Bab 7: Permulaan Kelas-Kelas Program Beasiswa dan Pengakuan Nardho
Catatan penulis: Bab ini saya persembahkan untuk adik perempuan saya yang turut andil menyumbang ide tentang geografi universitas khayalan ini dan juga untuk ibu saya yang sudah jatuh bangun merawat saya ketika saya berjuang melewati masa-masa pubertas.
Peringatan: Bab ini menceritakan pelecehan seksual, pembaca diharapkan bisa menyikapinya dengan bijak dan tidak mengata-ngatai tokoh yang menjadi korban. Video yang ada di atas berhubungan dengan adegan di akhir bab ini, silahkan ditonton setelah selesai membaca keseluruhan bab ini.
Setelah makan malam dengan burrito yang hambar, Nardho ingin meminta Moira mendengarkan lagu ciptaannya yang terbaru sambil main gitar sementara Vannie dan Nardhia bermain basket dengan cowok-cowok sekamarnya, yang sesungguhnya jauh lebih ramah dan tidak galak seperti pertemuan pertama mereka tadi, tapi Moira menolak ajakannya karena gadis itu sudah berjanji akan melakukan video chat dengan Neesa. Namun, Moira bilang Nardho boleh ikut bergabung video chat karena teman-teman Moira adalah teman Neesa juga dan begitu pula sebaliknya, hanya saja Neesa tidak pernah membawa teman ke rumah dan Moira sendiri terlalu pemalu untuk membangun pertemanan yang sehat dan punya kebiasaan mendekam di laboratorium kimia, sampai akhirnya dia kuliah. Nardho bersenandung pelan dan menunggu di ruang tamu asrama sementara Moira mengambil laptopnya. Cowok itu berpikir alangkah senangnya jika dia juga bisa tinggal dengan seorang sepupu, kedua orangtuanya tidak punya saudara kandung jadi dia dan Nardhia tidak punya satu sepupu pun dan tidak punya kerabat seperti bibi atau paman.
Moira kembali ke ruang tamu dengan laptopnya dan memasukkan nomor telpon rumahnya. Setelah beberapa saat, wajah Neesa muncul di layar laptop.
"Hai, kamu! Bagaimana kampusmu? Bagaimana kantinnya? Bagaimana asramanya?"
"Kampusnya agak tua tapi bagus kok, terus asramanya juga bagus buat istirahat setelah penerbangan panjang. Kantinnya biasa saja, tadi aku barusan makan burrito yang rasanya hambar, tapi si Nardho bilang dia bakal masak buat aku kalau perlu. Mau ngomong sama dia?"
"Hei, bung! Aw, kamu kok gemes banget sih? Makasih ya sudah menjaga sepupu aku yang banyak mau!"
"Gemes? Yang bener Neesa, aku bukan anak anjing. Tapi iya, Moira aman sentosa selama ada aku."
"Bagus kalau gitu, aku pribadi akan mengirimmu langsung ke neraka kalau kamu berani menyakiti Moira. Omong-omong, Mo, aku sudah tahu lulus SMA mau ke mana. Aku tidak ada niat mengikuti jejakmu tapi aku sudah bilang ke Mama Papa aku ingin masuk ke kampus lokal dekat rumah." Neesa mengumumkan rencananya selepas SMA.
"Oke, bagus kalau kamu sudah punya tujuan, tapi gimana ceritanya sampai bisa begini?"
