[19] Melepas Cincin Kawin

Sekarang Hafa dan Ago benar-benar sudah berpisah kamar, Ago tetap berada di kamarnya yang sebelumnya sementara itu Hafa menempati kamar tamu yang sebelumnya ditempati oleh Clarin.

Bahkan demi menghilangkan jejak Clarin di sana, Hafa meminta asisten rumah tangga di rumah Ago untuk mengganti seprei, gorden dan segala hal yang bisa diganti, mengingat wajahnya saja Hafa sudah enek, apalagi jika harus memakai barang yang sama.

Hafa sedang membereskan baju-bajunya, saat tak sengaja matanya menatap cincin di tangannya, dia mengerutkan dahinya.

"Apa terlalu mencolok ya?" tanya Hafa pada dirinya sendiri, terhitung sejak dia menikah Yuna sudah tahu, Ihsan dan Yusuf pun sepertinya penasaran.

"Lepas aja? Tapi nanti kak Ago marah," monolog Hafa lagi. Dia kemudian menghentikan pergerakannya dan berjalan menuju kamar Ago, sekarang apa pun yang ingin dia lakukan harus mendapat izin dari Ago, karena Ago adalah penanggung jawab hidupnya sekarang.

Hafa melongokkan kepalanya dari pintu untuk memastikan adakah Ago di dalam atau tidak, ternyata cowok itu baru saja keluar dari kamar mandi mengenakan celana kolor dan sedang menggosok rambutnya dengan handuk.

"Ada apa Fa?" tanya Ago dan Hafa langsung membuka lebar pintu kamar Ago lalu masuk ke sana.

"Kakak gak capek kan?" tanya Hafa, Ago baru saja pulang dari kantor Hafa tahu ada banyak pekerjaan yang harus suaminya handle selama kedua orang tuanya ada di Kuala Lumpur.

"Ada apa emang? Kamu mau ke suatu tempat?" tanya Ago.

"Enggak, aku cuma mau ngomong serius, Kakak duduk deh," pinta Hafa, Ago menurut dan duduk di hadapan Hafa di atas kasur.

"Boleh gak..."

"Boleh apa?" tanya Ago penasaran, Hafa terlihat ragu untuk menyampaikannya.

"Boleh gak, cincin nikahnya di lepas, soalnya Yuna udah tahu dan ada dua temen Hafa lagi yang kayaknya juga curiga, kan pernikahan ini rahasia setidaknya sampai Hafa lulus, menurut Kakak gimana? Bukannya Hafa gak mau disangka sebagai cewek yang udah nikah, tapi Hafa gak mau nantinya malah gak nyaman di sekolah," jelas Hafa, Ago menyimak dan kini tampak menimbang-nimbang.

"Harus banget dibuka? Dipindah ke jari yang kiri aja gimana?" tanya Ago, kalau sampai Hafa membukanya kesannya pernikahan ini hanya dijalani oleh Ago seorang.

"Tapi tetep aja Kak! Bentuknya aja udah kayak cincin kawin begini, beda banget sama cincin Hafa yang di kiri," ujar Hafa menunjukkan cincinnya yang diberikan kedua orang tuanya.

Ago tampak berpikir.

"Kalau Kakak gak ngizinin ya udah gak usah dilepas," kata Hafa berusaha membuat Ago tenang.

"Kakak juga gak mungkin biarin kamu merasa gak nyaman," kata Ago, ternyata risiko menikah dengan anak SMA adalah ini.

Ago kembali tampak berpikir, kemudian dia teringat akan sesuatu, dia lalu meninggalkan Hafa berjalan menuju ke lemari bajunya, membuka laci di sana dan mengambil sebuah kotak berwarna biru dongker.

Ago membawanya ke hadapan Hafa, lalu dia mengeluarkan sebuah benda dari dalam kotak berbentuk persegi panjang tersebut. Hafa hanya diam mendapati kalung emas di tangan Ago.

"Ini kalung turun-temurun dari nenek, dulu mama mau kasih ke Kakak tapi karena Kakak cowok dan dalam agama kita cowok gak boleh pake emas, jadi mama suruh simpen buat istri Kakak nantinya, dan ternyata istri Kakak kamu," jelas Ago.

