Bab 2: Mengumpulkan Surat-Surat Rekomendasi


Pada suatu Sabtu sore yang berawan, bintang-bintang nyaris tidak bersinar. Para jangkrik mulai keluar dari persembunyian mereka dan gesekan sayap mereka menjelma menjadi musik sendu di antara daun-daun jingga yang berguguran. Moira dan Neesa duduk di kafe yang remang-remang, dengan dua buku catatan dan dua laptop di depan mereka, sambil menyeruput kopi panas. Ada lantunan musik yang melantun sayup-sayup di latar belakang.

"Mari mulai, Moira. Ayo peras otak dan bikin daftar segala hal yang ingin kamu beri tahu Ir. Kinoya supaya aku bisa memahami lebih baik bagaimana aku bisa membantu kamu menulis email untuk beliau, " ujar Neesa dengan sabar.

"Baiklah, kurasa aku ingin mulai dari mengabari beliau tentang kondisi gangguan keterlambatan perkembangan yang aku idap, sehingga saat bertemu aku nanti beliau tidak kaget. Dari situ, aku ingin menanyai beliau apa saja jenis-jenis pekerjaan yang bisa beliau sarankan untuk calon mahasiswa yang ingin memenangkan posisi asisten peneliti di kantor beliau. Masalahku adalah aku tidak yakin aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Maksudku, aku bisa saja sih jadi pengantar pizza atau pengasuh anak kecil, tapi pastinya aku tidak akan dibayar mahal untuk pekerjaan tersebut dan itu tidak akan membuat orang kagum, kamu paham kan?" Moira langsung berbicara tepat sasaran.

"Aku paham. Sebetulnya, kita bisa saja mencari info lowongan kerja yang tersedia di daerah kita kalau kita mau lihat-lihat online, tapi aku rasa memang lebih bijaksana utuk meminta pendapat Ir. Kinoya juga." Neesa mengelus dagu. "Jadi, tentang gangguan perkembanganmu. Lebih khususnya, apa yang ingin kamu sampaikan pada beliau? Bahwa kamu punya masalah berbaur di lingkup sosial dan juga punya masalah dengan beberapa rangsangan sensori, misalnya kamu memproses rasa sakit dengan sistem syaraf yang agak berbeda dari orang kebanyakan? Bahwa kamu sering dianggap lamban, tulalit, dan telat mikir karena butuh waktu lama menjawab pertanyaan tiba-tiba dari guru? Bahwa kamu punya kemampuan kognitif yang tidak sama dengan orang rata-rata?" Neesa melanjutkan membuat daftar.

"Iya, semua yang kamu sebut itu, tapi pada dasarnya aku ingin beliau tahu aku tetap saja punya bakat tersendiri serta kegemaran dan ketertarikan tertentu yang tidak boleh diremehkan hanya karena tertutupi oleh keterbatasanku. Aku juga ingin bertanya kalau-kalau beliau sudah pernah punya pengalaman mengajar mahasiswa yang mengidap sindroma Down atau punya diagnosis spektrum gangguan autisme atau semacamnya. Di samping itu aku ingin tahu apa yang sudah beliau lakukan untuk mencegah dan menangani diskriminasi atau perlakuan tidak adil di kelasnya karena aku tidak mau lagi diperlakukan semena-mena atau menjadi korban kekerasan dan dimanfaatkan," jelas Moira.

Dua sepupu itu bekerja dengan giat hingga kafe hampir tutup, melempar ide-ide satu sama lain, mengetik dan mengetik ulang beberapa kalimat untuk menyempurnakan e-mail yang mereka tulis bersama. Mereka memesan beberapa cangkir kopi lagi untuk menemani mereka dan ibu-ibu paruh baya yang juga pemilik kafe bersimpati pada mereka dan memberi mereka seloyang gratis brownies kukus keju. Akhirnya, inilah isi dari e-mail yang mereka kirimkan:

Yang terhormat Ir. Lee Kinoya,

Nama saya Moira Johnson dan saya mendengar tentang penelitian Anda dari sepupu saya Neesa, yang sempat bekerja dengan salah satu mahasiswa S2 Anda di Universitas Anggrek Biru musim panas yang lalu sebagai bagian dari program magang yang dicanangkan oleh SMAnya. Saya tertarik mendengar lebih lanjut mengenai penelitian yang sudah Anda lakukan untuk mempelajari spesies hibrida yang terancam punah, para Gaburs yang kuat, dan saya ingin tahu apakah Anda bersedia memberi saya keterangan tentang apa yang sebetulnya Anda cari ketika Anda mengatakan sedang butuh asisten penelitian yang juga seorang mahasiswa asing tahun pertama untuk pertukaran budaya.

Saya mengidap gangguan keterlambatan perkembangan yang berdampak pada cara saya belajar dan menyerap ilmu. Jika saya diterima oleh Anggrek Biru dan mengikuti beberapa kelas Anda maka bisa jadi Anda dan saya harus bekerja berdampingan untuk menyusun strategi agar perkuliahan saya berjalan lancar, tapi saya percaya saya punya hak diperlakukan secara adil dalam proses pendaftaran. Neesa memberitahu saya bahwa Anda beserta segenap jajaran panitia penerimaan mahasiswa baru lebih menyukai calon mahasiswa yang sudah punya pengalaman kerja, namun sayangnya saat ini saya belum pernah bekerja dan saya mencari pekerjaan yang realistis yang bisa dikerjakan orang dengan disabilitas seperti saya.

Supaya Anda lebih paham, izinkan saya menjelaskan kelebihan dan kelemahan saya. Sejak tahun kedua saya di SMA, saya menjadi sukarelawan di laboratorium IPA sepulang sekolah untuk membantu guru saya sembari beliau menilai laporan mingguan teman-teman saya tentang percobaan kimia dan fisika. Saya juga senang melukis dan punya studio sendiri di rumah. Tetapi, walau saya punya ketertarikan di bidang kesenian dan ilmu alam, saya tidak selalu bisa berbaur di lingkungan sosial dan ada banyak kasus di mana saya tidak sengaja melukai perasaan orang karena kesalahpahaman. Saya juga masih takut menatap mata orang dan saya masih belajar mengerti kode-kode halus seperti bahasa tubuh dan masih belajar membaca apa yang tidak terucapkan namun tersirat dari nada bicara orang. Disebabkan oleh banyak halangan dan rintangan yang sudah saya jabarkan tadi, jikalau saya mampu mendapatkan pekerjaan saya ingin perkerjaan itu pantas untuk saya secara akademis tapi juga tidak teerlalu membuat saya lelah sampai saya frustrasi dan jatuh sakit.

Terima kasih atas segala bimbingan dan nasihat yang bisa Anda berikan.

Hormat saya,

Moira Johnson

Tiga minggu lebih berlalu sebelum Ir. Kinoya membalas pertanyaan Moira dan selama tiga mingu lebih pula Moira merasa putus asa dan berpikir dia sudah kehilangan kesempatan karena dia membuat beliau tersinggung. Neesa dengan sabar menjelaskan ke bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan bahwa dia tidak menyinggung Ir. Kinoya atau membuang kesempatan berharga, tapi Moira masih uring-uringan. Kemudian, pada suatu Jum'at sore, telepon Neesa berdering. Ir. Kinoya meminta untuk berbicara langsug dengan Moira untuk menjawab semua pertanyaannya! Jantung Moira seakan berhenti berdetak sementara dan telapak tangannya mulai berkeringat, tapi Neesa tidak mau mendengarnya beralasan macam-macam dan mendorong telepon ke genggaman Moira sembari memberinya senyuman nakal.

"Halo, Moira, ini Ir. Kinoya, tapi tidak usah bersikap formal, kamu boleh panggil saya Lee. Saya minta maaf karena tidak sempat membalas e-mail kamu lebih awal, tapi saya sibuk sekali karena ini sedang puncak musim ujian tengah semester di kampus. Langsung saja ya, saya menelpon untuk memberitahumu bahwa saya kenal orang yang bisa memberimu perkerjaan." Suara berat seorang pria bergema di ujung telepon.

