[35] Takdir Luar Biasa

Hafa sudah siap dengan seragam sekolahnya, dia berdiri menyamping di depan cermin, rok sekolahnya sudah sangat sempit menandakan kalau kandungannya semakin besar. Lucu memang dengan seragam SMA seperti ini dan kandungan yang sudah memasuki minggu ke-14.

"Kayaknya perut aku makin gede deh," keluh Hafa mengangkat kemeja putihnya menampilkan pantulan perutnya di cermin sana.

Ago yang semula membaca sesuatu di tab-nya lantas menoleh ke Hafa. "Namanya juga hamil ya perutnya makin gede Sayang," ujar Ago.

"Nanti aku UN gimana dong?" tanya Hafa memegang perutnya sendiri, dia merasa setiap bangun pagi kulit perutnya tertarik dan semakin mengencang.

"Kan UN-nya dua minggu lagi, gak bakal bertambah gede, paling masih segitu juga," kata Ago berusaha membuat Hafa tenang, sebagai suami dia seperti obat, apa pun yang terjadi pada Hafa dia adalah penawarnya.

Hafa lantas kembali mematut dirinya di depan cermin, senyum simpul terulas di bibirnya, dia akan menjadi seorang ibu dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Dia akan memiliki gelar mulia yang setiap wanita dambakan, ibu. Ada banyak pertanyaan yang tercokol di hatinya tentang kesiapannya untuk melahirkan, menyusui, membesarkan, mendidik dan suatu saat akan melepaskannya, namun terlepas dari itu semua Hafa benar-benar tak sabar untuk bertemu malaikat kecilnya.

Ago berjalan mendekat ke Hafa. "Kenapa?" tanyanya pada Hafa setelah dirinya berdiri di depan Hafa.

Hafa menggeleng. "Hafa bahagia, gak sabar mau ketemu dia," kata Hafa mengelus perutnya.

Ago tersenyum menatap perut istrinya itu, dia sendiri tak pernah berpikir akan menjadi ayah di umur 21 tahun nanti. "Kamu gak marah kan sama Kakak?" tanya Ago.

"Marah kenapa?" tanya Hafa dengan mata beningnya, fase dirinya tak terima dengan apa yang terjadi sudah berlalau kini Hafa hanya berusaha mensyukuri semua yang terjadi dalam hidupnya, lagipula semuanya terlalu indah untuk tidak disyukuri.

Jika pun takdir Hafa bukan yang terjadi saat ini, jika waktu terulang, jika boleh memilih, Hafa akan tetap memilih kisah hidupnya yang sekarang, bersama Ago. Rencana Allah selalu menjadi yang terbaik, seperti dalam Al-Qur'an surah Al-Furqan ayat 2 yang isinya "Dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya."

Mengimani takdir baik dan buruk juga merupakan salah satu rukun iman, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya." Hadits Riwayat Tirmidzi.

"Kakak adalah satu dari sekian banyak hal yang aku syukuri dalam hidupku, sedikitpun aku tak pernah menyesal dengan takdir yang sudah terjadi. Kalau bukan sama Kakak kayaknya aku gak bakal hidup sebaik ini," lanjut Hafa masih dengan senyuman manis untuk Ago. Selain Ago merasa bahwa Hafa adalah takdir terindah miliknya, Hafa juga merasa Ago adalah takdir luarbiasa yang semakin membuatnya mencintai Allah.

Ago lantas menarik Hafa ke dalam pelukannya, berusaha mengungkapkan perasaannya lewat tindakan.

***

"Go dipanggil bapak ke ruangannya," ujar seseorang, Ago yang saat itu duduk-duduk santai di salah satu kubekel karyawan yang sedang tidak masuk kerja. Karena papanya membuatnya menjadi OB, Ago jadi malas-malasan, menjadi pesuruh bukanlah passionnya, Ago tak mau menjalani sesuatu yang tak dia suka.

Ago mengerutkan keningnya, tumben-tumbenan bos besar memanggil dirinya, di kantor Ago memang sangat jarang bertatap muka dengan papanya, di rumah juga sebenarnya, tapi agak lebih mending semenjak Hafa hamil, kedua orang tuanya jadi jarang pergi-pergi semenjak Hafa hamil.

"Mau ngapain emang?" tanya Ago pada orang yang memberitahunya tadi.

"Enggak tahu, temui aja langsung sana," kata orang itu yang sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya di balik komputer.

Dengan malas-malasan Ago mulai melangkah, dia sudah nyaman dengan pekerjaannya yang kebanyakan tidak ngapa-ngapainnya itu, jadi dia terlalu malas untuk kembali mendapatkan pekerjaan yang berat-berat. Tanpa mengetuk pintu Ago masuk saja ke ruangan papanya yang memang tidak di kunci, sekretaris papanya yang duduk di depan ruangan bahkan Ago abaikan, siapa yang bisa melarang dirinya? Ago lebih disegani daripada papanya.

