Bagian Tiga: Warok
Saya percaya, budaya adalah laku. Lakuning diri saka ati.
***
Warok.
Mbah Sumitro salah satunya. Hingga saat ini warok menempati posisi penting di masyarakat. Semua tahu kalau mbah Sumitro dekat dengan dunia spiritual. Mbah Sumitro sering dimintai nasihat oleh orang-orang sebagai pegangan sipiritual ataupun ketentraman hidup.
Seorang warok konon harus mampu menguasai apa yang disebut dengan Reh Kamusankan Sejati atau Jalan kemanusiaan yang sejati. Sebagai warok yang sudah senior, mbah Sumitro merupakan tokoh pengayom bagi warok-warok yang masih dalam tahap menuntut ilmu.
"Won, pernah dengar kenapa majikanmu ini dipanggil dengan gelar warok?" Mbah Sumitro menghisap cerutunya. Bawon yang sedang mengelap sandal-sandal ndoro-nya itu hanya menggeleng dalam diam.
"Mboten, ndoro..."
"Warok itu berasal dari kata wewarah. Wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang mampu menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain bab urip kang becik 1)." Mbah Sumitro terpejam, seolah mengingat sesuatu.
Bawon adalah sahabat mbah Sumitro. Lelaki usia lanjut yang masih sehat itu tempat curhat mbah Sumitro saat beliau sedang banyak pikiran.
"Panjenengan sampun dados warokipun sedayaning tiyang, ndoro...2)"
Mbah Sumitro tertawa. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan.
"Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku lan wus menep ing rasa. Warok itu adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin. Mbok kira aku duduk menungso, piye 3)?" Mbah Sumitro terbahak geli. Bawon menunduk mendengar kelakar majikannya. Selalu seperti itu. Mbah Sumitro tidak pernah mengakui kehebatan dan kekuatannya sebagai seorang warok.
"Ndoro sudah dianggap sesepuh paling bijaksana di sini..." Bawon menunduk takut. Takut salah ngomong lantas membuat hati majikannya tersinggung. Lagi-lagi mbah Sumitro tertawa kencang.
"Tapi aku ndak nolak kalau diberi uang, lho Won!"
Bawon tersenyum kali ini. Kejujuran yang selalu mbah Sumitro katakan padanya selalu membuat Bawon terkagum-kagum. Mbah Sumitro bukan orang yang haus akan pujian. Beliau lebih senang berjalan kaki, dengan klompen kayunya. Bunyinya tak-tik-tuk membahana sepanjang jalan. Orang-orang selalu menyapa mbah Sumitro yang akan ditanggapi dengan ramah oleh mbah Sumitro.
"Aku bingung, Won..." Itu yang mbah Sumitro ucapkan kala mereka berjalan-jalan menjelang sore. Anak sekarang menyebut itu JJS. Mbah Sumitro juga ingin kekinian, lantas ikut trend masa kini.
"Bingung kenapa, ndoro?"
"Mereka, orang-orang itu lucu. Lah aku ndak pernah menggaji mereka, tapi kok semuanya panggil aku ndoro. Kalau kamu kan wajar, aku gaji kamu jadi kamu bisa panggil begitu. Orang-orang di sini itu, lho..."
Bawon tersenyum.
"Mereka sudah anggap ndoro sebagai junjungan mereka. Mereka menghormati ndoro sebagai orang yang paling dituakan di sini."
"Kalau gitu panggilnya bisa mbah, toh? Atau panggilan untuk orang tua itu sudah ganti?"
Bawon tersenyum, namun dia bingung harus menjawab seperti apa ucapan mbah Sumitro. Lelaki sepuh itu kembali menatapnya dengan raut geli, lalu tergelak lagi.
"Won... aku kok pengen jenang ketan punya Wongso, ya? Apa kabar dia?" Mbah Sumitro tiba-tiba bercerita. Bawon mendongak, lalu menarik kedua sudut bibirnya. Wongso atau Suwongso adalah anak dari sahabat lama mbah Sumitro. Bawon tahu kalau mbah Sumitro rindu sekali dengan anak sahabatnya itu. Sejak menikah, mereka pindah dan akhirnya tidak sempat menghubungi mbah Sumitro. Bawon pernah dengar kalau Suwongso membangun industri rumahan bersama istrinya.
