[10] Sudah Menjadi Menantu

Perlahan namun pasti Ago membuka matanya, azdan subuh menyadarkannya dari tidur, dua hari belakangan, dia berusaha untuk terbangun saat subuh karena dia harus mempersiapkan diri untuk menjadi imam yang pantas untuk Hafa. Bahkan tadi malam dia berdoa pada Allah agar dibangunkan lebih dulu daripada Hafa.

Ago terkejut saat mendapati wajah Hafa tepat di depan wajahnya, bahkan dia bisa menikmati wajah cantik Hafa dengan posisi sedekat ini, Ago berharap waktu berhenti untuk beberapa menit ke depan, sebab dia masih ingin menikmati wajah tenang di depannya.

Namun adzan sudah hampir selesai, dia harus segera membangunkan Hafa, meski tidur Hafa sangat pulas tetap saja mereka harus melaksanakan kewajiban. Ago menempelkan telapak tangannya ke pipi Hafa, mengelus pipi itu hingga siempunya membuka mata.

"Salat subuh," kata Ago.

Hafa bangkit dari posisi tidurnya dan duduk di atas kasur. "Kakak ngambil wudhu duluan aja," suruh Hafa.

Ago mengangguk dan masuk ke kamar mandi, Hafa sendiri mulai menyiapkan peralatan salat untuk Ago seperti sarung dan sajadah. Tak lama Ago keluar dari kamar mandi dengan wajah dan rambut basah, Hafa yang tidak ingin terpesona sepagi ini memilih langsung masuk ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian dia keluar dan terkejut mendapati Ago belum memulai salatnya. "Kenapa Kakak belum mulai?" tanya Hafa.

"Nunggu kamu, berjamaah," kata Ago.

Hafa mengangguk dan langsung menuju ke rak mukena lantas memakainya, dia biasa salat dua rakaat sebelum subuh, namun karena Ago sudah memulai salat subuh mau tak mau sebagai makmum Hafa mengikut saja.

Selesai salat, Hafa mencium tangan Ago, ini adalah salat berjamaah pertama mereka, semalam Hafa salat magrib dan isya sendirian dan Ago tidak salat sepertinya.

Ago belum hafal bacaan doa dalam bahasa arab, jadi dia hanya menengadahkan tangannya dan berdoa dalam hati, Hafa juga sama, dia paham mungkin Ago masih belajar jadi dia berdoa sendiri.

Setelah selesai keduanya tidak tahu harus berbuat apa lagi, di luar terdengar suara-suara, mungkin saudara-saudara yang lain juga sedang bersiap untuk salat subuh.

Hafa hanya duduk di tepi kasur sambil menyisir rambutnya, sementara itu Ago memainkan ponselnya di atas sofa.

Biasanya di jam segini Hafa akan mulai menyusun buku mata pelajaran sekolah, namun karena dia libur dua hari jadi hari ini dia juga belum masuk sekolah.

"Mulai hari ini kita bakal tinggal di rumah orang tua Kakak," kata Ago.

Hafa meletakkan sisirnya dan menatap Ago. "Kenapa?" tanya Hafa, dia hanya tahu kalau hari ini akan ada acara di rumah keluarga Ago, karena Ago adalah anak satu-satunya jadi akan ada pesta kecil-kecilan di sana.

"Karena kamu udah jadi tanggung jawab Kakak, jadi kamu harus ikut Kakak, lagian di sana selalu sepi kok jarang ada orang di rumah kecuali pembantu, kita juga nanti tinggal di kamar yang terpisah, kamu tenang aja," jelas Ago.

Hafa agak bersyukur sebanarnya karena Ago sangat memahami dirinya, dia mungkin memang mencintai Ago, Hafa juga berusaha menerima pernikahan ini, namun apa yang terjadi kini masih tetap konyol menurutnya.

Kemudian kembali hening, pisah kamar tenyata memang jalan yang terbaik, karena terjebak dalam situasi seperti ini sangat tidak enak.

Setelah beberapa menit sibuk dengan ponsel masing-masing, keduanya akhirnya memutuskan untuk keluar kamar, tepat saat mereka keluar ternyata Hakim juga keluar. Tanpa permisi Hakim merangkul Hafa dan membiarkan Ago berjalan di belakangnya.

Kana hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan Hakim yang seolah masih tidak rela. "Biasanya jam segini Abang masih di masjid," kata Hafa.

