Bab 13: Diskusi Jadwal Studi Lapangan, Waktu Kosong, dan Festival Gaburs

Catatan penulis: materi kuliah yang diberikan oleh Ayumi dan Lee di bagian ini adalah adaptasi dari presentasi yang diberikan oleh Ade Marup Wirasenjaya, seorang pengajar yang bernaung di bawah departemen Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dalam format kelas webminar yang diselenggarakan oleh Komunitas Peduli Lingkungan/Keliling INA, yaitu wadah untuk memfasilitasi dialog mengenai pelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Saya sangat berterima kasih pada Pak Ade atas materi yang beliau bagikan seputar ketahanan nasional dan lain-lain.

Perjalanan dengan bus menuju pusat perkampungan tempat tinggal suku Ayumi, suku Pohon Luar, memakan waktu dua jam. Untungnya, perjalanan tersebut cukup menyenangkan karena Moira dan teman-temannya dapat menikmati pemandangan alam dari balik jendela bus. Bukit Emas terletak di antara dua pegunungan dan musim gugur telah menyulap daun-daun di pepohonan menjadi sewarna batu rubi dan api unggun. Moira menyayangkan dia tidak membawa kanvas untuk melukis warna-warni pepohonan.

Bus berhenti tepat di depan sebuah wisma tamu besar yang telihat terbuat dari kayu bambu dan mahogani. Ayumi berbicara di telpon sebentar dan pintu terbuka. Terlihatlah seorang pasangan lansia, yang wanita terlihat seperti Ayumi versi lebih tua sementara yang lelaki memiliki kulit gelap, hampir segelap kulit Nardho tapi tidak segelap kulit Moira. Para mahasiswa langsung tahu siapa pasangan tersebut.

"Mama, Papa, aku pulang dan aku membawa beberapa mahasiswa. Semuanya, ini orangtua saya, Kahoko and Ardiansyah. Mereka akan dengan senang hati membantu kalian, Mama akan memasak makanan untuk kalian sementara Papa mengurus pertanian tidak jauh dari sini. Ada pertanyaan?" Ayumi memperkenalkan mahasiswa pada ayah dan ibunya.

Tidak ada pertanyaan, jadi Kahoko langsung menunjukkan di mana letak kamar para mahasiswa. Moira sekamar dengan Vannie dan Nardhia, sementara para cowok dan Rain ada di kamar lain. Ruangan mereka cukup luas dan kasurnya, sejenis kasur tipis yang bisa dilipat atau digulung, terhampar datar di lantai.

"Malam ini ada festival, saya harap kalian semua bisa datang. Saya sudah menyiapkan kostum yang bisa kalian pakai. Kalian semua harus siap sekitar jam setengah enam, mengerti? Saya balik ke dapur dulu." Kahoko menyambut tamu dengan hangat dan Moira merasa cara beliau berbicara sangat mirip dengan Bibi Zoe. Sekarang masih jam dua siang lebih seperempat, masih ada waktu sebelum festival.

Lee sudah menginformasikan pada Ardiansyah bahwa para mahasiswa perlu diberitahu sedikit tentang apa yang boleh dant tidak boleh dilakukan di perkampungan Bukit Emas, jadi lelaki paruh baya itu membawa semuanya ke ruang konferernsi. Ruangan tersebut dilenkapi dengan pepan tulis besar dan meja bundar, cocok untuk diskusi.

"Silahkan semuanya. Selamat kuliah dan berdiskusi. Belajar yang baik. Saya mau menggembala domba dulu." Ardiansyah pergi ke padang rumput.

