'Saat memutuskan berhijrah aku sudah tahu kalau pasti akan sulit, istiqomah tidak akan mudah, namun ternyata ujian terbesarku adalah mencintaimu.'
Thierogiara
***
Hafa menatap dirinya di cermin, dua minggu penuh kehampaan dalam hidup Hafa telah berlalu, karena berbagai pertimbangan akhirnya waktu dua minggu dipilih untuk mempersiapkan pernikahan. Kini Hafa duduk di depan cermin, make up tipis yang disapukan ke wajahnya seolah menyatu dengan kulit menampilkan sensasi natural. Hafa belum pernah memakai make up sebelumnya, sebagai wanita dia tak pernah tertarik dengan itu. Baju pengantin sederhana melekat pada tubuhnya saat ini, gaun putih itu dilapisi tile dan bunga-bunga dibagian roknya. Hijab yang Hafa kenakan pun hanya hijab segi empat polos berwarna putih yang ditambahkan hiasan mahkota di atasnya.
Hafa meletakkan tangannya di dada. ma fi qalbi ghairullah, katanya dalam hati.
"Wajah kamu dasarnya memang cantik, jadi meskipun kamu meminta make up super tipis, hasilnya tetap luar biasa," puji MUA yang hari ini bertugas mendandani Hafa. Hafa hanya tersenyum mendengar itu.
Tak lama mama Hafa masuk ke kamar dengan seorang sepupu Hafa yang jauh lebih tua dari Hafa namun belum menikah, dua wanita yang juga mengenakan gamis putih itu mendekat dan meminta Hafa untuk turun ke bawah, hari ini selepas ashar akad nikahnya akan dilaksanakan.
Hafa mengangguk, mamanya dan Hani--sepupunya--menggamit lengan Hafa dan menggiringnya ke luar. Hafa tak tahu kalau akad nikahnya akan terjadi secepat ini, bahkan Hafa tak diberi kesempatan untuk memilih sendiri konsep pernikahannya, tidak akan ada pesta hanya sah di mata Allah yang akan merubah statusnya.
Yuda menyuruh orang-orangnya menyekap Hakim hingga acara ini selesai, anak itu dikhawatirkan akan merusak acara ini.
Ago terpukau saat Hafa berjalan, meniti satu per satu anak tangga menuju ke tempatnya. Ago sangat bersyukur, pengantinnya, calon istrinya sangat cantik walau hanya dengan gaun sederhana.
Hafa didudukkan sekitar satu meter di belakang Ago, acara ini tidak mewah, hanya ada sedikit dekor untuk melengkapi dokumentasi dalam bentuk video dan foto. Petugas KUA bertanya apakah semuanya sudah siap, saat semuanya mengatakan sudah siap. Ago disuruh menjabat tangan Yuda.
Dengan sekali ucap ijab qabul dengan mahar sebuah 5 gram emas itu akhirnya menemui kata "sah" semua orang beruluk syukur, Hani dan Kana yang berada di sebelah Hafa memeluk Hafa. Kemudian dilanjutkan dengan doa dan penandatanganan berkas-berkas.
Lalu Ago memutar badannya untuk menatap Hafa, sedari di kamar saat dihias flash kamera bergantian membidik Hafa, Ago mengambil tangan Hafa yang dilipat di depan lutut. Dia memasangkan cincin ke jari manis Hafa, lalu Hafa juga melakukan hal yang sama. Hafa menyalami tangan Ago dan Ago meletakkan tangannya di atas ubun-ubun Hafa.
"Bismillah, Allaahumma innii as-aluka khayraha wa khayra maa jabaltahaa ‘alaihi wa a’uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa ‘alaihi."
Hafa cukup terkejut saat Ago melantunkan doa tersebut di atas ubun-ubunnya namun dia berusaha untuk tetap biasa saja. Sampai Ago memegang kedua pipinya dan mencium keningnya, air mata Hafa meluruh, entah perasaan seperti apa yang dia rasakan, semuanya campur aduk, terharu, sedih, kecewa semua bergabung menjadi satu hinga membuatnya tak sanggup untuk berkata-kata.
