[22] Beruntung
Di dalam mobil Hafa hanya bisa diam dan sesekali menelan ludahnya getir. Ago tampak tenang di balik kemudi, Hafa tak tahu apakah suaminya itu sedang marah atau tidak, tapi memangnya apa kesalahan Hafa? Karena ada Yusuf di sana? Mereka tidak duduk berdua, Hafa juga tidak ada maksud apa-apa dan dia yakin Yusuf juga tidak memiliki maksud lain.
"Kakak marah ya?" tanya Hafa akhirnya, dia terlalu pusing untuk menebak-nebak sendiri apa yang Ago rasakan.
"Untuk?" tanya Ago balik, dia tidak marah sebenarnya hanya sedang malas bebicara.
"Yusuf...," kata Hafa.
"Kalian gak ada hubungan apa-apa kan?"
Dengan cepat Hafa menggeleng. "Mana mungkin, Hafa kan istri Kakak," ujar Hafa dengan mata meyakinkan.
"Alhamdulillah kamu sadar, ya udah, Kakak gak marah," kata Ago.
"Tapi kok diem aja?"
"Terus harus gimana? Kakak gak punya bahan buat diobrolin."
"Kamu sendiri? Gak punya cerita buat diceritain? Kan kegiatan tadi kamu bilang banyak." Kini giliran Ago yang bertanya, dia mengambil tangan Hafa dan menggenggamnya, seperti biasa sesekali Ago menciumi punggung tangan Hafa.
"Ada yang ngeselin hari ini, sebenernya kesel sama diri sendiri sih, kan semalem udah ngerencanain bakal ke kafe sama pak Rudi tahunya aku lupa, jadi harus ngeropotin temen-temen deh," jelas Hafa memulai ceritanya, dia membiarkan saja Ago menciumi tangannya.
"Terus gimana jadinya?" tanya Ago pura-pura tidak tahu.
"Ya jadi jemputnya ke kafe bareng sama temen, naik mobilnya temen," lanjut Hafa.
"Kenapa gak nelepon pak Rudi aja?" tanya Ago lagi.
"Gak enak kebanyakan minta tolong, lagian kata temenku itu acara bersama jadi harus diperjuangin sama-sama."
"Tadi sebenarnya Kakak ada di sana loh," kata Ago.
"Di mana?" tanya Hafa.
"Di kafe."
"Hah? Jadi pas nelepon aku tadi Kakak sebenarnya tahu aku? Ih jahat banget, kok gak nyamperin, kesannya aku kayak gimana gitu," protes Hafa sambil menarik tangannya dari Ago dan melipatnya di depan dada.
"Tapi alhamdulillah ternyata kamu gak bohong, cuma satu kamu gak bilang kalau temen kamu cowok," tutur Ago sambil melirik ke arah Hafa.
"Ada ceweknya tahu! Dia lagi datang bulan jadi males jalan keluar!" beritahu Hafa dengan nada tidak santai.
"Beneran? Bukan cuma alibi kan?"
"Ya beneran lah, ngapain aku bohong?!"
Ago terkekeh dan menepuk puncak kepala Hafa, gemas juga melihat Hafa yang cemberut seperti itu.
"Kakak sendiri kenapa pagi-pagi udah sampe kafe? Nongkrong?" tanya Hafa sarkas.
"Enggak sayangku, cari nafkah buat beli rumah sama kamu nanti, client-nya minta buat meeting di kafe karena anak gadisnya yang lagi magang di kantornya minta ikut, biar suasananya gak terlalu tegang buat dia yang masih baru, jadinya pilih di kafe," jelas Ago.
"Anaknya cantik?"
"Iya!"
"Ck!" Hafa semakin memberengut dan membuang pandang ke arah jendela.
"Ada banyak yang cantik di dunia ini, tapi yang di hati Kakak cuma kamu." Ago mencubit pipi Hafa, lalu keluar dari mobil.
Mendapati Hafa masih di dalam dengan wajah cemberutnya Ago membukakan pintu dan mengambil tangan Hafa.
"Mau digendong?" tanya Ago sebab Hafa tak kunjung memberikan tanda kalau dia akan berdiri dan jalan masuk ke dalam rumah.
Buru-buru Hafa langsung turun dan meninggalkan Ago di belakangnya, Ago terkekeh lagi, dia tahu Hafa bukan tipe gadis yang suka bermanja-manja, barangkali saat ini kepedulian Ago lah yang sedang dia uji.
