Bab 10: Wawancara Rain dan Kencan Pertama Moira

Setelah kelas pagi selesai, tidak ada lagi yang harus dikerjakan untuk dua atau tiga jam ke depan, Moira memutuskan untuk menelpon Neesa dan memberitahu dia segala sesuatu yang sudah terjadi sejauh ini. Moira mengecek jam, pastinya sudah larut malam di Beringin Putih tapi kadang-kadang Neesa begadang juga. Moira berharap malam ini cewek itu juga begadang.

Moira tidak perlu menunggu lama sampai Neesa menerima panggilannya, terlihat di video dia memakai headphone warna merah jambu.

"Oh, halo Mor, aku sebebenarnya sudah siap tidur tapi kan gak tiap hari kamu bisa telpon atau melakukan panggilan video, jadi boleh kan aku gak tidur? Cuma orang lemah yang butuh tidur. Oke, itu tidak benar, tapi sumpah di sini sepi banget nggak ada kamu."

"Ah. Maaf ya tiba-tiba memanggil. Bentar saja kok. Jadi, hal pertama yang kamu harus tahu, Nardho memintaku menjadi pacarnya dan aku terima. Kedua, dia berkelahi sama mantan teman sekamarnya yang jahat pada Nardhia. Kamu tahu nggak tuh cowok tenyata jago bela diri?"

"Nardho? Gak mungkin. Cowok kurus kering gitu jago bela diri? Tapi yang bagian kalian pacaran, aku nggak kaget. Dia benar-benar naksir kamu, Moira, bahkan sebelum kalian mulai kuliah aku selalu memergoki dia mencuri-curi pandang ke kamu setiap kali kita bertiga video call. Terus, ada apa lagi? Gimana kelas-kelas perkuliahanmu?"

"Kelas kuliah lancar-lancar saja dan ada satu kelas di mana semua orang akan sama-sama mengerjakan naskah drama. Ini kelas persiapan studi lapangan. Oh iya, aku punya teman baru bernama Rain, orang yang tidak mau dipanggil dia dan lebih suka dipanggil dengan kata ganti huma. Sepertinya huma tidak punya jenis kelamin tertentu tapi masih belum jelas sebenarnya huma itu bergender apa, bisa jadi gender huma bukan seperti gender kita. Huma bisu tapi semua orang di asrama suka kok berteman dengan huma, kami semua membuat kue mangkuk untuk menyambut huma."

"Oh? Kayaknya aku belum pernah ketemu orang yang tidak berjenis kelamin atau yang jenis kelaminnya di luar dikotomi wanita dan pria. Huma orangnya seperti apa rupanya? Apakah penampilannya tomboi dan androgini? Apakah huma ditindik?"

"Huma sebenarnya kelihatan seperti seorang gadis. Huma memakai kerudung dan pakaian sopan yang sederhana."

"Menarik, kamu bertemu orang-orang yang menarik, aku sedikit iri. Omog-omong, aku main ke kampus lokal dekat rumah kita itu. Ternyata program tata boga dibagi lagi jadi dua jurusan: jurusan Kue Klasik dan jurusan Kue Modern. Awalnya aku tidak yakin mau masuk jurusan yang mana. Tadinya aku kira aku bakal lebih suka Kue Modern, tapi terus aku tanya-tanya ke Kak Kenta karena dia kan suka bikin kue-kue dan dia juga jago masak. Dia bilang waktu dia pertama kali belajar bikin kue, dia belajar bikin kue-kue klasik, seperti croissants dan tiramisu. Pastinya susah, tentu saja, tapi dia bilang ini penting karena kalau kita sudah bisa teknik-teknik klasik untuk kue-kue tertua di dunia kita sudah punya bekal untuk membuat kue-kue modern. Jadi sekarang aku yakin mau ambil jurusan Kue Modern!" Vannie berbicara sambil menggerak-gerakkan tangannya bersemangat. Moira tersenyum, sudah lama dia tidak melihat Neesa yang hiperaktif.