"Oh, jadi saya boleh panggil Anda dengan sebutan Lee saja? Baik, Lee, terima kasih sudah bersedia menyempatkan diri membaca e-mail saya, saya sempat mengira barangkali Anda tidak berkenan membantu saya. Saya ingin tahu lebih banyak tenang pekerjaan yang Anda sebutkan, jika Anda tidak keberatan. Apakah ini sesuatu yang bisa saya lakukan dari jarak jauh?" tanya Moira, masih tidak yakin bahwa ini semua bukan suatu lelucon atau bercandaan yang kelewat kejam.

"Kamu beruntung, Moira. Pekerjaan ini adalah sesuatu yang bisa kamu lakukan di kebun belakangmu. Tidak secara harfiah, tentu saja, tapi lokasi pekerjaan ini hanya selemparan batu dari SMAmu. Keponakan saya Kenta sedang melakukan penelitian tentang tanaman asli planet Beringin Putih dan ternyata tanaman ini hanya bisa tumbuh saat musim salju di kotamu! Kenta sudah menyewa suatu apartemen dekat sekolahmu dan dia akan datang musim dingin ini dan dia bilang dia tidak keberatan dibantu oleh anak SMA untuk menyelesaikan penelitian setingkat S3. Jadi, bagaimana menurutmu? Saya tahu bidang ketertarikan kamu adalah kimia dan fisika, bukan biologi tumbuhan, tapi saya percaya ada baiknya kamu membuka diri untuk hal-hal baru." Lee bertutur kata dengan santai dan membuat Moira merasa suasana tidak lagi kaku.

"Anda sudah informasikan ke Kenta tentang disabilitas yang saya idap? Dia benar-benar tidak keberatan? Apakah dia orang baik? Anda bisa menjamin?" Pertanyaan Moira berlompatan satu per satu karena dia sangat cemas.

"Kamu tidak perlu khawatir! Sejujurnya, Kenta sendiri justru juga seseorang pengidap disabilitas dan alih-alih merasa malu karenanya dia sudah menganggap disabilitas sebagai bagian dari identitasnya. Dia memakai dua implan koklea karena dia tuli, jadi dia tahu sendiri bagaimana rasanya dihina dan diejek hanya karena sesuatu yang di luar kuasanya. Dia orang yang ramah dan memang dia punya kriteria ketat tentang orang yang dia izinkan bekerja bersamanya, tapi dia tidak akan menghakimi kamu, jadi tak ada yang perlu ditakutkan. Kalau dia ternyata nantinya mempermasalahkan disabilitas kamu, segera hubungi saya dan biar saya yang urus. Bagaimana?" Lee menjelaskan dengan berhati-hati karena beliau tahu mengapa Moira tidak bisa langsung percaya pada orang yang belum pernah bertatap muka dengannya.

"Saya mengerti. Bisakah Anda memberi Kenta alamat e-mail atau nomor telepon keluarga saya, supaya dia tahu ke mana harus menghubungi saya?" Moira mulai merasa lebih aman membuka diri walau dia masih kurang yakin apakah dia harus mempertimbangkan tawaran pekerjaan ini dengan serius. Dia butuh waktu berpikir matang-matang.