Baru beberapa detik tapi Ago sudah keluar lagi. "Kenapa?" tanya Hana—sekretaris papa Ago.

"Ada tamu ternyata." Ago menggaruk tengkuknya lantas tertawa kikuk.

"Makanya jangan asal nyelonong aja, nanya dulu kek, bawain kopi sana," suruh Hana.

"Males banget." Ago malah menarik kursi di sebelah Hana.

"Makan gaji buta lo!" sembur Hana yang lantas melanjutkan kegiatan mengetiknya, ada beberapa berkas perjanjian yang harus ready untuk ditandatangi hari ini juga.

"Bukan passion gue ngerjain beginian," dalih Ago, padahal dia hanya malas.

"Alaah! Banyak alasan lo!" Dengan pekerja-pekerja yang ada di kantor itu Ago sudah cukup dekat, apalagi yang satu urusan dengan papanya.

Ago memilih mengabaikan kata-kata Hana dan lanjut menunggu sambil ongkang-ongkang kaki, Ago sering mendengar orang-orang mengatakan bahwa dirinya adalah anak tak berguna, bahkan dari orang terdekatnya sekalipun Ago sering mendengar soal itu.

Tak lama tamu papanya keluar, entah apa yang mereka bicarakan dalam kurun waktu yang sangat singkat tersebut yang pasti mereka saling bersalaman lalu Hana mengantar tamu tersebut kemudian Sandi memberi kode pada Ago untuk mengikutinya.

Sampai dalam ruang kerja Sandi, Ago dipersilakan untuk duduk, dia merasa terhormat sekali dengan perlakuan papanya yang notabene adalah bos besar.

"Ada apa sih?" tanya Ago agak curiga, kalau papanya itu biasanya cuek dan tiba-tiba berubah kan rasanya jadi aneh, Ago lebih baik diabaikan jika perubahan Sandi merupakan suatu pertanda buruk.

"Papa mau kasih pekerjaan sama kamu." Sandi memulai kalimatnya.

"Ini juga aku lagi kerja kan sama Papa, di kantor Papa." Ago menatap Sandi serius menunggu kelanjutan kalimat papanya itu.

"Ada sebuah proyek yang akan papa garap, di Kalimantan, pembangunan hotel, Kalimantan Timur katanya akan menjadi Ibu Kota yang hijau, sangat cocok untuk dijadikan tempat wisata dan tempat menenangkan diri. Apa kamu mau bekerja lapangan di sana? Akan ada banyak hal yang bisa kamu pelajari, Papa gak akan membuat kamu bekerja keras karena Papa hanya ingin kamu belajar di sana, kamu gak perlu kirim proposal apa pun karena Papa sudah mengurus semuanya dengan para investor, sekali lagi Papa katakana tugas kamu hanya belajar, suatu saat jika Papa udah gak ada, kamu akan menghadapi dunia bisnis yang sesungguhnya," jelas Sandi, Ago mengangguk-angguk paham, menarik bahkan sangat menarik, tapi tentu saja tak semudah itu.

"Barapa lama di sana?" tanya Ago.

"Besok kamu langsung berangkat, di sana kurang lebih dua minggu untuk meninjau lokasi," jawab Sandi.

Kalau hanya dua minggu tidak apa-apa rasanya meninggalkan Hafa, tapi kalau lebih dari itu Ago tak yakin dengan kesanggupan dirinya, Hafa sedang hamil Ago ingin memastikan perkembangan anaknya dengan mata kepalanya sendiri.

"Ago gak mungkin ninggalin Hafa yang lagi hamil, dia butuh Ago," kata Ago yang sudah pasti sarat akan penolakan, iya dia menolak karena dunianya saat ini hanya terpaku pada sosok Hafa. Masalah menolak rezeki Allah sudah mengatur rezeki setiap hambanya, Ago bisa mencari pekerjaan tetap ketika lulus kuliah nanti.

"Dua minggu, Papa mohon hanya untuk dua minggu pertama, setelah kamu tahu system kerjanya kamu bebas untuk lanjut atau berhenti."

Ago terdiam, bohong kalau dia tidak menginginkan pekerjaan itu, dia selalu bercita-cita menjadi lebih hebat dari papanya, menjadi manusia yang mengungguli papanya, hari ini dia memiliki kesempatan, dia akan menang satu langkah dari papanya karena memulai semuanya di usia muda, tapi Ago juga sudah punya Hafa diumurnya yang juga masih semuda sekarang, Hafa adalah prioritas utamanya saat ini, sementara apa yang papanya tawarkan adalah ambisi besar yang selalu ingin Ago wujudkan.

"Waktunya sampe besok kan? Aku mikir dulu." Ago langsung keluar dari ruangan papanya itu, ternyata ini tanda seseorang menjadi dewasa, apa-apa yang membuat dilema tidak hanya sebatas memilih lollipop atau es krim dan lagi-lagi Ago tak suka menjadi dewasa, rasanya memilih es krim ketimbang lollipop jauh lebih mudah daripada memilih Hafa atau cita-cita.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top