Dia kemudian mengambil tangan Hafa dan mulai mengeluarkan cincin pernikahan mereka dari tangan Hafa, setelahnya Ago memasang cincin tersebut ke kalung itu, cincin itu seketika bergabung dengan hiasan kalung itu yang berbentuk hati. Ago menyuruh Hafa berbalik dan menyingkap rambut Hafa dari leher belakang cewek itu, Ago langsung memasangkan kalung tersebut ke leher Hafa.

Setelah terpasang, Ago mendekatkan bibirnya ke telinga Hafa, lantas berbisik, "selagi kita masih bersama jangan pernah dilepas."

Hafa menunduk untuk melihat kalung di lehernya, benar juga, jika dipasang seperti ini tidak akan ada yang melihat.

"Oh iya, hari minggu nanti aku mau ada taklim di sekolah, boleh kan?" tanya Hafa.

Ago mengangguk dan menepuk puncak kepala Hafa. "Asal itu kegiatan yang baik, Kakak akan selalu setuju," kata Ago.

"Makasih Kak!" sorak Hafa yang membuat Ago semakin gemas.

***

Hafa merasa dirinya kembali, kembali menjadi Hafa yang dulu, Hafa yang belum menikah dan Hafa yang tidak harus berbagi kasur dengan Ago. Kamar tamu ini kini disulap menjadi kamarnya, Hafa merasa nyaman, apalagi tak harus mendengar suara berisik Ago yang hampir setiap malam tak pernah melewatkan bermain game.

Hafa memilih bangkit dari kasur untuk menuruti perutnya yang keroncongan, dia memang belum makan malam dan entahlah dengan Ago, pisah kamar membuat mereka berlaku seperti tidak memiliki hubungan, Ago selalu ingin menegur Hafa, atau setidaknya mengajak Hafa makan bersama, tapi rasanya sangat sulit, maka mereka selalu melakukan kegiatan secara terpisah.

Hafa berjalan ke meja makan dan meja itu bersih tidak ada makanan di sana. "Mbok Jum tadi siang pulang Fa, jadi gak sempet masak," kata mbak Nia salah seorang pembantu rumah tangga Ago yang kerjanya adalah membereskan rumah, sepertinya mbak Nia juga akan segera pulang karena bisa dibilang dia satu-satunya pekerja rumah tangga rumah Ago yang tidak tinggal di rumah itu.

"Jadi kak Ago juga belum makan?" tanya Hafa khawatir, Ago sedang sangat kelelahan hari ini, bagaimana mungkin dia belum makan sampai sekarang? Ini sudah jam tujuh malam.

"Kita makan di luar aja, mungkin mbok Jum ada keperluan," kata Ago berjalan di tangga sambil berusaha memakai jaket.

"Iya memang suami mbok Jum lagi sakit, makanya harus pulang tadi sore, kayaknya bakal lama juga, kan mbok Jum tinggalnya di Magelang, palingan seminggu baru balik lagi ke Jakarta," jelas mbak Nia.

"Udah lapor sama mama papa kan Mbak?" tanya Ago.

"Udah Go, tapi pesennya nyonya katanya suruh makan terbang aja," terang mbak Kia lagi.

"Enggak usahlah, besok kita belanja ya Kak? Biar Hafa aja yang masak," ujar Hafa.

Memang tugas-tugas pekerja di rumah Ago sudah ditentukan, nah tugas mbok Jum adalah soal dapur, tapi karena mbok Jum sedang cuti sepertinya dapur akan terbengkalai.

"Kalau begitu biar saya aja, soalnya kata Nyonya, Hafa gak boleh sampai capek," kata mbak Nia tidak enak hati, mbak Nia sebenarnya bisa saja menggantikan mbok Jum, namun dikhawatirkan orang-orang di rumah itu tidak cocok dengan masakannya.

"Enggak usah, biar Hafa aja, kak Ago suka kok masakan Hafa, ya kan Kak?"

Kemudian Ago mengangguk. "Ya udah mbak, gak apa-apa biar Hafa aja," ujar Ago menengahi.

"Ya udah ayok, Kakak udah laper banget nih," ujar Ago mengintrupsi Hafa.

Hafa menoleh ke arah Ago. "Ya udah aku ke kamar dulu bentar," kata Hafa.

"Gak usah, gini aja, udah cantik kok kamu," kata Ago berusaha menahan tangan Hafa.

