Bab 15: Perbincangan Larut Malam, Studi Lapangan, dan Pemilihan Strategi

Dalam kegelapan kamar cowok, Moira bisa mendengar Nardho membalikkan badan dengan gelisah sebelum akhirnya cowok itu tidak lagi berusaha untuk tertidur dan memilih untuk berbaring dengan tenang. Moira meletakkan kepalanya di dada kekasihnya, dia bisa mendengar detak jantung Nardho dan merasakan hangat badannya.

"Malam-malam sunyi seperti ini, ketika dunia terasa berhenti sejenak dan hanya ada kamu dengan pikiranmu sendiri, apa yang kamu pikirkan?" Moira berbisik pelan, berhati-hati agar tidak membangunkan Tony dan Rain.

"Aku berpikir tentang Mama di rumah. Aku selalu memikirkan Mama sejak meninggalkan rumah untuk kuliah di planet Sycamore Merah, tapi sekarang Mama tahu konsidi kesehatanku, jadi aku berpikir jangan-jangan aku telah memaksa Mama bekerja jauh lebih keras gara-gara kondisiku ini. Menjadi seorang ibu dengan tiga anak tanpa seorang ayah itu sulit, kamu tahu. Maksudku, Kak Johan membantu perekonomian keluarga karena dia sudah punya pekerjaan dan Kenta sudah dianggap kakak kedua buat aku dan Nardhia, tapi sejujurnya aku pikir semua ini akan lebih mudah seandainya Papa masih tinggal bersama kami. Mama mengusir Papa karena homofobik terhadap Kak Johan. Maksudku, dulu waktu masih serumah dengan kami Papa memang membuat suasana tidak nyaman buat Kak Johan tapi setidaknya Papa tahu cara mengurus keuangan keluarga dan bisa menafkahi kami."

"Oh, aku benar-benar baru tahu tentang kondisi di rumahmu, sayang. Aku pikir sih Mama kamu pastinya tidak pernah merasa membayar kebutuhan medis dan obat-obatanmu sebuah beban. Kamu pastinya anak yang sangat disayangi Mamamu, Nardho, dan sebagai balasannya kamu juga menyayangi beliau. Itu saja seharusnya sudah cukup."

"Terima kasih atas pendapatmu. Hei Moira, menurutmu bisa nggak ya kalau aku dan saudara-saudaraku menabung supaya aku bisa punya paru-paru buatan? Itu lho, paru-paru bionik artifisial yang pada dasarnya suatu mesin yang bisa dipasang di luar tubuh dan bisa mengirim oksigen ke aliran darah seolah-olah ada kantung udara buatan yang menggantikan paru-paru yang rusak. Kalau misalnya aku ternyata tidak bisa memakai paru-paru buatan, kemungkinan selanjutnya adalah transplantasi paru-paru tapi tim medis harus memastikan terlebih dahulu paru-paru dari pendonor bisa cocok untuk aku karena selalu ada probabilitas tubuhku menolak paru-paru baru tersebut karena dianggap parasit atau benda asing, banyak lah komplikasi yang bisa terjadi, ini memang sesuatu yang sedikit mengerikan." Nardho meremas erat-erat tangan Moira.

"Kalau itu yang kamu mau, aku percaya pasti ada jalan kok. Atau kamu bisa adopsi binatang yang bisa membantu kamu, misalnya anjing, jadi anjing ini bisa mengonggong minta perhatian orang kalau tiba-tiba kamu sesak nafas atau ada di kondisi darurat."

"Maksudmu binatang yang sudah dilatih? Aku sudah punya binatang peliharaan dan namanya adalah Moira."

"Nardho! Aku kan bukan seekor anak anjing!" Moira mendorongnya dengan bercanda. "Tapi iya itu maksudku, mungkin kamu butuh anjing pintar untuk menjagamu."

"Hm. Anjing yang terlatih akan sangat berguna tapi aku tidak ada waktu merawat anjing."