Lee menyalakan projector dan menunjukkan peta Bukit Emas beserta daerah-daerah lain di sekitarnya, kemudian memberitahu para mahasiswa bahwa akan ada banyak ksempatan bagi mereka dalam enam bulan ke depan jika mereka ingin mengunjungi air terjun, menjelajahi bukit untuk melihat gua tersembunyi yang penuh dengan kupu-kupu, berenang di danau, dan masih banyak lagi kegiatan di alam bebas lainnya. Mendengar ada gua tersembunyi, Nardho melirik Moira dan sang gadis balik tersenyum padanya. Dia masih ingat momen istimewa di Gua Bunda Maria saat cowok itu pertama kali menyatakan perasaannya. Ayo kita sama-sama cari gua kupu-kupu selesai kelas, Nardho berbisik dan Moira mengangguk ke arahnya. Lee lanjut presentasi tentang peraturan yang harus dipatuhi para mahasiswa.

"Peraturan di sini sederhana saja. Pertama, kalau kalian ingin menjelajah sendirian terlepas dari kegiatan kelompok yang sudah diatur oleh saya dan Ayumi, kalian harus memberitahu Kahoko atau Ardiansyah. Komunitas di sini sangat ramah pada pendatang dan orang asing namun tetap saja kita harus sopan pada mereka. Kedua, kalian harus melepas alas kaki sebelum masuk ke kamar, di luar kamar ada rak utuk menaruh sepatu dan sandal. Ketiga, dan yang paling penting, lampu harus dimatikan setelah jam setengah sepuluh malam dan setiap pagi jam sepuluh kita semua akan bertemu di ruang tamu. Semuanya mengerti?" Lee bertanya ke seisi ruangan.

Para mahasiswa mengatakan mereka paham dan Lee lanjut menjelaskan bahwa para mahasiswa harus bertingkah laku baik sebagai sekutu orang-orang Bukit Emas, tapi sekutu bukanlah istilah yang tepat, lebih tepat kalau mereka memakai istilah "rekan". Misi para mahasiswa adalah membantu komunitas Bukit Emas mengumpulkan lebih banyak informasi seputar para Gaburs dalam rangka meningkatkan pelayanan yang diberikan oleh penangkaran dan suaka margasatwa.

Di samping itu tadi, para mahasiswa Universitas Anggrek Biru harus menghargai peraturan berikut: jangan bertindak atas nama Bukit Emas tanpa keikutsertaan warga Bukit Emas. Lee juga menguraikan bagaimana hubungan kemitraan yang asal-asalan, misalnya melakukan sesuatu yang akan berpengaruh langsung pada Bukit Emas tanpa melibatkan atau mendengarkan pendapat warga lokal, dapat berdampak buruk pada alam sekitar. Presentasi selanjutnya akan mencakup sumber daya alam di Bukit Emas, demografi, dan bagaimana populasi penghuni Bukit Emas semakin menurun sejak peperangan antar suku dan baru belakangan ini saja kembali melonjak.

"Baik, kalian semua tahu saya dosen biokimia dan bukan dosen ilmu sosial, tapi saya dan Ayumi sudah mengumpulkan fakta-fakta berikut untuk membekali kalian dengan beberapa pengetahuan yang penting kalian ingat jadi kalian bisa lebih menghargai hal-hal yang mungkin akan kalian alami selama studi lapangan di perkampungan ini. Pertama-tama, kalian tahu pengertian dari sumber daya alam, kan? Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang bisa kalian peroleh dari alam, misalnya getah pohon karet, buah cokelat, biji kopi, sayur-sayuran, dan aneka mineral. Jika populasi meningkat, sumber daya alam bisa semakin langka karena semua orang berebut mendapatkan jatah. Kelangkaan sumber daya alam akan berakibat buruk pada ketahanan sosial dan ketahanan pangan wilayah asal sumber daya tersebut. Ayumi bisa menjelaskan lebih lanjut dari sudut pandang orang yang mengerti sejarah perang antar suku di kampung ini."

