Bab 12: Jatuh Sakit, Krisis Eksistensial, dan Perjalanan Dengan Kereta

Sudah lima hari berlalu sejak rapat besar asrama dan Kenta sudah menghubungkan Moira dengan temannya yang juga perancang busana. Seperti yang diperkirakan Kenta, teman tersebut memberi diskon khusus untuk Moira dan para mahasiswa tahun pertama. Semua orang berpartisipasi mendonasikan uang untuk bagian yang tidak kena diskon, bahkan keluarga Moira ikut membantu berlangsungnya projek para mahasiswa, jadi akhirnya Moira sama sekali tidak harus meminjam uang ke Kenta atau Johan. Bebas dari urusan pinjam meminjam uang membuat Moira lega karena dia tidak mau sampai merepotkan orang lain. Meminjam uang tidak selalu buruk, Moira tahu itu, tapi tetap saja dia tidak ingin menjadi pihak yang dipinjami.

Ayumi telah berkoordinasi dengan Moira mengenai desain kostum yang sesuai. Jika merujuk pada foto-foto berumur beberapa abad yang diberikan oleh Ayumi ke Moira, harusnya kostum yang dipakai untuk pagelaran sandiwara bisa jauh lebih mewah dan mahal namun para mahasiswa angkatan Moira sepakat untuk membuat kostum sesederhana mungkin supaya hemat biaya. Kostum aslinya sudah termasuk ikat kepala dengan desain rumit dan belasan gelang kaki, namun Moira sudah menanyakan Ayumi apakah boleh jika dua benda itu diganti dengan bunga kering dan gelang manik-manik. Sang dosen tidak keberatan—inti dari menyewa kostum bukanlah untuk menganalisis apa persisnya yang dipakai suku Pohon Kecil di masa lampau, tapi untuk memahami bagaimana identitas kelompok dapat dibentuk melalui adanya budaya atau simbol budaya yang sama-sama diakui sebagi bagian dari keluhuran adat suatu kaum, dalam hal ini suku Pohon Kecil telah menyerap elemen berbagai budaya dan menuangkannya dalam bentuk kostum tradisional. Setelah dihitung-hitung, Moira berhasil tetap menyewa kostum tanpa jadi bangkrut. Dia senang bisa membuktikan tidak harus bokek untuk bisa mendapat nilai bagus.

----

Nardho sudah tidak masuk kuliah beberapa hari berturut-turut dan setelah empat hari tidak ada balasan pesan singkat atau panggilan telpon akhirnya Moira memutuskan untuk mejenguk sendiri. Tony sudah mewanti-wanti bahwa Nardho sedang ingin sendirian dan Nardhia juga menjelaskan kadang-kadang kembarannya itu perlu waktu mengatur suasana hati dan emosi yang kacau, tapi lama-lama Moira curiga ini bukan sekedar gangguan mood swing. Saat Moira menginjakkan kaki di lorong yang berisi deretan kamar cowok, dia terkejut melihat pintu kamar kekasihnya sedikit terbuka; dia bisa melihat remaja laki-laki itu terduduk lemas di meja belajar.

Lengan Nardho terlipat dan kepalanya diletakkan di atas lipatan lengan. Dengan ragu Moira menyentuh pundaknya. Saat cowok itu tidak merespon, Moira mengguncangnya pelan. Nardho mengerang dan terbangun.

"Mmm... Hari apa ini?" remaja itu bertanya lemah dengan suara serak dan mengedip bingung.

"Sudah akhir pekan. Jadi empat hari belakangan kamu sama sekali belum keluar dari kamar, ya, Nardho? Apa ada hal buruk terjadi? Kenapa pesan-pesanku tidak terjawab?" Nada bicara Moira bukan nada marah atau menduh, tapi nada prihatin bercampur khawatir.

"Sepertinya aku demam dan flu tapi aku tidak mau menyebarkan kuman. Di kampus ini kita hidup dengan banyak orang dan aku tidak mau menulari siapa-siapa, kamu juga tidak mau ketularan, kan? Tapi aku senang sudah ditengok. Tony sedang keluar membeli obat karena aku su—"Nardho tiba-tiba tumbang dan Moira menahan tubuhnya dan memapahnya ke kasur.