Kedua remaja itu kemudian membisu dan Moira mencoba membayangkan seperti apa rasanya jika suatu saat dia menemukan kekasihnya sudah tiada. Dia menggelengkan kepalanya, tidak ingin hal itu menjadi nyata. Dia kuat, dia akan bertahan sampai kita semua lulus kuliah, kemudian kita semua akan mendapatkan pekerjaan yang baik, dan setelahnya dia tidak akan lagi khawatir tentang membebani Mamanya atau bergantung pada orang lain.

"Moira, kamu tidak percaya pada keajaiban, ya kan? Johan percaya. Dulunya aku juga percaya pada keajaiban, tapi sekarang aku sedang krisis keimanan. Kalau mempertayakan keimanan kia itu dosa, maka aku orang berdosa. Tapi aku ingin tahu pendapatmu." Nardho memanggilnya lembut.

"Menurutku, ada banyak hal yang belum bisa dijelaskan oleh sains dan ilmu pengetahuan kita yang terbatas tapi secara umum aku pikir keajaiban hanyalah usaha yang gigih ditambah dengan waktu yang tepat. Waktu yang tepat itulah yang kadang menjadi misteri."

"Waktu yang tersisa untukku mungkin tidak banyak lagi, sayang, tapi aku ingin menghabiskan sisa waktuku membuat kenangan indah bersamamu. Jadi, mari gunakan waktu yang singkat ini untuk semakin menyayangi satu sama lain. Aku masih Nardho yang sama, jadi perlakukanlah aku seperti kamu dulu memperlakukanku saat aku masih sehat."

Keesokan paginya, Lee pergi dengan Ardiansyah untuk melihat tanah pertanian sementara Ayumi pergi ke pasar seni untuk melihat keramik tanah lihat dan kain bersulam sementara Deandra sepertinya mengunci diri di kamarnya. Tanpa orang dewasa yang mengawasi gerak-gerik mereka, para mahasiswa merasa bebas mendiskusikan isi dan struktur dari e-mail yang akan mereka kirimkan ke Ardiansyah. Mereka semua berdiskusi di kebun belakang.

"Oke, mari satukan pikiran. Menurut kalian aku harus tulis apa untuk kalimat pembuka?" Tony bertanya pada teman-temannya, di tangannya ada perekam souara supaya dia bisa merekam gagsasan semua orang sambil menulis e-mail. "Bagaimana kalau kita mulai dengan kalimat yang sopan tapi tegas?"

"Iya, kita harus membujuk Pak Ardiansyah untuk bertindak tanpa terkesan seolah kita memaksa beliau. Hm, mungkin tulis saja kita tidak ada maksud campur tangan tapi kita peduli pada kemakmuran dan keselamatan kampung halaman beliau jadi kita memohon agar beliau bisa membujuk Nn. Milton juga." Moira mengemukakan pendapat dan Rain mengangguk, lantas menambahkan lewat alat pengubah teks jadi suara bahwa kalimat pembuka sebaiknya juga bernada ramah namun tetap jelas menggambarkan kekhawatiran para mahasiswa tentang bencana yang akan terjadi jika perusahaan tambang dibiarkan mengeruk sumber daya alam di sekitar kampung.

"Oke, kedengarannya masuk akal. Sekarang, bagaimana dengan paragraf selanjutnya? Kita harus menceritakan segalanya dengan terperinci, bukan? Tapi kita tidak boleh langsung menyalahkan Ayumi atau Nn.Milton, aku rasa itu kurang produktif. Mending kita bikin inti e-mail sesingkat mungkin tapi tetap netral." Vannie membuka suara.

"Setuju. Kita tidak boleh memihak, kita ini orang luar dan pendapat kita mungkin bisa disalahpahami atau diangkat kelewat batas, padahal kan kita cuma ingin membantu. Jadi, kita harus berhati-hati dalam memilih kata-kata. Kita cuma mau Pak Ardiansyah tahu apa yang terjadi tapi kita tidak boleh menjadi provokator dan memancing keributan. Kan kita sendiri masih belum tahu duduk perkara yag betul. Jadi ya kita tulis e-mail pendek namun maksud kita tetap tersampaikan." Nardhia menyarankan.

