Bagian Sepuluh: Kelangenan

Saya percaya, apapun warna budayamu cinta tak akan pernah peduli ataupun bertanya.

***

Kumpulan warok berlangsung lagi hari ini. Semua orang berdiskusi bagaimana baiknya. Sebenarnya masalahnya bukan soal warok Sumitro yang ingin mengikat Aji sebagai miliknya, namun karena warok tua itu hanya ingin dekat sekali dengan bocah manis tersebut. Warok lain tahu kalau warok Sumitro sangat mencintai anak rupawan itu. Warok Sumitro tersenyum untuk yang ke sekian kalinya.

Hari itu, semuanya berubah.

Seorang utusan datang ke rumah Aji, membawa banyak makanan dan juga hadiah. Sang ibu mulai curiga, apalagi saat sepasang kaki kokoh masuk ke dalam rumah reotnya. Warok Sumitro datang untuk yang kedua kalinya setelah sekian tahun, menapakkan kakinya masuk ke dalam bilik bambu itu. Aji sedang keluar untuk membeli garam. Ibu Aji gemetar, namun ucapan warok Sumitro hari itu membuat ibu Aji seolah mengiyakan.

"Aku ingin mengangkat Aji sebagai cucuku."

Meski dalam ucapan yang halus warok Sumitro mengatakan ingin menjadikan Aji sebagai cucunya, namun ada getar aneh saat warok Sumitro mengatakan itu. Ibu Aji tidak sanggup menolak, lagipula... beliau tahu betapa sayangnya Aji terhadap warok luar biasa ini. Betapa Ayah mertuanya dulu sangat mengagumi warok Sumitro. Mereka bersahabat dekat.

Ibu Aji bukan wanita kemarin sore, yang hanya menganggap ucapan warok Sumitro hanya sebuah ucapan atau tawaran. Itu pemaksaan. Tidak mungkin warok Sumitro datang dengan eksklusif ke rumah reotnya hanya untuk mengatakan kalau beliau ingin mengangkat Aji sebagai cucunya.

"Ndoro datang?" Aji terpekik di ambang pintu. Warok Sumitro menoleh dan tersenyum. Ibu Aji juga ikut tersenyum miris. Mungkin akan ada hal yang berubah. Kalau ditanya apa beliau rela, tentu saja beliau tidak rela. Beliau tidak ingin merampas masa depan anaknya.

"Darimana, cah bagus?" Warok Sumitro mengelus kepala anak itu. Aji tersenyum, lalu melangkah ke dapur untuk meletakkan garam yang baru saja dibelinya.

"Dari beli garam, ndoro. Kok tumben ndoro sowan? Hehehe..." Anak itu terkekeh lucu. Warok Sumitro tersenyum. Kemarin seluruh warok berkumpul dan memutuskan untuk mengangkat Aji sebagai gemblak warok Sumitro.

"Aji... cah bagus... ndoro-mu ini mau bicara dengan ibumu. Apa kamu bisa pergi sebentar, le?" Warok Sumitro tersenyum penuh arti. Aji menoleh ke arah ibunya. Ibunya tersenyum lembut, lalu mengangguk. Aji menurut, lalu keluar.

Sepeninggal anak itu, warok Sumitro kembali serius. Dua orang dewasa itu bicara dalam sudut pandang masing-masing.

"Saya... tidak ingin dianggap menjual anak saya sendiri, ndoro. Anak itu masih punya masa depan..." Ibu Aji berbisik sedih. Warok Sumitro terhenyak dengan ucapan wanita paruh baya itu.

"Apa aku merusak masa depan anak itu? Aku hanya ingin menjadikannya bagian dari hidupku, budayaku dan mimpiku."

"Tapi, ndoro... keberadaan gemblakan dipandang sebagai..."

"Aku tidak pernah menganggapnya sebagai gemblakku, Tri! Aku menyayangi anak itu..."

"Masalahnya bukan itu, ndoro... Saya hanya tidak ingin kehilangan Aji."

"Aku tidak merampasnya darimu, Tri! Aku hanya minta izin. Aku ingin mengangkat anak itu sebagai cucuku. Tidak akan kusentuh anak itu, tidak akan pernah kurusak dirinya."

"Ndoro..."

"Aku hanya ingin memeluknya dalam tidur. Mendongeng padanya. Mengobrol dengannya..."

Ibu Aji masih berat hati. Lalu, warok Sumitro mulai merapalkan mantra lagi. Ibu Aji menurut seketika dengan kepala tertunduk. Maka hari itu, Aji resmi jadi gemblak milik warok Sumitro.

Ketika Aji pulang menjelang sore, warok Sumitro masih menantinya. Banyak kardus yang menumpuk di depan rumahnya. Isinya baju-baju dan perlengkapan lainnya.

"Lho, ini mau dibawa kemana, bu'e?" Aji mengerjap, bertanya dengan nada polos.

"Mulai sekarang, ibumu pindah cah bagus. Ke rumah yang lebih layak dan juga bagus." Warok Sumitro mengelus kepala Aji. Aji mendongak, melongo, lalu melompat senang. Ibunya tersenyum melihat antusiasmu Aji.

"Benar begitu, bu'e?"

Ibu Aji tersenyum. Rasa cemas akan posisi anaknya terhadap warok Sumitro tiba-tiba hilang tak berbekas. Ibunya menerima apapun yang dikatakan warok Sumitro.

Aji mengerjap, lalu memeluk tubuh ibunya senang. Bersyukur. Akhirnya setelah sekian tahun, mereka bisa pindah ke rumah yang lebih layak. Aji menoleh ke arah warok Sumitro dan tersenyum. Bibirnya mengucapkan rasa terima kasih berkali-kali.

