[23] Mulai Dengan Rencana Kita
Tanpa sadar hubungan itu sudah berjalan selama lima bulan, selama lima bulan ini pula Hafa dan Ago menjalani hidup dengan jalan masing-masing. karena pisah kamar, mereka jadi jarang bertegur sapa, Hafa kebanyakan menghabiskan waktunya dengan bermain ponsel di dalam kamar sementara itu Ago banyak menghabiskan waktunya di kantor. Hafa bahkan tak tahu masihkah Ago kuliah atau tidak. Sungguh semuanya masih baik-baik saja, Ago berusaha memberi ruang untuk Hafa menikmati hidupnya selayaknya remaja pada umumnya. Hafa sendiri terlalu takut bertanya berbagai hal pada Ago karena cowok itu selalau pulang dengan wajah lelah. Kegiatan mengantar Hafa ke sekolah sudah tak pernah dilakukan, mereka cenderung seperti orang asing yang tinggal dalam satu atap, keduanya hanya sesekali saling tersenyum jika berpapasan. Mereka hanya mengobrol seperlunya, namun Hafa sangat menikmati perannya sebagai istri, Hafa sangat bahagia karena Ago tak membatasi pergerakannya, kata Ago asal itu adalah kegiatan yang positif dia tak akan masalah. Hafa bahagia menjalani pacaran halalnya bersama Ago, Ago tak pernah menuntut hal-hal yang berlebihan, hingga terhitung beberapa bulan terakhir Hafa sudah memaafkan segalanya, memaafkan keadaan dan berusaha menerima pernikahannya dengan sepenuh hati.
Ago, meski cowok itu belum bisa mengusahakan salat subuh di masjid Hafa bersyukur sebab setidaknya Ago mengusahakan salat magrib dan isya di masjid, kalau zuhur dan ashar Ago juga sepertinya di masjid karena memang untuk jam-jam salat itu biasanya Ago masih di kantor.
Hafa terkejut saat sebulan lalu Ago menyerahkan ATM dengan isi ratusan juta padanya, Hafa sempat menolak karena mengira bahwa itu adalah jatah uang jajan Ago dari orang tuanya, namun Ago menjelaskan kalau itu benar-benar gajinya, Hafa sempat takjub dengan gaji Ago yang bisa sebanyak itu hanya dalam waktu beberapa bulan, namun Hafa tetap sangat bersyukur sebab dengan uang itu mereka bisa berbelanja bulanan untuk seluruh penduduk rumah. Beberapa minggu yang lalu Ago juga mengajaknya pindah karena katanya Ago sudah mampu membeli sebuah rumah yang tentu saja lebih kecil dari rumah yang mereka tinggali saat ini.
Namun, keputusan pindah itu belum didiskusikan pada kedua orang tua mereka, sepertinya dalam waktu dekat akan didiskusikan.
Mobil yang ditumpanginya memasuki halaman rumah Ago, setelah mengucap terima kasih pada pak Rudi, Hafa langsung keluar dan masuk ke dalam rumah. Ini adalah hari sabtu dan Hafa baru saja pulang dari kegiatan ekstrakulikuler di sekolahnya."Kak Ago ada pulang Mbak?" tanya Hafa pada mbak Nia, meski mulai asing, Hafa tetap selalu menanyakan soal Ago pada orang-orang di rumah, bagaimanapun Ago adalah suaminya, ada tanggung jawabnya sebagai istri untuk mengurus Ago.
"Ago gak keluar kamar dari pagi Fa," kata mbak Nia.
Hafa mengerutkan alisnya. "Emangnya gak kerja Mbak? Atau kuliah?" tanya Hafa, sebagai istri seharusnya dia lebih tahu soal ini, tapi Hafa malah bertanya dengan orang lain.
"Kalau itu kurang tahu Fa," ujar mbak Nia kembali mengelapi beberapa barang yang baru dicuci untuk diletakkan di rak masing-masing.