"Menurutku sebenarnya boleh kok kita bersikap memihak." Nardho berkata tiba-tiba. "Dengerin aku dulu. Ayumi itu kan putri dari Pak Ardiansyah, jadi tentu saja beliau akan mendukung putrinya dan pasti mengerti kenapa kejadian ini membuat Ayumi marah besar, kita harus manfaatkan kedekatan mereka, kita buat Pak Ardiansyah merasakan kemarahan Ayumi supaya beliau tergerak untuk melakukan tindakan preventif. Tapi kita juga jangan terang-terangan bilang kita memanfaatkan rasa sayang beliau pada putrinya." Nardho mengingatkan. Teman-temannya menganguk paham dan Tony menulis ulang e-mail yang akan dikirim.

Pada akhirnya, inilah yang ditulis oleh para mahasiswa setelah dua jam memeras otak:

Yth Pak. Ardiansyah,

Kami minta maaf karena membawa berita buruk di hari yang baik ini, tapi kami percaya ini sesuatu yang bersifat gawat darurat dan ada hubungannya dengan masa depan kampung halaman Bapak. Beberapa dari kami tidak sengaja mendengar percakapan pribadi antara Ayumi dan Nn. Deandra Milton, dari situ kami menyimpulkan bahwa keluarga Nn.Milton kemungkinan punya rencana memindahkan perusahaan tambang mereka ke Bukit Emas. Kami tahu kami belum punya bukti-bukti yang memperkuat tuduhan kami, tapi kami curiga perusahaan tersebut akan mengeruk habis Pronas dan Quenax yang terkubur di bawah area perhutanan dan jika itu benar maka ini adalah ancaman serius untuk ekosistem setempat: untuk kupu-kupu sayap pelangi, untuk para Gaburs, dan tentu saja untuk manusia juga.

Pak Ardiansyah, kami harap kami tidak melewati batas, tapi sebagai sekumpulan mahasiswa jurusan biokimia dan biologi spesies asing, kami merasa bisa membantu Bapak meyakinkan Nn. Milton untuk tidak menyetujui rencana bisnis keluarganya. Sebelumnya kami ingin mengeaskan bahwa kami hanya akan mengambil tindakan jika Bapak bersedia berbicara dengan Nn. Milton dari hati ke hati. Kami tahu Ayumi sedang diliputi amarah dan tidak mau bertatap muka dengan Nn.Milton dan sejujurnya kami mengerti mengapa situasinya bisa sampai seperti ini, itu sebabnya harus ada yang menjadi penengah. Seperti Ayumi, kami juga percaya bahwa keluarga Milton tidak puya hak mengelola Bukit Emas, kampung ini harus dikelola sendiri oleh anggota suku Pohon Kecil seperti Bapak.

Mohon agar Bapak berkenan memikirkan langah selanjutnya. Kami menyerahkan segalanya ke tangan Bapak.

Hormat kami,

Mahasiswa-mahasiswi Universitas Anggrek Biru

Setelah Tony menekan tombol kirim, semua bernafas lega namun tetap sedikit cemas. Nardhia berdo'a pada Bunda Maria bersama Nardho yang ragu-ragu agar Ardiansyah memahami e-mail yang mereka kirim, sementara Rain terlihat memilin-milin ujung kerudungnya dan Vannie komat-kamit membaca do'a dalam bahasa Ibrani. Moira tidak yakin apakah dia harus ikut berdo'a, dia bukan orang yang terbiasa berdo'a. Sementara itu, Tony melamun dengan ekspresi kosong. Sesaat kemudian, Vannie bangkit dan mengajak teman-temannya melihat penangkaran reptile dan amfibi. Karena para mahasiswa tidak punya acara lainnya, mereka semua setuju dengan ide itu.