Hakim baru masuk ke ruang tengah rumahnya saat Ago masih menempelkan bibirnya di kening Hafa, dia mendesah kecewa, dia terlambat pernikahan itu sudah terjadi, Hakim baru boleh masuk saat dirinya mau mengganti baju dengan batik putih yang kini dipakainya.
Dia jatuh terduduk, lemas melihat Hafa menangis. Yang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi hanya bisa menatap heran Hakim, ini pernikahan adiknya, tapi dia malah terlihat tidak bersemangat.
Meski acara ini kecil-kecilan tapi ada cukup banyak tamu, mulai dari keluarga inti papa dan mama mereka sampai rekan kerja papanya di pemerintahan, semuanya ada.
Hafa menatap abangnya itu, meski air matanya masih mengalir, Hafa tetap tersenyum pada Hakim, dia seolah mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
Tanpa melepaskan tangan Hafa, Ago menatap Hakim, dia tidak akan menjanjikan apa pun pada Hakim tentang kebahagiaan Hafa, tapi dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menunjukkan pada Hakim, bahwa dia bisa membahagiakan Hafa.
Hakim hanya menatap saat Ago dan Hafa sungkem ke kedua orang tua masing-masing, bahkan hatinya seolah tak terusik saat mamanya menangis memeluk Hafa, Hakim hanya menatap dengan pandangan kosong. Sampai saat ini dia masih khawatir dengan masa depan Hafa, mungkin lain cerita kalau yang menikah dengan Hafa bukan Ago. Sekali lagi Hakim sangat tahu orang seperti apa Ago, dia tidak rela Hafa harus hidup dengan Ago selamanya.
Pak Kirun, dibantu para sepupu laki-laki mereka mengangkat Hakim untuk duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan, Hafa dan Ago akan meminta restu padanya, karena hanya dia satu-satunya saudara Hafa sementara itu Ago adalah anak tunggal. Ago manarik tangan Hafa untuk mendekat ke tempat Hakim, melihat tangan kontras Ago yang bertatto menggenggam tangan mulus Hafa membuatnya berdecih.
Saat Ago akan menunduk untuk meminta restu Hakim, Hakim malah menarik kerah baju adat melayu yang kini Ago kenakan. Hakim mendaratkan tinjunya ke pipi Ago.
Semua orang ingin maju untuk melerai, namun Ago melarang. Dia menatap sahabatnya itu, menurut Ago wajar jika Hakim marah, mungkin kalau dia sendiri punya adik perempaun, dia tidak akan menyerahkannya pada Hakim.
"Kalau lo nyakitin Hafa, gue bunuh lo!" peringatkan Hakim.
Ago diam dia mengangguk dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Hakim, dia tidak takut dengan pukulan Hakim, Hakim adalah sahabatnya selamanya akan begitu. Hakim menyambut uluran tangan itu, menarik Ago ke dalam pelukannya.
"Gue mohon berhenti bandel buat Hafa, gue janji gak bakal ngajakin lo ngelakuin hal-hal aneh lagi, jadilah suami yang baik, tanggung jawabpi Hafa layaknya seorang laki-laki, layaknya seorang imam dan layaknya seorang pejantan," pesan Hakim.
Semua orang terharu mendengar pesan itu, mereka semua tahu kalau dua laki-laki itu bersahabat.
Hafa juga ikut menangis di belakang Ago.
"Maafin gue, gue gak bisa berjanji, tapi lo harus percaya sama gue," kata Ago. Hakim mengangguk.
Lalu pelukan itu terlepas, mata Ago dan Hakim sama-sama memerah, tapi keduanya kelihatan gengsi untuk menangis.
Kini giliran Hafa, tanpa kata dia langsung menghambur ke pelukan Hakim. Hakim memeluknya erat dan mencium puncak kepala Hafa beberapa kali, dia ingin menikmati setiap detik dari pelukan ini, karena setelah ini, tidak akan ada lagi Hafa yang membajak kamarnya hanya karena dia takut tidur di kamar sendirian selepas membaca threat horror di Twitter, tidak akan ada lagi Hafa yang merampas rokoknya saat dia diam-diam merokok di balkon kamar, tidak akan ada lagi Hafa yang suka memintanya membeli apa pun saat diluar rumah, tidak ada lagi Hafa yang akan bermanja-manja dengannya saat menonton TV. Sekarang pelindung Hafa bukan hanya dirinya, sekarang ada Ago yang siap menjadi bahu tempat Hafa bersandar.