"Nggih, saya bisa telepon Wongso nanti, ndoro." Bawon menunduk dengan wajah patuh.
"Sekalian suruh dia yang antar sendiri, Won! Kok ya ndak eling, dulu dia yang minta ayahnya untuk datang lihat Reog di sini sampai nangis-nangis. Masa ndak pernah sowan ke sini mentang-mentang sudah sukses..."
Bawon menunduk, lalu mengangguk. Lelaki itu bangkit, lalu menyambar gagang teleponnya. Dia menelepon seseorang di sana. Dering telepon rumah Suwongso terdengar. Aji masih duduk di terasnya dengan wajah senang. Anak itu masih membaca kisah-kisah kepahlawanan. Pak Suwongso terkejut tatkala tahu kalau yang menelepon sore itu adalah abdi sahabat ayahnya dulu.
"Nggih, pak Bawon. Nggih, besok saya coba sowan ke rumah ndoro warok." Pak Suwongso menunduk. Berkali-kali lelaki itu mengucapkan maaf karena tidak sempat mengunjungi mbah Sumitro. Aji terus berguling di teras. Pak Suwongso meletakkan gagang teleponnya lagi lalu menceritakan kejadian tadi pada istrinya.
"Kalau gitu besok coba bawa jenangnya ke rumah warok Sumitro, Pak!" Bu Suwongso menyarankan. Pak Suwongso mengangguk.
"Tapi aku males di jalan sendirian. Ndak ada teman buat ngobrol, Buk. Piye?" Pak Suwongso tahu kalau perjalanan ke padepokan Reog mbah Sumitro dengan motor lumayan jauh. Sekitar dua jam dengan motor. Naik bis pun malah akan merepotkan. Besok beliau harus membawa banyak kotak jenang ketannya. Untuk para pegawai warok Sumitro.
"Ajak Aji saja, ya Pak?" Bu Suwongso menatap Aji. Aji yang sedang sibuk membaca buku tanpa menyadari sedang dijadikan gosip oleh kedua orang itu akhirnya mendongak. Matanya mengerjap lagi.
"Sudah izin sama ibunya belum, Bu?"
Hari itu, mereka tidak akan pernah tahu kalau itu kali pertama mereka ikut menentukan nasib seorang Aji Arya Kamandanu. Setelah mendapat izin dari ibunya, pak Suwongso mengajak Aji bicara.
"Cah bagus, besok mau ikut pak Wongso mboten?"
"Tindak pundi 4), Pak?"
"Besok kita ke kota, cah bagus. Mau nganterin jenang ketan ke rumah warok yang terkenal di sana. Mau, ya?" Pak Suwongso bertanya cepat. Aji mengerjap sebentar.
"Aji mau izin dulu sama bu'e nggih, Pak?" Aji meminta izin. Meski pak Suwongso sudah tahu kalau ibunya mengizinkan, namun tetap saja Aji harus meminta izin langsung pada ibunya. Anak itu berlari ke arah ibunya, lalu bertanya dengan nada polos itu lagi. Ibunya tersenyum, mengelus kepalanya sebentar, lalu mengangguk.
Anak itu bersorak senang. Akhirnya dia bisa jalan-jalan. Antusiasme nampak di wajah anak itu. Kakinya melangkah senang ketika pulang, menggangdeng jemari ibunya dan bernyanyi senang.
"Bu'e, warok itu hebat?" Anak itu masih saja bertanya polos. Ibunya tersenyum.
"Hebat, sayang..."
"Sama Arya Kamandanu hebat mana, bu'e?"
"Sama-sama hebatnya, sayang..."
"Bu'e, Aji pernah lihat warok di TV bu Wongso."
"Lalu?"
"Warok itu kuat, ya bu'e."
"Oh, kuat sekali cah bagus..."
"Besok Aji mau ketemu warok, bu'e." Aji bercerita dengan bangga. Ibunya tersenyum, lalu mengangguk mengiyakan.
Ibu Aji ingat kalau nama Aji adalah pemberian seorang warok, teman dekat mertuanya dulu. Ibunya tersenyum, menatap anaknya menari-nari sambil bernyanyi. Lagu yang belum pernah ibunya ajarkan. Suara anak itu menggema di jalanan berbatu. Pohon-pohon di sekelilingnya seolah membisu, mendengarkan suara anak itu yang memantul. Suara lembutnya terdengar sangat halus, menenangkan jiwa seorang ibu.