Penangkaran tersebut sebetulnya museum yang juga merangkap menjadi monumen. Di satu sisi gedung, para mahasiswa bisa melihat aneka spesimen hewan yang sudah dikeringkan dan ditat di rak-rak tinggi sementara di sisi seberangnya ada meja-meja dan ornament-ornamen yang sudah diletakkan sedemikian rupa di atas altar. Para mahasiswa tertarik melihat altar itu lebih dekat.

Altar itu dihiasi oleh tulisan dalam bahasa asing dan untungnya Moira membawa kamus dialek Bukit Emas dan berhasil menerjemahkan kalimat yang menghias altar.

Barang-barang di atas altar ini didedikasikan pada para pahlawan kita yang gugur dalam memperjuangkan hak-hak manusia selama berlangsungnya protes terhadap penggundulan hutan-hutan alami di tanah kita bersama. Semoga kita bisa meneladani keberanian para pahlawan yang memasrahkan nyawa mereka demi masa depan saudara sekampung.

"Keren sekali, aku penasaran bagaimana rasanya hidup di tengah-tengah protes politik! Aku sangat mengagumi jiwa-jiwa pemberontak ini." Vannie berkata penuh rasa takjub dan membungkukkan kepalanya untuk menghormati para pahlawan yang gugur sementara Nardho dan Rain menyalakan lilin. Moira menuliskan sebuah pesan di buku tamu: Semoga pengorbanan para pahlawan tidak sia-sia dan dapat dijadikan saksi kejahatan manusia pada sesamanya.

"Vannie, kamu lupa kita sendiri sedang berada di tengah-tengah pergolakan politik. Kita telah membuka jalan dengan meminta Pak Ardiansyah berbicara dengan Nn. Milton, jadi aku rasa kita sedikit banyak sudah megikuti jejak langkah para pahlawan. Tapi kita tidak boleh menghitung anak ayam sebelum telur menetas, jadi tetaplah berharap yang terbaik dan bersiap untuk kemungkinan terburuk." Tony mengingatkan dan teman-temannya bergumam setuju. Selanjutnya, mereka beranjak ke sebuah ruangan bercahaya reman-remang yang dipenuhi akuarium dan tangki-tangki gelas kaca.

"Hei, Nardho, lihat, ada penyu! Aaah, mereka lucu banget!" Moira berteriak gemas.

"Itu kura-kura karena mereka hidup di darat. Penyu hidup di air atau dekat air." Nardho membetulkan. "Juga, tempurung mereka bentuknya beda, tempurung kura-kura lebih bulat dank eras seperti kubah."

"Beneran gitu? Aku kira bedanya kura-kura hidup di air tawar dan penyu hidup di air asin, iya nggak sih? Ataukah habitat mereka bersentuhan?" Moira semakin penasaran. Nardho menambahkan beberapa info baru dengan mengingatkan kekasihnya bahwa penyu biasanya hidup di laut atau di perairan payau, sementara kura-kura biasanya hidup di atas permukaan air dan bukan di dalam air. Dia juga memaklumi tidak semua penyu hidup di laut, ada beberapa penyu yang hidup di darat bagaikan kura-kura.

Moira masih bingung, jadi Nardho menyederhanakan penjelasannya lebih lanjut dengan mencontohkan penyu biasanya punya kaki yang seperti selaput atau sirip, sementara kaki kura-kura lebih pendek dan dilengkapi dengan cakar panjang untuk menggali tanah. Tambahan lagi, penyu adalah omnivore atau pemakan segala tapi kura-kura biasanya herbivora dan tidak memangsa hewan lain.

"Aku heran kenapa kamu ambil jurusan biokimia dan bukan jurusan studi spesies asing, kamu tahu banyak tentang anatomi hewan! Oke, ayo lihat kodok dan ular!" Moira berlari mendahului teman-temannya yang tertawa melihat sifatnya yang seperti anak-anak. Mereka memasuki ruangan khusus katak, Moira salah menyebutnya kodok. Di dekat pameran aneka katak, para mahasiswa bisa melihat salamander, aligator, bayi buaya, cicak, dan bunglon.