"Sebenernya, sejak aku naksir sama Kak Kenta aku nggak bisa hapus bayang-bayang dia dari pikiranku dan kayaknya dia tahu dari caraku mengirim pesan ke dia sebelum tidur. Kami berdua selalu bertukar pesan, tapi tentu saja tidak ada gombalan dan rayuan, dia orangnya setia sama Kak Johan, tapi dia bilang perasaanku ke dia membuatnya merasa tersanjung karena aku mengidolakan dia. Jadi, akhir-akhir ini dia sering kirim-kirim banyak video cara bikin kue dan roti, ada satu video yang aku suka, video cara membuat kue Castella madu dan satu lagi ada video tentang cara membuat roti melon. Suatu malam Kak Kenta tanya apakah minat aku sama dengan minatmu dan aku bilang nggak, tapi aku jujur ke dia bahwa aku sedang mempertimbangkan jurusan tata boga. Aku ingin bisa bikin kue seperti dia yang aku idolakan, walau pun memang dia masih amatiran dan selalu sibuk dengan penelitian dia. Terus dia kirimin aku artikel tentang jurusan tata boga yang kebetulan ada di kampus dekat rumah kita itu, Mor." Neesa terdengar lebih bersemangat dari biasanya dan Moira menyadari itu.
"Kak Kenta memang yang terbaik! Aku senang kamu masih bisa berteman baik sama dia walau pun perasaanmu tidak bersambut. Apa kabar Bibi Zoe dan Paman Martin?"
"Papa lagi sakit panas dan Mama yang jagain, tapi sakitnya gak parah kok, dokter bilang hanya pengaruh cuaca. Papa lupa bawa payung kemarin dan pulang-oulang sudah basah kuyup."
"Oh ya ampun, paman memang dasarnya pelupa! Bilangin cepat sembuh ya. Aku harus memutuskan sambungan sekarang."
Moira menutup laptopnya dan menanyai Nardho selanjutnya mau apa lagi, tapi cowok itu hanya mengangkat bahu dan bergumam sesuatu tentang mau mengobrol dengan Tony dan Wyatt lagi, jadi mereka berdua turun ke lapangan basket di belakang asrama. Ada pria muda yang Moira kenali dari foto liburan Nardho. Pria muda tersebut mendekati dua remaja tersebut dan memeluk Nardho. Itu pasti Johan, abang si kembar, pacar Kenta, dan pengurus gedung asrama.
"Hei adik kecil, kakak senang akhirnya kamu berhenti mengunci diri di kamar sambil main gitar. Oh, dan kamu bawa Moira! Hai, aku pengurus asrama kalian, singkatnya aku ini orang yang bisa kamu cari kalau misalnya kalian bertengkar sama teman sekamar, kalau gagang pintu tiba-tiba patah, atau kalau kalian keracunan alkohol. Oke, yang terakhir itu bercanda. Beneran bercanda! Kalau sampai amit-amit terjadi aku bakal telpon ambulans tapi yang jelas kalian belum boleh minum alkohol, ingat ya. Tapi aku rasa kamu sih gak doyan alkohol,"seringai Johan sambil mengedipkan mata ke sang gadis remaja yang matanya membulat. Nardho mendesah kesal, Johan memang payah dan dia sama sekali tidak mengerti kenapa Kenta mau-mau saja jadi pacar si abang. Moira, kebalikannya, suka sikapnya yang terkesan bertanggung jawab sebagai pengurus asrama dan gadis itu mencoba mengingat-ingat apakah ada gagang pintu yang patah. Johan pamit karena dia harus mengecek keadaan para penghuni asrama yang lainnya.
"Tolong ma'afin abang kami untuk bercandaannya yang nggak lucu soal alkohol, selera humor dia memang rada-rada aneh," kata Nardhia yang bercucuran keringat sambil membawa bola basket. Di lehernya lengan kekar Wyatt melingkar manja. Vannie membuat suara orang muntah dan Moira membatin jangan-jangan Nardhia sudah menemukan teman kencan kilat. Nardho tampaknya tidak begitu memedulikan urusan kembarannya dan lebih sibuk memandangi rambut ikal Moira. Pandangannya betahan lebih lama dari yang sewajarnya dan pipi Moira memerah, dia tidak tahu mengapa cowok itu memandanginya. Tony menggeleng, dia tidak bisa memercayai betapa polos Moira ini tapi mengakui gadis ini memang manis.