Ayumi gentian mengoperasikan komputer dan materi presentasi muncul di layar. "Baik, terima kasih banyak Lee, sekarang saya akan menguraikan hubungan antara lonjakan populasi dan pertahanan wilayah. Lonjakan populasi dapat berujung pada kelaparan dan krisis air bersih. Ada dua jenis lonjakan populasi: lonjakan yang terjadi karena tingginya angka kelahiran dan lonjakan yang terjadi karena adanya arus pendatang baru atau gelombang imigran yang berbondong-bondong. Situasi di Bukit Emas adalah campuran keduanya—para wanita mulai berani menikah pada usia yang lebih muda atau pada usia subur dan pada saat yang bersamaan industri turisme mulai berkembang dan beberapa turis menetap sebagai warga naturalisasi. Oke sekarang, siapa yang tahu apa saja dua jenis ancaman terhadap ketahanan wilayah?" Ayumi mengajak para mahasiswa berdiskusi.

Moira menaikkan tangan dan Ayumi mempersilahkannya bicara, beliau banga gadis itu akhirnya mau berpartisipasi aktif, tidak seperti tiga bulan belakangan. "Um, setahu saya ada ancaman tradisional dan ancaman modern, bukan? Ancaman tradisional termasuk migrasi dan gelombang pengungsi, kelaparan, konflik antar anggota suku sendiri, dan urbanisasi. Ayumi, Anda sudah menjelaskan faktor migrasi. Jadi selanjutnya ada ancaman modern, ini termasuk hal-hal dalam skala yang jauh lebih besar, misalnya kerusakan alam atau marginalisasi ekologi, di mana kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak ketiga di wilayah tersebut malah ujung-ujungnya merugikan bagi penduduk setempat. Apakah hal demikian pernah terjadi di kampung ini, Ayumi?"

"Iya, pernah. Masih ingat kan prsentasi kamu dan Nardho kapan itu tentang penggundulan hutan? Penggundulan dan pembakaran hutan bukan kemauan suku Pohon Luar sendiri, sebenarnya itu program pemerintah untuk meningkatkan ketersediaan lahan pertanian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi planet ini. Sayangnya, rencana itu tidak berjalan lancar. Hari itu demokrasi gagal digalakkan, sungguh hari yang buruk! Rakyat bersuara menentang penggundulan hutan, tapi suara kami sia-sia tertelan kepentingan ekonomi."

"Wow, itu benar-benar buruk, Ayumi. Apa tanggapan orangtua Anda mengenai hal itu?" Moira bertanya penuh simpati. Ayumi mengangkat bahu dan mengatakan kedua orangtuanya tidak terlalu mengerti politik dan perkembangannya, tetapi mereka adalah dua dari sekian banyak orang yang tidak setuju dengan rencana penggundulan dan pembakaran hutan. Mereka harus mendekam di penjara beberapa minggu karena berani berpendapat. Untungnya, mereka orang-orang bermental baja dan hidup di balik jeruji penjara pun tidak membuat mereka kehilangan semangat. Ayumi kemudian bertanya kalau-kalau ada mahasiswa yang ingin mendiskusikan aspek ilmu politik atau hipotesis Nexus mengenai keterkaitan populasi, sumber daya alam, dan sistem-sistem politik.

Nardhia angkat bicara tentang hipotesis Nexus. "Jika suatu komunitas mengalami kelonjakan populasi namun tetap memiliki persediaan sumber daya alam yang tinggi, perubahan demografi tidak akan berujung pada instabilitas politik atau kerusuhan yang berakar pada kelangkaan sumber daya alam. Jika sebaliknya, maka hampir bisa dipastikan kerusuhan tidak bisa dihindari."

Begitu kelas selesai, Moira langsung mengunjungi kamar para cowok dan dia sudah siap mengiyakan ajakan Nardho melihat kupu-kupu bersayap pelangi. Dia membawa kamera namun tentu saja selain memotret dia sebenarnya juga ingin bisa membeli alat-alat lukis, sayangnya tidak ada toko peralatan lukis di perkampungan terpencil. Moira berjanji pada diri sendiri akan mengubah foto kupu-kupu menjadi lukisan begitu studi lapangan usai.