Ibu pertiwi 5)
Paring boga lan sandhang
Kang murakabi
Peparing rezeki
Manungsa kang bekti
Ibu pertiwi
Ibu pertiwi
Kang adil luhuring budi
Ayo sungkem mring
Ibu pertiwi
Hari itu, takdir seorang anak polos yang berbakti itu sepertinya akan berubah. Malam itu ibunya kembali menyanyikan lagu kidung jawanya untuk menemani tidur Aji. Aji sudah siap untuk hari esok, hari yang akan mengubah dirinya. Sepenuhnya.
***
Perjalanan ke padepokan Reog mbah Sumitro memakan waktu selama dua jam. Aji memeluk erat pinggang pak Suwongso. Di bagian depan sudah ada beberapa kotak jenang ketan. Di belakang Aji juga ada. Diikat dengan karet hitam pada jok motor.
"Masih jauh, ya Pak?" Aji bertanya pelan. Dia sudah tidak sabar ingin melihat padepokan Reog yang katanya paling besar di Ponorogo itu. Pak Wongso tersenyum. Helm yang Aji kenakan melorot beberapa kali, hingga anak itu harus membenarkan posisi helmnya lagi.
"Beberapa menit lagi sampai, cah bagus. Mau cepet-cepet lihat padepokan Reog, ya?" Pak Wongso melirik spionnya sambil tersenyum. Aji mengangguk senang. Anak itu terlalu antusias saat ini. Ketika motor pak Suwongso sampai di sebuah padepokan Reog yang sangat besar, saat itulah degup jantung Aji berirama setiap langkahnya. Aji mengambil beberapa kotak, membantu pak Wongso mengangkatnya. Bawon yang tahu kedatangan Suwongso segera berlari, memeluk teman lamanya itu dan tertawa riang.
"Kamu kok ya lupa mau main ke sini?"
"Saya ndak lupa, pak Bawon. Hanya belum sempat." Pak Suwongso menjelaskan. Aji terdiam. Ibu bilang ndak sopan kalau mendengarkan percakapan orang. Anak itu tertunduk. Jemarinya memilin-milin kaos yang dia pakai. Bawon tersenyum melihat anak lelaki manis itu.
"Duh, cah bagus... Kok diam saja?"
Pipi Aji bersemu merah.
"Sugeng siang 6), Bapak..." Aji menunduk malu-malu.
"Duh, baguse... Namanya siapa?" Bawon tersenyum, menggenggam jemari Aji. Lelaki tua itu tertarik dengan anak lelaki manis yang sesekali mengerjap, lalu menunduk malu itu.
"Aji..." Aji menunduk.
"Namanya bagus, ya kayak orangnya..."
Aji makin tersipu. Pak Suwongso dan Bawon tergelak. Bawon tahu kalau anak ini bukan anak Suwongso. Mereka mengangkat kotak-kota jenang ketannya masuk ke dalam. Aji mengekori mereka, membawa beberapa kotak juga. Padepokan itu ramai dengan alunan musik, teriakan "eaaaeee... eaaaeee... yaaaa.... hoookkk yaaa...." seiring dengan tabuhan gendang. Aji terpesona. Matanya berbinar, mulutnya melongo.
"Aji, cah bagus... mau lihat itu?" Bawon bertanya geli. Aji mengangguk antusias. "Kalau gitu lihat saja, ya. Pak Wongso mau bicara sama ndoro dulu. Aji main sendiri, mboten punapa 7)?"
Aji mengangguk sambil berbisik hormat. "Nggih, mboten napa-napa 8)Bapak..."
Lalu anak itu pun berlari ke arah kerumunan lelaki yang sedang latihan. Aji duduk di salah satu joglo, sendirian. Semua penabuh tersenyum saat melihat anak itu. Di jam seperti ini harusnya anak seusianya sedang berada di sekolah. Apalagi wajah anak itu benar-benar menawan. Kulitnya putih, hidungnya mancung dan mungil, alisnya tebal, menukik menawan di atas mata bulat besarnya. Bibirnya tipis, ada lesung pipi saat dia tersenyum. Penabuh makin semangat ketika anak itu melongo dan lalu bertepuk tangan senang. Mereka seolah sedang diapresiasi atas apa yang telah mereka lakukan.
Begitu tabuhan selesai, Aji berlari ke arah mereka.
