[36] Semua Demi Anak


Ago dan Hafa sedang menikmati acara stand up comedy di televisi, Ago mengelus perut Hafa yang sudah sedikit membuncit, istrinya itu sudah tak kaget lagi dengan sentuhannya pada perutnya. Hafa malah merasa senang karena itu bukti kalau Ago sangat mencintai anak mereka bahkan saat anak itu belum lahir. Selain itu Ago juga melakukannya untuk mengalihkan pikiran dari apa yang papanya minta, ingin izin pada Hafa tapi tak tahu caranya bagaimana, takutnya Hafa yang mood-nya sering berubah-ubah selama hamil itu akan menangis mendengar rencana Ago.

"Kakak kenapa sih? Kok gak ketawa, padahal yang tadi itu lucu banget loh," protes Hafa, kan jadi Ago serba salah kan? Bahkan hanya pekara tidak tertawa Hafa memprotesnya.

"Enggak, Kakak gak apa-apa kok," dalih Ago agar Hafa segera mengalihkan pembicaraan.

"Bohong! Pasti ada sesuatu kan? Biasanya Kakak tuh receh banget kalau soal beginian." Oke, sepertinya insting Hafa meningkat tajam, apa mungkin anak mereka akan menjadi detektif nantinya?

"Papa nawarin buat kerja ke Kalimantan, dua minggu," ungkap Ago akhirnya, setidaknya Hafa akan memberikan pendapatnya jadi Ago tak akan pusing sendirian.

"Bagus dong, kerja lapangan kan? Kapan lagi coba Kak? Kakak bisa lihat langsung gimana gedung itu berproses menjadi sebuah bangunan, Kakak juga bisa belajar banyak di sana nanti." Ago tak menyangka kalau Hafa akan se-exited ini, dia tak menyangka kalau respon Hafa tidak drama seperti sebelum-sebelumnya.

"Tapi kamu?" tanya Ago. "Kakak gak mungkin ninggalin kamu sama anak kita," lanjut Ago mengelus perut Hafa.

"Cuma dua minggu kan? Aku bisa pulang ke rumah mama, aku bakal jagain anak kita kok," jelas Hafa antusias, dalam hati sebenarnya agak ragu dengan dirinya sendiri mungkinkah akan mampu tanpa Ago?

"Kamu yakin? Kakak gak yakin kamu bisa tanpa Kakak," ujar Ago sangsi, Hafa sedang hamil muda, siapa yang akan menuruti mengidamnya jika Ago tidak ada, siapa yang akan memeluk Hafa jika Hafa tiba-tiba menangis tidak jelas, Ago sungguh tak siap melihat Hafa menderita hanya karena jauh darinya.

"Aku baik-baik aja Kak! Kakak punya mimpi dan ini adalah saat yang tepat untuk mewujudkan mimpi itu, ini adalah saat yang tepat untuk Kakak mulai semuanya," jelas Hafa menatap Ago dengan mata beningnya, Ago sampai terhipnotis oleh mata itu, mata bening yang selalu tampak indah bahkan saat Hafa sedang menangis.

Hafa mengambil tangan Ago. "Nanti akan ada manusia kecil di antara kita." Hafa membawa tangan Ago ke perutnya. "Dia akan menjadi tanggung jawab kita di dunia dan di akhirat, Allah pasti sudah menjamin rezekinya dari sekarang, mungkin ini adalah rezeki anak kita, tolong jangan Kakak tolak," pinta Hafa.

Ago tersenyum mengelus perut Hafa. "Baiklah kalau kamu izinkan, nanti malam kita ke rumah mama dan besok Kakak akan berangkat."

"Di sana mau bangun apa?" tanya Hafa penasaran.

"Hotel," jawab Ago.

"Di ibu kota baru ya?" tanya Hafa lagi.

"Iya," jawab Ago lagi.

***

"Nanti di sana jangan lupa minum vitamin, ini aku bawain di kantongan sebelah sini ya." Hafa menunjukkan botol vitamin dan memasukkannya ke kantongan yang ada di dalam koper.

"Iya Sayang," ujar Ago yang sedang bermain game. Sudah lama sekali suaminya itu tak bermain game, karena Hakim yang mengajaknya untuk bermain bersama, Hafa mengizinkan saja, toh besok sampai dua minggu ke depan Ago akan bekerja keras, Hafa sangsi suaminya itu akan memiliki waktu walau hanya sekedar untuk bersantai.

Tangan Hafa dengan cekatan memilah baju Ago yang akan dibawa besok, mereka sudah izin dengan kedua orang tua Ago berangkatnya besok dari rumah keluarga Hafa. Sesekali Hafa melemparkan baju ke keranjang pakaian kotor, Ago sering memasukkan baju yang sudah ia pakai ke dalam lemari dengan alasan masih wangi, iya wangi parfum, namun lama-lama jadi bau juga jika ditumpuk begitu saja.