"Ooh, aku ingin bawa satu balik ke kampus tapi sayangnya di asrama kita hewan peliharaan itu tidak diperbolehkan dibawa masuk." Tony sibuk memerhatikan seekor iguana. Nardhia berkata iguana tersebut memang iguana yang cantic tapi tidak akan bahagia di kamar asrama yang sempit dan penuh sesak. Tony yang kecewa mulai bercanda tentang menyelundupkan iguana.

Tanpa terasa, sudah hampir satu jam para mahasiswa menghabiskan waktu melihat-lihat reptil dan amfibi jadi sekarang mereka sedikit keroncongan. Moira mengakses peta interaktif dan peta menunjukkan ada semacam izakaya atau warung makan kecil beberapa meter dari penangkaran reptile. Warung tersebut menyediakan ikan bakar, terong panggang, dan aneka minuman kalengan.

Dua orang pria muncul di izakaya tepat ketika para mahasiswa hendak memesan makanan. Dua pria itu tak salah lagi Ardiansyah and Lee! Pra mahasiswa kaget tapi tetap menyapa mereka dan Ardiansyah meminta tolong pramusaji agar meja-meja mereka dijadikan satu.

"kebetulan sekali melihat kalian semua berkumpul di sini, lagi igi makan ikan bakar, ya? Saya dan pak dosen baru saja mau traktir kalian eh kalian datang!" Ardiansyah tertawa dan Lee ikut tertawa kemudian mengucapkan terima kasih pada pramusaji yang menghidangkan pesanan.

Telepon genggam Ardiansyah bergetar dan beliau membaca pesan yang masuk. Ternyata yang masuk adalah e-mail kiriman para mahasiswa. Mata sesepuh itu terbelalak lebar dan beriau mmeperlihatkan layar telponnya ke Lee. Raut wajah dosen itu berubah pucat lalu beliau dan Ardiansyah memandangi para mahasiswa yang menunggu jawaban mereka dengan resah.

"Jika tuduhan kalian benar, dan saya asumsikan kalian tidak main asal tuduh, tentunya ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Tapi apakah ada gunanya bicara ke Deandra? Bahkan kalau kita bisa membujuk dia untuk tidak meneruskan bisnis keluarga, bisa saja ayahya mencari penerus yang lain." Ardiansyah berkata dengan nada suara sedikit skeptis. Lee mengangguk dan mempertanyakan hal yang sama.

"Kami percaya Nn. Milton lebih berpengaruh dari kelihatannya for dan sekarang ini kami masih meneylidiki apakah Nn. Milton mendukung atau menola recanan sanga ayah menjadikannya calon penerus binis keluarga. Kami hanya tahu bahwa Nn. Milton merasa terbebani oleh keputusan yang harus segera beliau ambil." Nardhia menjelaskan dengan sabar.

"Iya, seperti yang kembaranku bilang, kita cuma mengira-ngira." Nardho menambahkan.

Ardiansyah menghela nafas dan menelpon Ayumi, Kahoko, dan Deandra untuk meminta mereka datang ke izakaya. Tiga wanita itu datang dan awalnya mengira mereka hanya akan kumpul-kumpul makan siang biasa. Tanpa membuang waktu, sang pria lansia menjelaskan siatuasi dan Deandra menundukkan pandangan ke lantai.

"Dea-chan, kami mnegerti kamu sangat menghormati ayahmu karena bagaimana pun beliau tetap orangtuamu, tapi tidakkah kau berpikir permintannya ke kamu kurang bijaksana? Iya, kamu sudah dibesarkan agar kelak menjadi putri mahkota penerus perusahaan tambag dan pastinya keluarga igin kamu naik takhta, tapi apakah kamu ingin memimpin perusahaan yang merusak lingkungan dan menindas lebih jauh orang-orang yang sudah sejak dahulu tertindast?" Kahoko angkat bicara tentang dilema yang dialami sang ahli waris.

