[13] Fakta Mengejutkan

"Kakak gak makan juga?" tanya Hafa, pasalnya Ago sekarang berada di meja makan bersamanya namun hanya dia yang makan.

"Kakak tadi udah makan di luar sekalian belanja sama Clarin," jelas Ago.

Hafa hanya membentuk bibirnya menjadi "o" dan melanjutkan makannya.

"Aku juga gak ditemenin gak apa-apa," kata Hafa.

"Gak apa-apa Hafa! Biar Kakak temenin," ujar Ago.

Setelah selesai makan Hafa membawa piringnya ke wastafel dan mencucinya lantas kembali ke meja makan, kemudian memakan apel.

"Emang belanja apaan?" tanya Hafa basa-basi.

"Belanja bahan buat disimpen di kulkas," jawab Ago.

"Oh gitu." Hafa mengangguk-angguk paham. Dia melanjutkan makan apelnya.

Di tengah asiknya Hafa mengunyah apel, Ago menarik tangan Hafa dan menggigit apel yang ada di tangan istrinya itu.

"Padahal itu masih banyak," gerutu Hafa.

"Tapi yang enak kayaknya yang ada di tangan Adek," kata Ago. Membuat Hafa membuang pandangan menuju luar jendela.

Di dapur hanya ada mereka berdua, jadi Ago bebas menggoda Hafa tanpa harus takut ada yang meledek.

"Sekarang kalau butuh apa-apa bilang sama Kakak aja ya, soalnya kamu sekarang kan tanggung jawab Kakak," ujar Ago, lalu dia menarik lagi tangan Hafa dan sekali lagi menggigit apel yang ada di tangan Hafa.

"Oh iya ya, Kakak kan masih kuliah, terus kita dapet duit buat keperluan rumah tangga gimana?" tanya Hafa polos.

Ago terkekeh dan menepuk-nepuk puncak kepala Hafa. "Kakak bakal kerja di kantor papa, di kantor mama juga, part time, jadi kerjanya kalau lagi gak kuliah," jelas Ago. Jadi kedua orang tua Ago memiliki dua usaha yang berbeda, mamanya tergabung dalam perusahaan keluarga yang bergerak di bidang tour dan travel, sementara papanya bergerak dibidang properti.

Hafa berjalan menuju tempat sampah dan membuang batang tengah apel yang barusan dimakannya. Setelah itu dia kembali lagi ke hadapan Ago, sepertinya baru kali ini mereka mengobrol.

"Btw, jadinya aneh loh Kak, Kakak jadi lembut gini, soalnya biasanya aku lihatnya di rumah kan pas lagi kumpul sama temen-temen gitu, kayaknya kasar banget, pas jadi lembut gini, agak aneh," celetuk Hafa.

Ago menarik kedua pipi Hafa. "Gak tahu kalau berhadapan sama kamu gak bisa aja gitu kasar-kasar, lagian kamu terlalu lucu untuk dikasari, Kakak juga gak ada alasan buat kasar sama kamu, mana dari dulu pengen panggil adek, gara-gara sering ngedenger Hakim manggil adek."

"Tapi tadi malem ngomong kasar pas main game."

"Iya belum bisa hilang sepenuhnya nih, nanti lama-lama sama kamu kan bisa hilang sendiri," kata Ago.

"Tapi kalau dari tampilannya sih Kakak lebih cocok ngomong kasar, kayak badboy gitu," pendapat Hafa.

"Enggak kasar deng lebih ke cool gitu, like a cowok-cowok dingin di novel-novel gitu," lanjut Hafa lagi.

"Iya kan lembutnya cuma sama Adek."

"Gak cocok tahuuu."

"Belum terbiasa."

"Mau jalan-jalan gak? Keliling kompleks biar kamu tahu denah kompleks ini biar kalau naik angkot turunnya di depan gak nyasar," tawar Ago.

"Boleh."

***

Ago menggandeng tangan Hafa, Hafa juga menggamit lengan Ago dengan manjanya, dia mulai terbiasa dengan keberadaan Ago, dengan sentuhan kulit mereka.

Saat sudah berada di luar Hafa baru tahu kalau rumah keluarga Ago sangat besar.

"Rumahnya gede-gede ya," celetuk Hafa.

"Gedean juga cinta Kakak ke Adek." Seketika Hafa mendaratkan cubitan maut ke perut Ago.

"Serius tahu," ujar Ago mempertegas.

"Gak penting banget."

Mereka terus berjalan beriringan, sesekali Ago menjelaskan siapa yang tinggal di rumah yang mereka lewati, beberapa memang ada yang Ago kenal, bahkan merupakan teman sepermainannya saat kecil dulu.