"Kamu kenapa?" Moira mengganjal Nardho dengan bantal. Dia meletakkan tangan di kening remaja itu dan benar saja kekasihnya demam. "Kamu seharusnya tidak usah menunggu sampai sakit begini untuk berobat," katanya sambil bergeser ke ujung kasur. Nardho tidak menyahut. Matanya tertutup dan nafasnya pendek-pendek.

Tony mengetuk pintu dan memberikan Moira obat yang dibelinya. "Dia tidur?"

"Sepertinya dia pingsan. Kondisinya sudah begini dari kemarin-kemarin? Kenapa dia tidak langsung periksa ke Klinik Kesehatan kampus?"

"Aku sudah membujuknya untuk berobat tapi dia menolak, katanya masih belum perlu. Eh, kepala batu nih orang."

"Apa Kak Johan tahu adiknya sedang sakit?" Moira penasaran kenapa pengurus asrama itu tidak mengabarinya tentang ini.

"Kak Johan sedang cuti akhir pekan sampai besok, kamu lupa? Asrama untuk sementara hanya dipegang oleh tim ketua asrama. Maaf, harusnya aku beritahu kakaknya Nardho sebelum jadi separah ini, mungkin kalau kakaknya sendiri yang membujuk dia mau mendengarkan."

Nardho merintih lirih dan Tony buru-buru beranjak ke sisinya. "Hei, ini Tony. Bagaimana perasaanmu, ada bagian tubuh yang sakit?"

"A-Aku haus." Nardho berkata tertahan. Tony memberinya air minum dan bertanya apakah tidak apa-apa kalau dia memanggilkan suster perawat dari puskesmas terdekat sekarang, walau seharusnya dia tidak perlu tanya, ini keadaaan darurat. Nardho akhirnya menyerah dan Moira menelpon nomor perawat dua puluh empat jam.

"Maafkan aku. Seharusnya aku bisa menjaga diri." Nardho berbisik nyaris tak terdengar.

Perawat tiba dan, setelah memeriksa Nardho, mengatakan penyakitnya bukan sekedar demam atau flu biasa. Nardho terserang bronkitis. Dia boleh tetap dikamar tapi harus mewaspadai suhu badan yang berubah tiba-tiba atau rasa sakit yang bertambah parah dan dia juga harus lebih banyak minum untuk menggantikan cairan yang hilang. Dia tidak boleh dehidrasi.

"Situasi bisa lebih gawat lagi, kamu bisa saja terserang sesuatu yang mengancam nyawa." Moira mendesah gemas dan mengacak-acak rambut Nardho dengan sayang. "Tolong panggilkan Nardhia," remaja lelaki itu memohon.

Saat Nardhia melihat kembarannya pucat dan tidak bergairah, dia memeluknya sangat erat dan tidak mau melepaskannya sampai Nardho mendorongnya pelan.

"Dho, kamu itu selalu deh, keras kepala. Apa jadinya kalau kamu pingsan saat Moira dan Tony sedang tidak ada? Hm, jadi ini pertama kalinya kamu sakit di kampus. Tapi tetap saja, kamu itu keras kepala banget, sih! Lihat di kaca, kamu semakin kurus!" kembarannya menghardik.

"Dh-Dhia..." Nardho tiba-tiba menangis.

"Hei, hei, jangan nangis. Jangan nangis, aku minta maaf, aku seharusnya tidak memarahi atau membentak kamu. Hei. Dho?" Nardhia panik melihat kembarannya terisak.

"A-Aku mual tapi aku juga lapar tapi aku juga tidak ingin memuntahkan makanan. Aku lapar tapi selera makanku hilang. Rasanya serba salah." Nardho menghela nafas.

"Oh. Aku kira kamu nangis karena aku bentak atau apa."

"Ja-jangan bilang Kak Kenta atau Kak Johan, janji? Tapi... ayo telpon M-Mama."

Nardhia menelpon rumah dan wanita bersuara lembut mengangkat telpon. "Ma, ini Dhia."

"Halo, nak. Kamu dan kembaranmu sudah lama tidak telpon rumah, apa kabar kalian?"

"Aku baik-baik saja, Ma, tapi Nardho lagi sakit dan ingin bicara sama Mama."

Nardho mengambil telpon dari kembarannya dan menelan ludah. "M-Mama, tolong ajari aku cara merebus teh."