"Iya, tadi jemaahnya di rumah, Abang imamnya, kata papa biar terbiasa," jelas Hakim, dia selama ini memang selalu dipaksa oleh papanya untuk salat di masjid komplek saat subuh, meski bandel seperti itu Hakim harus mau mengikuti perintah papanya termasuk belajar menjadi imam.

Mereka sampai di garasi, tempat di mana sarapan pagi ini akan dilaksanakan, meja makan tidak muat menampung mereka semua.

"Tadi semuanya ikut jamaah, kalian doang yang gak ikut," kata Hakim setelah mengambil tempat di karpet yang menjadi lokasi sarapan.

"Tapi kita jamaah kok, kak Ago imamnya," kata Hafa terang-terangan.

Mendengar itu para ibu tersenyum, begitu juga para sepupu cewek yang sudah remaja, sementara yang cowok tak ambil pusing, hanya Hakim sendiri sepertinya yang heboh.

"Serius? Ago?" Dia lantas menatap Ago, sementara itu Ago membuang pandangan dari Hakim, dia malah menatap hal lain agar tak perlu menjelaskan apa pun pada Hakim.

Diawali dengan doa, sarapan dimulai, Hafa selayaknya seorang istri memberikan segala yang Ago butuhkan, mulai dari mengambilkan nasi, lauk-pauk dan minum. Interaksi pengantim muda itu membuat hampir semua yang ada di sana gemas, Hafa terlihat kaku memang, tapi dia benar-benar berusaha dan Ago menerima saja lauk apa yang Hafa rekomendasikan.

***

Kedua orang tua Ago sudah sampai di kediaman keluarga Hafa, keduanya meminta izin untuk membawa Hafa ke rumah mereka dan mengundang keluarga Hafa untuk datang ke rumah mereka karena sedang ada acara di sana.

Dengan air mata haru Kana memeluk tubuh Hafa yang mulai hari ini akan resmi pindah ke rumah Ago, Hafa juga menangis, meski dia seringkali membuat mamanya kesal karena membuat dapur berantakan, tapi dia tetaplah anak perempuan yang sangat akrab dengan mamanya.

"Baik-baik ya di sana, nurut kata suami," pesan Kana. Hafa mengangguk.

Lalu dia beralih ke papanya, sama, Hafa juga memeluk papanya itu, Yuda mencium puncak kepala Hafa berkali-kali. Kemudian Hakim, tentu saja Hakim juga menciumi puncak kepala Hafa, dia sangat menyayangi Hafa lebih dari apa pun. Setelahnya Hafa memeluk para tante dan sepupu perempuannya, lalu menyalami om-omnya dan para sepupu laki-lakinya.

Setelahnya, Hafa berpamitan untuk ikut keluarga Ago. Dia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah yang sudah ditinggalinya selama kurang lebih tujuh belas tahun. Ago yang menyetir di sampingnya hanya sesekali melirik kemudian kembali fokus pada jalanan.

Beberapa menit kemudian mobil sampai di kediaman keluarga Ago, rumah itu sudah ramai dengan sanak saudara yang hadir untuk memberikan selamat ke pada mereka berdua. Acara hari ini akan dilaksanakan di halaman belakang rumah yang sudah didekor sedemikian rupa.

Kedua orang tua Ago turun duluan, sementara itu Ago membawakan koper Hafa dan menggandeng istrinya itu masuk ke dalam rumah, meski ada ketidakikhlasan dalam hati Hafa, namun dia harus tetap terlihat layaknya pasangan normal.

Mereka menyalami nenek-kakek dan oma-opa Ago. Lalu dilanjut budhe-pakdenya kemudian om dan tantenya lalu para sepupunya untuk berkenalan. Ternyata acara di rumah Ago lebih meriah daripada di rumahnya, Hafa bahkan ketar-ketir takut kalau-kalau ada teman sekelasnya yang hadir.

Pernikahannya sangat dirahasiakan dari siswa dan siswi SMA Pengubah Bangsa, bahkan Hafa melarang keras papanya mengundang orang tua dari temannya satu sekolah, Hafa tak mau gosip beredar, biarlah semua ini menjadi rahasia dulu, nanti disaat yang tepat biarkan semuanya terungkap dengan sendirinya. Memang ada seorang guru yang datang kemarin, namun guru tersebut adalah teman baik papanya, lagipula guru laki-laki, kemungkinan bergosip kecil.