Hafa mengangguk, dia lantas meletakkan tasnya kemudian berjalan cepat menuju lantai dua, kekhawatiran langsung menelusup ke hatinya, Ago tak mungkin tak keluar rumah kalau dia sedang baik-baik saja. Hafa membuka pintu kamarnya, kamar Ago sangat berantakan dengan berbagai kertas gambar berserakan di sana, meja belajar yang sekarang alih fungsi menjadi meja kerja pun sangat-sangat berantakan, Hafa tahu sekarang Ago bekerja sangat keras, Ago full di kantor papanya untuk mengerjakan beberapa desain bangunan, Hafa tahu Ago mahir dalam menggambar, kepala Hafa menoleh, lantas senyum tipis menghiasi bibirnya teringat dengan desain rumah impian Ago yang gambarnya masih tertempel di dinding. Hafa merasa bangga setidaknya Ago masih memiliki mimpi.
Kaki Hafa melangkah ke arah Ago yang masih bergelung dalam selimut. Mendapati tubuh Ago berkeringat meski AC kamar tersebut menyala, Hafa langsung menempelkan tangannya ke kening Ago, cewek itu langsung beristighfar, badan Ago panas sekali dan keringat mengucur ke sekujur tubuhnya.
"Kak...," panggil Hafa berusaha menguji kesadaran Ago.
"Hmmm..." perlahan Ago membuka matanya, dia sangat senang mendapati Hafa ada di kamarnya. Ago langsung melingkarkan tangannya ke perut Hafa yang kala itu duduk di tepian kasur.
Meski tinggal satu rumah tapi Ago sangat merindukan istrinya itu, sudah lama sekali mereka tak saling memeluk, sudah lama sekali rasanya Ago tak merasakan elusan tangan lembut Hafa di kepalanya.
"Ini pasti karena Kakak capek kerja terus," ujar Hafa, Ago diam saja, dia berusaha mencari kenyamanan dari pelukan Hafa.
"Aku ambilin Kakak makan ya, biar minum obat, badan Kakak panas banget kayaknya Kakak demam."
"Cuma pusing kok," kata Ago berkilah, dia hanya tak mau Hafa melihatnya sebagai sosok yang lemah.
"Kakak gak mau makan?" tanya Hafa.
Ago menjawabnya dengan gelengan.
"Tapi Kakak harus minum obat." Hafa berusaha melepaskan tangan Ago dari pinggangnya, namun Ago sangat enggan melepaskan tubuh Hafa. "Terus Kakak maunya apa?" tanya Hafa akhirnya.
"Kamu," jawab Ago. Hafa memilih melepas kerudungnya, melemparkan kerudung sekolahnya itu ke sembarang arah lalu naik ke atas kasur tidur sambil memeluk Ago, mengelus rambut suaminya itu memberikan rasa nyaman penuh untuk Ago. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali seperti ini, tidur sambil saling memeluk. Hafa adalah satu hal yang sangat membuat Ago bersyukur, setidaknya Hafa rela berbagi kesakitan dengannya, yang orang tuanya sekalipun tidak pernah melakukannya, Ago selalu sakit sendirian. Kedua orang tuanya bahkan mungkin tidak pernah tahu luka batin apa yang Ago sembunyikan, pekerjaan selalu lebih penting dari keberadaan Ago. Ago tak pernah menyesali takdir menikahnya yang terjadi secepat ini sebab keberadaan Hafa yang selalu ada untuknya seolah menjadi jawaban atas rasa kesepiannya.
***
Perlahan mata Hafa mulai terbuka, adzan ashar membangunkannya, dia menatap wajah Ago yang masih terpejam, Hafa membelai pipi Ago, kemudian mencium kening suaminya. Perlahan mata Ago juga mulai terbuka.
"Salat ashar yuk, habis itu nanti Hafa bawain obat." Ago mengangguk.
Mereka kemudian salat ashar, Ago terpaksa salat dalam poisi duduk karena kepalanya pusing jika harus dibawa berdiri.
Selesai mandi sore Hafa membawakan bubur yang dimasak oleh mbok Jum ke kemar Ago, tak lupa pula dia juga membawa obat-obatan dari kotak P3K, sedaritadi perut Ago belum terisi dan dia juga belum minum obat.