Ago mengikuti Hafa, bahkan saat gadis itu masuk ke dalam kamarnya.
"Kenapa Kakak ke sini? Kamar Kakak di sebelah," kata Hafa jutek.
"Iya tahu, Kakak cuma mau sama istri, karena ini kamar istri," kata Ago kemudian merebahkan dirinya di kasur Hafa, hanya jas yang sudah terlepas dari tubuhnya, kemeja putih dan celana bahannya masih setia di sana.
Hafa memilih abai dan langsung mandi di kamar mandi kamarnya, beberapa menit kemudian dia keluar dengan baju tidur celana panjang, namun bajunya lengan pendek.
"Kak!" panggil Hafa pasalnya Ago malah terlelap.
"Bentar lagi magrib, emangnya Kakak gak salat? Mandi dulu sana," suruh Hafa.
Karena Ago tak kunjung bangkit Hafa duduk di tepian kasurnya dan menggoyangkan tubuh suaminya itu, namun bukannya bangkit Ago malah menarik Hafa dan memeluknya kuat-kuat.
"Kak! Ih aku udah mandi tahu!" protes Hafa, Ago tersenyum dan menciumi seluruh permukaan wajah Hafa.
"Wangi," katanya setelahnya.
Hafa kemudian pasrah dan membiarkan Ago berbuat sesukanya, lalu beberapa saat kemudian mereka malah saling menatap.
"Capek ya?" tanya Hafa sambil membelai pipi Ago, ada keringat yang menempel di ruas pipi itu hingga membuat rambut Ago lepek.
Ago menggeleng lantas membawa tangan Hafa ke bibirnya dan menciumnya.
Hafa balas memeluk Ago dan menyerukkan kepalanya di leher sang suami, Ago belum mandi tapi tubuhnya masih wangi, mungkin karena parfume yang Ago gunakan memang tahan lama.
"Hidup adalah belajar, beberapa waktu hidup dengamu, Kakak banyak belajar, mulai sekarang Kakak gak bakal marah-marah lagi, karena lebih dari apa pun yang paling Kakak takutkan adalah kehilangan kamu," ujar Ago di ubun-ubun Hafa.
"Hafa juga banyak belajar, bisa dibilang yang paling tidak menginginkan pernikahan ini adalah aku, awalnya aku ngerasa takdirnya aneh banget, masa udah nikah di umur segini, makin ke sini Hafa makin sadar kalau ternyata ini adalah jawaban dari doa-doa Hafa, Hafa selalu berdoa supaya bisa dipersatukan sama orang yang Hafa cintai, karena Hafa gak mau pacaran, mungkin ini adalah jawabannya," terang Hafa, jujur dia sudah semakin sadar bahwa tidak ada yang salah menjalani hidup dengan Ago.
"Berarti kamu sayang Kakak?"
"Banget, bahkan Hafa jatuh cinta pada pandangan pertama setelah Hafa keluar dari pesantren, bang Hakim marah karena Hafa jatuh cintanya sama Kakak, bukannya sama temen rohis atau ketua rohis, tapi Hafa sendiri bahkan gak ngerti kenapa bisa cinta sama Kakak," terang Hafa lagi.
Bolehkah Ago merasa beruntung sekarang? Ago tahu ada banyak laki-laki di luar sana yang menginginkan Hafa namun ternyata Hafa malah mencintainya yang notabene adalah badboy kelas kakap.
Ago menciumi puncak kepala Hafa sebagai rasa syukurnya.
"Kakak merasa beban gak nikah sama Hafa? Soalnya sekarang Kakak kayak jarang nongkrong sama temen-temen, jarang keluar rumah, pasti gara-gara aku kan?" Hafa mendongakkan kepalanya untuk melihat ekspresi Ago.
"Dulu Kakak kayak gitu karena rumah ini rasanya hampa, Kakak gak punya alasan untuk bahagia di rumah ini, tapi sekarang kamu ada di sini, kebahagiaan Kakak ada di sini, Kakak rasa cukuplah kamu, Kakak gak perlu cari kebahagiaan lain lagi," terang Ago mencium kening Hafa.