"Sekarang semuanya di sini, coba lihat yuk ada nggak yang kelasnya barengan." Vannie memutar sendiri kursi rodanya mendekat ke sekelompok remaja itu lalu mengeluarkan buku catatannya dari tas. Moira memberinya pandangan menyetujui dan menyadari bahwa temannya yang satu ini memang terlalu rajin. "Oke, besok pagi jam setengah sepuluh aku ada kelas Penjelajah Berani dengan Moira and Nardhia sementara Nardho ada kelas Pengantar Esai Akademik. Kalau jadwal kamu gimana, Tony? Wyatt?"
Wyatt melepaskan lengannya dari leher Nardhia dan memeriksa HP. "Jam setengah sepuluh aku ada waktu bebas, tapi aku dengar di universitas ini bagusnya para mahasiswa boleh duduk santai di kelas mana pun untuk mendengarkan kuliah tanpa harus terdaftar secara resmi di kelas itu, jadi aku mungkin bakal ikutan kelas cewek-cewek imut ini. Boleh kan, nona-nona jelita?" Para gadis kompas mengangguk.
"Aku juga ada jam kosong, barangkali aku bakal keluyuran mencari letak gedung olahraga," kata Tony sambil men-dribble bola basket dengan satu tangan. "Anjir. Wyatt, berhentilah manggil cewek-cewek ini nona jelita, itu nggak pantas. Oh, satu lagi, bangsat ya kamu, kondisikan kemesraanmu dengan Nardhia."
"Wah, selow lah, kamu kayak pahlawan kesiangan saja. Cemburu kamu ya karena nggak ada yang ngasih perhatian? Pecundang!" Wyatt mencibir ke Tony dan memberikan Nardhia ciuman kecil di pipi. Kekasihnya membalas kecupannya. Vannie memandang mereka berdua dengan jijik. Tony hanya melengos dan bilang dia mau ambil buku-buku teks dari koperasi kampus.
Nardho ikut dengan Tony, jadi sekarang para cewek hanya sendirian dengan Wyatt yang masih sibuk menciumi Nardhia. Vannie pura-pura batuk dan Nardghia tertawa, dia mendorong Wyatt supaya sedikit mejauh lalu berpesan agar cowok itu menyimpan ciumannya untuk hari berikutnya. Moira menyaksikan adegan tersebut sambil melongo, dia ingin bertanya pada Neesa begitu ada kesempatan untuk tahu apakah adegan demikian memang wajar di kalangan anak kuliah. Dia tahu Johan bilang boleh bertanya apa saja yang tidak dimengertinya, tapi adegan satu ini adalah hal memalukan untuk dibahas.
Pagi berikutnya Moira dan teman-teman sekamarnya, berempat dengan Wyatt, berangkat menuju kelas beasiswa, masih mengantuk namun bersemangat melihat Lee dan satu dosen lain yang namanya mereka kenal namun belum pernah mereka lihat dengan mata kepala sendiri. Ruang kelas gaduh dengan suara-suara para mahasiswa berdatangan satu per satu. Beberapa menit kemudian Lee tiba dengan seorang wanita yang kelihatannya berusia tiga puluhan. Menurut Moira wanita itu tampak mengintimidasi dan karenanya dia bersembunyi di balik badan Vannie. Pengguna kursi roda itu meremas tangannya sambil berbisik "dia nggak semenyeramkan itu, kok." Moira menggigit bibir bawahnya dan mengetukkan jemarinya di mejanya dengan cemas.
"Hei, siapa itu yang gemetar ketakutan? Moira? Tidak usah takut, kolega saya bukan tukang suruh-suruh, kita tidak sedang wajib militer atau ospek." Lee mendekat ke barisan kursi para gadis. Moira tertawa gugup.
