[7] The Best Brother

Ago mengembuskan asap rokoknya ke udara, benar kata Hakim dia tidak pantas untuk Hafa. Apa Ago harus mundur? Bahkan dia belum berjuang.

Dia ingin memiliki Hafa, sekarang dan selamanya. Dia tahu dia tidak sebaik itu untuk bisa memiliki Hafa, tapi bukankah yang tidak baik akan dipertemukan dengan yang dapat memperbaiki? Ago mungkin tidak baik, tapi dia telah menjatuhkan cintanya pada orang yang tepat, seseorang yang mungkin saja akan menjadi pengaruh baik untuk dirinya.

Setelah mendengar deru mobil memasuki garasi, Ago melemparkan batang rokoknya begitu saja. Dia langsung turun dari lantai dua untuk menemui orang tuanya.

Seperti biasa, kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah dengan wajah lelah. "Aku mau nikah!" kata Ago, seketika Rika dan Sandi menghentikan langkahnya, mereka berdua saling berpandangan lalu menatap anak laki-laki mereka satu-satunya.

"Aku membuat kesalahan dan harus bertanggung jawab," lanjut Ago.

Sandi menyerahkan tasnya pada Rika, kemudian dia berjalan menuju Ago. Sandi mengangkat tangannya dan mendaratkan sebuah pukulan ke pipi Ago dia tak peduli dengan wajah Ago yang sebelumnya juga sudah lebam, Ago mengusap darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya, setelah pukulan Hakim tadi mereda, kini sakit itu bertambah sakit Ago rasa.

"Kamu dibesarkan dengan fasilitas yang memadai, kamu hidup serba berkecukupan, kamu hanya perlu belajar, kamu hanya perlu sekolah dan menjadi orang hebat, kenapa selalu membuat masalah?!" berang Sandi, dia menatap sinis anaknya itu.

Ago tertawa sinis. "Kalian gak perlu marah, cukup besok datang ke rumah gadis itu, biar aku bisa nikah sama dia," kata Ago santai, dia tidak takut dengan papanya, mamanya atau siapa pun, dia terbiasa mandiri dan menghadapi semuanya sendirian. Kembali Sandi mengayunkan tangannya, kini bukan tonjokan yang Ago dapat, melainkan sebuah tamparan, menambah lengkap daftar biram di wajah Ago.

"Kalian sendiri yang gak pernah peduli sama aku! Kalian sendiri yang buat aku kayak gini! Terus kalian mau nyalahin aku atas semua ini?" Kesabaran Ago sudah di puncaknya, dia tak bisa lagi santai-santai, pukulan yang papanya berikan cukup menyakitkan, Ago tak mau merasakan untuk yang ketiga kalinya.

"Tolong turuti permintaanku yang satu ini," pinta Ago.

"Siapa gadis itu?" tanya Sandi yang sepertinya sudah bisa mengontrol emosinya, selama ini Ago selalu mencari perhatian, tapi tak pernah mengatakan langsung apa yang dia inginkan.

"Hafa, adek Hakim, anaknya om Yuda," ujar Ago jujur.

"APA?! kamu gila Ago?! Kamu gila HAH? kurang baik apa hubungan kita sama keluarga mereka, mau ditaruh di mana muka Papa menghadapi mereka?" tanya Sandi murka.

"Om Yuda yang minta kita datang besok," kata Ago lagi.

"Kamu sudah lama bersahabat dengan Hakim, tega-teganya kamu merusak adiknya, di mana pikiran kamu Ago!" Sandi tampak berjalan mondar-mandir di depan Ago, tak tahu harus bagaimana lagi mengekspresikan kemarahannya.

"Ago gak ngerusak Hafa! Dia gak hamil, Hafa itu cewek baik-baik, aku cuma mau nikah sama dia, gak ada alasan lain," terang Ago.

Sandi dan Rika saling menatap, tak ada keraguan di mata Ago, tidak ada kebohongan di mata anak itu.

"Aku capek di rumah sendirian setiap hari, aku capek jadi anak kalian, tolong kali ini biarkan aku melakukan apa yang kumau, aku mau Hafa, gak yang lain," kata Ago serius.

"Baiklah, besok kita ke rumah Yuda," pungkas Sandi yang kemudian pergi ke kamarnya.

Rika mendekatki Ago, dia memegang pundak anaknya itu. "Maafkan Mama," katanya yang langsung meninggalkan Ago sendirian.

