BAB 01

Bantu vote dan komen yok.

==========================================

BAGIAN 

SATU (01)

==========================================

Saat mata yang berat berhasil dibukanya, sosok sang suami pun langsung menjadi objek pandangnya secara keseluruhan.

Dhega Sentana duduk di kursi, kepala pria itu pun menyender ke dinding dan tampak terlelap tertidur, walau posisinya begitu.

Lalu, Agratha mengedarkan bola matanya guna melihat ke sekeliling. Tempat serba warna putih yang tampak asing baginya.

Dimanakah dirinya sekarang? Rasa ingin tahu Agratha tentu saja begitu besar.

Dan andaikan hidung tidak mencium bau obat-obatan, maka ia tak terpikirkan sama sekali jika tengah di rumah sakit. 

Tepatnya menempati sebuah ruangan inap.

Saat melihat ke samping, rupanya tangan bagian kirinya tengah terpasang infus.

Sudah pasti kondisinya tak baik-baik saja, sehingga harus dirawat secara intens, dan bahkan menginap di rumah sakit. 

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Ia baru bangun sehingga butuh waktu berpikir.

Walau kepala masih berdenyut, Agratha pun coba mengingat-ingat peristiwa yang dialami sebelum kesadarannya hilang.

Tadi pagi, ia hadir ke kantor DPP pusat partai untuk memimpin rapat mingguan.

Acara berlangsung selama dua jam dengan semua pengurus yang datang. Mereka pun berdiskusi tenang tanpa ada konflik.

Namun ketika ingin membicarakan topik seputar pemilu mendatang, ia tiba-tiba saja diserang mual dan pening yang hebat.

Lalu, kesadarannya hilang begitu saja.

Dan barulah beberapa menit lalu dirinya terbangun dengan kondisi masih lemas.

Jadi apa yang sebenarnya yang ia alami? Apakah sakit tifus kambuh lagi?

Tentu yang tahu keadaannya adalah Dhega Sentana. Akan ditanyakan pada suaminya.

Dan kebetulan, pria itu sudah terjaga. 

Atensi pun langsung diarahkan pada sang suami yang tampak membeliak, mungkin baru sadar jika ia sudah siuman.

Dhega Sentana langsung mendekatinya ke ranjang, ekspresi pria itu sarat kecemasan.

Saat sudah berada di hadapannya, Dhega Sentana segera memeluknya. Lalu, sebuah ciuman didaratkan sang suami di dahinya.

Dan entah mengapa, ia merasa gugup.

Memanglah setiap kali terlibat berkontak fisik yang intens dengan pria itu, dirinya akan diserang ketegangan tiba-tiba.

“Masih pusing?”

Sang suami meluncurkan pertanyaan.

“Aku kenapa, Mas?” Agratha balik saja bertanya, daripada memberi jawaban.

“Kamu kelelahan, Gratha.”

“Kamu pingsan di sekretariat.”

Dari keterangan yang didapatkan, Agratha berusaha mengingat kembali peristiwanya. Tapi, ia tak mampu mendapat bayangan berkaitan akan kejadian tersebut

Yang terakhir diingat adalah kepalanya sangat pening, dengan mual begitu hebat, tepat selepas dirinya selesai rapat.

“Harusnya kamu tidak memforsir diri.”

Nada bicara Dhega Sentana pun berubah. Lebih dingin dibandingkan tadi. Mata pria itu juga menunjukkan hal yang sama.

Dan memang beginilah karakter suaminya. Jadi, ia tak harus heran. Namun, tetap saja terasa sedikit berbeda dari biasanya.

Dhega Sentana terlalu sulit dimengerti. 

Dirinya juga tidak mau bersusah payah melakukan usaha lebih untuk memahami pria itu, dalam pernikahan dingin mereka.

“Aku tidak bermaksud sengaja memforsir diri. Mas tahu kegiatan partai akhir-akhir ini padat.” Agratha melakukan pembelaan.

Tak mau disalahkan karena kondisi yang dialami. Lagi pula, sebagai ketua umum, ia pasti dituntut dengan segudang aktivitas yang harus dikerjakan dan diikuti.

“Mulai dari sekarang, kamu harus menjaga diri, jangan sampai terus kelelahan.”

“Tidak baik untuk perkembangan calon bayi. Kita bisa saja kehilangan dia.”

“Calon bayi?” Agratha mengulangi apa yang menjadi perhatiannya saat ini.

“Kata dokter kamu mengandung.”

Ucapan sang suami tentu saja membuat dirinya merinding. Fakta yang jelas cukup mengejutkan kehamilannya ini.

“Terima kasih, Gratha.”

“Ya?” jawabnya spontan karena tak bisa menangkap alasan ucapan suaminya.

“Terima kasih sudah memberikan saya anak. Saya menunggunya sejak lama.”

Agratha jadi termenung seketika selepas mendengar jawaban Dhega Sentana. Cara pria itu menyampaikan terasa tulus.

Sang suami juga tersenyum simpul. Mata yang tadi dingin digantikan kelembutan.

Dhega Sentana lalu memeluknya.

Demi Tuhan, untuk pertama kali setelah satu tahun lebih menikah, dilihatnya sikap hangat pria itu yang benar-benar nyata.

“Saya akan menjaga kamu dan anak kita, Gratha. Tolong tetap sehat demi bayi kita.”

“Kita tidak akan bercerai, Mas?”

“Tidak.”


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top