Kemudian acara dilanjutkan dengan sesi foto-foto, meski masih agak tidak ikhlas, Hakim tetap menebar senyuman, karena tidak ingin foto-foto hari ini menjadi penyesalan untuknya suatu saat.
***
Selepas mandi Hafa duduk di depan meja rias, dia menatap dirinya sendiri, kemudian dia melepas ikatan rambutnya dan membiarkan rambutnya tergerai. Entah kenapa dia malah melihat dirinya sebagai sosok yang menyedihkan, lagi-lagi Hafa menangis, dia menundukkan kepalanya, menyandarkannya pada meja rias.
Suara ceklekan pintu terdengar, Hafa mengangkat wajahnya dan mendapati Ago yang masih lengkap dengan baju akad nikah tadi masuk ke dalam kamar.
"Tadi Kakak ke kamar Hakim, tapi katanya suruh ke sini," jelas Ago. Hafa hanya mengangguk.
Ago berjalan mendekati Hafa, saat sudah berada dekat dengan Hafa, dia baru tahu Hafa menangis, wajah Hafa memerah. Ini pertama kalinya Ago melihat lagi rambut Hafa setelah bertahun-tahun, Hakim dan Ago sudah bersahabat sejak SD, jadi Ago sudah mengenal Hafa dari sebelum Hafa berhijab, bahkan saat Hafa masih anak-anak. Ternyata rambut itu masih indah, Hafa merawatnya dengan baik.
Ago mengelus rambut Hafa, Hafa memerhatikan pergerakan Ago dari cermin di depannya. Ago mengelus kepala Hafa, turun hingga ke bahu dan terakhir dia berlutut menggenggam tangan Hafa.
"Maafin Kakak," ucapnya. Hafa menatap mata Ago, mata hitam kelam itu terlihat sangat tulus.
Bukannya lega, Hafa malah semakin menangis, bahkan kini bahunya bergetar. Ago memilih berdiri dan memeluk Hafa, membiarkan istrinya itu menangis di pelukannya.
"Kita hadapi semuanya sama-sama, kamu gak perlu takut Kakak selalu di sini sama kamu," kata Ago yang menunduk untuk mencium puncak kepala Hafa.
Hafa akhirnya mengangkat tangannya dan membalas pelukan Ago, dia menarik baju belakang Ago kuat-kuat. Kemudian semakin sesenggukan di sana.
Setelah tenang, Ago menunduk untuk menghapus semua jejak air mata yang ada di wajah Hafa. Dia menatap Hafa dan menggenggam tangan cewek yang sudah menjadi istrinya itu.
"Kakak mandi dulu aja, pasti gerah banget," kata Hafa dengan suara seraknya.
Ago mengangguk, satu harian ini mereka harus menemui tamu papa Hafa yang ternyata lumayan banyak. Hafa mencarikan handuk bersih untuk Ago, dia lantas menyerahkan handuk tersebut dan menyambar bergo instannya lalu keluar dari kamar.
Hakim yang saat itu juga keluar dari kamarnya langsung merangkul bahu Hafa untuk turun ke bawah. Sepupu-sepupu mereka berkumpul di bawah sekarang, menonton stand up comedy dari youtube.
"Ago mana?" tanya Hakim. Dia berusaha mengabaikan mata sembab Hafa, saat ini bukan saat yang tepat untuk bertanya kenapa.
"Lagi mandi," jawab Hafa.
Semua mata langsung tertuju pada Hafa saat mengira bahwa yang merangkulnya adalah Ago, ada desahan kecewa sebab tak bisa melihat kemesraan pengantin baru.
Hakim mengambil duduk di sudut tempat di mana masih bisa bersandar pada sofa, Hafa mengikuti abangnya itu, dia duduk dan menyandarkan badannya pada tubuh Hakim.
Hakim dan Hafa ikut larut dalam keceriaan yang diciptakan para sepupunya. Dua orang itu asik tertawa sambil sesekali saling memukul, Hakim merangkulkan tangannya pada bahu Hafa.