Hafa semakin mengeratkan pelukannya. "Berat buat ninggalin itu semua?" tanya Hafa, bagaimanapun Hafa tahu bagaimana hidup yang Ago jalani sebelumnya, merokok, minum alkohol, balap liar dan dunia malam yang Hafa tidak tahu bentuknya, semua itu sangat akrab dengan Ago, juga Hakim.
"Jujur awalnya berat, berat banget, tapi balik lagi Kakak punya tujuan, Kakak punya motivasi yaitu kamu," kata Ago.
"Sekarang aja masih sering nyolong-nyolong buat ngerokok, tapi semaksimal mungkin satu hari cuma satu batang yang sebelumnya satu bungkus," jelas Ago lagi. Sepertinya ini adalah obrolan terpanjang mereka selama menikah dan Hafa menyukai ini, sepertinya mereka memang harus lebih banyak mengobrol agar hubungan mereka menjadi lebih baik.
"Gak apa-apa semuanya butuh proses," kata Hafa.
***
Malam ini Ago mengajak Hafa untuk duduk-duduk santai di taman kompleks, bahkan sampai malam seperti ini masih banyak anak-anak yang bermain basket.
"Satu lagi nikmat Allah yang sempat Hafa dustakan, yaitu bisa meluk Kakak sesuka hati, dulu aku selalu penasaran gimana sih pacaran itu dan ternyata Allah tunaikan langsung dengan pernikahan." Hafa menempelkan pipinya di lengan Ago.
"Kakak juga sebenarnya gak pernah pacaran, karena memang terjebak dalam mencintai kamu, jadi seolah gak ada ruang buat orang lain."
Hafa tersenyum, memang Ago nakal, cowok itu bisa dibilang berandalan, namun tak pernah sekalipun berpacaran, menggelikan memang saat Ago selalu bersama Hakim ke mana-mana.
"Berarti benar kalau jodoh itu cerminan diri," celetuk Hafa.
"Tapi Kakak gak saleh kayak kamu yang salihah," ujar Ago.
"Aku belum pantas dikatakan salihah Kak! Masih butuh banyak belajar sama Kakak." Ago mengangguk dan mengelus kepala Hafa, dia mengalihkan pandangannya ke depan manatap anak-anak yang masih tampak antusias.
Sementara itu, Hafa memainkan jari-jari tangan kiri Ago, tangan yang tertutip tatto hingga ke dadanya.
"Ada rencana nambah tatto Kak?" tanya Hafa, bukan dia mendukung dia hanya memancing benarkah Ago berniat untuk berubah.
"Enggak lah, ini aja nyesel sekarang takut kalau ibadahnya gak diterima Allah kan air wudhunya gak bisa masuk ke kulit."
Hafa tersenyum senang, memang jawaban itulah yang dia inginkan. "Allah itu tergantung bagaimana hambanya, kalau hati Kakak yakin dan ikhlas dalam beribadah sama Allah, InsyaAllah, Allah pasti terima," kata Hafa masih menyenderkan kepalanya di lengan kiri Ago.
"Makasih udah mau jadi imam Hafa," ucap Hafa.
"Justru Kakak yang harusnya berterima kasih karena kamu mau jadi makmum Kakak dan mengingatkan Kakak kalau salah, Kakak gak pernah nyangka kalau bakal menikah sama bidadari."
"Apaan sih Kak! Bidadari ya jauh lah," tolak Hafa namun pipinya tetap merona merah karena tersipu.
"Bidadari rumah kita, bidadari yang suatu saat akan menjadi kesayang anak-anak kita, bidadari di hati Kakak dan bidadari surganya Kakak, InsyaAllah."
"Amiiiin Allahumma aaaamiiiin," kata Hafa mengaminkan.
"Akan ada banyak yang lebih saleh di luaran sana, tapi yakinlah yang terus berusaha untuk menjadi pantas dengan kamu adalah Kakak, Kakak tak bisa menjanjikan surga, namun kalau kamu mau kita bisa usahakan sama-sama."
Hafa merasa tertampar dan berdosa sebab membandingkan Ago dengan Yusuf, ternyata Hafa selama ini hanya buta soal Ago, dia hanya tidak pernah melihat bertapa saleh laki-laki yang menikahinya.
Hafa mengangguk dan tanpa sadar air matanya meluruh, dia merasa terhormat saat Ago memintanya untuk sama-sama mencapai surga.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top