"Kamu bukanlah cetakan ayahmu, Dea, kamu berhak menemukan jalanmu sendiri dan berpikir secara mandiri. Apa kamu mau didikte seumur hidup? Aku tahu hatimu sebenarnya ada di industri desain baju-baju dan tas modis, bukan di perusahaan tambang! Aku tahu aalasan sebenarnya kenapa kamu dulu ambil jurusan Manajemen Binis hanyalah karena ayahmu mengancam tidak mau membayari kuliahmu jika kamu bersikeras tidak mau belajar mengelola perusahaan keluarga." Ayumi went straight to arguments.

Deandra menggigit bibirnya dan terus menatap lantai sbelum akhirnya berbicara dengan sangat pelan dan lambat.

"Aku...Aku tidak tahu bagaimana cara menentang kehendak Ayah. Aku tidak pernah melawan beliau. Aku selalu diajari untuk menyembunyikan perasaanku dan menjadi putri yang penurut kalau tidak mau Ayah marah. Bahkan Ibu sendiri tidak berani melawan Ayah. Orang-orang di sekelilingku membabi buta mengabdi pada Ayah."

"Ini saatnya lepas dari lantai dan berbicara, Dea! Dengarkan kata hatimu! Ayahmu telah sangat lama mengendalikanmu tapi sekarang kamu sudah dewasa dan harus bisa berpikir dewasa. Tolonglah kampung halamanku. Tidak ada salahnya menentang orangtua jika mereka ada di pihak yang salah." Ayumi memohon.

"Dea-chan, dengar. Aku tidak tahu banyak tentang lika-liku sejarah hubunganmu dengan Ayumi tapi aku bisa lihat kamu selalu menyimpan perasaan untuknya. Kamu tidak mau hubungan kalian kembali retak, bukan? Ayumi juga selalu menyimpan perasaan ke kamu dan dia hanya menjauh karena dia jenuh menunggumu. Kamu tidak mau kehilangan orang yang berharga untukmu, bukan?" Kahoko turun tangan membuka hati Deandra. Wanita muda yang diajak bicara itu bergetar bibirnya dan dengan tersendat dia membalas perkataan Kahoko.

"A-Aku tidak mau...kehilangan Ayumi untuk kedua kalinya, tapi.... Bagaimana caranya aku menunjukkan pada Ayah bahwa aku tidak lagi sejalan dengan visi dan misi perusahaan keluarga? Bagaimana jika aku tidak lagi dianggap bagian dari keluarga? Bagaimana jika aku nantinya menyesali keputusanku?" Deandra menyembunyikan muka di balik telapak tangan dan mulai menangis, badannya terguncang hebat.

Moira mendekatinya dan berlutut agar matanya sejajar dengan waita muda yang tertunduk lesu itu. "Nn. Milton, saya sudah pernah berjibaku dengan pertanyaan-pertanyaan seperti yang Nona tanyakan. Sahabat-sahabat saya di sini, mereka juga bergumul dengan pertanyaan sulit. Misalnya, sempat saya berpikiran saya tidak pantas terjun ke dunia akademis. Dalam kasus para shabat saya, mereka mempertanyakan identitas atau orientasi seksual mereka dan ada beberapa yang mempertanyakan cara bertahan dengan disabilitas yang mereka punya. Dalam kasus Nona, pertanyaannya adalah sikap moral yang harus diambil. Tapi Nona bisa lihat benang merahnya, kan? Ada saat di mana kita harus mengambil keputusan yang mengubah hidup kita. Jadi, kalau sekumpulan remaja saja dipaksa memikirkan keputusan-keputusan sulit, apalagi Nona yang sudah bukan remaja lagi. Nona bukan lagi anak kecil yang bisa dikekang. Sudah saatnya Nona berani buka suara. Nona sendiri yang tahu harus bagaimana."

Deandra membuang nafas dan sepertinya memikirkan perkataan Moira dalam-dalam. Wanita muda itu akhirya menganggguk pelan dan membalas dengan perspektif baru. "Aku rasa aku memang harus mengecewakan Ayah. Aku tidak ingin lagi hidup dalam kebohongan. Tidak lagi. Aku akan menelpon Ayah dan menggelar rapat dengan para pemilik saham." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top