[5] Terlalu Berharga
Di luar hujan, terdengar suara petir beberapa kali, kelelap menyambar-nyambar dan cahayanya menembus jendela. Hafa tak berani sendirian di kamarnya, kini dia malah berada di ruang keluarga di depan TV, duduk di karpet sambil membungkus kepalanya dengan selimut.
Sehabis magrib hujan turun dan belum berhenti sampai sekarang, Hakim juga belum pulang, Hafa di rumah sendirian, entah sudah berapa kali dia menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Hafa tak mau menyalahkan Hakim yang meninggalkannya sendirian, karena abangnya itu juga memiliki kepentingan sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu.
"Kim! Buka ini gue!" teriak orang tersebut di pintu samping.
Hafa tahu suara itu milik Ago, dia langsung berjalan menuju pintu dan membukanya. Benar saja, Ago berdiri di depan pintu rumahnya dengan baju basah kuyup dan tubuh menggigil.
"Bang Hakim belum pulang," ucap Hafa.
Ago nampak sangat kedinginan, jaket yang membungkus tubuhnya ikut basah karena air hujan, Hafa langsung menarik tangan Ago begitu sebuah petir menggelegar di luar sana. Dia memegangi dadanya begitu pintu tertutup.
Hafa menutup telinganya begitu petir menyambar lagi dengan dahsyatnya. Setelahnya tubuh Hafa terlihat bergetar dan ketakutan.
Ago hanya bisa diam menatap Hafa, ingin memeluk namun dia sadar bukan siapa-siapa.
Hafa kemudian baru sadar kalau dia di rumah sendirian, ini tidak benar dia dan Ago bukan siapa-siapa, tak memiliki hubungan darah dan juga tidak halal, tapi bagaimana ini? Hafa tak mungkin membiarkan Ago berada di luar, sepenampakan Hafa cowok itu ke sini menggunakan motor, terlalu jauh untuk pulang ke rumah Ago kalau dari sini.
"Kak, aku di rumah sendirian," ucap Hafa.
Ago terdiam.
"Kita gak boleh ada dalam satu ruangan yang sama, aku sama kakak bukan mahram dan kita tidak halal," jelas Hafa.
"Tapi aku gak mungkin pulang Fa! Hujannya deras banget dan kamu tahu kan rumah aku jauh banget dari sini, aku tadi naik motor," terang Ago setelahnya cowok itu barsin. Tentu saja semua itu hanya alibi, pada kenyataannya dia memang sengaja datang.
Hafa menatap Ago, teman abangnya itu tampak amat kedinginan, hidungnya memerah dan beberapa kali terdengar menarik ingusnya. Sejujurnya Hafa sangat tidak tega.
"Kakak ganti baju dulu deh ke kamar abang, biar aku buatin minuman hangat," suruh Hafa.
Selimut yang sebelumnya berada di atas kepala Hafa, Hafa pindahkan ke tubuh Ago, beruntungnya tekstur selimut tersebut seperti handuk, jadi cukuplah untuk membuat tubuh Ago tak terlalu basah jika harus naik ke lantai dua.
Ago naik ke atas sementara itu Hafa menyampirkan bagian depan hijab instannya ke bahu dan mulai membuat coklat panas untuk Ago, Ago tampak sangat kelelahan sepertinya kopi bukan pilihan yang tepat, teh juga habis dan hanya ada satu pilihan yaitu coklat panas.
Di tengah-tengah perjalanannya menuju kamar Hakim, Ago menoleh ke arah Hafa, cowok itu menghela napasnya, ternyata dia tidak benar-benar bisa berbuat jahat pada Hafa, gadis itu terlalu baik untuk pikiran jahat Ago. Ago jadi merasa menjadi manusia yang paling bejat karena sudah berniat jahat ke gadis sebaik Hafa. Ago menggeleng kemudian berjalan lagi menuju kamar Hakim.
Setelah minuman yang dibuatnya selesai, Hafa membawanya ke meja makan dan menunggu Ago di sana. Hujan sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat, geluduk masih terdengar namun petir sudah mereda tak seintens sebelumnya.
Tak lama Ago tampak menuruni tangga dan langsung bergabung dengan Hafa di meja makan. Hafa menyodorkan coklat panas itu dan membiarkan Ago meminumnya. Dia mengembuskan napas kemudian membuang pandangannya ke sembarang arah, masalahnya Ago menjadi tambah tampan dengan rambut basah seperti itu.
"Makasih ya Fa," ucap Ago meletakkan mug berisi coklat panas itu ke atas meja.
Hafa hanya menipiskan bibirnya tersenyum, suasana benar-benar awkward, dan Hafa tak tahu harus bagaimana.
"Emmm Kakak laper gak?" tanya Hafa.
Ago ragu, namun akhirnya mengangguk, dia lapar tapi tidak ingin merepotkan Hafa.
"Aku masakin mi mau?" tanya Hafa lagi dan Ago kembali membalasnya dengan anggukan.
