[29] Kita Pasti Bisa

Ago yang saat itu hanya duduk-duduk santai di kantor papanya sebab dia hanya OB sekarang—pekerjaannya tak sebanyak dulu—langsung terlonjak kaget saat mendapat telepon dari Yuna yang mengatakan bahwa Hafa pingsan, dengan secepat kilat tanpa meminta izin Ago langsung memacu motornya menuju sekolah Hafa.

Yuna memberitahu Ago kalau Hafa terus-terusan mengeluhkan sakit perutnya, itu membuat Ago sangat khawatir dan tanpa malu-malu dia langsung meminjam mobil Yusuf untuk membawa Hafa ke rumah sakit, beruntung sifat Yusuf tidak sama seperti dirinya, dengan kebaikan hatinya Yusuf memberikan kunci mobilnya.

"Gue tahu lo khawatir, tapi hati-hati, nyawa Hafa lebih penting," pesan Yusuf sebelum Ago masuk mobil, Ago mengangguk paham, mungkin kalau keadaannya tak segenting ini, Ago akan marah karena Yusuf perhatian pada Hafa.

Dan sekarang Ago duduk terdiam di samping ranjang rumah sakit Hafa, tangan istrinya itu sudah dipasangi infus dan Ago hanya bisa memegangi tangan itu lantas berpikir, setelah ini bagaimana?

"Kak..." Suara serak Hafa membuat Ago mengangkat kepalanya.

"Ada apa Sayang? Kamu butuh sesuatu?" tanya Ago yang langsung bangkit dari duduknya.

Hafa menggeleng, Ago kembali duduk, dia mengambil tangan Hafa lalu menciumi punggung tangan itu. "Kamu tenang ya, jangan setres," pinta Ago.

Hafa mengangguk, tapi bagaimana? Dia bahkan masih seorang anak, apa Hafa akan bisa jika harus menjadi seorang ibu?

"Percaya sama Kakak, kita udah lalui ini semua sejauh ini. Anak kita ada karena Allah tahu kalau kita udah siap," ujar Ago. Hafa berusaha memahami apa yang Ago katakan, namun tetap saja hatinya sulit sebab berkata-kata jauh lebih mudah daripada menjalaninya.

"Emangnya aku bakal bisa?" tanya Hafa, selalu seperti ini, Hafa tak pernah bisa yakin dengan dirinya sendiri.

"Kakak selalu bilang kalau kita akan melalui semuanya berdua, kali ini juga, kita akan berdua, percaya sama Kakak kamu pasti bisa, kita pasti bisa." Ago mencium kembali punggung tangan Hafa, bedanya kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Ago selalu berhasil mengeluarkan kalimat-kalimat yang harusnya membuat Hafa tenang, namun tidak, kekhawatiran itu masih ada, Hafa tak pernah paham dengan dirinya sendiri.

Ucapan salam terdengar dari pintu, Hafa dan Ago sama-sama menoleh, kedua orang tua Ago masuk ke dalam ruang rawat Hafa.

"Jadi Hafa kenapa?" tanya Rika, Ago tadi menelepon hanya mengatakan bahwa Hafa dirawat.

Ago dan Hafa saling memandang, kemudian Hafa mengangguk.

"Hafa... hamil," kata Ago.

Kali ini Rika dan Sandi yang saling berpandangan, Rika bahkan menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut.

"Ini kenapa Papa keberatan kalian tinggal berdua," ujar Sandi langsung.

"Buatnya pas di rumah Papa," kata Ago tak mau kepindahan mereka disalahkan.

Sandi dan Rika kembali saling berpandangan, kemudian Sandi memilih berjalan dan duduk di sofa, sementara itu Rika mendekat ke arah Hafa.

Wanita glamour itu mencium kening Hafa. "Kamu baik-baik aja kan?" tanya Rika, tentu saja Rika bahagia menyambut cucu pertamanya.

Hafa mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Rika. Rika tersenyum dan mengangguk. "Di jaga baik-baik ya," pesan Rika. Lagi-lagi Hafa mengangguk.

