Prolog
Hafa dan Hakim--abang Hafa--turun dari mobil. Ini akan menjadi hari pertama Hafa sekolah di SMA Pengubah Bangsa, sebelumnya gadis itu menjadi santriwati di salah satu pesantren. Hafa terpaksa pindah sekolah karena kondisi kesehatannya yang kian hari kian memburuk. Tubuhnya yang biasa dimanja di rumah tak mampu beradaptasi dengan keadaan di pesantren yang apa-apa harus dikerjakan sendirian sama sekali tak ada pembantu. Bahkan bertahan selama tiga tahun menjalani junior hight school-nya Hafa merasa hari-harinya sangat berat, meski bersekolah di pesantren sebenarnya merupakan keinginannya sendiri.
Tubuhnya semakin kurus ringkih membuat kedua orang tuanya tak tega. Terakhir kali saat kedua orang tuanya membujuk untuk pindah sekolah, Hafa yang tak tega, hingga meski hatinya masih tertinggal di pesantren, jiwa dan raganya mengikuti kemauan kedua orang tuanya.
Tiba-tiba terdengar suara agak gaduh, Hafa menoleh dan mendapati seseorang tengah berlari dari dalam gerbang sekolah. Orang itu terdiam mendapati Hafa ada di sana, Hafa juga terdiam, dia hanya tak mengerti kenapa orang itu harus lari-lari sepagi ini?
Detik selanjutnya orang itu berlari dari hadapan Hafa, Hakim--abang Hafa--yang melihat itu ikut berlari mengejar orang itu. "Kamu masuk duluan aja Fa!" pesan Hakim.
Hafa menghela napasnya, abang badungnya itu ternyata masih saja suka bolos bahkan saat Hafa sudah di sini, satu sekolah dengannya.
"Kamu melihat ada orang berlari tadi?" tanya seorang guru yang datang tergopoh-gopoh dengan tongkat bambu kecilnya.
"Lihat!" kata Hafa semangat, meski Hakim adalah abangnya, tapi Hafa tak pernah mendukung kebandalan yang abangnya itu lakukan, bahkan Hafa akan dengan senang hati melaporkan kejadian hari ini pada orang tuanya.
"Ke mana?" tanya guru tersebut. Hafa langsung menunjuk ke arah Hakim dan temannya tadi pergi. Hafa tak peduli, dia malah senang Hakim mendapat pelajaran dari apa yang laki-laki itu perbuat.
Dengan senyum sadisnya Hafa masuk ke dalam pekarangan sekolahnya. Hafa mengenal teman Hakim tadi, namanya adalah Ago, setelah sekian lama akhirnya mereka bertemu lagi. Hafa sudah tahu kelakuan Ago, beda tipis dengan Hakim, namun dia tak menyangka kalau pertemuan mereka pertama kali setelah sekian lama akan jadi seburuk ini. Ternyata Ago sama sekali tak berubah, dia masih sama, masih suka mencari perhatian.
Hafa menguatkan pegangannya pada kedua tali tas, gadis itu menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan, dia melakukannya beberapa kali hingga detak jantungnya kembali normal atau setidaknya lebih tenang dari sebelumnya. Hafa tak mengerti kenapa hatinya bisa berdetak tak karuan seperti ini.
Setelah beberapa saat menunggu di ruang kepala sekolah, akhirnya ada guru yang membawa Hafa ke kelas barunya, Hafa dipersilakan memperkenalkan diri.
"Perkenalkan nama saya Nihafa Fauza Pratama, biasa dipanggil Hafa, salam kenal semua." Hafa menampilkan senyum semanis mungkin, bagaimanapun first impression orang-orang terhadapnya haruslah baik, Hafa butuh teman untuk hidup.
Orang-orang yang berada dalam kelas itu ada yang menatap heran, ada juga yang tersenyum kikuk, bahkan ada cowok yang sampai tak berkedip karena mengira Hafa adalah bidadari. Terlalu luarbiasa jika tempatnya adalah di bumi.