"Iya, tentu saja, pikirkanlah dulu masak-masak. Moira, ada satu hal lagi yang perlu kamu tahu soal betapa selektifnya saya dalam memilih mahasiswa tahun pertama yang boleh bergabung ke tim penelitian saya sebagai asisten. Saya harus pilih-pilih karena saya bangga dengan penelitian saya dan saya hanya bisa menerima mahasiswa yang sudah terbiasa bekerja keras dan disiplin. Untuk memastikan saya hanya menerima mahasiswa yang punya prestasi gemilang, saya meminta agar semua calon mahasiswa yang mendaftar jadi asisten juga mengumpulkan sekurang-kurangnya tujuh surat rekomendasi dari tiga atasan mereka. Surat-surat tersebut bisa dikumpulkan dalam waktu yang berbeda karena saya ingin melihat perkembangan pribadi si calon mahasiswa dan bagaimana kelakuannya sebagai karyawan, tapi yang jelas surat-surat tadi harus dikirimkan oleh tiga atasan, jelas? Kenta tentu saja akan menjadi atasan pertamamu, namun saya ingin kamu mencari dua pekerjaan lain yang tidak saling bersangkut paut, yag tidak ada kaitannya dengan Kenta. Maaf kalau saya terlalu pemilih, tapi saya tidak bisa memberikan kamu kelonggaran atau keringanan hanya karena kamu punya disabilitas, itu bukan wewenang saya. Akan tetapi, saya bisa mempertimbangkan disabilitas kamu saat saya nanti membaca surat-surat dari para atasanmu. Jadi, jangan khawatir berlebihan tentang kemampuanmu bekerja, kamu hanya perlu mendapatkan dua pekerjaan tambahan dan kalau kamu berhasil memperoleh dua pekerjaan lagi maka saya akan tahu bahwa kamu tidak main-main dengan keinginan kamu kuliah di Anggrek Biru." Lee memberi instruksi lebih lanjut dan menjelasan ekspekstasi beliau.

Moira merasa seperti dialiri listrik, bukan karena dia merasa Lee telah menuntut hal-hal yang tidak masuk akal, tapi karena, selain kedua orangtua Neesa dan Bu Roberts di sekolah, hampir tidak ada orang dewasa yang memperlakukan Moira sebagaimana remaja tanpa disabilitas alih-alih anak kecil ingusan yang harus dijaga. Di hati kecilnya yang terdalam, dia sangat bersyukur karena Lee tidak mau memberikan dia pengecualian hanya karena dia seorang penyandang disabilitas.

"Terima kasih banyak, Lee. Apakah ada tenggat waktu kapan saya harus mengumpulkan surat-surat rekomendasi? Setiap surat harus seberapa panjang? Apakah saya boleh membaca suratnya sebelum dikirim ataukah itu tidak etis?" Moira sangat berhati-hati dan ingin memahami peraturan pendaftaraan secara seksama dan menyeluruh.

"Setiap surat sebaiknya hanya sepanjang setengah halaman karena kalau terlalu panjang kesannya atasan kamu hanya berbasa-basi dan tidak tulus. Saya mengharapkan surat-surat rekomendasi tiba di meja saya sekurang-kurangnya empat minggu sebelum perkuliahan semester musim semi dimulai. Saya ingin surat-surat itu dikirim langsung oleh para atasan kamu ke saya lewat amplop yang tertutup rapat dan maaf, tapi saya tidak ingin kamu membaca apa yang atasan kamu tulis. Ini bukan karena saya takut kamu akan berbuat curang dan mengubah kata-kata mereka, tapi karena saya percaya kalau hubungan kamu dengan para atasan baik, logikanya tanpa membaca surat mereka pun pastinya kamu tahu mereka akan menulis yang baik-baik saja tentang sifat dan kemampuanmu. Iya toh?" Lee bertanya balik ke Moira.

"Dimengerti. Saya berjanji akan melakukan yang terbaik!" Moira menyilangkan jari jemarinya.

"Saya senang mendengarnya. Oke, semoga berhasil. Saya harus tutup telpon sekarang, selamat malam." Lee mengakhiri panggilan telepon dan Moira, masih memproses percakapan mereka, meloncat-loncat hingga Neesa tertawa. Paman Martin dan Bibi Zoe tentu saja menguping perbincangan tadi dan mereka bangga pada Moira karena telah mengambil langkah pertama dalam memastikan dia tahu apa yang harus dikerjakan selanjutnya.