Nardho sedang duduk di kasur, terlihat dia makan bubur instan dalam gelas Styrofoam yang bisa didaur ulang. Moira khawatir kalau-kalau cowok itu jatuh sakit lagi. Tony seakan membaca raut wajahnya yang khawatir dan buru-buru menenangkan. "Pacarmu tidak apa-apa, Moira, dia memang suka bubur dan itu sudah jadi rutinitas hariannya. Itu bubur siap saji bubuk, dia tinggal tuang air panas."

"Aku juga suka bubur, lho, tapi aku suka bubur manis dan bukan bubur gurih. Aku makan bubur dengan kurma kering. Kalian harus coba kapan-kapan." Rain mengisyaratkan sembari menghempaskan diri ke kasur.

"Wow, kasur ini empuk sekali!" huma tertawa seperti anak-anak. Moira menekan kasurnya dengan ujung jari. Empuk, pikirnya. Kasur Moira di asrama kampus tidak senyaman ini.

"Moira, ada sesuatu yang harus aku sampaikan ke kamu perihal kesehatanku yang memburuk, tapi aku kehilangan kata-kata jadi aku meminta Kak Johan dan Kak Kenta menulis surat ke kamu." Nardho memberikan amplop kecil.

Isi suratnya seperti ini: Halo, Moira-chan, kamu sehat kan? Nardho-kun ingin memberitahu kamu sendiri, tapi sulit buatnya merangkai kata-kata yang tepat, jadi aku dan Johan yang mewakili. Penyakit bronkitis akut yang diderita Nardho tempo hari berubah menjadi pneumonia.

Kami kira dia sudah lebih baik sekarang dan tidak ada lagi penyakit yang membuat paru-parunya seolah ditindih besi berat, tapi setelah diperiksa ulang dia ternyata malah mengidap penyakit yang lebih ganas. Pernah dengar infeksi bernama sindroma penyakit pernafasan obstruktif kronis? Penyakit itu mengakibatkan peradangan paru-paru dan membengkaknya kantung-kantung udara di kedua sisi paru-paru. Ini bukan penyakit yang bisa disembuhkan.

Nardho mungkin akan berjuang melawan penyakit ini seumur hidupnya. Tolong jangan salahkan dia. Iya, dia orangnya keras kepala, kami sudah memarahi dia atas sikapnya yang kadang masa bodoh pada kondisi tubuhnya.Tapi kamu tidak perlu ikutan memarahi dia. Kamu harus mendukung dia untuk menjalani gaya hidup sehat dan hibur dia kalau dia sedang sedih atau kesakitan, oke? Berita baiknya adalah penyakit ini bukan karena virus tapi bisa jadi ada hubungannya dengan bakteria. Dia punya persediaan antibiotik dan obat pereda rasa sakit. Tolong ingatkan dia untuk minum obat setiap pagi.

Tangan Moira gemetar. Dia menjatuhkan surat itu dan memeluk Nardho erat seolah-olah itu terakhir kalinya mereka bisa berpelukan. Nardho mengelus kepala kekasihnya dan tersenyum sedih. "Hei, Moira, aku baik-baik saja. Aku masih hidup, kant? Aku masih hidup."

Moira ikut tersenyum sedih namun dia berkata dia senang Nardho berhasil melawan pneumonia dan dia juga berjanji akan tetap bersamanya apa pun yang terjadi. Memang terlalu cepat untuk megucapkan dalam sakit mau pun dalam sehat, tapi itulah yang ingin Moira lakukan.

"Ayo pergi lihat kupu-kupu! Ayolah, aku ingin melihatmu tersenyum!" Nardho batuk-batu dan pelan-pelan bangkit dari kasur. Moira meninggalkan Tony and Rain sendirian, mereka berdua masih sibuk mengeluarkan barang-barang bawaan dari koper.