"Anak muda, saya tidak mengenalimu. Kamu tidak ada di daftar mahasiswa kami. Kamu salah kelas barangkali?" Lee menegur Wyatt. Cowok itu tertawa tidak sopan, lalu mengatakan pada Lee bahwa dia hanya penasaran ingin melihat suasana kelas satu ini. "Oke, boleh-boleh saja sih, tapi kalau kamu ribut nanti saya tendang kamu keluar. Sekarang, mari saya perkenalkan kalian ke dosen tamu kita. Ayumi, sudah siap?" Lee membungkuk ke wanita yang bersamanya dan sang wanita blas membungkuk hormat. Moira pikir baik sekali sesama kolega saling menghormati.
"Nama saya Ayumi Rivera-Sakamoto, saya bekerjasama dengan Lee untuk mengurus studi lapangan kalian ke Bukit Emas semester ini. Saya orang asli sana! Iya, saya tahu saya tidak tampak seperti orang suku asli sana, itu karena ibu saya punya darah Jepang dan darah Meksiko dari leluhur di Bumi dulu, dan saya beruntung kebagian gen yang membuat saya awet muda di usia saya yang sudah kepala empat, sementara itu ayah saya keturunan asli penduduk Bukit Emas. Di kelas ini saya akan mengajari kalian lebih banyaklagi tentang binatang yang menjadi pemutar roda ekonomi Bukit Emas, yakni para Gaburs yang sudah melegenda. Sekarang, siapa yang mau membagikan pengetahuan mereka tentang Gaburs? Moira?"
Rahang Moira menjadi tegang dan dia mulai membuka mulut tapi dia tetap tidak bersuara. Setelah beberapa detik berlalu dan Moira tetap diam tak berkutik, Vannie mengangkat tangannya. "Sakamoto-san, betul? Dari apa yang saya baca sepertinya Gaburs aslinya bukan dari Bukit Emas. Lebih tepatnya, mereke adalah hewan rekaan para ilmuwan dan ya mereka memang hewan yang terlahir di kampung Anda, namun mereka tidak terlahir secara alamiah. Para ilmuwan entah bagaimana sepertinya terinspirasi oleh film jadul Jurassic Park dan mengombinasikan ekstrak DNA gajah dengan DNA berbagai macam burung, tentu saja ukuran gajah sudah diperkecil sedemikian rupa, kemudian hewan baru yang terlahir dari metode ini diperbudak untuk menginjak-injak pohon supaya jadi rata sehingga lahan-lahan yang sudah dibabat habis bisa diubah menjadi kawasan perumahan. Para Gaburs memiliki tenaga yang mengagumkan namun juga bisa terbang lebih cepat dari kecepatan lari seekor macan tutul."
"Terima kasih atas jawabanmu yang sangat lengkap, Vannie, bagus sekali. Sebenarnya tidak apa-apa kalau kamu mau panggil saya langsung pakai nama depan saya, saya memang menyukai tradisi, maka itu tadi saya membungkuk untuk menghormati Lee, tapi di universitas ini kedudukan dosen dan mahasiswa itu setara. Sekarang, kembali ke Lee."
Lee menghidupkan projector yang ada di depan kelas dan suatu hologram muncul. Para mashasiswa sangat terkejut melihat kemunculan hologram seekor Gaburs yang seolah nyata, kedua kaki depan hologram tersebut terangkat dan tiba-tiba hologram itu mengeluarkan suara terompet yang melengking. Moira membenamkan kuku tangannya ke paha, wajahnya pucat pasi. Nardhia berteriak dan vannie menupuk-nepuk tangan temannya itu. Wyatt menyalakan ponsel dan mendekati hologram untuk berfoto lalu menawari Lee untuk ikut berfoto, namun dosen itu menolak.
