BAB 06
Yuhuuu konflik dimulai.
Yok vote sebelum baca.
==========================================
BAGIAN
ENAM (06)
==========================================
"Maaf, saya harus balik ke Jakarta besok, Nek." Dhega menolak dengan tak enak.
"Saya tidak bisa datang ke acara itu."
"Tidak apa, Dhega. Nenek saja yang ke sana. Kamu bisa kembali ke Jakarta."
"Gratha hamil besar, saya tidak bisa jauh dari dia lama-lama, Nek. Saya harus siaga menjaga Gratha." Dhega mengungkapkan alasan agar tak terjadi kesalahpahaman.
Tentu menghindari penilaian yang negatif dari sang nenek atas keputusannya.
"Iya, Dhega. Nenek mengerti."
"Bagaimana kabar Gratha? Dia sehat?"
"Sehat, Nek. Calon bayi kami juga sehat kata dokter, setelah pemeriksaan terakhir."
"Kapan terakhir pemeriksaannya?"
"Tiga hari yang lalu, Nek."
"Saya menemani Gratha ke dokter."
"Bagaimana hasil pemeriksaannya? Calon cicit Nenek selalu sehat bukan?"
Kepala dianggukkan oleh Dhega cepat.
Tak lupa juga tersenyum yanh lebih lebar karena merasa bahagia. "Sehat, Nek."
"Detak jantungnya selalu bagus. Dia juga tumbuh sesuai dengan umurnya." Dhega berikan keterangan lebih lanjut.
"Detak jantungnya bagus?"
Kembali kepala dianggukan untuk sekian kali dalam menanggapi pertanyaan yang diajukan sang nenek, Ningsih Sentana.
"Syukurlah, Dhega. Nenek senang."
"Terima kasih, Nek," ucapnya tulus.
"Saya belum menyampaikan ke Nenek, apa gender calon bayi kami, kah?"
"Belum, Dhega. Kamu belum beri tahu Nenek. Padahal, Nenek penasaran."
"Calon bayi kami perempuan, Nek."
Dhega tentu sengaja baru mengungkapkan sekarang. Ada kecemasan mengutarakan pada neneknya yang berharap keturunan pertama darinya adalah anak laki-laki.
Dan perasaan cemas tersebut hilang saat melihat sang nenek tersenyum kian lebar.
Tak merasakan kekecewaan bukan?
"Perempuan? Dia pasti akan cantik."
Hati Dhega mendadak lega, selepas dengar komentar neneknya. Ternyata, penerimaan akan gender buah hatinya sudah penuh.
Tentu dirinya tidak harus merasa cemas. Tapi, ia harus tetap menanyakan pendapat sang nenek agar semuanya jadi jelas.
"Apa Nenek tidak kecewa jika calon anak pertamaku tidak laki-laki, seperti Nenek inginkan?" tanya Dhega hati-hati.
"Kecewa? Tidak."
"Kenapa Nenek harus kecewa? Apa pun jenis kelamin anakmu, nenek senang."
"Dia akan mirip kamu atau Gratha nanti. Nenek tambah penasaran, Dhega."
Ketegangannya sirna sudah karena telah mendapatkan kepastian jawaban dari sang nenek. Tidak perlu dijadikan beban lagi, setelah selama ini terus dipikirkan.
"Anak kami akan cantik seperti Gratha, Nek. Putri kami versi kecil dari istriku."
"Nenek merasakan cinta seorang pria yang mabuk kasmaran dengan kekasih hatinya."
"Kekasih hati? Istri kesayangan, Nek."
Ningsih Sentana pun tertawa dengan lebih kencang kali ini karena jawaban sang cucu yang menurut beliau menghibur.
"Baiklah, istri kesayanganmu, Dhega."
"Nenek bahagia melihat kamu dan Gratha bisa hidup dengan harmonis. Nenek sudah lama tidak melihat kamu sebahagia ini."
"Saya harus bahagia, Nek."
Setelah sang anak dan juga menantunya meninggal, Dhega serta Atharwa tumbuh menjadi pribadi tertutup, suka menyendiri.
Keduanya tampak kosong besar tanpa ada orangtua. Walaupu sebagai nenek, beliau selalu berusaha memberikan kasih sayang yang terbaik untuk Dhega dan Artharwa.
Tentu perubahan sikap cucu beliau setelah menikah yang lebih bahagia, merupakan anugerah sangat patuh untuk disyukuri.
Drrttt ....
Drrttt ....
Drrttt ....
Jika saja nama sang istri tak tertera di layar ponsel sebagai penelepon, tentu tidak akan diangkat panggilan ketika ia sedang mengobrol dengan neneknya.
Handphone segera dibawa ke telinga. Dan hendak diluncurkan sapaan pada Agratha.
Namun yang bicara di ujung telepon tidak sang istri, melainkan ayah mertuanya.
Lalu, rasa kaget besar menghantam dada saat menerima kabar jika Agratha sedang dalam musibah. Istrinya juga mengalami pendarahan hebat di rumah sakit.
=====================
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top