Bergandengan tangan, mereka menyusuri jalan setapak di hutan yang penuh pohon-pohon tropis. Lantai hutan sendiri penuh dengan lumut dan pakis. Mereka berhenti di depan sebuah air terjun kecil. Moira memakai pakaian renang dan menaruh baju keringnya di balik semak sementara Nardho bertelanjang dada. Remaja lelaki itu menggandeng Moira ke arah air terjun dan menuntunnya memanjat batu-batu besar yang sedikit licin. Ada sebuah gua tersembunyi di balik bongkahan batu dan Nardho menyalakan senter. Moira berkedip beberapa saat dan terkejut saat dia membuka mata.

Puluhan atau bahkan ratusan kupu-kupu bersayap biru, hijau, emas, dan kuning menyerbu mereka. Satu ekor terbang melewati sepasang remaja itu dan mendarat di bahu Nardho. Moira mengabadikan momen itu dalam foto kemudian mereka berdua berpose di depan kamera. Gua ini jauh lebih keren daripada gua yang dekat sungai di kampus, Moira berpikir sambil mengirim foto-foto ke Nardhia dan teman-teman lainnya supaya mereka juga bisa ikut menikmati keindahan duniawi ini.

"Ini adalah sekumpulan kupu-kupu Ratu Alexandria, sayang. Mereka besar sekali ya, sebesar burung. Sayap mereka adalah sayap kupu-kupu terbesar di seluruh tata surya kita. Mereka awalnya hewan asli Papua Nuigini, sepertinya leluhurku membawa kupu-kupu bersayap pelangi ini jauh-jauh dari Bumi Tua. Sayap mereka indah, kan? Kak Johan memberitahuku nama ilmiahnya. Kalau tidak salah julukan saintifik dari kupu-kupu ini adalah Ornitophtera meridionalis dari order Lepidoptera."

"Whoa. Kamu benar-benar adiknya ahli biologi alien. Kok kamu nggak ambil jurusan biologi spesies asing padahal kakakmu pakar sepesies asing? Jangan bilang kamu nggak pintar Matematika atau alasan lainnya, kamu tuh orang paling cerdas di asrama tahu."

"Aku suka kok belajar biologi spesies asing, tapi aku lebih suka biokimia. Aku lebih suka menulis laporan percobaan dibandingkan menulis laporan studi lapangan yang panjangnya bisa berlembar-lembar. Hei Moira, karena kupu-kupu sayap pelangi tadi asalnya dari Bumi Tua, menurutmu kamu masih bisa mengingat nama-nama planet di tata surya leluhur kita?" Nardho mmberinya suatu tantangan.

"Bisa, tentu saja! Merkuri, Venus, Bumi, Mars, Uranus, Jupiter, Saturnus, Neptunus, dan dulunya ada Pluto. Aku tidak begitu pintar astronomi, ada yang belum disebut?" Moira mengitung dengan satu tangan.

"Benar semua!" Nardho bertepuk tangan dan mendekat. Moira benar-benar cantik dan manis, aku senang dia bahagia melihat kupu-kupu, tapi aku merasa sedikit bersalah membuat dia khawatir tentang penyakitku, pikirnya.

"Nardho, kamu hanya beberapa langkah dari wajahku." Moira merona merah dan tersenyum.

"Diam di situ, sayang. Sebentar saja. Jangan bergerak." Nardho maju selangkah dan bibir mereka saling bertemu. Ciuman pertama mereka. Moira memejamkan mata dan balik mencium Nardho. Bibirnya terasa asin seperti bubur namun gadis itu tidak peduli. Rasanya nyaman dan hangat, boleh juga, pikirnya sambil tetap dalam dekapan Nardho.

"Mm. Kuharap itu bukan ciuman yang buruk. Menurutmu?" Nardho menyembunyikan wajah di balik tangan, sedikit malu.

"Tidak, tidak buruk. Terima kasih. Aku belum pernah dicium atau mencium."

