ditanyakan.
Dan belum juga berminat mencicipi sajian makan siang yang dihidangkan. Melihat saja sudah membuatnya kenyang.
Mungkin akan disantap beberapa jam lagi, itu pun saat benar-benar sudah lapar.
Lebih dipilih meminum banyak air.
"Ada lagi yang Bu Gratha butuhkan?"
"Tidak ada, Devina," jawab Agratha cepat untuk pertanyaan sang sekretaris.
"Saya ingin sendiri."
"Kamu boleh pulang setelah ini."
Agratha sedang meluncurkan perintah, tak ingin diabaikan titah yang diberikan.
Tentunya, ekspresi sang sekretaris enggan menunjukkan kepatuhan sebenarnya, tapi karena tahu ia serius, maka disanggupi.
"Iya, Bu. Saya akan pulang sekarang."
Dan ketika Devina hendak melenggang keluar dari kamarnya, ia pun teringat jika belum menyampaikan sesuatu.
Padahal, sudah terencana untuk dikatakan pada sang sekretaris agar bisa diumumkan juga ke kantor DPP pusat partai.
"Devina ...," panggilnya lalu.
"Ada apa, Bu Gratha?"
Didapatkan respons segera karena asisten pribadinya itu memang cepat tanggap.
"Saya akan kembali minggu depan."
Tanpa penjelasan panjang lebar, sekretaris peribadinya itu pasti sudah paham, terlebih Devina sudah lima tahun bekerja dengan dirinya, sehingga mengerti maksudnya.
"Bu Gratha akan kembali bekerja? Dokter bilang Bu Gratha harus istirahat hingga dua minggu kedepan, setelah operasi ke-"
"Saya akan bekerja," potong Agratha. Ia tak suka mendengar alasan apa pun yang bisa menghentikan keinginannya.
"Maaf, Bu Gratha, Anda har-"
"Saya akan bekerja." Agratha menegaskan sekali lagi. Tidak akan berubah pikiran.
"Tolong siapkan semua, Devina."
"Beri tahu sekretariat pusat jika saya akan kembali Senin depan." Agratha melunak kali ini. Suaranya lebih halus saat bicara.
Bagaimana pun juga, ia harus meminta bantuan sang sekretaris. Tak ada yang bisa lebih diandalkan selain Devina.
"Baik, Bu Gratha. Mulai besok akan saya siapkan keperluan-keperluan Ibu."
"Saya juga akan memberi tahu sekretariat pusat tentang kembalinya Ibu bekerja."
Devina selalu cakap merespons tugas dan tentu akan dikerjakan dengan baik.
"Terima kasih, ya," ujar Agratha tulus.
"Sekarang, kamu boleh pulang."
Tak bermaksud mengusir, hanya saja tadi ia meminta Devina meninggalkannya. Jadi tak akan ditarik perintahnya tersebut.
"Iya, Bu Gratha, saya akan pulang."
"Tapi tolong ...."
"Ya?" Agratha menyahuti.
"Tolong makannya dihabiskan agar Ibu Agratha bisa pulih secepatnya."
Dari cara menyampaikan kata-kata dengan serius, Agratha bisa merasakan ketulusan sang sekretaris terhadap kondisinya.
"Baik, saya akan makan."
"Sampai habis," pertegas Agratha.
Ditunjukkan pembuktian dengan memulao sesi makan, diambil sendok. Menyuap sup herbal ke dalam mulut beserta isinya.
Agratha bisa melihat senyum simpul sang sekretaris. Dan rasanya itu lebih baik dari ekspresi sarat belas kasihan yang sejak tadi selalu ditunjukkan padanya.
"Saya pamit pulang, Bu Agratha."
Hanya ditunjukkan anggukan pelan guna membalas karena mulutnya yang masih mengunyah makanan. Namun mata tetap memerhatikan sang asisten pergi keluar.
Tak lama kemudian, pintu kamar ditutup.
Agratha merasa lebih bebas sekarang. Dan bisa sendirian tanpa harus ada orang lain yang mengawasinya setiap waktu.
Agratha pun melanjutkan makan. Ia ingin menghabiskan setengah. Walaupun belum memiliki nafsu makan yang baik.
Jika tetap mengikuti keinginan puasa, tak menyentuh makanan, sepertinya akan kian jauh harapan untuk segera pulih.
Masa cuti memang masih selesai dua minggu lagi, namun ia ingin bisa segera beraktivitas dan juga menjalankan tugas sebagai ketua umum seperti seharusnya.
Cklek.
Pintu kamarnya dibuka dari luar.
Sang sekretariskah yang datang lagi?
Kepala pun langsung Agratha tolehkan ke sumber suara. Matanya jelas menangkap sosok sang suami, Dhega Sentana.
Pria itu rupanya sudah pulang?
Hampir seminggu suaminya pergi untuk perjalanan ke wilayah Indonesia bagian timur untuk melihat pengerjaan lima hotel bintang lima tengah dibangun.
Mereka juga tak berkomunikasi. Belum ada sekalipun pria itu menelepon ataupun mengirim pesan menanyakan kondisinya pasca pulang dari rumah sakit.
Bahkan, hanya sekali menjenguknya saat ia masih dalam perawatan intensif.
Ketidakpedulian Dhega Sentana, tentu saja menimbulkan kekesalan di dalam dirinya.
Pria itu lebih mengutamakan bisnis.
Menomorduakan dirinya yang sampai saat ini masih berduka karena keguguran. Tapi Dhega Sentana tidak menaruh empati.
"Kita harus bicara, Mas." Agratha mulai bicara saat sang suami sudah berada di dekatnya, berdiri di samping ranjang.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Suara Dhega Sentana sangat dingin. Mata pria itu tajam memandangnya. Terkandung kebencian yang terpancar sangat nyata.
Bukankan ia seharusnya marah?
Dan kemudian, ia dikagetkan dengan surat berisi formulir perceraian yang pria itu serahkan dengan cara cukup kasar.
"Setujui perceraian."
"Saya akan mengembalikan kamu pada mantan yang sangat kamu cintai, Gratha."
"Kenapa membawa Mas Hanom? Di-"
"Jika kita bercerai, kamu tidak perlu lagi memiliki hubungan gelap dengan dia."
"Apa maksudnya dengan hubungan ge-"
"Setujui saja perceraiannya."
"Tidak akan ada yang tahu kita berpisah sampai pemilu selesai. Saya akan tetap membantu kamu memenangkan partai dan Pak Ganesha menjadi presiden."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top