Bab 14: Reuni Kawan Lama, Argumentasi, dan Perenungan Lain

Wanita bernama Deandra itu tersenyum pada Ayumi dan memeluknya. Moira menduga dua wanita itu mungkin saja teman akrab yang sudah lama tidak bertatap muka. Kahoko juga melihat dua wanita itu berpelukan, lalu mendekati mereka, sementara Deandra sedikit mendukkan badan untuk menghormati sang pemilik wisma tamu.

"Ny. Rivera, senang bisa melihat Nyonya lagi. Maaf saya datang tanpa mengabari terlebih dahulu, saya ingin memberi kejutan untuk Ayumi. Saya sedang liburan." Deandra menjelaskan.

"Selamat datang kembali, Dea-chan. Aku yakin Ayumi pasti kangen kamu dan pastinya suamiku Ardiansyah juga akan senang melihatmu lagi, kamu dan Ayumi kan dulu sekamar di asrama yang sama! Apa kabar keluargamu? Kamu sudah punya pekerjaan sekarang?" Kahoko menyambut teman dari putrinya. Ayumi mengisyaratkan agar ibunya tidak membawa-bawa persoalan pekerjaan Deandra namun Kahoko tidak peka.

"Eh, iya, saya sedang memutuskan mau kerja dengan Ayah atau tidak. Saya ditawari untuk meneruskan bisnis keluarga tapi saya masih tidak yakin, jadi saya minta Ayah waktu sebulan dua bulan untuk menenangkan diri. Perkampungan ini tempat yang cocok untuk merenung."

"Oh begitu. Ya sudah, anggap saja rumah sendiri. Selamat istirahat." Kahoko kembali ke dapur.

Deandra melepaskan pelukan Ayumi dan mengedarkan pandangan ke para mahasiswa. Ayumi menggelengkan kepala dan berdeham. "Jadi, harus ada perkenalan dulu. Dea, kamu mau menjelaskan hubunganmu denganku? Soalnya kamu langsung datang saja tanpa bilang-bilang."

"Halo semuanya! Sperti yang tadi kalian dengar dari Ny. Rivera, saya dulunya teman sekamar dosen kalian dan juga sahabat beliau. Eh, tunggu dulu. Kalau dipikir-pikir, Ayumi, kita lebih dari itu, bukan? Kamu keberatan kalau aku beritahu mahasiswa kamu?"

"Oke, aku rasa mereka tidak akan menghakimi. Jadi, semuanya, saya seorang lesbian dan dia juga. Kami dulunya punya hubungan putus sambung saat masih mempertanyakan identitas seksual kami. Kami akhirnya berpisah karena saat itu saya terlalu sibuk belajar untuk program doktoral sementara dia masih menyelesaikan tesis untuk S2. Saya tahu perbedaan umur di antara kami akan menjadi masalah tapi pada waktu itu kami benar-benar mencintai satu sama lain."

Para mahasiswa mengangguk paham dan Moira berpikir, dosen-dosenku sangatlah menarik. Sampai sekarang baru kali ini Moira melihat ada dosen yang blak-balakkan membuka seksualitas diri dan kehidupan pribadinya, jadi dia sangat terkesan. Anggrek Biru sepertinya memiliki kebijakan yang longgar antara hubungan dosen dan mahasiswa, Moira mengamati. Dia juga diam-diam penasaran apakah Ayumi dan Deandra bisa balikan. Di buku-buku romansa yang dia pinjam dari Neesa, cinta lama biasanya bersemi kembali. Moira kemudian berpikir dari mana dia pernah mendengar nama belakang Deandra, Milton, nama itu terdengar sangat familiar. Aha!

"Nn. Milton, maaf kalau ini terlalu memasuki ranah privasi, apakah Nona kenal Kenta Kinoya?" Moira bertanya dengan sopan.

"Oh, Ken-Ken! Ya, saya kenal, kok. Waktu saya masih mahasiswa, dia salah satu asisten dosen. Saya punya dua jurusan, Tata Busana dan Manajemen Bisnis, tapi saya juga mengambil beberapa kelas Biologi Asing karena iseng. Waktu Ken-Ken minta saya desain kostum untuk kalian semua, tentu saja saya mengiyakan. Cuma itu yang saya bisa buat untuk membayar kebaikannya. Cowok satu itu selalu ramah pada saya." Deandra berujar penuh nostalgia. Ayumi hanya meninju pundaknya main-main.