"Ah, jadi kamu benar-benar sedang sakit, kedengaran dari suaramu. Iya nak, tentu saja Mama bisa ajari, gampang kok. Jadi pertama-tama kamu harus menyalakan kompor dengan panas tinggi dan membiarkan air mendidih di atas panci. Tapi jangan terlalu lama merebus air, nanti airnya tumpah. Setelah itu kamu tinggal taruh satu kantung teh celup dan tunggu sampai air berubah warna, sekitar tiga atau empat menit tapi jangan kelamaan nanti jadi pahit dan pekat. Habis itu buang kantong teh, beri gula, dan kamu bisa tambahkan apa pun yang kamu suka."

"M-Makasih, Ma. Aku harus tutup telpon tapi aku sayang Mama. Andai saja Mama ada di sini."

Moira sedikit terkejut Nardho tidak tahu cara merebus teh. Di rumah Moira, memang Bibi Zoe yang memasak makanan dan macam-macam cemilan, tapi Moira merasa membuat teh adalah hal yang sangat mudah dan seharusnya tanpa diajari pun orang-orang harusnya sudah tahu sendiri. Ternyata ada ya orang yang baru tahu cara merebus teh, pikir Moira tanpa bermaksud mengejek Nardho. Cowok itu sibuk mencatat resep teh di buku tulis kecil. Tunggu-tunggu, dia nggak tahu cara rebus teh tapi kapan itu dia bisa bikin makan malam buat satu asrama? Anak aneh. Dia tidak tahu skala prioritas, ya?

"Moira, kalau mau komentar nanti saja," tegur Nardho malu.

"Aku tidak mengatakan apa-apa, sayang. Tapi aku sedikit kaget kamu ingin teh."

"Teh adalah satu-satunya minuman yang tidak kumuntahkan saat aku mual. Daripada perut kosong, kan. Tapi Moira, kamu benar, aku harus makan sesuatu yang mudah dicerna."

"Kamu bisa makan bubur? Kamu doyan bubur kan?" tanya Moira. Semoga dia suka bubur, aku cuma bisa masak bubur.

"Kamu pintar membaca pikiran, Moira. Dia suka bubur, bahkan kalau sedang tidak sakit pun dia akan dengan senang hati makan bubur." Nardhia tertawa dan Nardho mau tak mau juga ikut tetawa kecil mendengarnya. "Sayangnya dapur asrama tidak dibuka saat akhir pekan, tapi aku bisa pesan bubur dari restoran China depan kampus." Nardhia meraih telpon.

Bubur datang tanpa menunggu lama. Bubur beras, kental dan dilengkapi ayam suwir, biji wijen hitam, potongan daun bawang, dan sejenis roti yang Moira kira semacam churros Meksiko. "Kamu makan churros pakai bubur? Kamu aneh!" katanya tanpa berpikir.

"Ssst. Ini namanya youtian atau cakwe, dibuat dari adonan tepung yang digoreng. Ini hal terbaik di dunia setelah Nardhia." Nardho sibuk mengunyah, selera makannya kembali.

"Kamu bilang makanan dan Nardhia jauh lebih penting dari aku, hah?" Moira pura-pura cemberut manja sekedar untuk memancing reaksi. Pancingannya berhasil.

"Aduh. Bukan gitu maksudku, sayang! Sumpah. Tapi cakwe ini beda banget dibandingkan makanan lain yang ada di kampus dan bikin aku ingat rumah. Jadi ya gitu, kamu jangan paksa aku memilih antara makanan enak, kembaranku, dan cewek cantik sepertimu." Nardho merah padam sekarang. Nardhia tidak berhenti tergelak-gelak dan Tony juga terpingkal-pingkal.

"Aku akan membiarkan kalian kasmaran berdua. Mari kita biarkan mereka sendirian, Nardhia." Tony menggandeng kembaran Nardho keluar kamar dan pergi entah ke mana sambil terkikik.

"Lihat apa yang sudah kau perbuat." Nardho tertawa menggoda. "Tapi sungguhan deh, aku harus mengajakmu pergi makan cakwe kalau aku sudah sembuh. Mmm. Aku mengantuk." Nardho tanpa sadar kembali tertidur.