Hafa langsung menuju ke pantry dan sibuk di sana, sementara itu Ago memandangi cewek yang sangat baik di hadapannya itu dengan rasa kagum, dia merasa bangga pada dirinya sendiri yang menjatuhkan cinta pada orang yang benar. Dan di saat yang bersamaan Ago merasa jijik dengan dirinya sendiri yang sempat berpikiran untuk merusak gadis itu.
"Kakak kalau mau nonton TV nonton aja dulu, soalnya ini kayaknya bakal lama," ujar Hafa.
Ago menggeleng. "Hujan-hujan gak baik nonton TV, selama apa pun bakal di tunggu kok," kata Ago.
Hafa tak terlalu ambil pusing soal kata-kata Ago barusan, dengan cekatan dia ke sana kemari untuk mengambil bahan-bahan dan memasukkannya ke dalam wajan.
Keberadaan Ago ternyata ada untungnya juga, Hafa jadi lebih berani berada di rumah, setidaknya rumah itu tak semenyeramkan sebelumnya saat dia sendirian, meski masih dikejutkan dengan bunyi petir, tapi Hafa sedikit merasa lebih tenang.
Ago semakin kagum saja dengan Hafa saat melihat cekatannya cewek itu saat berada di dapur. Apalagi sekarang Hafa mengenakan baju tidur motif awan berwarna biru, sangat menggemaskan, membuat rasa ingin memiliki di hati Ago meronta-ronta.
Beberapa menit berlalu, dua mangkuk mi rebus terhidang di hadapan mereka berdua, Ago menghirup aromanya terlebih dahulu baru mengambil garpu dan mulai memakannya.
"Enak banget," puji Ago.
"Beneran?" tanya Hafa penasaran, Hakim selalu takut memakan masakan Hafa, jadi Hafa sebenarnya kurang berani unjuk kebolehan memasaknya di hadapan orang lain. Namun karena lapar, Hafa terpaksa memasak untuk Ago, lagipula cowok itu juga lapar, jadi pikiran Hafa sebelumnya, jikapun masakannya tidak enak, Ago akan tetap memakannya karena lapar.
Hafa langsung mengambil sendok dan memakan masakannya sendiri, ternyata benar, mi instan rebus dengan daun seledri, bakso ayam dan tahu goreng di dalamnya itu benar-benar enak.
"Benerkan?" tanya Ago.
Hafa mengangguk senang. "Biasanya abang gak suka makan masakan aku, makanya aku suka takut kalau masak," kata Hafa.
"Padahal enak banget loh," puji Ago.
Hafa menjadi sangat senang, setidaknya masakan yang selama ini selalu dia makan sendiri diakui enak oleh orang lain. Hafa cukup sering memasak, bukan hanya masakan sederhana seperti nasi goreng, mi goreng atau mi rebus, Hafa bahkan pernah memasak opor ayam, namun selalu hanya dia sendiri yang makan, Hakim tak mau makan masakannya takut keracunan dan begitu juga dengan kedua orang tuanya.
Hanya dalam beberapa menit mi tersebut langsung habis, ludes bahkan Ago sampai meminum kuahnya langsung dari mangkuknya.
Lalu suasana kembali menjadi canggung, mereka berdua saling diam. Hafa lalu berinisiatif untuk mencuci mangkuk dan menuju ruang TV setelahnya.
"Gak tidur Fa? Udah mau tengah malem loh," tanya Ago.
"Hafa gak berani di kamar sendirian Kak, jadi kayaknya mau tidur di sini aja," jawab Hafa, dia takut kalau-kalau nanti malam mati lampu, Hafa takut dengan suasana kamarnya saat mati lampu, karena akan menjadi sangat gelap. Biasanya lampu utama memang dimatikan, tapi masih ada lampu tidur yang menyala, Hafa tidak suka suasana yang benar-benar gelap, hingga dia tak bisa melihat apa pun.
Ago tampak berpikir, mulanya dia ingin naik ke lantai dua, ke kamar Hakim, karena memang kalau menginap di rumah itu, Ago selalu menginap di kamar Hakim. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, dia tak mungkin meninggalkan Hafa sendirian di ruang keluarga rumah sebesar ini.
"Aku temenin," pungkas Ago akhirnya yang kemudian berjalan menuju ke tempat Hafa.
"Gak usah Kak, tidur kamar bang Hakim aja," tolak Hafa.
"Udah gak apa-apa." Ago langsung duduk di karpet bawah bersandar pada sofa, sementara itu Hafa duduk di atas sofa.
Entah bagaimana ceritanya mereka malah jadi sangat akrab, beberapa kali candaan keluar dari bibir masing-masing, Hafa terus-terusan tertawa dengan banyak cerita lucu yang Ago sampaikan.
Mereka larut dalam tawa hingga saat hujan reda mereka telah terlelap di tempat masing-masing, Ago di karpet sementara itu Hafa di atas sofa. Mereka tidur lelap dengan tenang, tidak sadar bahwa setelah ini kejadian sederhana seperti ini merubah hidup mereka.
***
To be continued
Jum'at, 21 februari 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top