Tak lama Ago juga turun, namun dia melewati begitu saja kerumunan itu dan malah menuju ke dapur. Dia mengambil segelas air putih dan berniat membawanya kembali ke kamar Hafa.
"Kak Ago gak mau nonton juga?" tanya salah satu sepupu laki-laki Hafa dan Hakim, Hakim dan Hafa saling berpandangan.
"Hehehe, enggak, Kakak ngantuk, duluan ya," kata Ago sambil tersenyum dan kembali berjalan menuju ke atas.
Kini semua mata menatap Hafa, kentara sekali mereka semua terheran-heran dengan apa yang terjadi, Hafa di sini bersama mereka dan duduk sangat mesra dengan Hakim, sementara itu Ago di atas sana sedang kelelahan.
Kana datang dari dapur, dia menatap Hafa dan memberi kode agar Hafa segera menyusul Ago. Hafa mengangguk dan terpaksa meninggalkan keseruan ini demi seorang Ago.
Hafa membuka pintu kamarnya, ternyata lampu sudah dimatikan, dia mendapati Ago sudah berbaring di atas kasur.
"Kenapa balik?" tanya Ago.
"Gak apa-apa, masa aku ninggalin Kakak sendirian," kata Hafa.
Sekarang Hafa tak tahu harus bagaimana, dia ingin ke kasur tapi Ago ada di sana, apa mereka harus berbagi kasur?
Melihat Hafa kebingungan bahkan sampai menggaruk telinganya yang sudah tak tertutup hijab lagi, Ago bertanya, "kenapa?"
"Aku tidur di mana?" tanya Hafa dengan begonya.
"Oh kamu gak nyaman ya, Kakak di sini?" tanya Ago lagi.
"Eungg, kita satu kasur gitu?" Sekarang mereka malah perang pertanyaan.
"Ya udah Kakak di sofa aja," kata Ago yang sudah bersiap mengambil bantal.
"Eh, gak usah, Kakakkan capek," kata Hafa.
"Terus gimana? Entar kamu malah gak bisa tidur sampe pagi," ujar Ago.
Hafa juga bingung, namun akhirnya dia mengalah, dia berjalan ke sisi kasur yang kosong, walau kasur Hafa sebenarnya untuk satu orang, tapi sepertinya tidak terlalu sempit kalau mereka berdua di sana. Kini mereka berada di kasur yang sama, Hafa mulai merebahkan dirinya, begitu juga dengan Ago, suasana benar-benar awkward.
Hati Hafa sudah deg-degan tak karuan, selain dengan Hakim dia tak pernah sedekat ini dengan cowok. Ada guling di tengah-tengah mereka, namun itu ternyata membuat kasur menjadi sempit, kasian Ago yang tidurnya sangat ke pinggir.
Hafa lalu menarik guling tersebut dan memeluknya. Kini bahu mereka menjadi bersentuhan keduanya sama-sama menatap langit-langit, sungguh Hafa tak tahu harus bagaimana.
"Kakak boleh ngadep kamu?" tanya Ago, bukan, bukan dia ingin tidur sambil melihat Hafa, hanya saja dia terbiasa tidur menghadap kanan dan sekarang Hafa berada di kanannya.
"Terserah, senyamannya Kakak aja."
Kemudian jantung Hafa mencelos begitu saja saat Ago benar-benar menghadapnya, dia masih tetap menatap langit-langit sampai napas Ago terdengar teratur. Cowok itu sudah tidur, mungkin dia benar-benar lelah, perlahan Hafa menolehkan kepalanya menatap Ago.
Benar Ago sudah tidur, Hafa memerhatikan wajah suaminya itu. Sangat tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung dan bibirnya tipis berwarna pink ke merahan, padahal Ago adalah seorang perokok aktif tapi entah bagaimana caranya mempertahankan bibirnya yang merah tersebut, mungkin karena memang kulitnya sudah putih dari lahir.
Hafa juga merubah posisinya menatap Ago, dia kemudian mulai memejamkan matanya, menyusul Ago ke dalam mimpi.
***
To be continued
Kamis, 12 maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top