"Keren sekali, Neesa, aku yakin kamu akan mengikuti jejak Kak Kenta. Oke, sampai jumpa."

Saat Moira mengakhiri panggilan, dia mendengar ketukan pelan di pintu. Dilihatnya ada Rain di depan pintu sedang berdiri di samping Vannie sambil memegang papan tulisnya. Mereka berdua terlihat bersemangat ingin mengatakan sesuatu ke Moira.

"Hei, Vannie. Assalamu'alaikum, Rain. Bagaimana pertunjukkannya? Kamu menonton pertunjukkan dengan Nardhia, kan? Semoga pertunjukkannya asyik. Mungkin suatu hari nanti aku bisa minta Nardho menemani aku nonton pertunjukkan juga."

Wa' alaikum salam, Rain berisyarat. Huma menunjukkan Moira papan tulis huma dan Moira sedikit menunduk untuk membaca tulisan tangan huma. Vannie membuat aku kaget di belakang panggung setelah pembacaan musikalisasi puisi dan sajak selesai. Dia bilang dia berpikir aku orang yang menarik dan dia tanya apakah aku tertarik punya pasangan. Aku masih baru di dunia cinta-cintaan ini, sama seperti kamu dan Nardho, tapi aku terima perasaannya. Jadi kami ke sini untuk memberitahumu bahwa kami sekarang berpacaran. Ada sesuatu lain tapi papan tulis ini sudah penuh.

"Wow, selamat ya Rain dan Vannie! Oh, papan tulismu penuh ya, kamu bisa kan hapus tulisanmu dan aku menunggu kamu menuliskan apa yang ingin kamu bicarakan?"

"Gak perlu." Vannie memotong. "Rain membawaku ke sini untuk jadi penerjemah bahasa isyarat. Jadi, huma bilang huma punya tugas dari kelas Sosiologi Kaum Marjinal. Huma ingin sekali mewawancarai Kak Kenta dan Kak Johan, huma bilang jarang sekali ada orang Katolik gay berpacaran dengan orang beda ras dan tuli. Rain ingin tahu bagaimana kisah cinta mereka berawal dan huma bilang mungkin huma bisa belajar dari mereka bagaimana membina hubungan yang sehat supaya hubungan huma dengan aku juga sehat. Jadi, bisakah kamu membantu huma mencatat jalannya wawancara? Huma akan terlalu sibuk mengetik di alat teks-jadi-suara jadi tidak bisa mencatat sendiri respon para narasumber. Aku mau-mau saja membantu tapi sayangnya aku masih ada kelas sore ini."

"Itu saja? Tentu, aku akan membantu dengan senang hati. Temui aku di Pusat Penulisan dalam sepuluh menit."

Kantor Kenta punya penerangan yang baik dan cahaya yang cukup, juga ada banyak poster tentang tata bahasa dan tanda baca di dinding. Ada pula banyak rak-rak buku, terlihat ada buku tentang Ragi Lembayung tapi juga ada buku-buku tentang linguistik dan komposisi retorika. Johan duduk berseberangan dari Kenta sambil membaca surat permohonan Nardhia terkait kejadian di asrama tempo hari. Begitu Rain dan Moira menghampiri, dua pria itu melambaikan tangan dengan antusias.

"Oke, Rain, aku sudah dengar tentang tugasmu. Kita mulai dari mana? Aku bisa cerita bagaimana aku tahu bahwa aku ini gay dan bagaimana orangtuaku yang penganut taat Shinto garis keras bereaksi." Kenta bertanya.

Itu akan menjadi awalan yang menarik, kalau Kak Kenta tidak keberatan tentunya.