"Ha, aku tahu kalian semua memang bayi pengecut. Kecuali kamu, Ayumi, kamu bukan pecundang dan kamu seksi bohay!" sahut Wyatt tak tahu malu. Nardhia tersinggung karena kekasihnya berani melecehkan martabat wanita lain, apa lagi wanita itu dosennya sendiri, dan dia berlari keluar kelas sambil berurai air mata. Ayumi sangat murka namun mencoba tetap terlihat tenang sementara Lee memerintahkan Wyatt untuk kembali ke bangkunya dan tetap tinggal di kelas sampai kuliah berakhir. Wyatt memutar bola matanya. Moira belum pernah melihat cowok setidak sopan ini dan refleks menepuk jidatnya. Vannie berpura-pura membaca buku catatannya, tidak ingin ambil bagian selagi ketidaksopanan ini berlanjut.
"Wyatt, apa yang kamu katakan barusan ke saya dan ke teman-teman sekelasmu sangatlah tidak pantas, juga sangat kasar. Kelakuanmu tidak bisa diterima dan oleh sebab itu sejak detik ini juga kamu tidak boleh lagi ikut kelas ini. Sekarang, saya mau kamu minta ma'af ke semua orang. Lee akan memberi kamu detensi. Apa, mau protes? Jadi kamu pikir detensi hanya berlaku buat anak SMA? Salah besar, tuan muda. Kelas kami, aturan kami." Ayumi berkacak pinggang. Wyatt tidak mengatakan apa-apa lagi tapi sepertinya lega dia belum diberhentikan dari statusnya sebagai mahasiswa dan hanya dihukum Lee.
Lee mempersilahkan semua orang pergi dari ruang kelas dan para gadis mengejar Nardhia yang hendak lari ke lantai paling atas gedung departemen biokimia. Teman mereka itu tersenyum lemah sambil menyeka air matanya yang belum kering.
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Kami turut minta ma'af tentang cowok brengsek satu itu, sel-sel otaknya memang tinggal seperempat dari seperempat. Apa aku harus lapor Kak Johan atau biar Nardho yang berurusan sama si brengsek?" tanya Vannie.
"Kenapa, oh kenapa, aku selalu terpikat pada cowok-cowok bandel? Harusnya aku tidak jatuh ke pelukan seorang berandalan!" Nardhia mulai menangis lagi. "Di SMA cowok-cowok goblok selalu mengira aku cewek murahan dan mereka semua mencoba mencabuliku dan membawaku ke ranjang untuk ditelanjangi. Aku tidak pernah memberi mereka persetujuan untuk berhubungan badan denganku. Aku masih perawan, omong-omong. Cowok-cowok di SMA itu aku masih tahu cara mengatasinya. Tapi ini? Ini tidak bisa ditoleransi lagi. Vannie, bisa ya kamu tolong aku lapor ke Kak Johan? Aku mau bicara empat mata sama Moira. Berdua saja." Nardhia memelas. Vannie mengangguk dan memutar kursi rodanya pergi.
"Moira, bisakah kamu berjanji, bersumpahlah kamu tidak akan memberi tahu Nardho? Dia memang kembaranku dan anak kembar biasanya tidak merahasiakan apa pun di antara mereka, tapi kalau dia sampai tahu dia tidak akan berpikir dua kali untuk berkelahi dengan Wyatt dan aku tidak mau itu terjadi. Nardho itu menakutkan kalau sudah berkelahi." Nardhia menggigil dan Moira mencoba membayangkan dua cowok tersebut terlibat tawuran.
"Kalau memang itu yang kamu mau. Tapi kamu akhirnya bakal bilang sendiri ke dia, kan? Dia punya hak untuk tahu teman sekamaranya itu aslinya brengsek. Aku boleh lapor ke Tony, kan? Di antara dua cowok yang sekamar dengan Nardho, Tony yang lebih baik. Ingat, kan, dia yang membela kita saat Wyatt menjuluki kita aneh-aneh." Moira tentu ingat bagaimana Tony marah ketika Wyatt tidak henti-hentinya menggombalinya dan Vannie.