"Mama terharu banget, diusia semuda ini udah mau punya cucu, pokoknya Mama sayang anak kamu." Kali ini Rika mencium kening Ago, jujur Rika sangat bahagia mendapati dirinya akan mempunyai cucu.

Rika menyuruh Ago menyingkir dan menggantikan posisi Ago duduk di dekat brankar Hafa.

"Mama udah ngebayangin gimana lucunya kalian punya anak," kata Rika pada Hafa, Hafa terkekeh, dia juga berusaha untuk bahagia.

"Kalau bisa kalian punya anak banyak aja nanti, biar rame gak kayak Ago sendirian." Hafa lagi-lagi terkekeh, satu saja sudah membuatnya terkejut terheran-heran apalagi banyak.

"Hehehe nanti deh Ma dipikirin, ini aja gak nyangka," kata Hafa.

Ago ikut bergabung dengan Sandi duduk di sofa, dia mengusap wajahnya sendiri.

"Sedari awal kalian sudah tahu kalau Hafa masih sekolah, kenapa bisa ceroboh?" tanya Sandi.

"Enggak tahu," kata Ago ngenes.

"Kamu merasa gak bisa bertanggung jawab?"

"Bukannya gak bisa, Ago malah seneng banget denger kabar ini, tapi kayaknya kita belum siap," kata Ago memelan di akhir kalimat, dia mungkin bisa menguatkan Hafa dengan kalimat-kalimatnya, namun Ago tak bisa melakukan hal yang sama untuk dirinya sendiri.

"Kamu itu seorang laki-laki, hal seperti ini tidak bisa dielakkan, berani berbuat berani bertanggung jawab," ujar Sandi dengan penuh wibawa.

Ago mengangguk, kalau dia tidak terima lantas apa? Membunuh anaknya sendiri? Ago tidak segila itu.

Kemudian salam kembali terdengar kali ini yang masuk ke ruang rawat Hafa mama Kana, dia langsung menghampiri Hafa, di belakangnya Hakim muncul.

"Gue mau ngomong sama lo," ujar Hakim pada Ago, Ago yang baru saja menyalami Kana kini mengangguk dan mengikuti langkah Hakim, apalagi, Ago bahkan sudah jauh lebih dari hanya sekedar siap untuk menghadapi kemarahan Hakim.

Begitu mereka sampai di luar ruang rawat Hafa, Hakim mendaratkan tinjunya dengan mulus ke pipi Ago dan untuk yang satu ini juga Ago sudah siap, Hakim tak akan mungkin hanya sekedar marah.

"Gue kesel banget sama lo," kata Hakim, dia hanya sekali meninju Ago kemudian terduduk di kursi tunggu yang ada di luar, Ago meneleponnya dan langsung mengatakan yang sebenarnya pada Hakim, saat itu juga Hakim mengepalkan tangannya, emosinya naik ke ubun-ubun tak bisa membayangkan Hafa yang masih umur segitu sudah hamil.

"Lo apain adek gue? Lo gila? Hah?!" tanya Hakim marah.

"Gue suaminya, gue bebas atas Hafa, lagipula dia hamil anak gue, Hafa tanggung jawab gue begitu juga dengan anak gue," jelas Ago sambil mengelap darahnya yang meluruh dari sudut bibir, pukulan Hakim cukup kuat untuk membuat pipi dalamnya robek.

"Lo gak mikir? Umur Hafa masih berapa? Lo gak mikir betapa berisikonya hamil dalam umur tujuh belas tahun? Hah? Lo bego apa gimana? Kenapa lo jadi bar-bar gini sih?" tanya Hakim tak habis pikir.

"Kim gue laki-laki normal dan kita udah nikah!" tegas Ago.

"Tapi lo gak bisa seenaknya bangke! Gak inget lo janji lo sebelum nikahin Hafa? Seharusnya lo paham kalau lo nikahin anak SMA!"

"Iya gue paham! Kalau menurut lo gue salah gue minta maaf!"

"Minta maaf doang bisa lo?! Waktu itu juga dapetin Hafa dengan cara licik lo cuma minta maaf!"