"Jadi, di kepercayaan Shintoisme ada semacam dewa atau makhluk mitologi bernama Inari Okami, yaitu makhluk yang merawat para rubah atau kitsune dan juga dipercayai memberkahi padi, beras, dan hasil panen. Dia biasanya digambarkan tidak berjenis kelamin tertentu. Sejak aku masih kecil, aku sudah berpikiran anak laki-laki punya tubuh yang sangat indah tapi aku tidak punya perasaan apa-apa ke anak perempuan atau lawan jenis, jadi begitu menginjak usia puber aku langsung sadar aku ini gay. Waktu aku memberitahu orangtuaku, mereka pikir orang gay itu sama seperti Inari, tapi terus aku jelaskan pelan-pelan gay itu maksudnya aku menyukai orang yang punya jenis kelamin sama dengan jenis kelaminku. Awalnya mereka bingung tapi aku bilang aku tetaplah manusia biasa. Terus orangtuaku menangis karena mereka ingin aku memberi mereka cucu. Waktu itu aku masih SMA, masih remaja, sama sekali tidak ada pikiran punya anak! Tapi aku bilang tidak masalah kalau aku gay, orang gay zaman sekarang bisa kok adopsi anak. Orangtuaku mengerti dan ya sudah, tidak ada drama aneh-aneh."

Wow, orangtua Kak Kenta keren, tapi lucu juga ya, masak sudah minta cucu saat anak mereka masih SMA? Bagaimana dengan orangtua Kak Johan?

"Aku? Oh, awalnya aku takut untuk jujur tentang identitas seksual yang aku punya karena pendeta di gereja keluargaku selalu mengingatkan aku dan adik-adikku bahwa hubungan romantis hanyalah antara pria dan wanita. Sampai suatu hari Nardho melihatku menangis sendirian di kebun belakang rumah kami, jadi aku mencoba jujur ke dia. Aku tanya adik cowokku satu itu apakah Bunda Maria akan berhenti memberi rahmat untukku jika aku gagal berhenti menyukai pria. Nardho memelukku erat tanpa mengatakan apa pun, kemudian dia memanggil Nardhia. Aku menanyai Nardhia pertanyaan yang sama. Dia bilang seharusnya pria menyukai pria bukanlah sebuah dosa, menurutnya kalau Tuhan membiarkan perasaan ini berkembang di hatiku maka artinya Tuhan punya rencana besar dalam hidupku. Awalnya aku tidak percaya padanya, tapi aku ingin percaya, kata-katanya sangat indah. Kemudian tahun kedua aku di program sarjana, aku bertemu Kenta. Saat Kenta menyatakan perasaannya padaku, aku teringat kata-kata Nardhia. Aku benar-benar takut berpacaran namun aku sangat menyukai Kenta jadi aku menerima perasaannya."

Sepertinya Nardhia bisa membaca masa depan! Terus sekarang gimana, apakah Kak Johan belum memberitahu orangtua kakak? Kalau belum juga tidak apa-apa, aku nggak menghakimi.

"Aku jujur pada Mama karena aku lebih dakat pada Mama dibandingkan dengan Papa. Waktu aku berani jujur Mama ketakutan, bukan karena aku dianggapnya pendosa tapi karena Mama tahu aku akan mengalami cobaan hidup yang sulit karena homofobia masih ada di luar sana. Tapi aku tahu kita semua harus memikul salib masing-masing dan diuji, kalau ini ujian dan salibku maka aku akan memikulnya. Mama kemudian memberitahu Papa dan seperti yang sudah aku duga Papa benar-benar marah padaku dan tidak lagi mau bicara denganku, bahkan aku sampai tidak lagi dianggap salah satu dari dua putranya. Mama menampar Papa keras-keras hari itu dan, walau di agama kami apa yang sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan manusia, Mama minta Papa menceraikannya. Jadi sekarang aku dan adik-adikku tidak punya Papa lagi."

Astagfirullah! Mamanya Kak Johan benar-benar seorang pahlawan, aku senang Mamanya kakak bisa menerima kakak apa adanya.