"Tentu boleh, tapi biar aku sendiri yang bicara ke Nardho, sepertinya kalau aku bicara baik-baik dia akan mengurungkan niatnya untuk menghajar Wyatt sampai babak belur dan mungkin dia hanya akan menguliahi Wyatt panjang lebar tentang cara memperlakukan anak perempuan. Kamu sahabat yang baik, Moira. Kalau Nardho tanya-tanya aku kenapa, bilang saja aku lagi datang bulan dan dia pasti langsung tutup mulut."
Setelah berhenti menangis, Nardhia menggenggam tangan Moira dan mereka berdua pergi ke kantin. Hari Jum'at ada ikan goreng tepung dan kentang goreng, makanan yang menurut Moira masih bisa dimakan. Dia juga membeli sayur bayam karena dia tidak mau mengecewakan Neesa setelah sepupu kesayangannya itu menguliahinya tentang pentingnya makan sayur setiap hari. Setelah selesai makan, Nardhia bilang dia mau ke Pusat Kesehatan Mahasiswa jadi Moira kembali ke asrama seorang diri.
Pintu kamar Moira tidak terkunci dan dia bisa melihat Vannie ada di dalam, duduk di depan meja belajar dengan stabilo, sepertinya memperlajari kembali materi kelas tadi pagi (walau sebenarnya tidak banyak materi yang harus dipelajari lagi) dan bersiap-siap membaca bahan kuliah besok. Untuk alasan yang tidak diketahui, dia tidak suka membaca langsung dari laptop. Moira menepuk pundaknya dan Vannie berpaling, menaruh stabilo di pojok meja.
"Hai Moira, aku sudah bicara dengan Kak Johan dan katanya paling lambat minggu depan dia akan mencarikan Nardho teman sekamar yang baru. Jangan khawatir, dia tidak akan membocorkan alasan yang sebenarnya ke Nardho, paling dia bakal bilang Wyatt tiba-tiba pindah ke gedung asrama lain. Kak Johan juga akan cek keadaan Nardhia dan memastikan teman kita baik-baik saja. Kamu ada rencana apa siang ini?"
"Tony mana? Aku mau dengar pendapatnya tentang insiden pagi ini."
"Sepertinya dia masih di gedung olahraga, tapi kalau kamu butuh ditemani kan ada aku, walau pun aku teman yang membosankan karena kerjaanku cuma beres-beres dokumen kuliah. Iya, aku tahu aku memang terlalu rajin." Vannie berkata dengan bangga.
"Oke, terus Nardho mana? Kelasnya sudah selesai kan, sudah jam segini juga?"
Vannie tidak harus menjawabnya karena cowok yang dimaksud muncul di depan pintu, lalu menyelonong masuk dan duduk di kasur Nardhia. "Hei, kembaranku aneh hari ini. Dia tidak membalas SMS aku dan waktu aku telpon juga tidak diangkat. Apa dia berantem sama kalian berdua atau mungkin dia berantem sama Wyatt? Dia tidak biasanya cuek ke aku!" Nardho jengkel.
"Nggak kok, dia nggak berantem sama siapa-siapa, tapi dia sedih hari ini, tadi pagi ada sesuatu yang buruk menimpanya di kelas tapi untuk lebih detailnya kamu harus menunggu sampai dia siap memberi tahu kamu sendiri," kata Moira. Nardho baru saja hendak mendesaknya untuk berceita lebih lanjut saat ponselnya berdering. Panggilan dari kembarannya. "Baru saja diomongin eh ini anak telpon."
"Hei, kamu sakit atau kenapa, kok tumben aku diabaikan? Kamu perlu apa dari aku? Ngomong dong, ya ampun."
"Aku boleh pakai kartu debit kamu? Aku lagi di pusat kesehatan." Suara Nardhia bergema lewat speaker telpon. Wajah Nardho berubah pucat dan dia buru-buru mengambil dompetnya. "Kenapa? Kamu jatuh sakit?"
"Seseorang yang namanya tidak usah disebut pagi ini melecehkanku secara lisan dan aku nangis-nangis di kantor konselor dan sekarang aku diberi resep obat tetets mata dan pil melatonin kalau-kalau malam ini aku terserang insomnia. Aku sangat hancur dan aku butuh sendirian untuk sementara."