Hafa membawa nampan berisi bubur itu ke ranjang Ago, dia meletakkannya di ata nakas lalu membantu Ago untuk bersandar pada kepala ranjang.
"Pasti Kakak kecapean yah, kuliah sambil harus kerja, harusnya Kakak gak usah memaksakan diri Kak! Uang yang Kakak kasih ke Hafa tuh udah banyak banget, cukup untuk hidup kita setahun ke depan," omel Hafa, selama ini Ago memang sering kali bergadang di depan laptop dan pagi-pagi dia harus pergi bekerja, terkadang malam juga dia harus kuliah, jam tidurnya menjadi berantakan, begitu juga jam makannya alhasil sekarang dia jatuh sakit.
"Gak apa-apa lagian Kakak udah jarang ke kampus kok, biar anak-anak kita hidupnya nyaman nanti," kata Ago.
"Masih lama Kak! Gak perlu dipikirin sekarang! Lagian kalau Kakak sakit terus kenapa-napa gimana? Ya sama aja belum punya anak juga."
Bukannya marah, Ago malah terkekeh, lucu juga pemikiran Hafa, walau ada benarnya, kalau sampai umur Ago tidak panjang kerja kerasnya sama sekali tidak ada apa-apanya.
"Lagian kamu gak mau dihamilin," celetuk Ago seenak jidat.
"Lah terus menurut Kakak aku harus ke sekolah dengan perut buncit gitu? Ya kali!"
"Jadi kalau udah selesai SMA boleh?"
"Eungg, enggak tahu deh! Jangan bahas itulah Kak! Hafa masih bocah!" protes Hafa.
"Tapi kalau kamu mau kamu bisa buat bocah loh."
"Ih apaan sih!" Hafa menyodorkan makanan itu ke mulut Ago dengan tidak santainya.
Ago hanya tersenyum dan diam saja, sebenarnya dia juga belum berpikir sejauh itu untuk punya anak, dia hanya senang menggoda Hafa itu saja.
"Jadi gimana soal pindah rumah?" tanya Ago, sekarang di wajah cowok itu tak ada lagi guratan-guratan bercanda, itu artinya Ago sedang serius sekarang.
"Ya Hafa sih mau-mau aja, Kakak bilang aja sama mama papa," ujar Hafa, kalau urusan orang tua Hafa, Hafa yakin mereka pasti akan mengikuti apa mau Hafa dan Ago, karena memang sedari menikah Hafa sudah bukan tanggung jawab mereka lagi, khawatir pasti ada, namun biasanya orang tua Hafa akan menganggap itu sebagai proses pendewasaan.
Ago merasa bahwa pernikahan mereka tidak seperti pernikahan pada umumnya, yang pertama karena mereka masih tinggal di rumah kaluarga Ago yang di sana ada puluhan pekerja, kemudian yang selanjutnya karena mereka diselimuti oleh kemewahan, jadi Ago tidak bisa merasakan bagaimana susahnya membangun rumah tangga itu sendiri. Bukannya Ago tidak bersyukur, dia malah sangat bersyukur hanya saja dia tetaplah seorang kepala rumah tangga dalam keluarga kecilnya dengan Hafa, dia harus bertanggung jawab dan dia harus bisa menopang Hafa tanpa bantuan siapa pun termasuk orang tuanya.
"Kita pindah aja ya? Soalnya kita gak mungkin di sini terus-terusan, ini kan rumah mama sama papa, walaupun Kakak anak satu-satunya tetap aja kamu adalah tanggung jawab Kakak, lagian Kakak lihat kamu gak bebas di sini," jelas Ago.
Hafa mengangguk. "Hafa ikut Kakak aja, kan Kakak imamnya, nanti Hafa bantu bilang deh biar diizinin."
"Tapi nanti di sana gak ada pembantu, ke mana-mana kita bakal naik motor karena Kakak gak mau bawa mobil dari sini, soalnya mobil Kakak itu kan papa yang beliin," jelas Ago lagi.