"Iya, dan adik-adikku juga selalu menyayangiku, aku bersedia mati untuk mereka. Aku tahu Nardho berpikir aku sangat tidak keren dan dia masih belum tahu apa yang Kenta sukai dari diriku, tapi aku tahu Nardho hanya bercanda, dia sebenarnya anak yang manis. Oke, Rain, giliran kamu. Bagaimana kamu tahu identitas gender yang kamu miliki?"

Saat lahir aku dinyatakan seorang perempuan dan diberi nama Fatima Alhurriya. Nama depanku yang megah itu adalah nama putri kesayangan Rasullulah dan nama belakangku yang asli adalah nama Arab yang berarti kebebasan. Namun, semakin aku tumbuh besar semakin aku membenci nama belakangku, untuk apa diberi nama "kebebasan" kalau aku tidak pernah merasa bebas?Aku selalu merasa aku adalah pria dan wanita sekaligus, tapi aku tidak pernah merasa bebas memakai baju-baju yang aku mau, aku selalu dipaksa memakai gaun longgar berlengan panjang. Singkat cerita, begitu aku lulus SMA aku mulai jujur pada diri sendiri bahwa aku adalah seorang dwi-gender. Aku belum jujur ke orangtuaku, jadi cuma kalian, anak-anak asrama, dan beberapa dosen di universitas ini yang tahu aku dwi-gender. Sedangkan alasanku memilih menamai diri sendiri Rain Qatari, itu karena Rain adalah nama yang bisa untuk perempuan dan laki-laki sekaligus. Kalau Qatari, itu karena leluhurku awalnya hidup di Qatar. Omong-omong, aku semakin yakin akan keputusanku jujur pada anak-anak asrama ketika Vannie memintaku menjadi pasangan romantisnya. Awalnya aku ragu karena aku tidak tahu harus suka perempuan atau suka laki-laki mengingat aku ini laki-laki dan perempuan sekaligus, tapi aku rasa cinta tidak mengenal jenis kelamin dan Vannie sendiri tidak pernah mempermasalahkan jenis kelaminku.

"Bagus sekali, Rain, perlu keberanian untuk bisa jujur pada dirimu sendiri!" Kenta memuji.

"Aku bangga padamu, terima kasih karena sudah percaya pada anak-anak asrama. Semoga kamu suka kue mangkuk yang kami buat, kami ingin membuatmu merasa nyaman berada di antara kami," kata Johan.

Aku suka kue mangkuk dari kalian. Kak Kenta, suatu hari kakak harus mengajariku bagaimana cara membuat kue, kakak punya banyak bakat dan aku sangat iri pada bakat kakak.

"Iya, dia keren, kan? Itu sebabnya aku mencintainya!" Johan memberi Kenta kecupan di pipi.

"Aw, aku mencintaimu juga, beruang kecil." Kenta balik mengecup pipi Johan. Moira dan Rain tersenyum mengerti.

Rain berterima kasih pada Moira karena sudah membantu, kemudian mereka berdua pergi ke gedung olahraga kampus. Dalam perjalanan ke gedung olahraga, huma memberitahu Moira bahwa huma bukan saja penata dekorasi panggung untuk klub Musikalisasi Puisi tapi juga membantu klub dansa menyusun koreografi karena huma punya pengalaman menari ballet dan juga hip hop. Moira sangat terkesan dan mengatakan bahwa Rain, sama seperti Kenta, adalah orang yang punya banyak bakat. Sayangnya Rain terlalu rendah hati untuk menerima pujian dan huma bilang huma masih perlu banyak belajar.

Ponsel Moira bergetar dan ada pesan masuk dari Nardho.

Hai sayang, aku mau ke toko petani tidak jauh dari kampus. Kamu mau ikut dan mungkin kamu bisa membeli sesuatu untuk menemani kamu belajar?Aku sendiri mau membeli tanaman dalam pot kecil untuk ditaruh dekat jendela dan mungkin beli beberapa buat Kak Kenta juga. Boleh kan kalau aku mengajak teman sekamarku Tony? Dia mau beli keripik kentang.