"Hm. Aku baru tahu Kak Kenta punya nama pangilan sayang selain hikari atau beruang kecil." Nardho mencibir. Nardhia tertawa bersama kembarannya dan mencoba membayangkan seperti apa Kenta saat dia masih mahasiswa muda yang imut-imut. Mereka berdua sudah kenal Kenta sejak dia berkencan dengan Johan di tahun kedua program sarjana, tapi sepasang kembar itu tidak tahu sama sekali seperti apa dia sebelum bertemu Johan. Yang mereka tahu, Kenta dulunya sempat mengambil jurusan Agribisnis. Tata surya ini begitu mungil, buktinya dua orang yang aku kira tidak punya kaitan apa-apa ternyata malah saling mengenal, Moira mengobservasi.

Kahoko datang untuk mengajak semua orang makan malam. Beliau sudah menyiapkan makanan yang berlimpah ruah, seolah-olah ini bukan makan malam biasa namun suatu perjamuan. Ada daging dan nasi kuning, sekeranjang penuh buah-buahan tropis, dan gelas-gelas berisi minuman yang tampaknya berupa campuran sirup warna-warni.

"Saya membuat carne asada con arroz caldo, semacam makanan Meksiko-Filipina. Jadi intinya hidangan ini adalah sejenis daging goreng yang disajikan bersama nasi pulen yang dimasak dengan kaldu ayam dan dilengkapi kunyit serta aneka rempah-rempah. Saya tahu di sini ada mahasiswa Yahudi dan Muslim juga, jadi saya memastikan semua makanan kosher dan halal. Rain, saya kehabisan daging sapi tapi saya dengar kamu juga bisa makan daging domba, jadi saya masak daging domba untukmu."

Terima kasih, Anda sangat baik hati, jawab Rain dalam bahasa isyarat, diterjemahkan Vannie.

"Oh, Rain, aku jadi ingat. Beberapa saat lalu saat aku masak-masak di asrama, salah satu bahan yang aku gunakan adalah daging babi. Kamu tidak makan daging babi, kan? Aku benar-benar lupa salah satu temanku itu Muslim!" Nardho meminta maaf.

Jangan dipikirkan, kawan, aku makan masakanmu yang lain seperti kacang panjang dan ubi manis rebus, Rain mengacungkan jempol tanda semuanya baik-baik saja.

"Nardho, saya dengar kamu suka minum teh, jadi saya merebus sencha dan genmaicha. Sencha itu teh Jepang dari pucuk daun terbaik dan genmaicha itu campuran teh hijau dengan air beras merah."

"Oh, wow, Ny. Rivera, Anda benar-benar baik. Terima kasih, saya tidak tahu harus bagaimana membalas budi."

"Tak perlu dibalas, nak. Tugas pemilik wisma tamu adalah memperlakukan para tamu dengan baik supaya mereka nyaman."

Masakan Kahoko benar-benar sedap dan semuanya makan sampai puas. Moira sangat menyukai daging goreng rempah yang diiris tipis-tipis, nasi yang tersedia juga wangi dan tidak lembek. Setelah makan, Moira berencana berendam di permandian air panas di belakang wisma tamu bersama Vannie dan Nardhia, namun tiga remaja perempuan itu menghentikan langkah ketika mereka mendengar suara dua wanita bersitegang. Ayumi terdengar kesal dan Deandra terdengar seolah sedang dipojokkan oleh sang dosen.

"Apakah kamu mendengarkan dirimu sendiri?! Jadi kamu akan membiarkan ayahmu mengendalikan masa depanmu?!"

"A-Aku rasa kamu tidak memahami dilema yang kuhadapi. Aku tidak ingin mengecewakan Ayah, namun—"

"Namun apa? Namun kamu tidak bisa mendapatkan kerja tanpa uluran tangan ayahmu? Jadi kamu lebih memilih untuk merusak seisi kampung ini dibandingkan mencari pekerjaan lain dengan jerih payah keringat sendiri, ya? Egois!"

"Aku tidak pernah minta dilahirkan sebagai putri seorang pemilik perusahaan tambang! Aku sedang mempertimbangkan menolak tawaran Ayah! Aku tidak punya mimpi menjadi pemimpin perusahaan, apa lagi menghancurkan perkampungan Bukit Emas!"

"Dan kamu butuh satu bulan hanya untuk mempertimbangkan ini? Kamu menunda-nunda, Dea! Kamu sedang lari dari masalah dan kamu tahu itu."

"Aku mohon.... aku mohon bantulah aku. Tolonglah. Mungkin ada jalan tengah. Aku meminta bantuanmu. Tolonglah."

"Aku mencintaimu, Dea, tapi ini kampung halamanku dan kamu akan merusak kampung ini. Untuk apa?"

"Tunggu, apa maksudmu? Jangan begitu! Kamu tahu aku minta bantuan agar kita berdua bisa sama-sama mencari titik temu!"