Kaki mungilnya menapaki ubin dingin bekas hujan itu dengan malu-malu. Salah satu penabuh tersenyum, melambai ke arahnya untuk mendekat.
"Kok ada di sini, cah bagus?"
Aji mendekat, lalu duduk manis di depan mereka.
"Nggih, ikut pak Wongso antar jenang ketan...." Aji menunduk malu-malu.
"Baru pertama kali lihat tabuhan, cah bagus?"
Aji tersenyum sembari berbisik pelan, "Nggih, Pak... Lihat di TV sudah pernah, kalau langsung belum..."
Para penabuh itu tersenyum, mereka terus saja bertanya tentang Aji. Sekolah dimana, tinggal dimana, dan lain sebagainya. Aji terus menjawab malu-malu ketika ditanya. Mata bulatnya mengerjap sesekali, lalu mengangguk lucu.
Sementara itu pak Suwongso sedang mengobrol bersama mbah Sumitro. Bawon juga ikut dalam obrolan itu. Mereka seolah sedang reunian. Bercanda dan mengobrol dengan asyik.
"Pangapunten, ndoro... Saya bukannya lupa sama ndoro, namun saya belum sempat untuk sowan." Pak Suwongso menunduk lagi. Mbah Sumitro mendengus, bercanda.
"Kamu ini, lho... mentang-mentang sudah bisa cari uang sendiri, mbok ya eling 9)... dulu yang sering minta uang jajan itu siapa. Ndak eling sama bank yang dulu sering kamu rampok ini, hem?" Mbah Sumitro tergelak. Suaranya masih terdengar jaya seperti dulu.
"Pangapunten ingkang kathah, ndoro... 10)" Pak Suwongso tersenyum lagi. Mereka terus mengobrol. Melupakan Aji yang saat ini sedang duduk di antara penabuh lainnya. Mereka senang dengan kehadiran bocah polos menawan itu.
Anak itu selalu mengajukan pertanyaan yang terkadang membuat mereka tergelak geli. Menjelang sore, pak Suwongso pamit. Setelah sebelumnya mbah Sumitro berpesan, sebuah pesan antara teman lama.
"Kamu bisa antar jenang ketan ke sini tiga hari sekali, ndak So?"
Pak Suwongso mengangguk setuju. Tidak ada alasan baginya untuk menolak permintaan orang nomor satu di Ponorogo itu. Lagipula pak Suwongso memang ingin mengunjungi sahabat lama ayahnya itu. Setelah itu pak Suwongso pamit pulang. Aji juga berpamitan pada para penabuh itu. Dia berlari ke arah pak Suwongso dan menggandeng jemari beliau. Hari itu, keduanya belajar banyak hal.
***
Warok-warok dari berbagai padepokan Reog berkumpul hari ini di padepokan mbah Sumitro. Mereka berkumpul untuk membicarakan banyak hal. Juga menyinggung hal yang bersifat pribadi.
"Mbok ya yang plin-plan sedikit gitu toh kang..." Salah satu warok menggoda mbah Sumitro. Sebagai sesama senior, mereka sudah biasa bercerita dengan nada seperti itu. Mbah Sumitro tergelak.
"Aku sudah plin-plan. Tanya saja Bawon! Bagaimana aku yang biasanya suka makan pakai lauk, kadang ndak minat. Biasanya mereka ngambek, lantaran aku cuekin lauk-pauk yang sudah mereka masak."
"Lalu dibuang gitu saja lauknya, kang 11)?" Mbah Daus bertanya lagi. Warok Daus juga salah satu warok senior di salah satu padepokan. Ada tujuh orang warok yang saat ini berkumpul di ruangan mbah Sumitro.
Mbah Sumitro menggeleng.
"Apa ya aku tega membiarkan kerja keras orang lain dibuang, Us? Ngawur saja kamu!"
"Lalu gimana? Kan ya ndak dimakan..."
"Perut penabuhku selalu kelebihan kuota."
"Weleh, ini namanya presiden rela kelaparan demi rakyatnya. Lebih memilih rakyatnya yang kenyang, ya?" Mbah Daus juga tergelak geli.
"Wajar, kan kang Sumitro ini sudah pergi ke luar negeri dan disewa untuk kampanye partai sana. Lah kok malah kampanye untuk negaranya sendiri. Apa ya ndak panas itu yang bayar..." Mbah Dasuki ikut tergelak.