"Mini market gak ada yang di dalem, semuanya di luar, tapi pas depan gerbang kompleks ada kok, mana tahu kamu butuh sesutu," jelas Ago, Hafa mengangguk mengerti, dia masih bergelayutan di lengan Ago, dulu dia seperti ini pada Hakim, namun sekarang ada Ago juga yang bisa dia tempel-tempel.

Mereka benar-benar terlihat sebagai pengantin baru yang menikah karena cinta, bukan karena terpaksa.

"Terus di sini cuma ada rumah semua?" tanya Hafa.

"Gak jauh dari sini ada taman, ada lapangan basketnya juga, kamu kalau bosen jangan ke sana ya," pinta Ago.

"Kenapa?" tanya Hafa heran, justru di rumah sebelumnya Hafa sangat senang nongkrong di taman walau hanya sekedar mendengarkan murotal.

"Banyak yang ganteng soalnya," jawab Ago.

"Tiap hari ah ke sana," kata Hafa bercanda.

"Ngapain?"

"Lihat orang gantenglah."

"Di rumah juga ada."

"Siapa? Kakak?"

"Iyalah siapa lagi?"

"Dih pede."

"Biarin sama istri sendiri ini."

Hafa hanya memasang ekspresi tak jelas dan terus berjalan bersama Ago. Tanpa mereka sadari dari lantai dua rumah Ago sepasang mata mengawasi mereka sejak tadi.

Ago dan Hafa sampai di taman, Ago menyuruh Hafa untuk duduk, dia pergi sebentar kemudian kembali dengan membawa es krim.

"Ada untungnya juga nikahin adek sahabat sendiri, jadi tahu kesukaannya," kata Ago sambil menyerahkan es krim itu pada Hafa.

Hafa menerima es krim itu dengan senang hati. "Terus apa lagi yang aku suka yang Kakak tahu?"

"Martabak!"

"Ih bener banget." Hafa mendekat dan semakin menempel pada Ago.

Mereka berdua menikmati es krim sambil melihat anak-anak yang bermain di taman itu, ada yang hanya berlarian ke sana kemari, ada pula yang berebut ayunan.

"Nanti mau punya anak berapa?" tanya Ago, entah kenapa dia tiba-tiba penasaran soal itu.

"Harus sekarang banget bahas soal anak? Kakak lupa aku masih SMA?"

"Nanya doang, kan pasti suatu saat kita harus punya anak."

"Kakak maunya berapa, aku mah ikut ajalah, belum kepikiran soalnya, nikah aja masih kaget."

"Kakak punya cita-cita beranak banyak, soalnya jadi anak tunggal gak enak banget," ujar Ago.

"Ya udah nanti deh kita pikirin lagi," kata Hafa.

Ago setuju, Ago juga sebenarnya masih sangat muda, umurnya masih dua puluh tahun, mereka menikah dalam usia yang sangat muda, jadi perihal anak sepertinya masih terlalu jauh. Apalagi Hafa masih sekolah dan Ago juga belum memiliki pekerjaan tetap.

Hafa berpikir untuk saat ini dia hanya harus menikmati masa-masa pacaran seperti ini bersama Ago, perihal punya anak urusannya nanti.

"Kakak pernah main basket di sini?" tanya Hafa.

"Pernah terus banyak cewek-cewek yang jejeritan."

"Nyesel deh nanya."

"Kalau pengen pulang ke rumah mama sama papa bilang ya Fa, biar Kakak aja yang anterin, mana tahu kamu kangen."

Hafa mengangguk. "Kakak dulu sering banget ke rumah, kalau emang mau main sama abang, atau sama temen-temen yang lain juga gak apa-apa kok Kak," tutur Hafa.

"Makasih ya," ucap Ago, jujur Ago memang sangat suka nongkrong karena rumahnya sangat sepi, tapi setelah ini sepertinya akan agak sedikit berkurang karena sudah ada Hafa.

***

Hafa akan membawa segelas air putih ke kamar saat Clarin menahannya. "Kita belum pernah ngobrol, mau ngobrol?" tawar Clarin.

"Emmm, oke tapi jangan lama-lama ya, soalnya aku besok harus sekolah jadi kalau tidur kemaleman takutnya gak bisa kebangun." Clarin mengangguk dia berjalan menuju ke teras belakang, Hafa meletakkan air putihnya ke atas meja dan mengikuti Clarin.

Clarin duduk di ayunan belakang sambil menaikkan kakinya, Hafa ikut duduk di sampingnya.

"Gue suka sama Ago, bahkan mungkin sebelum lo kenal dia."

Hafa menelan ludahnya, belum apa-apa tapi Clarin langsung mengatakan itu. Dia berusaha menetralkan ekpresinya dan bersiap mendengarkan kelanjutan cerita Clarin.