Hari yang ditungu-tunggu akhirnya datang dan, di hari pertama liburan musim dingin mereka, Neesa menemani Moira di suatu pagi yang membeku menyusuri jalan setapak menuju apartemen Kenta hanya beberapa meter dari Akademi Lili Hijau. Dengan kikuk, Moira membunyikan bel dan seorang pria muda berperawakan tinggi berusia dua puluh tahunan dengan rambut yang dicat abu-abu membuka pintu, dia memakai apa yang tampaknya sarung tangan untuk memanggang kue. Neesa dan Moira berusaha sekuat tenaga untuk tidak cekikikan.

"Kalian pasti Moira dan Neesa! Aku Kenta. Ayo masuk, aku tidak ingin kalian membeku! Ah, abaikan sarung tanganku, aku baru saja memanggang kue muffin untuk sarapan. Kamu boleh mencicipi hasil karya dapurku!" Suara Kenta terdengar melodius dan Moira kaget karena dia sudah berkespektasi suara Kenta akan terdengar mirip Lee Kinoya yang suaranya berat dan maskulin. Neesa, di sisi lain, terlalu sibuk memikirkan kue muffin yang enak dan sama sekali tidak peduli tentang suara Kenta yang cukup feminin. Kenta meminta para gadis melepas jaket musim dingin mereka dan dia menggantung jaket mereka di lemari. Apartemen Kenta terlihat nyaman, perapian elektrik memberikan suasana hangat yang mengundang dan dinding biru muda membuat Moira dan Neesa teringat langit cerah di musim panas. Aroma kue muffin menguar di udara dan menerbitkan selera.

"Kue muffin ini resepku sendiri, lho. Aku membuat kue muffin tanpa gluten. Bukan karena aku punya alergi makanan tertentu atau apa, tapi aku kemarin menemukan tepung kacang almond dan tepung kelapa dengan harga miring dan kebetulan dua jenis tepung itu tidak mengandung gluten. Gimana, kue muffin yang aku bikin enak enggak?" Kenta mengajak mengobrol sementara tamu-tamunya mencicipi kue buatannya.

"Enak sekali! Aku bisa merasakan pisang dan vanilla. Kakak pakai pisang sungguhan, ya?" Neesa memuji Kenta, berharap dibolehkan membawa sisa kue muffin pulang.

"Iya, kamu perhatian juga. Omong-omong, Moira, kamu kok diam saja dari tadi? Tidak usah malu! Kamu akan jadi anak magangku, jadi santai saja kalau mau tanya-tanya soal penelitianku. Atau mungkin lebih baik kita bahas besok saja pas kamu sudah mulai magang betulan?" Kenta khawatir jangan-jangan Moira tidak menyukai sikapnya atau tidak suka kue muffin.

"Oh, aku cuma lagi mikir tentang apa yang Lee waktu itu bilang ke aku tentang kakak. Beliau benar, kakak memang cowok yang baik. Jadi, kakak memang sering bikin kue atau hanya kadang-kadang?" Moira akhirnya bersuara setelah lama membungkam.

"Aku sudah suka bikin kue dan memasak sejak masih kecil. Awalnya, itu adalah caraku untuk mencari teman. Ibuku bilang orang-orang akan lebih mudah menerimaku sebagai teman mereka kalau aku memberi mereka hadiah, jadi aku mulai memberi teman-teman sekelasku kue kering buatanku sendiri. Beberapa dari mereka menerima kue buatanku dengan senang hati tapi beberapa yang lain tidak mau menerima kue dariku karena mereka pikir aku anak aneh. Ya mungkin aku memang aneh tapi aku kan tidak merugikan siapa pun, jadi aku tidak berhenti bikin kue. Sebetulnya aku diterima masuk Anggrek Biru karena ada beasiswa jalur tata boga, apakah Lee sudah memberi tahu kalian? Aku mempelajari beragam tanaman bukan hanya karena aku tertarik pada biologi tanaman tapi juga karena aku ingin tahu bagaimana buahnya bisa menjadi bahan-bahan eksotis untuk kue dan roti buatanku." Kenta menjelaskan masa lalunya dengan ceria.