Ago menarik tangan Hafa menuju ke lantai dua, setelah sampai di atas dia membuka salah satu pintu, kamar itu biasa menjadi kamar tamu, namun Ago berpikir itu akan menjadi kamar Hafa sekarang. Tapi, ternyata di kamar itu sudah banyak koper-koper milik saudaranya, bahkan seorang gadis rebahan di atas kasur.

"Ago!" pekik gadis itu yang langsung beranjak dari kasur dan menghampiri Ago.

Dia mencium pipi Ago lantas bertanya, "apa kabar?"

Ago yang tidak enak dengan Hafa takut-takut menatap istrinya itu yang ternyata cuek bebek. "Baik," kata Ago.

"Kenalin Hafa, istri gue," ujar Ago.

Gadis itu mengulurkan tangannya dan dibalas oleh Hafa.

"Clarin," katanya.

"Hafa," balas Hafa.

Clarin mengamati Hafa dari atas sampai bawah, kemudian memasang tampang bertanya pada Ago, serius lo suka cewek model begini?

"Ya udah kita ke kamar dulu ya," pamit Ago tanpa menunggu persetujuan Clarin, gadis berambut ombre biru yang merupakan sepupu Ago itu memang suka kurang ajar semenjak kuliah di Amerika, mungkin dia terpengaruh budaya Barat, di sana mencium pipi adalah hal yang lumrah, namun tentu saja tidak pantas jika dilakukan di Indonesia, Ago tidak mau Hafa salah paham.

Kini Ago membuka pintu kamarnya yang tak disangka telah disulap menjadi kamar pengantin dengan dekorasi di mana-mana. Padahal Ago sudah mengatakan pada kedua orang tuanya kalau Hafa masih sekolah, mereka akan tinggal dalam kamar yang terpisah, namun ternyata orang tuanya benar-benar keras kepala.

Ago menggaruk tengkuknya. "Sementara kamu di sini dulu ya, kita satu kamar lagi, soalnya kamu lihat sendiri kan kamar yang harusnya jadi kamar kamu masih ditempati sama saudara Kakak," kata Ago.

Hafa hanya mengangguk, toh tak ada yang terjadi saat tadi malam mereka berada dalam satu kamar dengan kasur Hafa yang sempit, rasanya sekali lagi tidak akan masalah karena kasur Ago lebih besar mereka bisa tidur saling berjauhan tak perlu sedekat kemarin.

Ago kemudian menggeret koper Hafa masuk ke dalam kamar, mereka berdua terduduk di kasur lantas memerhatikan dekorasi kamar itu yang cukup heboh.

Padahal kamar Ago sebelumnya sangat maskulin dengan nuansa abu-abu tapi bisa berubah menjadi sangat romansa seperti ini. Ada sekotak kelopak mawar yang diletakkan di atas meja, uniknya kotak tersebut berbentuk hati. Mata Hafa berhenti pada sebuah gambar desain rumah yang terpampang di tembok kamar itu.

"Itu desain rumah siapa?" tanya Hafa.

"Itu rumah impian Kakak sama kamu nantinya," jawab Ago, Hafa sampai menoleh menatapnya, serius Ago berpikir sejauh itu?

Ago hanya menipiskan bibirnya, bagaimana menjelaskannya? Desain rumah tersebut memang Ago buat sendiri dengan tangannya, rumah itu menjadi rumah impiannya dan karena Hafa sekarang adalah bagian dari hidupnya, maka rumah itu akan menjadi impian mereka bersama. pada akhirnya keheningan menyelimuti mereka kembali.

"Jangan salah sangka sama Clarin ya," kata Ago membuka pembicaraan kembali.

"Kenapa?" tanya Hafa, sedari awal dia memang sudah tak ambil pusing soal Clarin.

"Dia cuma sepupu, kebiasaan tinggal di luar negri jadi gitu," jelas Ago.

Hafa hanya diam, kemudian keadaan kembali hening, sering kali mereka hanya diam-diaman, bagaimana semua ini akan berlanjut kalau seperti ini?

Sebuah ketukan terdengar, Ago menyuruh orang yang mengetuk tersebut untuk masuk. Seorang wanita dengan kotak make up masuk.

"Kita harus make up sekarang, soalnya acara udah mau mulai," kata wanita itu yang ternyata tukang make up.

Hafa mengangguk dan berjalan ke meja rias yang Ago juga baru tahu benda itu ada di kamarnya.

"Masnya silakan ganti baju," suruh penata rias tersebut, Ago mengangguk dan mengambil jas yang dibawa oleh teman si tukang make up.

***

To be continued
Minggu, 15 maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top