"Gue kaget dan sedih pas denger dia nikah, gue tambah kaget lagi saat lihat istrinya, gue gak tahu apa yang terjadi sama Ago, tapi kayaknya seleranya rendahan banget, seorang Ago yang penampilannya aja udah kayak gitu, tapi malah nikah sama cewek kayak lo, yang maaf sangat biasa aja," terang Clarin.

Hafa menarik napasnya, penampilannya selama ini memang sangat biasa, baju rumahannya diisi dengan gamis rumahan dan baju tidur, lalu hijab instan, Hafa baru akan memakai hijab segi empat saat ada acara. Memang penampilannya selama ini sangat biasa saja, tapi apa yang luar biasa seperti Clarin yang terlampau terbuka? sampai belahan dadanya saja tak terkontrol, Hafa merasa dirinya terlalu berharga untuk itu. Jika benar penampilan yang luar biasa itu seperti penampilan Clarin, maka Hafa tidak akan pernah melakukannya, sekalipun Ago menginginkan itu.

"Dulu gue mundur karena gue kira Ago suka sama sahabatnya, Niana, jujur kalau sama Niana gue minder karena dia keturunan Jerman cantik banget," lanjut Clarin, Hafa? Terkejut selama ini dia mengira sahabat Ago hanya Hakim.

"Sahabat? Bukannya sahabatnya kak Ago cuma bang Hakim ya?" tanya Hafa.

"Niana dulu tinggal di sebelah rumah ini, terus dia pindah saat SMP, enggak tahu ke mana, maka dari itu Ago lebih terlihat dekat dengan Hakim."

"Ternyata selera Ago cewek kayak lo, gue jadi merasa pantes untuk berjuang," kata Clarin. Dulu Hafa sempat takut untuk tinggal dengan mertua karena khawatir mertuanya cerewet dan kini ketakutan itu hilang karena faktanya kedua mertuanya sangat baik. Rupanya ujian Hafa bukan menghadapi mertua, melainkan menghadapi sepupu Ago yang satu ini.

"Udah selesai?" tanya Hafa, sudah cukup dia tidak ingin mendengar yang lain lagi.

"Aku balik ke kamar dulu, kak Ago udah nunggu."

Clarin tertawa jemawa mendengar itu. "Kita lihat aja nanti," katanya.

Hafa memilih tetap melanjutkan perjalanannya menuju ke kamar. Ago selalu terbangun tengah malam untuk minum, maka dari itu tak lupa Hafa menyambar gelas yang sebelumnya dia letakkan di atas meja.

Mendengar semua penuturan Clarin, Hafa malah semakin tidak tertarik dengan pernikahan ini, padahal sebelumnya dia sudah berpikir positif bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa dia bisa melalui ini semua bersama Ago.

Hafa masuk ke kamar, meletakkan gelas di atas nakas lantas berbaring di atas kasur. Ago bingung dengan keterdiaman Hafa. Dia menyentuh bahu Hafa dan menyuruh Hafa menghadapnya.

Hafa menurut saja, Ago adalah suaminya, mulai sekarang kata-kata Ago harus dia turuti.

"Kenapa?" tanya Ago mengelus pipi Hafa.

"Kakak jawab jujur ya," pinta Hafa.

"Soal?"

"Malem itu, pas hujan, Kakak dari mana emang? Jawab jujur!"

"Kakak... gak dari mana-mana, Kakak dari rumah, Hakim bilang kalau kamu sendirian, jujur awalnya Kakak mau perkosa kamu, Kakak mau memiliki kamu sepenuhnya jadi Kakak ke sana, untungnya Allah sayang banget sama kamu jadi niat jahat Kakak gak jadi terealisasi,  Kakak sengaja bawa motor biar kamu izinin masuk, terus Kakak juga sengaja menampakkan diri pas papa sama mama pulang."

"Oh gitu." Sekarang Hafa tahu dia benar-benar dijebak, ternyata Ago sangat jahat.

"Kakak cinta sama kamu, tapi kamu gak mau pacaran, jadi cara cepat untuk memiliki kamu adalah dengan begitu." Hafa ingin menguji benarkah Ago mencintainya sejak lama atau tidak, ternyata Ago memang mencintainya bukan Niana yang seperti Clarin katakan, tapi tetap saja fakta lain dari cerita ini membuat Hafa terluka.

"Maaf karena cara Kakak mencintaimu seperti ini."

Hafa mengangguk. "Aku tidurnya madep kiri ya?" Hafa meminta izin.

Dan Ago hanya bisa mengangguk. Hafa membenci cara Ago, dia sibuk mendoakan kebaikan cowok itu sementara Ago malah menjebaknya. Perlahan lelehan air mata mengalir dari sudut mata Hafa, sesegera mungkin dia memejamkan matanya berusaha melupakan apa pun yag didengarnya dari Clarin juga Ago.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top