Moira membalas dengan "iya, aku ikut" dan bertanya untuk apa Nardho mengajak Tony. Gadis itu tidak percaya pada Tony karena bagaimana pun cowok satu itu berteman dengan Wyatt.

Aku tahu kamu masih marah sama Tony karena dia memberikan kode akses masuk asrama ke Wyatt, tapi Tony sendiri benar-benar merasa bersalah dan dia bilang dia akan membayar barang-barang yang kita beli di toko petani nanti sebagai upaya meminta maaf pada kita dan Nardhia. Beri dia kesempatan, Moira. Dia memang sedikit bodoh tapi dia tidak pernah merendahkan perempuan atau menjahati perempuan. Aku rasa aman-aman saja kalau kamu berada di sekitar dia tapi tentunya kalau dia mulai macam-macam aku akan melindungimu.

Sadar tidak ada gunanya memelihara dendam, Moira menjemput Nardho di kamarnya kemudian pasangan itu naik bus bersama Tony menuju pasar petani. Pasar petani sangatlah ramai dan aroma roti-roti manis menguar di udara.

"Moira, terima kasih sudah memperbolehkan aku ikut dengan kalian. Aku benar-benar menyesal sudah tanpa sengaja membantu Wyatt masuk asrama, aku tidak tahu dia sudah menjahati sahabatmu. Omong-omong, kamu mau dibelikan apa?" tanya Tony.

"Aku sudah memaafkan kamu, Nardho menjelaskan semuanya ke aku. Kalau kamu masih mau membelikan aku sesuatu, bagaimana kalau kamu membelikan aku buah-buahan saja?" Moira mengalihkan pandangan ke penjual jeruk dan pisang.

"Tentu saja. Aku sudah menebak kamu bakal minta dibelikan buah-buahan, pacarmu sudah bilang kamu suka makan yang manis-manis."

"Apakah kamu juga suka makanan manis-manis, Tony?" Nardho bertanya, tangannya penuh dengan pot-pot kecil tanaman hias.

"Hei, aku akan minta keranjang, kamu beli banyak tanaman. Menjawab pertanyaanmu: iya, aku suka makanan manis, sama dengan Moira. Tapi aku tidak boleh terlau banyak makan manis, aku harus jaga badan dan menjaga pola makan jika ingin jadi olahragawan."

"Menjaga pola makan sepertinya sulit. Seperti apa pola makan kamu? Vegan? Vegetarian? Paleo?" Moira tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya tidak boleh makan apa pun yang dia mau kapan pun dia mau.

"Nggak, aku nggak ada pola makan khusus, tapi aku konsultasi ke ahli nutrisi dan katanya sebagai calon olahragawan aku harus banyak makan makanan yang tinggi protein, tinggi serat, rendah lemak, dan rendah gula. Aku makan banyak ikan dan hasil laut, dan mengurangi daging merah, tapi aku bisa makan apa saja, termasuk sayur mayur dan sereal."

"Apakah kamu suka memancing? Kak Johan dan aku dulu sering memancing saat aku masih kecil. Kami memancing ikan dari danau di belakang rumah. Nardhia tidak suka ikan, sih, tapi kalau kamu suka ikan mungkin kapan-kapan kita bisa pergi memancing di sungai tepi kota. Aku sudah pernah ke sana sama Moira." Nardho menawarkan.

"Aku suka makan ikan tapi aku tidak suka memancing ikan, jadi maaf tapi aku tidak tertarik." Tony menolak dengan sopan.

"Yeee, sayang banget, padahal sungai tepi kota itu bagus lho! Rugi kamu!" Moira meledek. Tony hanya menaikkan bahu dan mengunyah keripik kentang.

"Terserah dia, sayang, terserah dia." Nardho tertawa terbahak. Moira memandanginya, kagum karena Nardho berjiwa cukup besar untuk memaafkan Tony yang sudah secara tidak sengaja membantu orang yang menyakiti Nardhia. Moira berjanji untuk bisa berpikiran lebih terbuka dan berhati lembut seperti Nardho. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top