Ayumi tidak menjawab. Bahkan, wanita itu mendengus marah dan membanting pintu di belakangnya, meninggalkan mantan kekasihnya sendirian. Ayumi melotot ketika sadar ada tiga gadis remaja yang ternyata mendengarkan pertengkaran tadi. Beliau menatap mereka tajam.

"Sejak kapan kalian bertiga menguping? Itu pembicaraan pribadi! Saya akan memberi kalian detensi!"

"Kita sudah tidak di kampus lagi dan maaf ya, tapi Profesor dan mantannya Pofesor itu bertengkar ribut sekali, mana mungkin kami tidak dengar." Nardhia protes.

"Hmph. Oke, tapi jangan lapor ke Lee, janji? Saya akan mengurus ini sendiri." Ayumi beranjak pergi.

Di permandian air panas, para gadis tidak bisa santai karena mau tak mau pikiran mereka semua kembali ke pertengkaran di antara dua wanita tadi. Nardhia mendesah pasrah dan memakai kembali bajunya. Dia mengajak dua temannya untuk duduk di sauna tertutup saja supaya mereka bisa berdiskusi dengan lebih leluasa.

"Hei, Moira, Vannie, menurut kalian adakah jalan tengah untuk menyelesaikan dilema yang dihadapi Nn. Milton?"

"Mana tahu, tapi kira-kira apa ya yang Ayumi maksud tentang pengerusakan Bukit Emas? Tunggu-tunggu, jangan-jangan keluarga Milton mau memindahkan perusahaan tambang keluarga mereka ke perkampungan ini? Tapi memangnya di kampung ini ada hasil tambang?" Moira berpikir keras, mencoba mengingat-ingat berita simpang siur yang dia baca ketika beberapa saat yang lalu dia begadang mempelajari silabus kuliah.

"Setahuku, perkampungan ini dipenuhi hutan tapi siapa yang tahu apa yang tersimpan di bawah tanah hutan lindung? Bisa saja di bawah tanah ada Quenax dan Pronas, dua elemen yang dibutuhkan untuk bahan bakar peswat luar angkasa. Sayangnya kedua elemen tersebut radioaktif dan tidak stabil, hampir dua kali lipat lebih buruk dibandingkan bom atom yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki di Bumi Tua pada tahun 1940an. Aku tidak akan kaget kalau ternyata inilah kerusakan yang Ayumi maksud, ada kemungkinan untuk bencana nuklir." Vannie menjelaskan, dibarengi dengan wajah takut dua gadis lainnya. Ternyata cewek satu ini doyan belajar sejarah, pikir Moira.

"Sumpah kamu serius?! Ada kemungkinan bencana bom atom dan Ayumi menyuruh kita untuk merahasiakan ini? Nggak, kita nggak boleh merahasiakan ini! Bagaimana dengan kehidupan Pak Ardiansyah dan Bu Kahoko? Bagaimana dengan suku Pohon Kecil? Bagaimana dengan para Gaburs yang tidak bersalah dan kupu-kupu sayap pelangi yang Nardho waktu itu kasih lihat ke aku? Tidak pentingkah semua itu?" Moira marah sekali.

"Moira, aku rasa ini tidak bisa tetap dibiarkan menjadi rahasia. Kita harus ngomong ke cowok-cowok dan Rain, tanya apakah mereka bertiga punya ide dan teori lain. Setelah diskusi baru kita bisa memutuskan bersama apakah kita harus melibatkan orangtua Ayumi dan memberitahu Lee. Betul kan, Vannie?" Nardhia melirik teman-temannya dengan penuh harap. Para gadis mengangguk setuju.

Cowok-cowok dan Rain berkumpul di kebun belakang memandangi langit yang penuh bintang. Tony mengenggam jaring serangga di tangannya, sepertinya dia sedang ingin iseng menangkap dan melepaskan beberapa jangkrik. Rain sedang mendengarkan buku audio. Nardho duduk di bawah pohon berbunga ungu, memainkan nada-nada acak dengan gitar akustik mini. Moira merengkuhnya dalam dekapan hangat dan senyum mengembang di wajah Nardho begitu dia menengadah dan melihat kekasihnya. Dia mengesampingkan gitar dan mencubit pipi Moira dengan gemas. Cewek itu meringis sedikit namun tidak berhenti merangkul.

"Hai, sayang. Bagaimana tadi di permandian air panas? Aku sedang mencoba membuat lagu yang bagus. Mau dengar?"

"Iya, tapi nanti. Ada yang mau diomongin sama aku dan cewek-cewek, kalian harus dengar."