"Oh ya ampun. Kak Johan tahu nggak?" Nardho tercekat. Vannie memberi isyarat bahwa si abang sudah tahu.
"Sekarang aku merasa seperti onggokan sampah. Benarkah aku cewek gampangan, Nardho? Benarkah aku haus perhatian dan senang dipanggil cewek sensual? Benarkah maskara tebal yang aku pakai membuatku jadi cewek bispak?"
"Oh ya ampun, biadab macam apa yang seenak udelnya bilang gitu? Nggak, penampilanmu dan riasanmu tidak seharusnya membuatmu dilecehkan. Aku sayang kamu."
Nardhia bilang dia juga sayang kembarannya lalu dia menutup telpon. Ruangan menjadi sunyi.
"Tahi Gaburs! Hari pertama kelas dan sudah ada konflik? Nardhia yang malang." Vannie bersumpah serapah.
"Iya, kasihan sekali dia. Oh Tuhan, aku telah gagal melindungi dia sebagai kembarannya." Nardho terbakar amarah.
"Nggak, kamu tidak gagal. Kamu kan tidak tahu menahu. Kamu masih kembaran yang baik." Moira angkat bicara.
"Makasih, tapi aku masih merasa gagal. Moira, ikut aku supaya aku bisa berpikir dengan kepala dingin."
"Iya, tentu saja! Tapi kita mau ke mana? Ke gedung olahraga? Kamu perlu karung tinju?"
"Apaan sih, memangnya aku terlihat segarang itu? Nggak. Waktu aku balik dari kelas pagi ini aku menemukan sungai kecil yang airnya jernih. Sungainya cantik sekali. Aku ganti baju dulu tapi kita ketemuan di gerbang kampus lima belas menit lagi, ya?"
Tepat lima belas menit kemudian, Moira menghampiri Nardho yang sudah menunggunya dengan lentera di tangannya. Ini aneh, pikir Moira. "Buat apa bawa lentera? Ini masih siang, lho."
"Lihat saja nanti. Sekarang, pegang tanganku. Hati-hati. Jangan sampai jatuh di tangga, licin."
Tangga yang dimaksud Nardho membawa mereka ke jalur hiking yang dihiasi pepohonan dogwood. Saat mereka berdua selesai menyusuri jalur tersebut, Moira bisa mendengar gemericik air di kejauhan. Nardho mendorong ranting-ranting kecil yang menghalangi pandangan mereka dan terkuaklah sebuah jalan setapak yang mengarah ke suatu sungai kecil. Tidak jauh dari situ ada jalur lain yang mengarah ke sungai yang lebih besar dengan air yang gemerlapan seperti kristal. Moira bisa melihat beberapa orang menaiki rakit menuju hulu sungai.
"Maukah kamu naik rakit denganku, Moira?" Nardho bertanya dengan penuh harap.
"Aku tidak bisa berenang. Nanti aku tenggelam gimana?"
"Aku tidak akan membiarkanmu jatuh ke air, tapi kalau kamu mau kita bisa menyusuri hilir sungai dan bercakap-cakap. Ngobrol tentang apa saja, asal jangan bahas Nardhia. Ayo ngobrol tentang film-film yang kamu suka."
Moira menjadi lebih santai dan membiarkan Nardho berjalan di sisinya, cowok itu mendengarkan dengan sabar sementara sang gadis bercerita tentang film lama yang mengambil tempat di Bumi. Film itu menggambarkan petualangan suatu tim penjaga safari yag menemukan sekelompok pemburu singa dan membawa para pemburu itu ke pengadilan tapi sayangnya para hakim tidak percaya pada kesaksian para penaga safari. Pemburuan singa terus terjadi dan akhirnya tidak ada satu pun singa tersisa dan barulah para hakim menyadari kesalahan mereka. Para penjaga safari memenangkan kasus itu dan uang kompensasi mereka gunakan untuk mendirikan suatu yayasan yang bertujuan menggalakkan kesadaran tentang kesejahteraan singa-singa liar. Nardho tersenyum, lega film tersebut berakhir dengan cara yang adil.