"Sampai saat ini ada hal yang ingin aku tanyakan, kang. Terlepas dari sepak terjangnya njenengan ke luar negeri." Mbah Daus mulai bicara serius kali ini. Warok lainnya mulai mendengarkan dengan penuh takzim.
"Tanya apa?"
"Pangapunten sebelumnya, kakang sudah pernah berhubungan dengan istri-istrinya?"
Mbah Sumitro tersenyum. Kali ini senyumnya penuh dengan misteri. Sudah banyak mantra yang mbah Sumitro hafalkan. Jampi-jampi apapun sudah beliau kuasai. Namun satu hal yang membuat warok-warok itu penasaran.
"Belum."
Mereka semua melongo. Pada era sekarang, warok sudah banyak yang memiliki istri dan anak. Namun mbah Sumitro tidak mendapatkannya karena memang tidak pernah membuatnya.
"Njenengan kuat sekali, kang."
"Ndak mau mencari seseorang yang bisa dipeluk gitu, kang?"
"Aku sudah punya dua istri yang cantik-cantik. Yang menyiapkan segala keperluanku." Mbah Sumitro beralasan.
"Tapi selama ini malah Bawon yang saya lihat keluyuran di sekitar njenengan, kang."
Mbah Sumitro tergelak lagi. Celotehan mereka terkadang terdengar lucu. Mbah Sumitro terdiam, lalu menatap mereka satu-persatu.
"Aku masih seneng sama kesendirian ini."
"Anak zaman sekarang menamakan itu jones, kang. Jomblo ngenes."
Mereka semua terbahak bersamaan. Obrolan yang ringan itu diam-diam merasuk dalam relung hati mbah Sumitro. Ada sepercik rasa yang beliau yakin akan membuatnya berbeda.
"Orang itu akan datang sebentar lagi..." Mbah Sumitro yakin soal ini. Olah batinnya sudah dalam tahap tinggi, jadi beliau sanggup memprediksi apa yang akan terjadi nanti.
Nggih menawi panjenengan sedaya ngertos, 12)Warok adalah orang yang sugih 13)akan wewarah. Mereka punya kebijaksanaan, mereka punya feeling yang kuat. Mbah Sumitro akhir-akhir ini bermimpi soal seseorang yang menggenggam erat jemarinya, mengecup punggung tangannya, lalu memeluknya sayang.
Meski hanya mimpi dan juga tidak nyata, namun mbah Sumitro terbangun dengan raut bahagia. Sosok itu yang mbah Sumitro tunggu hingga kini...
TBC
1) bab urip kang becik : soal hidup yang baik
2) Panjengenan sampun dados warokipun sedayaning tiyang, ndoro : Anda sudah jadi warok semua orang, ndoro
3) Mbok kira aku duduk menungso, piye : Kamu kira aku bukan manusia, apa?
4) Tindak pundi : Pergi kemana
5) Ibu pertiwi
Paring boga lan sandhang : Memberi makan dan sandhang
Kang murakabi : Yang menguntungkan
Peparing rezeki : Memberi rezeki
Manungsa kang bekti : Manusia yang berbakti
Ibu pertiwi
Kang adil luhuring budi : Yang adil berbudi luhur
Ayo sungkem mring : Ayo sungkem terhadap
6) Sugeng siang : Selamat siang
7) mboten punapa : Tidak kenapa
8) Nggih, mboten napa-napa :Iya, tidak apa-apa
9) mbok ya eling : Harusnya ya ingat
10) Pangapunten ingkang kathah, ndoro : Maaf sebesar-besarnya, ndoro
11) Kang : Mas
12) Nggih menawi panjenengan sedaya ngertos : Ya kalau anda semua mengerti
13) Sugih : Kaya
Aku tahu pasti di antara kalian ada yang nggak suka dengan cerita ini. Padahal kalau kalian tahu, sudah banyak orang yang mengangkat tema seperti ini. Kenapa aku ingin mengangkat ini lagi? Karena aku.... pengen. Udah. Hehehee... Semalam di D Academy, mereka ngundang reog. Nah, pas si Andika nanya : "Yang mana yang namanya gemblak?"
Juru bicara mereka mengatakan kalau gemblak adanya zaman dulu....
Karena itulah aku sedang mencari gemblak di sini. Adakah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top