Nardho mengisyaratkan agar Tony dan Rain menghentikan apa pun yang sedang mereka lakukan kemudian mereka bertiga mendengarkan Moira menceritakan kejadian antara Deandra dan Ayumi. Cerita tersebut membuat Rain marah dan mulai menggerakkan tangannya berbahasa isyarat dengan sangat cepat. Kecepatan tinggi tersebut membuat Vannie tidak bisa menerjemahkan semuanya sekaligus, jadi dia hanya memberi ringkasan.

"Semuanya, Rain bilang Deandra salah tapi Ayumi juga salah karena langsung membuat kesimpulan tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara. Rain juga bilang kita harus bertindak dengan cepat jika kita tidak ingin Bukit Emas menjadi perkampungan yang hancur karena kecerobohan manusia. Kita tahu leluhur kita adalah orang-orang super kaya yang punya duit untuk kabur dari Bumi Tua, tapi kita bisa bersikap lebih bijaksana dari leluhur kita. Rain pikir sebaiknya kita tanya pendapat Pak Ardiansyah terlebih dahulu."

"Iya, aku tahu betapa sombong leluhur kita, mereka pikir teknologi canggih pasti bisa mengatasi segala masalah lingkungan hidup. Mungkin pandangan itu tidak sepenuhnya keliru, tapi coba pikirkan lagi, bukankah akan lebih baik andai kata leluhur kita dulu tidak pernah merusak Bumi Tua? Kalau kita tidak belajar dari kesalahan leluhur kita, planet Sycamore Merah bisa menjadi korban berikutnya." Nardho berkata dengan cemas.

"Nardho benar. Omong-omong, Rain, ide kamu cemerlang. Lee sudah pernah bilang kita tidak boleh bertindak seenaknya di sini tanpa mempertimbangkan pendapat warga Bukit Emas, kan? Jadi, ayo kita bareng-bareng tulis e-mail ke Pak Ardiansyah. Setahuku dia yang menjadi ketua kampung atau semacamnya." Tony angkat bicara.

"Aku setuju dengan ide tentang e-mail. Moira, kamu keberatan?" tanya Nardhia dengan mata yang berkilat penuh semangat membara.

"Tidak keberatan! Tapi sebaiknya malam ini kita santai saja, ini hari yang panjang dan melelahkan untuk semuanya."

Sekumpulan sahabat itu diam mndengarkan Nardho memukau semua yang hadir dengan alunan merdu dari gitar yang dipetiknya. Dia dan Nardhia bekerja sama menciptakan lagu yang terinspirasi oleh suatu film yang mereka tonton ketika mereka masih kecil, film tentang seorang anak perempuan dan anak laki-laki yang awalnya bermusuhan namun kemudian mereka terlibat usaha penculikan anak dan harus bersatu untuk bisa kembali ke rumah. Nardhia bernyanyi dengan suara selembut malaikat dan Moira takjub pada lirik lagunya, seperti ini:

Jika kita akhirnya mengerti/mengapa matahari menerangi kita/dan bulan menyambut di kala malam turun/jauh dari hiruk pikuk dunia/dan jika kita bisa pahami perbedaan/berpegangan tangan dan saling jatuh cinta/ mungkin nanti kita akan bisa menjawab/mengapa air adalah air/mengapa bintang-bintang berkilauan/mengapa bintang berkedip pada kita/dan mungkin peperangan akan berhenti/

"Iya, Nardhia, jadi kenapa bintang berkedip pada kita?" Tony bertanya retoris.

"Tahu deh, karena bintang adalah bola gas raksasa?" cewek itu mengangkat bahunya.

"Aku pikir itu karena mereka sebenarnya ada di masa lalu dan saat kita—"Nardho ingin menjelaskan namun tiba-tiba nafasnya menjadi pendek dan mukanya membiru dan dia terpaksa berhenti bicara. "Sakit..." dia mengerang seraya jatuh tersungkur. Nardhia mengisyaratkan agar semuanya tetap tenang dan dia berlari ke arah pohon berbunga ungu dan cepat-cepat mencari obat hirup di tas Nardho. Dia menemukan obatnya di kantong kain.

Moira meletakkan kepala Nardho di pangkuannya dan Nardhia memberikan kembarannya obat dan pereda nyeri. Cowok itu menghirup obatnya dan tersenyum penuh terima kasih. "Aku masih agak pusing tapi tidak sesakit tadi. Hey, Dhia, sebaiknya kamu jelaskan ke teman-teman tntang obat-obatan yang aku perlukan jadi kalau ini terjadi lagi dan aku benar-benar tidak bisa ngapa-ngapain, teman-teman tahu cara memberikanku pertolongan pertama."