--------

Setelah dua atau tiga hari berlalu, Nardho akhirnya bisa bangkit dari kasur dan mengikuti perkuliahan seperti sedia kala, walau pun dia menjadi lebih banyak diam dan tidak berpartisipasi sesering sebelum dia jatuh sakit. Lee dan Ayumi tidak keberatan asalkan remaja laki-laki itu tetap membaca materi kuliah dan mengerjakan tugas dengan baik. Mereka mengerti Nardho belum sepenuhnya pulih.

Kuliah hari ini membahas peran agama dan kepercayaan dalam kehidupan sosial komunitas Pohon Luar dan Pohon Dalam. Lee telah menjelaskan singkat pada pra mahasiswa bahwa suku Pohon Luar kebanyakan ateis tapi tidak akan membicarakan ateisme kecuali ditanya langsung, sementara suku Pohon Dalam mempercayai suatu versi unik agama sinkretik yang sepertinya hasil penggabungan elemen-elemen Hinduisme dan Budhisme tapi tanpa dewa dan dewi dari agama Hindu. Intinya para anggota suku Pohon Dalam percaya konsep Budhisme tentang siklus penderitaan atau samsara dan juga konsep reinkarnasi dalam Hinduisme, tapi mereka tidak percaya Sang Buddha adalah orang yang Tercerahkan, di samping itu mereka juga menyangkal keberadaan Shiva dan Ganesha. Malahan, mereka punay dewa dan dewi sendiri yang tidak ada di kitab suci agama lain di luar perkampungan Bukit Emas. Setelah Lee menjelaskan konsep agama dalam kehidupan dua sub-suku Pohon Kecil, Ayumi mempersilahkan mahasiswa melempar pertanyaan. Di luar dugaan, para mahasiswa antusias ingin membahas konsep samsara.

"Apakah samsara sama dengan ketika orang yang beriman memangul salib mereka masing-masing dan tidak akan benar-benar bahagia sampai Hari Penghakiman di mana salib mereka diangkat dan orang-orang yang percaya masuk surga?" Nardhia bertanya, jelas sekali dia tidak punya bayangan lain soal agama di luar apa yang keluarganya ajari dan tafsirkan seputar iman Katolik.

Ayumi menggelengkan kepala dan menerangkan bahwa samsara bukan hanya eksistensi yang penuh derita tapi juga sebuah siklus di mana seseorang sangat berlebihan dalam mencintai hal-hal duniawi sampai-sampai dia tidak bisa mencapai kehidupan abadi setelah meninggal. Siklus ketidakpuasan tersebut membuat mnusia selalu ingin lebih, selalu tamak, lalu ketamakan dan hasrat mereka yang tidak pernah ada ujungnya mengakibatkan mereka tidak pantas terlahir kembali sebagai manusia di kehidupan selanjutnya. Nardho yang terdiam namun menyimak berpikir barangkali konsep itu mirip dengan konsep tujuh dosa maut seperti kerakusan, kemurkaan, iri hati, nafsu, dan hal-hal lain yang orangtuanya ingin dia hindari. Tapi tetap saja ini semua membingungkan, batinnya.

"Cukup menarik. Jadi apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan rasa keterikatan kita pada hal-hal duniawi? Bagaimana jika rasa keterikatan dan hasratku berhubungan dengan rasa terikat pada orang-orang yang aku sayangi, seperti kembaranku dan pacarku?" Nardho akhirnya tidak lagi hanya diam mendengarkan. Ayumi meminta maaf karena tidak punya jawaban pasti untuk pertanyaan mahasiswa satu itu, tapi beliau berteori asalkan rasa keterikatan tersebut tidak membuat seseorang selalu menginginkan lebih dan lebih atau merasa apa yang dipunyainya tidak pernah cukup, seharusnya tidak ada masalah. Nardho terlihat puas dengan jawaban itu dan tersenyum tipis. Dia mengerti kemungkinan maksud Ayumi adalah rasa keterikatan hanya menjadi buruk bila berlebihan porsinya. Aku tidak akan pernah mau berhenti menyayangi orang-orang yang aku sayangi, pikir Nardho.

"Apa yang akan terjadi di alam gaib? Pada akhirnya kita akan berhenti reinkarnasi kan?" Vannie menagngkat tangan dan Rain sepertinya juga ingin menanyakan hal yang serupa. "Jadi setelah kita reinkarnasi untuk terakhir kalinya, apakah kita hanya melayang di ruang hampa dan tidak merasakan apa pun selain kehampaan?"