***

"Bang, Abang percaya kan aku sama kak Ago gak kayak gitu? Papa salah sangka Bang!" kata Hafa memelas. Sampai malam selarut ini dia masih tak bisa terima dengan keputusan papanya.

"Abang percaya kok," kata Hakim yang sudah amat sangat mengantuk, namun Hafa masih enggan beranjak dari kamar cowok itu.

"Aku takut Bang, masa iya aku mau dinikahin? Tamat SMA aja belum, terus masa mau ngelangkahin Abang?"

"Tapi kamu lihat papa kan? Dia belum keluar dari kamarnya dari tadi, tadi pas Abang masuk ke kamarnya, dia bilang keputusannya udah bulat, katanya malu dilihat om sama tante, om sama tante juga ngomongin kamu di mobil tadi," jelas Hakim, bukan dia tidak mau membantu, dia bahkan sudah menghajar Ago untuk itu, namun papanya sangat keras kepala, apa yang menurutnya benar sangat sulit untuk dibantah.

Benar juga, papanya bahkan seolah enggan untuk melihat wajah Hafa. Hafa sangat merasa bersalah, namun tak tahu harus bagaimana, kemarahan papanya memang menjadi yang selalu dia hindari selama ini, Hafa juga merupakan anak kesayangan papanya. Dia merasa sangat bersalah karena telah mengecewakan papanya.

Hafa menunduk menangkup wajahnya dengan tangan, rambutnya dia biarkan terurai di kedua sisi wajahnya.

"Udahlah Fa! Mending kamu tidur, besok kamu harus sekolah," ingatkan Hakim.

Hafa sama sekali tak beranjak dari kasur Hakim, dia tidak mau memikirkan ini sendirian. Tapi Hakim kini malah tertidur pulas di atas kerpet.

Terdengar dering ponsel, Hafa mengangkat wajahnya dan menadapati ponsel Hakim menyala-nyala di atas nakas. Dia menggeser tubuhnya dan meraih ponsel tersebut, nama Ago tertera di sana.

Hafa terdiam, ingin membanguni Hakim, tapi abangnya itu baru tidur beberapa menit yang lalu. Dengan menarik napas dan memejamkan mata, Hafa menggeser ikon hijau pada ponsel Hakim, lagipula ada yang ingin dikatakannya pada Ago.

"Hallo assalamuialaikum." Ago tersentak di seberang sana mendengar suara Hafa.

"Wa...waalaikumsalam," jawab Ago gugup, bukan karena itu Hafa, tapi lebih ke pada Ago sudah lama tak menjawab salam secara islami seperti ini.

"Bang Hakim udah tidur," ujar Hafa memberitahu.

"Oh gitu." Ago salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Aku cuma mau ngasih tahu, besok orang tua aku mau ke rumah, sampaikan sama om Yuda ya," jelas Ago perihal alasannya menelepon.

"Jadi Kakak setuju buat nikah?"

"Gimana lagi?"

"Kak! Kakak jelasin dong sama Papa, kalau kita itu gak ngapa-ngapain, kenapa dari semalem Kakak cuma diem aja? Kakak setuju sama keputusan Papa?"

"Iya! setuju," kata Ago dengan entengnya.

"Apa? Emang Kakak gak mikirin aku, Kakak gak mikirin masa depan aku? Kak, aku ini masih sekolah, aku harus gapai cita-cita aku, kita harus bicarain ini semua sama Papa dan minta maaf sama om dan tante," ujar Hafa tak terima, dia pusing memikirkan bagaimana agar pernikahan itu tidak terjadi, tapi Ago malah santai-santai saja dan menerima semuanya. Ini konyol!

"Gak ada peraturan yang melarang kamu untuk menikah meski masih sekolah, nanti kamu akan tetap sekolah, menyelesaikan masa SMA."

"Kak! Kok Kakak kayak gini sih, kayak fine-fine aja gitu sama apa yang terjadi, ini salah paham Kak!"

"Karena aku suka sama kamu, kamu gak mau pacaran kan? Pernikahan adalah cara tepat untuk merealisasikan rasa sukaku!"

Hafa sukses terdiam, dia tidak habis pikir dengan Ago, meski Hafa selalu mendoakan Ago, tapi ini bukanlah saat yang tepat.

"Kak ... Hafa gak mau kayak gini," kata Hafa memelas berharap Ago mau membantunya.