Mereka berdua tiba di ujung hilir dan di kejauhan terlihatlah sebuah gua. Inikah yang ingin Nardho tunjukkan padaku? Ada apa di dalam? Gadis itu berpikir keras. "Inilah alasan aku membawa lentera!" Nardho terkekeh.
Begitu masuk gua, Moira baru sadar gua tersebut merupakan sebuah tempat ibadah tersembunyi. Ada sebuah altar sederhana dan patung seorang wanita yang Moira tidak ingat pernah tercantum di buku-buku sejarahnya.
"Dulu sekitar tahun 2000an orang-orang di Bumi masih memberi hormat pada patung seperti yang kamu lihat ini. Gua ini dirancang supaya mirip dengan gua yang ada di Bethlehem dan di Lourdes. Ini patung Bunda Maria." Nardho berlutut dan berdo'a dengan lirih. "Salam Maria, penuh rahmat, ratu surgawi, Tuhan sertamu. Aku menghadap ke hadiratmu karena engkau Bunda terpuji dan namamu dimuliakan di antara wanita. Kebetulan seorang wanita muda yang aku kenal sedang terluka. Aku mohon, berilah dia kekuatan. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Bunda, namun aku mohon berilah dia setitik kedamaian di tengah kecamuk hatinya. Amin."
Moira berlutut juga dan menundukkan kepalanya, hanya untuk menghormati kepercayaan Nardho. Dia tidak pernah melihat orang berdo'a seperti yang dilakukan Nardho, bahkan dia tidak tahu cara berdo'a karena dia dibesarkan tanpa menganut agama apa pun, tapi dia tahu tidak baik untuk menyela. Nardho bangkit, matanya basah namun dia tersenyum lembut pada Moira, jelas dia menghargai gadis itu yang tidak bertingkah macam-macam.
"Moira, aku ingin mengakui sesuatu. Aku tahu kita belum berteman lama namun aku sudah tahu kamu membuatku jungkir balik, kaki di kepala dan kepala di kaki, aku tergila-gila padamu. Saat aku berbicara pada Bunda Maria, sebenarnya aku juga berdo'a untukmu diam-diam dan aku meminta restu Bunda Maria untuk mengakui perasaanku dan aku yakin Bunda memberikanku keberanian untuk mengatakan ini. Moira, kamu sangat lugu tapi juga sangat pemberani dan sangat penuh semangat membara, kamu punya segudang sifat baik yang membuatku kagum. Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu menerimaku sebagai pacarmu?"
"Nardho, belum pernah terlintas di benakku untuk berpacaran, tapi karena kamu meminta dengan baik-baik, aku tidak keberatan. Tapi kita jalani pelan-pelan saja, oke? Aku sebenarnya tidak tahu pacaran yang baik itu seperti apa, jadi kamu harus mengajariku. Kamu sanggup?"
"Ya, aku akan mengajarimu sepenuh hatiku. Aku berjanji, dan Bunda Maria boleh mengutukku jika aku mengingkari sumpah ini, bahwa aku tidak akan menjadi pacar yang kasar. Aku sangat menyayangimu, Moira."
Nardho meraih telapak tangan Moira lalu mengecup punggung tangannya dan meletakkan tangan halus gadis itu di dadanya supaya sang gadis bisa merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Pipi Moira merona, dia belum yakin betul perasaannya untuk kekasih barunya ini sekuat perasaan cowok itu untuknya, tapi dia membiarkan tangannya diletakkan di dada kekasihnya dan dia memeluk Nardho. Siang ini adalah siang yang amat aneh baginya, tapi Moira tahu dia aman di dekapan Nardho.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top