Ago hanya menunduk dan mengusap seluruh permukaan wajahnya, kacau, pikirannya kacau sekarang.

Hakim juga sama, sebagai abang dia sangat amat mencintai Hafa, dia menyayangi Hafa lebih dari apa pun, dan berita ini membuatnya takut, takut terjadi apa-apa dengan Hafa.

Ago memilih masuk kembali ke ruangan Hafa, karena semua orang tua sedang mengobrol di sofa ruangan tersebut, Ago mendekati Hafa, Hafa memegang pipi Ago yang baru saja dipukul oleh Hakim.

Ago bisa melihat wajah kekecewaan Kana, namun wanita itu berusaha untuk tetap terlihat bahagia, memang kalakuan Ago sangat mengecewakan, dia tak bisa memegang janjinya sendiri.

"Saat Hafa sudah pulih nanti, kalian kembali tinggal sama mama papa," ujar Kana.

Saat itu Ago hanya dapat mengangguk lemah.

***

"Maafin Kakak ya," ucap Ago selepas menyuapkan bubur ke bibir Hafa, mendengar permintaan maaf tulus dari Ago seperti ini membuat Hafa terharu, dia menghapus sudut matanya sendiri.

Ago menggeleng. "Kamu jangan nangis, Kakak yang salah di sini." Hafa menangkup tangan Ago yang mulai turut menghapus air mata di matanya.

"Gak ada yang salah Kak!" sela Hafa, Ago tidak salah, lagi-lagi mungkin memang sudah takdir.

"Mulai hari ini dan seterusnya kayaknya kita harus lebih berjuang, bukan hanya untuk kita tapi untuk anak kita juga," ujar Ago mantap. Hafa merentangkan tangannya. "Peluk," pintanya membuat Ago langsung berdiri dan mendekap tubuh istrinya itu. Allah selalu bisa membuat keduanya sangat amat terkejut dengan apa yang terjadi dalam hidup mereka, tapi keduanya percaya bahwa Allah selalu punya rencana yang terbaik untuk hidup mereka. Keduanya sama-sama akan menunggu hasil manis dari segala kesabaran selama ini.

Ago terkekeh saat Hafa seolah enggan untuk melepaskan diri darinya, Ago menepuk-nepuk punggung Hafa menyalurkan kekuatan, Hafa adalah tulang rusuknya, itu kenapa Ago sangat melindungi Hafa, karena jika tulang rusuknya kenapa-kenapa maka jantung dan paru-paru Ago juga akan bermasalah. Bisa dibilang Hafa adalah bagian dari hidupnya, Hafa sangat berarti, mungkin saja hidup Ago bertambah tak karuan jika dia tak bertemu dengan Hafa.

Hafa menahan bahu Ago saat cowok itu mulai menarik dirinya. Hafa memegangi daun telinga Ago. "Kan kita udah mau punya anak, gimana kalau ini dilepas aja?" Hafa memegangi anting yang masih menggantung di telinga Ago.

Ago mengangguk. "Kamu lepas aja," suruh Ago, Hafa langsung melepaskan pengait anting tersebut. Selama ini Hafa memang sudah risih dengan benda itu berada di telinga Ago, namun momen saat ini adalah yang paling pas, Ago tidak akan mungkin memberikan contoh buruk untuk anaknya nanti. Dan Hafa tak henti-hentinya bersyukur, dia melihat langsung perubahan seorang manusia, perlahan-lahan menjadi lebih baik, yaitu Ago suaminya sendiri. Ago muslim dari lahir, tapi Hafa selalu melihatnya memegang buku tuntunan salat hanya sekedar untuk membaca ulang dan memperbaiki apa yang barangkali keliru selama ini.

Setelah anting di telinga kiri Ago tersebut terlepas, Ago menatap mata Hafa serius. "Trust me, I will be the best father in the world," ujar Ago mantap.

"Yes I know," balas Hafa yakin, sejauh mereka hidup bersama Ago memang tak pernah main-main dengan ucapannya. Ago mencium kening Hafa lama seolah benar-benar ingin Hafa yakin akan dirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top