"Aku mau ganti kerudung Kak, mau pake warna hitam aja," kata Hafa berusaha jalan lagi menaiki tangga.

"Enggak, warna maroon ini bagus kok," ujar Ago bersikeras.

"Tapi Hafa harus ke kamar dulu Kak!"

"Gak usah, Kakak udah laper kita langsung berangkat."

"Tapi Hafa gak pake bra," kata Hafa yang langsung membuat Ago melepaskan tangan istrinya itu.

"Hafa harus pake bra dulu," kesal Hafa yang langsung tancap gas menuju kamar.

Cowok mana paham rasanya jadi cewek, tahunya maksa terus, gerutu Hafa dalam hati. Tidak memakai bra setelah mandi sore memang sudah menjadi kebiasaan Hafa, karena terkadang kulit Hafa alergi dengan karet bra yang langsung menempel pada kulit.

Beberapa menit kemudian Hafa turun lagi ke bawah, dia masih tetap mengenakan baju tidur hanya saja kerudung instan yang sebelumnya berwarna maroon kini berganti menjadi hitam, Hafa sendiri mengenakan baju tidur berwarna abu-abu cerah lengkap dengan celana panjangnya, dia juga memakai kaus kaki karena kaki juga merupakan bagian dari auratnya.

Ago yang sebelumnya duduk di kursi meja makan langsung bangkit berniat langsung mengajak Hafa jalan.

Hafa langsung berjalan di sisi Ago menuju ke garasi.

"Naik motor atau jalan kaki aja? Soalnya Kakak lagi pengen makan nasi goreng depan komplek," kata Ago meminta pendapat.

"Menurut Kakak gimana? Aku ikut aja," kata Hafa.

"Kalau jalan lama, Kakak udah laper banget," kata Ago.

"Ya udah naik motor aja," usul Hafa.

"Dingin," kata Ago lagi.

"Gini juga kalau Kakak kelamaan mikir kita gak bakal makan juga sampai nanti!" kesal Hafa.

"Hehehe, ya udah deh naik motor aja," ujar Ago yang langsung naik ke atas motor, Hafa menyusul naik ke atas boncengannya.

"Biar kamu gak jatuh," kata Ago setelah dia melingkarkan tangan Hafa di perutnya.

Hafa hanya diam saat sepanjang jalan Ago terus memegangi perutnya, sungguh Hafa sudah sering naik motor bersama Hakim, Hafa juga tahu caranya duduk di boncengan dengan baik, dia tidak akan jatuh, kenapa Ago terlalu lebay?

Benar saja tak sampai tiga menit mereka berkendara, mereka telah sampai depan sebuah penjual nasi goreng pinggir jalan.

"Kalau segini doang, mending tadi jalan kaki aja Kak!" kata Hafa turun dari motor.

"Iya sih, tapi ya udah deh, udah sampe sini."

Hafa duduk di salah satu bangku dan Ago memesan pada sang penjual.

"Btw, ini kayaknya pertama kalinya kita makan malem di luar," tutur Ago saat dia sudah mendudukkan dirinya di salah satu kursi depan Hafa.

"Iya ya?" Hafa tertawa dia juga baru sadar, namanya juga nikah karena terpaksa, wajar saja kalau tidak ada manis-manisnya.

"Ago udah punya pacar ya? Hakim gak cemburu tuh?" canda tukang nasi goreng yang memang sudah langganan Ago, dia biasa ke sini bersama Hakim. Lagipula sering kali mereka disangka homo karena ke mana-mana berdua.

"Istri gue nih Bang, adeknya Hakim."

"Wah udah nikah Go?! Pantes gak pernah nongkrong sini," kata bang Lifi biasa Ago menyapanya.

"Hehe iya Bang," kata Ago kikuk. Sementara itu Hafa hanya bisa tersenyum pada abang penjual nasi goreng.

"Gak jadi sama abangnya, sama adeknya ya Go," celetuk abang nasi goreng lagi.

"Apasih Bang! Gue normal tahu!"

Kemudian Hafa hanya tertawa menyusul pelanggan yang lain juga ikut tertawa.

"Jangan dengerin ya Fa! Sumpah Kakak masih normal," kata Ago berusaha meyakinkan Hafa.

"Yakin?"

"Mau bukti?"

Kemudian Hafa langsung diam seribu bahasa, niatnya menyudutkan Ago, malah dia yang tersudut.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top