"Tentu saja, ini menyangkut keselamatanmu. Teman-teman, karena kembaranku punya penyakit paru-paru, kadang dia sulit bernafas. Gejalanya seperti serangan asma. Sebenarnya setiap mingu dia harus ke puskesmas untuk terapi oksigen dan pengobatan lainnya, tapi sayangya di Bukit Emas tidak ada fasilitas itu. Aku sebenarnya sudah bilang dia nggak usah ikut studi lapangan, tapi dia keras kepala. Jadi dia sekarang bergantung pada obat hirup dan setelah sesak nafas seperti ini dia harus banyak istirahat."

"Ya, Nardho yang kita kenal memang keras kepala. Penyakitmu memang membuatmu lebih gampang capek, tapi kami semua di sini akan merawatmu." Tony menepuk tangan kiri Nardho pelan dan temannya itu balas menepuk dengan lemah. Moira mengenggam tangan kanan Nardho.

"Boleh aku berbagi rahasia? Aku sedang krisis keimanan. Aku tahu surga dan neraka itu ada dan aku tahu kalau aku orang baik dan sudah berjuang di jalur yang benar maka aku akan bisa bersama Tuhan Bapa di Kerajaan Allah, tapi bagaimana jika apa yang aku imani salah? Bagaimana jika Ayumi benar dan setelah kita meninggal hanya ada lingkaran kematian dan kelahiran kembali?" Nardho menerawang. Moira sangat ingin menghibur kekasihnya namun dia sendiri tidak tahu ajaran agama apa yang harus dia percayai. Nardhia mengangkat bahu karena dia sendiri tidak yakin apakah yang diajarkan dalam agama Katolik memang benar. Sementara itu, Tony tidak memeluk agama apa pun, hampir sama dengan Moira.

"Kalau Kak Johan sih, keimanan dia tidak pernah melemah saat imanku menjadi lemah. Dia bilang Bunda Maria menjagaku dan ingin agar aku tetap memanggul salibku. Aku mengerti simbolisme yang dimaksud, tapi bukankah sedikit tidak pantas bagi Kak Johan untuk menyamakan salib Yesus dengan salib pengikutnya?" Nardho meneruskan dengan rasa kesal yang terlukis di raut mukanya. "Aku juga tanya Kenta tentang ajaran soal kehidupan setelah kematian di agama Shinto dan dia bercerita tentang dunia bawah tanah bernama Yomi di aman yang hidup dan yang mati dipisahkan. Di dunia itu ada sungai yang lebar dan jiwa-jiwa orang yang sudah wafat akan dinaikkan ke perahu oleh seorang dewa bernama Enma. Jika kita orang jahat, kita akan dimasukkan ke salah satu lingkaran jigoku dan kalau kita orang baik maka tidak akan terjadi apa-apa, para makhluk bernama oni tidak akan menganggu kita. Aku suka alam gaib versi ini tapi aku jadi takut jangan-jangan aku bukan orang baik." Nardho berkata panjang lebar, nafasnya mulai tidak beraturan lagi.

"Menurutku kamu orang baik, Nardho, kamu sangat peduli pada Moira dan Nardhia dan kamu tidak pernah menjahati siapa pun. Dalam kepercayaanku, Yahudi Progresif, kami percaya manusia diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Kalau tentang alam gaib, aku belum benar-benar membaca kitab suciku dengan baik untuk bisa komentar." Vannie menambahkan. Rain mengatakan dalam bahasa isyarat bahwa dalam ajaran Islam malaikat Izrail akan mencabut nyawa manusia dan natinya di alam kbur manusia akan ditanyai tentang Tuhan, Al Qur'an, dan Utusan Tuhan. Jika jawaban benar, maka manusia yang berangkutan tidak akan disiksa di alam kubur. Nardho ketakutan dan Rain minta maaf atas ceritanya.

"Aku rasa belum saatnya kamu mati, kawanku Nardho, tapi kalau kamu masih khawatir, aku ingin kamu tahu bahwa kami semua di sini sayang sama kamu. Kalau tiba-tiba besok kamu mati, tentu saja kami akan menjaga Moira dan Nardhia untukmu." Tony berjanji, disetujui oleh Vannie dan Rain. Nardho tersenyum pada semuanya, matanya basah namun dia lebih tenang sekarang.

"Moira, maaf kalau ini mungkin tidak pantas, tapi bisakah kamu tidur di kamarku malam ini?" Nardho bertanya.

"Kalau itu membuatmu tidak ketakutan lagi dan tidak kesepian, tentu saja. Hanya malam ini." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top