"Bukan begitu, beda. Setelah manusia mencapai reinkarnasi terakhir dan tidak dilahirkan kembali, ada tahapan Pencerahan atau moksha. Sahabat-sahabat saya dari suku Pohon Dalam mengajariku bahwa Pencerahan itu artinya kalian bersatu dengan alam semesta dan alam semesta menyatu dengan kalian. Orang-orang yang Tercerahkan tidak lagi punya hasrat apa-apa, mereka mencapai Kedamaian, benar-benar beristirahat dalam damai." Ayumi menjawab perlahan.

"Apakah itu sama saja dengan misalnya aku bertobat atas dosa-dosaku dan Tuhan berjanji untuk mengampuni kesalahanku dan memberikanku kehidupan kekal dan keselamatan atas nama Roh Kudus dan figur Trinitas lainnya?" Nardhia bertanya.

"Apakah sama saja dengan misalnya aku tidur panjang dan tidak pernah bangun dan mengalami koma tanpa bermimpi?" Moira juga bertanya, dia tidak mengerti istilah-isitlah agama karena dia dibesarkan tanpa diwajibkan menganut agama apa pun.

"Hm, anak-anak, pertanyaan kalian semuanya penting dan membuat kita semua berpikir tapi saya minta maaf karena saya hanya memahami suku Pohon Dalam percaya begitu mereka meninggal mereka akan hidupkembali sebagai tumbuhan, hewan, atau kalau beruntung mereka akan diangkat untuk hidup di sisi para makhluk yang sudah Tercerahkan. Saya sendiri percaya kalau kita masih punya penyesalan dan urusan-urusan duniawi kita tidak akan pernah bisa bereinkarnasi atau mencapai moksha. " Ayumi menjelaskan dengan hati-hati. Para mahasiswa mengangguk dan Moira merasa kepalanya sakit membayangkan banyak skenario teologi menyangkut kehidupan setelah kematian.

"Tidak apa-apa Ayumi, bahkan saya pun masih mempertanyakan konsep kehidupan setelah kematian, kita semua pasti pernah mempertanyakan. Kalau berdasarkan sains semata, kita tahu begitu kita mati ya kita mati, tapi proses kematian itu yang menarik. Hukum kekekalan energi, ingat? Energi tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan dan jumlah energi di alam semesta ini konstan, bahkan alam semesta ini semakin melebar dan meluas. Kita adalah energi, jadi saya rasa setelah kita mati atom-atom yang membentuk tubuh kita akan dipindahkan dan tersebar ke wadah lain di luar tubuh kita, misalnya di tanah kuburan kita," kata Lee. Dosen satu itu memang tidak angkat bicara tentang eksistensi jiwa atau roh tapi pejelasannya tetap diterima.

"Terkadang saya kesulitan memahami sains dan agama saya sekaligus. Kadang saya berandai-andai bagaimana jadinya jika saya dibesarkan tanpa agama seperti Moira tapi kalau saya tidak beragama artinya saya mungkin tidak bisa berpartisipasi dalam acara-acara di sinagoga atau rumah ibadah Yahudi dan saya tidak siap kehilangan identitas saya itu." Vannie mengakui.

"Mungkin saya seorang agnostik teis? Saya percaya pada keberadaan Tuhan tapi saya tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa Dia pasti ada karena itu sudah masuk ranah keyakinan dan keimanan," cepat-cepat Vannie menambahkan saat teman-temannya mengernyitkan dahi. Moira mengatakan dia juga cenderung ke arah agnostisme, penyebabnya dia belum bisa memastikan apakah Tuhan itu baik, jahat, atau tidak keduanya. Nardho dan Nardhia, tentu saja, percaya bahwa Tuhan pastinya maha pemurah dan maha penyayang karena Dia akan memberikan siapa pun yang bertobat ampunan-Nya dan memberikan manusia rezeki harian mereka dan merahmati mereka selama mereka tetap patuh dan berpegang pada jalan yang sudah digariskan. Rain mengatakan hal yang sama tentang Allah dan cinta-Nya.