"Jangan bohongi diri kamu Hafa, kita saling mencintai, tidak ada yang salah dengan pernikahan kita."

Salah? Tentu saja salah, Hafa tidak siap, bahkan terpikir olehnya pun tidak.

"Tapi..."

"Maafkan aku, aku gak akan jelasin apa pun ke om Yuda, besok aku dan orang tuaku bakal ke rumah kamu," ujar Ago sebelum menutup teleponnya, begitu panggilan terputus, Hafa memukul-mukul udara di depannya, dia semakin kesal dan tak bisa tidur sekarang.

***

Sekujur tubuh Hafa seperti mati rasa, gadis itu tidak tidur semalaman, matanya bengkak karena menangis subuh tadi, mengadu pada Allah.

Dengan tidak bersemangat dia membawa tas dan sepatunya menuruni tangga, sampai di meja makan tanpa kata dia menyalami kedua orang tuanya. Kemudian dia kembali berjalan menuju ke teras samping.

"Hafa gak sarapan dulu Nak?" tanya Kana dari dalam rumah, Hafa hanya menggeleng sebagai jawaban, padahal Kana tak bisa melihat gelengannya karena Kana berada di dekat meja makan dan Hafa duduk di teras luar.

Kana menatap suaminya seolah berharap Yuda menarik keputusannya dan membiarkan Hafa hidup dengan cara yang disukainya. Namun harga diri Yuda jauh lebih besar dari segalanya, maka kepala rumah tangga dalam keluarga itu mengabaikan istrinya dan melanjutkan membaca koran.

Hakim turun dari lantai dua, dia menghampiri meja makan, meminum segelas susu yang memang dibuat untuknya. "Biar Hakim aja yang anter Hafa," katanya pada sang mama, kalau Hafa sudah bersama Hakim, maka hati Kana sebagai ibu merasa tenang.

"Naik mobil Abang aja, Abang yang anter," ujar Hakim yang langsung meluncur ke garasi untuk mengeluarkan mobilnya yang akhir-akhir ini jarang digunakan, karena dia lebih sering naik motor.

Hafa mengangguk, dia berjalan bak orang linglung menuju mobil Hakim. Tanpa kata dia masuk ke dalam mobil dan duduk di sana. Bahkan sampai mobil berjalan meninggalkan rumah pun, Hafa yang biasanya berisik ketika bersama Hakim kini menjadi sangat pendiam.

Saat Hakim menghentikan mobilnya di depan sebuah mini market Hafa juga masih diam, dia tak bertanya apa pun atau bahkan menitip sesuatu. Hakim kembali, dia memasukkan jajanan yang tadi dibelinya ke dalam tas Hafa karena adiknya itu belum sarapan, lagi-lagi Hafa masih diam.

Hakim kembali menjalankan mobilnya, dia melirik Hafa. "Abang juga gak setuju sama semua ini, sedari awal Abang udah bilang untuk gak jatuh cinta sama Ago, Abang gak mau kamu sama dia, tapi mau bagaimana lagi? Kita anggap aja ini adalah takdir."

"Atau mungkin jawaban dari doa-doa kamu, kamu kan gak mau pacaran, mungkin ini cara Allah mempersatukan kalian dengan cara yang halal," lanjut Hakim.

Hafa terdiam mencerna setiap kalimat yang Hakim katakan, benar, selama ini dia selalu mendoakan Ago, apa doa itu akan terkabul sekarang?

"Ago gak mau berhenti, dia akan tetep nikahin kamu, mungkin ini adalah salah satu hal yang harus kamu terima, mungkin ini adalah salah satu perjalanan hijrah yang harus kamu lalui," kata Hakim lagi.

"Jangan kayak gini Fa, jangan durhaka hanya karena keinginan kamu gak sesuai sama keputusan papa, mungkin akan ada hikmah dibalik semua ini," jelas Hakim lagi. Hakim berusaha menjadi lebih bijak di hadapan Hafa.

Mobil pun sampai di depan gerbang SMA Pengubah Bangsa.

"Bilang sama Papa, kak Ago sama orang tuanya bakal dateng nanti, jadi jangan ke mana-mana," pesan Hafa sambil menyalami tangan Hakim.

"Assalamualaikum," ucapnya sebelum keluar mobil.

"Waalaikumsalam."

######

To be continued..
Minggu, 1 maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top