"Jadi inikah yang akan aku kerjakan untuk kakak? Kakak ingin aku membantu mengklasifikasi tanaman dan mencatat kecocokan buahnya untuk dijadikan campuran kue?" tanya Moira polos.

"Nggak juga. Aku mau kamu jadi fotografer! Aku butuh foto-foto berkualitas baik dan kamu bisa menjadi orang yang pegang kamera. Aku juga butuh orang yang bisa memupuk tanamanku, nanti aku beri tahu caranya kalau kamu tertarik, dan aku juga ingin kamu semprot tanamanku dengan pestisida organik. Aku bakalan sibuk membenahi laporan penelitianku untuk menyelesaikan jenjang S3, jadi sementara aku fokus revisi aku ingin kamu bantu hal-hal yang berhubungan dengan tanamanku. Kamu sanggup kan?" Kenta mulai menjelaskan tanggung jawab Moira sebagai anak magang.

"Sanggup. Jadi, tanaman yang sedang kakak pelajari untuk S3 ini, apakah bisa dimakan?" Moira bertanya dengan penuh penasaran.

"Tanaman ini bisa menjadi pengganti soda kue! Jadi ya memang bisa dimakan tapi kalau masih mentah rasanya pahit. Tanaman ini butuh perawatan yang benar-benar ekstra, sih, karena tanaman ini cuma bisa tumbuh di iklim yang dingin dan bakal mati begitu mekar, jadi aku harus panen bunganya saat masih merekah. Oh, aku hampir lupa memberi tahumu nama tanamannya! Tanaman ini dinamai Ragi Lembayung karena warnanya seperti ceri tapi baunya seperti jamur. Tapi, tidak seperti jamur, Ragi Lembayung tidak tumbuh dari spora dan tidak tumbuh di kayu lapuk. Tanaman ini tumbuh dari biji dan cuma bisa tumbuh di atas es. Menariknya, tanaman ini tumbuh sangat cepat dan bisa mekar hanya dua bulan setelah berkecambah. Penelitianku berkutat pada mencari tahu apa yang menyebabkan tanaman ini punya kecepatan pertumbuhan yang sangat pesat dan fantastis." Kenta berujar sambil membawa piring dan nampan kue yang sudah kosong ke tempat cuci piring.

"Apa ada alasan tertentu kenapa Ragi Lembayung hanya bisa tumbuh di planet Beringin Putih dan hanya di kota ini, kenapa tidak bisa tumbuh di tempat lain? Mungkin selain perlu iklim dingin tanaman ini juga butuh asupan nutrisi tertentu?" Neesa angkat bicara setelah kenyang makan kue muffin.

"Es di kota kalian unik dan tidak bisa ditemukan di tempat lain. Es di kota ini mengandung tingkat garam yang sangat tinggi. Aku tahu kebanyakan tanaman tidak butuh garam, tapi kita bicara tentang tanaman langka yang luar biasa. Aku tahu dari penelitianku bahwa Ragi Lembayung menggunakan garam untuk memanaskan bongkahan es di mana tanaman tersebut tumbuh tanpa membuat es mencair. Tapi, aku masih butuh meneliti kenapa gerangan tanaman ini tumbuh di es dan bukan di tanah biasa, di samping pertumbuhannya yang secepat kilat." Kenta menguliahi para gadis. Penjelasan Kenta akan sangat membosankan dan membuat mengantuk orang yang tidak tertarik belajar biologi tanaman, namun Moira dan Neesa tertarik—menarik bagi Neesa karena dia berpikir ini akan menjadi informasi bagus untuk Bibi Zoe yang suka bercocok tanam dan menarik bagi Moira karena dia berencana melukis Ragi Lembayung dengan akurat. Moira ingin menambahkan satu lukisan lagi ke koleksinya yang semakin menggunung.

"Bagaimana bisa aku tidak pernah mendengar tentang atau melihat langsung bunga Ragi Lembayung dengan mata kepala sendiri, padahal bunga ini tumbuh di kotaku sendiri? Astaga, aku merasa seperti anak culun kurang pergaulan!" Moira merasa malu atas ketidaktahuannya.