----------

Kira-kira satu setengah bulan setelah diskusi soal agama dan kepercayaan, Lee dan Ayumi menyambut para mahasiswa penerima beasiswa Penjelajah Pemberani di peron kereta dan membagi mereka menjadi dua kelompok dengan gerbong masing-masing. Sycamore Merah adalah planet yang sangat besar, dua kali besarnya Mars dan Bumi digabung, jadi bahkan jika mereka ke Bukit Emas menggunakan kereta berkecepatan super tinggi pun perjalanannya masih akan memakan waktu sekitar 12 sampai 14 jam dari kota yang paling dekat dengan Universitas Angrek Biru.

Rain duduk bersama Moira dan Nardho, sementara Tony, Nardhia, dan Vannie ada di gerbong berikutnya. Lee ada di gerbong Rain dan Ayumi ada di gerbong Tony. Lima jam pertama perjalanan mereka terasa sedikiti membosankan karena semua orang hanya main video games di perangkat elektronik mereka, menonton video lucu di ponsel, membaca novel digital, atau mengemil rumput laut kering yang dibelikan oleh Ayumi.

Jam keenam atau ketujuh, kurang penting jam ke berapa, Lee dan Ayumi pergi ke gerbong ekstra untuk memastikan koper-koper mahasiswa sudah diberi label nama supaya tidak tertukar. Pada saat yang sama kereta berhenti sekitar dua puluh lima menit utuk mengambil lebih banyak penumpang. Vannie dan Rain turun sebentar dari kereta untuk membeli nasi bungkus atau makan siang bento di toko kecil dekat peron kereta mereka, sedangkan Tony dan Nardhia mendatangi Moira dan Nardho.

"Nardho, ada sesuatu yang ingin Tony dan aku tanyakan." Nardhia memulai dengan ragu-ragu.

"Oh? Tentang kesehatanku? Aku baik-baik saja, aku punya persediaan obat yang cukup untuk studi lapangan enam bulan ke depan dan juga persediaan teh celup."

"Bukan, bukan soal itu. Ini sesuatu yang, ah... pribadi. Tapi dosen-dosen sedang di luar dan hanya ada kamu sama Moira, jadi aku akan langsung bilang sekarang," terlihat sekali Tony resah. "Ah, Nardho, aku meminta restumu untuk memacari seorang cewek. Awalnya aku sedikit bersikap sombong pada awal pertemuan kami, pura-pura kesal karena cewek ini datang ke kamar kita, padahal sebenarnya aku naksir dia dan sedih ketika dia terlibat hubungan tidak sehat dengan cowok yang melecehkannya secara verbal. Tapi aku tahu aku harus minta restu dari kembaran si cewek sebelum menjalin asmara," masih dengan gelisah Tony melanjutkan, berusaha untuk tidak menatap mata Nardho terlalu lama. Nardho meminta Tony untuk menatap matanya, di hadapannya semua orang itu setara.

"Tony, kawanku, kamu sebenarnya tidak perlu meminta restu dariku! Kamu menjaga dan merawatku saat aku sakit keras dan tidak tahu cara merawat diri sendiri, kamu juga membela dan melindungi cewek-cewek yang aku sayangi saat si brengsek itu menganggu mereka, dan pada dasarnya kamu tuh cowok baik yang tidak pernah menjahati cewek. Kalau kamu ingin berpacaran dengan Nardhia, dengan senang hati aku akan mendukung hubungan kalian. Aku hanya meminta kamu tetap menghargai dan menghormati dia bukan hanya sebagai pacar tapi juga sebagai manusia." Nardho menenangkan Tony yang gelisah.

Nardhia dan Tony berpelukan, sementara Moira menonton dengan wajah yang mengisyaratkan persetujuan dan Nardho pun juga menyetujui pilihan hati kembarannya kali ini.

Delapan jam berikutnya di dalam kereta berkecepatan tinggi bagaikan mimpi yang terlupakan bagi Moira. Tahu-tahu dia bangun ketika pengumuman berulang-ulang diserukan "Bukit Emas! Stasiun Bukit Emas! Kereta kita telah tiba di Stasiun Bukit Emas! Pintu kereta akan dibuka sebentar lagi!"

Rumah para Gaburs akhirnya membentang di depan mata dan Moira tidak sabar ingin segera melompat dari kereta. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top