"Hafa sih gak masalah, tapi Kakak gimana? Kalau meeting sama client, kayak waktu itu di luar kantor? Kakak naik motor gitu?"
"Mobil perusahaan ada kok, kamu tenang aja."
"Atau uang yang ada di ATM yang waktu itu Kakak kasih ke aku buat beli mobil aja gimana? Itukan jumlahnya banyak banget Hafa pake buat belanja online aja gak habis-habis," saran Hafa, uang yang berada di tangannya sekarang bahkan cukup untuk membeli dua mobil, kenapa Ago malah ingin hidup susah?
"Gak usah, itu buat kamu aja, buat belanja, lagian itu memang nafkah untuk kamu, mau kamu beliin apa aja terserah, kalau untuk mobil nanti Kakak ngirim desain lagi ke papa, kalau di terima dan bayarannya lumayan, baru Kakak beli mobil," jelas Ago lagi.
"Tapikan daripada di aku uangnya gak kepake juga mending buat beli mobil aja, biar Kakak gak kepanasan ke kantornya," ujar Hafa.
"Enggak, itu uang kamu, seumpama nanti kamu bakal kuliah uang itu buat bayar kuliah kamu, kalau pun enggak, kamu bebas buka usaha dengan uang itu," kata Ago.
Dan Hafa baru tahu kalau Ago berpikir sejauh itu, dia bahkan masih belum memikirkan akan ke mana dia selesai SMA nanti, kelas dua belas baru saja masuk ke semester genap, sepertinya Hafa baru akan memikirkannya nanti saat UN sudah dekat, lagipula ada Ago suaminya, Hafa masih belum yakin untuk kuliah atau menjadi ibu rumah tangga. List untuk kuliah ke Turki pun sudah terlupakan, Hafa tak pernah lagi menggali informasi soal itu.
Hafa mengeluarkan obat dari bungkusnya dan menyerahkannya pada Ago, setelah itu dia menyodorkan air putih untuk suaminya itu. "Kakak kok bisa sih berpikir sejauh itu? Aku aja yang bakal punya masa depan belum kepikiran," kata Hafa menatap Ago yang sedang meminum obatnya.
"Sebelumnya hidup Kakak gak berguna banget, tapi semenjak ada kamu, Kakak merasa perlu bertanggung jawab," kata Ago.
Hafa tersenyum dan mendaratkan ciuman ke pipi Ago. Membuat Ago kaget setengah mati.
***
Selesai salat isya, Hafa kembali mengecek suhu tubuh Ago, dia menempelkan tangannya di kening Ago dan ternyata badan Ago sudah tidak panas.
"Ya udah Hafa ke kamar ya," pamit Hafa, namun belum sempat Hafa melangkah Ago sudah menahan tangan Hafa.
"Kamu tidur sini aja," suruh Ago.
"Kenapa?"
"Temenin Kakak," pinta Ago. Sudah lama Hafa tak tidur bersama Ago, setelah beberapa bulan bahkan mereka baru kembali tidur bersama tadi siang saat Hafa pulang sekolah.
Hafa sudah kadung nyaman dengan kamarnya dan dirinya yang kembali merasa bahwa dia adalah gadis remaja SMA pada umumnya, bukan gadis remaja yang sudah menjadi istri orang.
Hafa akhirnya mengangguk dan bergabung bersama Ago di balik selimut, karena Ago menghadap ke arahnya, Hafa juga mau tak mau harus menghadap ke arah suaminya itu.
"Kamu cantik banget dan Kakak beruntung karena cuma Kakak yang bisa lihat kecantikan kamu secara sempurna," puji Ago membelai pipi Hafa.
Hafa hanya tersenyum, Ago mendekatkan wajahnya ke wajah Hafa, saat Hafa bisa merasakan embusan napas Ago dia memejamkan matanya. Ciuman ini berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, ciuman itu terjadi karena mereka saling mencintai, bukan karena amarah dan untuk kali ini Hafa tak menghentikan apa pun yang Ago lakukan.
***
Jangan lupa beri dukungan dengan cara vote dan komentar ya.
Terima kasih karena sudah membaca cerita ini💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top