"Oh, ayolah, jangan cemberut, tidak semua orang ingin jadi ahli botani. Tapi sekarang setelah kamu tahu, kamu bisa menggunakan kesempatan ini untuk mulai memperhatikan fenomena botani di sekitar tempat tinggalmu. Aku tahu ketertarikanmu bukan di bidang botani tapi kamu masih umur berapa coba, tujuh belas tahun? Ketertarikan kamu masih bisa berubah." Kenta menepuk-nepuk lutut Moira dengan akrab. Moira meringis dan gelisah di kursinya, berharap tidak ada yang sadar tentang kegelisahannya. Akan tetapi, mata Neesa sangat jeli.

"Moira tidak suka lututnya disentuh, dia bilang itu membuatnya agak kesakitan." Neesa memperingatkan. Kenta tersenyum malu dan cepat menarik tangannya dari lutut Moira.

"Maaf, tidak seharusnya aku sok akrab denganmu." Wajah Kenta semburat merah jambu.

"Tidak apa-apa, kakak tidak tahu. Aku memang sensitif terhadap sentuhan tertentu dan beberapa jenis sentuhan bisa sedikit menyakitkan karena sistem syarafku kerjanya sedikit berbeda dibandingkn sistem syaraf orang kebanyakan," ujar Moira.

"Iya, akan aku catat. Oh omong-omong, Lee bilang kamu butuh mencari dua pekerjaan lagi untuk bisa daftar jadi asisten peneliti, ya kan? Kebetulan aku kenal dengan keluarga pemilik perpustakaan di kota ini. Ibu dari keluarga tersebut adalah teman dekatku saat kami berdua masih menyelesaikan S2. Aku tidak begitu mengenal sang ayah, tapi sepertinya dia pria baik-baik. Anak perempuan mereka seumuran kamu, Moira, dan dia sedang berlatih menjadi pustakawati seperti ayah dan ibunya. Aku rasa keluarga tersebut tidak akan keberatan mengajarimu tata kelola perpustakaan. Apa pendapatmu?" Kenta buru-buru mengganti topik, setengahnya karena dia masih merasa bersalah sudah tidak sengaja menyakiti Moira dan setengahnya lagi karena Lee memintanya secara diam-diam untuk membimbing Moira tanpa membuat gadis itu merasa diperlakukan seperti anak-anak.

"Aku rasa aku tidak akan tahu apakah aku suka berkerja di perpustakaan atau tidak sebelum aku mencoba, ya kan? Jadi ya, tolong perkenalkan aku dengan keluarga pustakawan ini!" Antusiasme Moira terpancar jelas dari nada bicaranya.

"Bagus kalau begitu. Baik, sampai di sini dulu untuk sekarang. Besok pagi jam delapan lebih lima belas menit aku akan membawamu meliht bunga Ragi Lembayung, Moira, dan besoknya lagi kita bisa bareng ke perpustakaan. Neesa, kamu boleh ikut juga kalau mau, tapi kayaknya kamu sudah ada rencana, ya?" Kenta bangkit dan memutar kunci pintu depan sementara dua gadis di hadapannya memakai kembali jaket musim dingin mereka.

"Aku sudah janjian sama temanku untuk nonton bioskop besok, katanya tiket nonton film pagi-pagi itu murahnya gak wajar, tapi kalian duluan saja lihat bunga dan mungkin nanti kita bertiga bisa nonton film juga kalau ada waktu." Neesa berpamitan pada Kenta.

Salju turun dengan jauh lebih kencang dalam perjalanan pulang, tapi bukan masalah untuk Moira dan Neesa. Moira gembira karena, terlepas dari lututnya yang sakit, pertemuannya dengan Kenta berjalan lancar. Neesa juga gembira karena dia menganggap Kenta seorang pembuat kue yang mahir dan dia berharap bisa makan lebih banyak kue muffin dengan diangkatnya Moira menjadi anak magang. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top