Hafa tahu apa yang mendasari pandangan heran orang-orang. Pakaiannya sangat kontras dengan siswi yang bersekolah di sekolah ini pada umumnya. Hafa mengenakan hijab yang lumayan panjang, kemeja panjang dan rok abu-abu yang juga panjang. Kalau Hafa semuanya serba panjang, maka siswi di sana pada umumnya mengenakan yang serba pendek, kemeja lengan pendek, rok pendek dan tak harus mengenakan kerudung. Ada beberapa memang yang mengenakan kerudung, tapi kalau yang modelan seperti Hafa ini sedikit sekali, jika ingin menemukannya cukup hadiri pengajian setiap kamis sore, biasanya anak-anak itu tergabung dalam organisasi rohis (rohani islam)
"Silakan duduk di bangku kosong yang mana pun kamu mau," suruh guru yang tadi membawa Hafa, Hafa mengangguk lantas berjalan ke bangku kosong yang ada di tengah-tengah. Biasanya anak baru cantik akan menjadi bulan-bulanan para murid kurang kerjaan di kelas yang akan bertanya tentang berbagai hal, namun Hafa tidak, tampaknya anak laki-laki di kelas itu sangat menghormatinya. Apalagi Hafa kelihatan enggan kontak mata dengan mereka.
Hafa berusaha mengikuti jam pelajaran dengan baik, meski sangat berbeda Hafa dapat mengimbanginya. Di pesantren Hafa lebih banyak belajar soal agama, bahkan materi umum sekalipun selalu ada selipan agamnya karena ternyata banyak ilmuan islam yang berjasa atas ditemukannya pelajaran yang masih dipakai sampai saat ini. Contohnya saja Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi seorang ilmuwan muslim penemu aljabar, yang penemuannya saat ini sangat berguna bagi manusia. Setelah ini Hafa hanya akan belajar pelajaran umum di sekolah, maka dia sendiri yang harus menanamkan dalam hatinya untuk istiqomah.
Setelah dua jam pelajaran bel tanda istirahat berbunyi. Hafa membereskan buku-bukunya. "Dek!" panggil seseorang karena merasa kenal dengan suara itu, Hafa mengangkat wajahnya yang semula menunduk memasukkan buku ke dalam ransel.
"Kantin yuk," ajak Hakim, Hafa menggelengkan kepalanya, bagaimana bisa Hakim kembali lagi setelah kabur tadi pagi?
Hafa berjalan menuju ke abangnya itu, dia belum memiliki teman, ke kantin bersama dengan Hakim sepertinya pilihan yang tepat.
"Abang emang suka gitu ya? Pagi-pagi udah gak masuk?! Kapan sih berubahnya, gak kasihan sama Papa sama Mama?!" omel Hafa, semua orang sampai tercengang terheran-heran, mereka juga tak menyangka kalau Hafa adalah adik Hakim atau mereka tak menyangka cewek yang penampilannya sebaik Hafa malah berinteraksi dengan pembuat onar sekolah. Siapa lagi kalau bukan Hakim dan Ago!
Hakim menarik pipi Hafa gemas, pipi adiknya itu jadi menggembung-gembung saat mengomel. "Ih dikasih tahu juga!" kesal Hafa, tanpa Hafa sadari ada lagi sosok yang gemas akan dirinya. Sosok itu berdiri di samping, tempat yang paling tepat untuk menonton drama kakak beradik itu.
"Iya bawel! Jangan bilang sama Papa ya..." Hakin mulai merayu Hafa.
"Aku bakal bilang!" Hafa menyilangkan kedua tangannya di depan dada enggan bernegosiasi dengan Hakim.
"Es krim mau? Boba? Cheescake?" Tawaran Hakim sangat menggiurkan, tapi Hafa tak akan goyah. Kebenaran harus ditegakkan! Basmi kejahatan! Tegakkan kebaikan! Kalau bukan Hafa siapa lagi?
"Enggak!" tolak Hafa mentah-mentah.
Ago tak bisa menahan kekehannya hingga meluncur begitu saja, gelengan Hafa saat menolak benar-benar lucu di matanya. Ternyata gadis berlesung pipi itu masih saja menggemaskan, tak pernah berubah.
Hakim tampak kesal, dia memukul perut Ago hingga membuat Ago terdiam. "Kantin kuy," ajaknya pada Ago.
"Aku gak diajak?!" tanya Hafa yang tak terima Hakim meninggalkannya begitu saja.
"Kalau masih mau ngadu enggak, tapi kalau berubah pikiran nanti Abang ke sini lagi jemput kamu," ujar Hakim yang tetap pergi meninggalkan Hafa.
Ago tersenyum melewati Hafa, Hafa langsung membuang muka. Jujur semburat merah dipipinya benar-benar kurang ajar! Dan suka sekali keluar di saat yang tidak tepat.
***
Bagaimana dengan prolognya?
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar. Cerita ini termasuk ke dalam project menulis dengan genre romance-religi. Baca juga cerita yang lainnya, ya.💙
Mari berteman di instagram. Follow dan tag akunnya jika kalian manshare bagian dari cerita ini.
@romancewp123
@thierogiara_
To be continued...
Sabtu, 1 februari 2020
Karya Thierogiara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top