"Terus nanti makannya jangan sembarangan, dua minggu itu bukan waktu yang singkat, Kakak bisa aja kena penyakit apa pun di sana, apalagi kondisinya lagi kerja, daya tahan tubuh bisa turun kapan aja, jadi usahakan jangan sampe kecapean banget. Pokoknya jaga kesehatannya." Hafa berpesan pada Ago sambil memasukkan baju-baju Ago ke dalam koper. Ago sendiri hanya bergumam-gumam membalas semua pesan Hafa.

"Anjing! Mati gue!" Hafa langsung menatap tajam Ago setelah mendengar sang suami mengumpat.

"Astagfiurullah! Maaf Sayang, keceplosan." Ago memegangi mulutnya dan melempar ponselnya ke sembarang arah.

"Kan aku udah bilang berhenti ngomong kasar! Kakak mau anak kita nanti kayak gitu? Kakak mau anak kita sering ngomong kotor?! Kalau bukan Kakak yang ngedidik dia siapa lagi? Kakak tuh calon ayah, jadi harus paham sama diri Kakak sendiri, harus ada self control dong!" omel Hafa kesal, sudah lama memang Hafa tak mendengar Ago mengumpat tapi meski sudah lama tetap saja hati Hafa masih sakit mendengar umpatan-umpatan Ago.

"Iya Sayang, maafin ya," ucap Ago dengan wajah memelasnya, dia sama sekali tak berniat membuat Hafa kecewa, hanya saja apa yang hati dan pikirannya inginkan, tak sejalan dengan mulutnya yang masih belum bisa direm. Sungguh yang barusan itu adalah keceplosan, Ago benar-benar tak berniat mengatakannya apalagi di depan Hafa.

"Jangan diulangin ya, banyakin baca istigfar biar gak keceplosan lagi!" ingatkan Hafa.

"Iya-iya," kata Ago.

"Ya udah yuk jalan," ajak Hafa.

Ago mengangguk tanpa bantahan, Ago meninggalkan game-nya begitu saja, apa yang ada di ponselnya itu sama sekali tak lebih penting dari Hafa, biarlah Hakim memaki-maki di sebrang sana sebab Ago tak lagi muncul yang penting Hafa tak marah padanya.

***

"Gue titip Hafa ya," ujar Ago pada Hakim, seorang supir taksi tengah menunggu di luar rumah, kini saatnya Ago berpamitan pada semua orang yang ada di rumah Hafa.

"Tanpa lo minta pun gue bakal jagain adek gue," kata Hakim, dia tak suka kelebayan-kelebayan yang akhir-akhir ini Ago tunjukan, walaupun sebenarnya Hakim tahu kalau Ago ketularan Hafa.

"Jagain juga anak gue," kata Ago lagi. Lebaykan? Kalau Hakim sudah menjaga Hafa, maka otomatis anak yang ada dalam kandungan Hafa juga akan terjaga, kenapa sih Ago dengan segala keerroran otaknya?

Hakim menendang pantat Ago. "Pergi aja lo sono."

"Ish Abang! Jangan kasar dong!" Hafa muncul dengan tas kecil yang konon katanya berisi obat-obatan untuk jaga-jaga selama Ago di Kalimantan.

"Suamimu tuh lebay!" sorak Hakim lantas pergi meninggalkan keluarga kecil adiknya itu. Kana geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak sulungnya yang tak kunjung berubah, Kana dan Yuda sampai berpikir untuk menikahkan Hakim agar dia berubah seperti Ago. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Ago berubah karena sangat mencintai Hafa, kalau Hakim dijodohkan otomatis dia belum mencintai istrinya itu, harapan untuk berubah sangat kecil atau malah pernikahannya itu sendiri akan sangat berisiko.

"Jangan dipikirin apa katanya Hakim, emang kayak gitu kalau lagi banyak tugas kuliah," kata Kana memberi pengertian pada anak dan menantunya.

"Iya Ma, paham kok," ujar Ago, bagaimana tak paham kalau begitu sampai tadi malam Hakim sudah marah-marah padanya hanya karena meninggalkan permainan di puncak pertandingan.

"Ya sudah kamu hati-hati di sana," pesan Kana menepuk bahu Ago. Ago megangguk menanggapi pesan Kana.

Ago mendekat ke Hafa memeluk tubuh istrinya itu. "Kakak pergi dulu ya, jaga diri baik-baik jangan nyusahin mama sama papa," pesan Ago.

Hafa mengangguk. "Kakak juga baik-baik di sana, ingat ada aku di sini," pesan Hafa.

"Iya Sayang," kata Ago, dia mencium lama kening Hafa baru setelah itu menyalami tangan Kana dan pergi dibawa supir taksi menjauh dari rumah.

"Lebay banget lo pada, pergi gitu doang," ledek Hakim sembari berjalan melewati Hafa.

"Biarin! Sirik aja jadi orang!" balas Hafa sembari menghapus air di ujung mata.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top