"Sama-sama, sayang. Hei, aku punya sesuatu buatmu! Keluargaku menyimpan suatu benda yang sangat amat kuno tapi aku tidak butuh lagi. Nih, kamu saja yang simpan. Ini alat untuk mendengarkan lagu." Nardho merogoh kantong celana pendeknya dan memberikan Moira alat pemutar musik.

Moira menekan tombol tertentu dan terdengarlah suatu lagu cinta, suara penyanyinya tenang dan sendu. Lagunya seperti ini: Duduklah di dahan di sebelahku, aku punya tangga lipat, tidakkah kau ingin memanjat, sayang? Kutahu banyak tentang pintu-pintu yang tertutup, tapi aku tak tahu bagaimana membuka pintu hatimu.

"Kulihat tanda tanya dalam dirimu. Oh bintang-bintang di langit, semua yang kau lihat bisa menjadi milik kita berdua." Nardho bernyanyi mengikuti irama lagu. Moira memandangnya penuh rasa kagum, terbuai oleh suaranya yang dalam.

"Bisa jadi milik kita, jika kita berjuang. Bila semua yang kau katakan benar, maka bintang-bintang akan membawaku padamu." Moira membaca catatan di kotak penyimpan alat pemutar musik itu. Ada nama penyanyinya dan tahun penciptaan lagu: Andrew Belle, Oh My Stars, 2010.

"Woah, lagu ini bagus sekali! Makasih, Nardho, Makasih!" Moira memberinya ciuman lagi.

"Mm-hm. Moira, aku tahu masih terlalu cepat untuk memikirkan kematian, tapi dengan kondisi kesehatanku seperti sekarang ini, sejujurnya aku sudah memikirkan itu. Jika suatu hari aku pergi tanpa bisa mengatakan salam perpisahan, dengarkan lagu ini sebagai kenang-kenangan."

Sepasang remaja itu kembali ke wisma tamu tepat waktu dan mulai bersiap-siap berangkat melihat festival. Kahoko memberikan cewek-cewek ikat rambut dan anting-anting sementara cowok-cowok diberi sabuk emas dan keris.

"Bagaimana penampilanku?" Rain mengisyaratkan sambil berputar memamerkan kostum barunya. Mengetahui huma adalah cowok dan cewek sekaligus, Kahoko membiarkan huma memakai kostum mana pun yang huma suka. "Kamu terlihat sangat menawan!" Vannie berseru terpesona.

Festival itu bernama Tari-Tarian Gaburs atau juga biasa disebut Hari Menghias Gaburs. Kahoko dan Ardiansyah memimpin rombongan mahasiswa ke alun-alun di tanah lapang, di mana seluruh anggota suku Pohon Kecil sudah berkumpul dan memainkan gendang. Di tengah keramaian, Moira bisa melihat gajah-gajah kecil bersayap dihiasi dengan bunga matahari, melati, mawar, dan kembang berbagai warna, seolah-olah mereka adalah peri-peri bunga. Entah mengapa Moira sedikit berharap gajah-gajah bersayap itu bisa berkilauan dan bersinar di bawah teriknya matahari dan mungin menyenandungkan lagu-lagu lembut seperti peri sungguhan.

"Setiap tanggal delapan bulan delapan, kami melepaskan para Gaburs dari penangkaran dan memuja mereka dengan mempersembahkan aneka bunga dan sesajen. Mereka senang diberi perhatian." Ardiansyah menjelaskan prosesi penyembahan dalam festival tersebut sementara seekor Gaburs mengitari kakinya dan mengeluarkan suara geraman rendah, hampir membuat Moira melompat takut. "Jangan khawatir, mereka tidak menggigit. Mereka herbivora. Saya baru saja memberi mereka pisang." Sang lelaki setengah baya menenangkannya.

Festival berakhir ketika matahari terbenam dan hati Moira penuh dengan kebahagiaan.

Saat mahasiswa kembali ke wisma tamu, seorang wanita yang tidak mereka kenal sudah menunggu. Mata Ayumi melebar melihat perempuan yang berpakaian elegan itu.

"Deandra Milton?!" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top