Lalu... sebuah mantra muncul dari bibir warok Sumitro. Sebuah mantra aji pengasihan yang konon berasal dari daerah Ponorogo. Keampuhannya pernah dibuktikan oleh Raden Nakula ketika mempersunting istrinya. Namanya aji pengasihan Pecut Kencono.

"Ingsung amatek ajiku pecut kencono, kang katampar saka rikmo, dak sabatake gunung jugruk, dak sabatake segoro asal, dak sabatake atine si Aji. Sido edan kayungyun aku, rino wengi linglung wuyung, tansah kekatonan aku, saka kersaning Gusti." (intinya : Kujadikan hatinya Aji jadi milikku, jadikan dia gila terhadap aku, tiap hari linglung dan tampak diriku.)

Anehnya, setelah itu Aji juga menurut apapun yang warok Sumitro katakan. Jemarinya menggenggam jari warok Sumitro, mengikuti langkah warok tua itu lagi. Aji resmi tinggal di padepokan warok Sumitro. Diberikan kamar paling besar, dibelikan lemari besar dengan baju-baju bagus di dalamnya. Selain itu, ada perpustakaan kecil di dalam kamarnya. Berisi buku-buku bagus dan mahal.

"Ndoro, bu'e juga pindah?" Aji mengerjap. Warok Sumitro tersenyum, mengelus rambut anak itu dan mengusap pipinya.

"Mulai sekarang ibumu tidak perlu bekerja lagi, cah bagus. Ndoro warokmu yang akan mencukupi segala kebutuhannya. Kalau kamu kangen, kamu boleh berkunjung ke sana setiap saat. Ndoro-mu ini juga sudah menyiapkan supir yang bisa mengantar kamu ke tempat ibumu."

Aji mengerjap.

"Kenapa Aji harus tinggal di sini, ndoro?"

"Untuk belajar, cah bagus."

Aji ingat kalau warok Sumitro sudah menjanjikan sesuatu padanya. Soal belajar menari dan juga belajar mengenai budaya. Aji mengangguk senang, apalagi saat mengetahui kalau ibunya sudah berkecukupan tanpa harus bekerja lagi.

"Tapi, ndoro... bu'e bilang katanya nggak baik minta-minta. Apa bu'e mboten nolak saat ndoro memberikan apapun?" Aji teringat hal yang sebenarnya sudah jadi didikan ibunya. Warok Sumitro menunduk, mengelus kedua pipi gembil itu lagi.

"Mulai sekarang, ndoro-mu ini adalah orang yang paling dekat dengan kamu, cah bagus. Ndoro-mu ini mengangkat kamu sebagai bagian dari diri ndoro sendiri. Ndoro tidak akan memperlakukan kamu dengan nista. Tidak, cah bagus..."

Aji berpikir.

Lalu sebuah cerita tiba-tiba terlintas di kepala Aji.

Gemblak.

Aji pernah mendengar dan membacanya. Aji tahu apa itu gemblak. Aji tahu, namun masih belum mampu menelusuri makna gemblak itu lebih dalam lagi. Kebingungannya itu membuat warok Sumitro akhirnya berani angkat bicara.

"Kamu mikir opo, toh le?" tanya warok itu. Memancing. Aji menghela napas, lantas menatap mata tajam warok Sumitro lagi.

"Ndoro, Aji sudah besar. Ndoro sudah mengajari Aji banyak hal, baik yang masih wajar atau yang terdengar tabu. Ndoro, kalau Aji boleh tahu... apa mungkin..."

"Kamu mikir itu, cah bagus? Apa kamu mau meninggalkan warok tua ini?"

Jujur, jauh dari lubuk hati Aji tidak ada keinginan untuk meninggalkan ndoro waroknya. Aji sudah jatuh sayang pada warok tua ini. Aji seringkali cemburu saat ndoro waroknya sibuk dengan penari lain. Aji benar-benar tidak tahu kenapa harus punya perasaan seperti itu. Aji senang kalau keberadaannya di sisi warok Sumitro membuat ibunya bahagia. Namun tetap saja... gemblak itu bukan sekedar gelar yang diberikan warok terhadap "anak asuh"nya. Jelas bukan. Aji sudah belajar banyak hal. Termasuk tentang sang Raja Kelanaswandana yang lebih suka melihat lelaki tampan dibanding wanita cantik. Aji sudah merasakan itu sejak dulu. Wanita paling cantik menurut Aji tetaplah ibunya.

Namun, lelaki paling tampan yang sanggup membuat hatinya damai tetap warok Sumitro. Lelaki yang sanggup membuat jantungnya berdegup kencang, tetap warok Sumitro. Bahkan lelaki yang sanggup membuat Aji berpikir untuk mengabdikan seluruh hidupnya, tetap saja tertuju pada warok tua yang tampan itu.

Aji bukan anak kemarin sore.

"Gemblak adalah kelangenan bagi seorang warok. Ndoro, apa Aji adalah kegemaran dan kesenangan ndoro?" Pertanyaan itu terdengar menyakitkan di telinga seorang warok Sumitro. Dikecupnya kening anak itu sayang, lalu kepala anak itu jatuh dalam pelukannya.

"Kamu bukan sekedar kelangenan, cah bagus... Tapi kamu adalah alasan kebahagiaan ndoro..."

Aji melingkarkan tangannya di pinggang warok Sumitro. Warok Sumitro terhenyak tatkala mendapati Aji membalas pelukannya. Hari itu, Aji berjanji akan berada di sisi warok Sumitro. Mungkin selama tiga tahun? Hanya sekitar tiga tahun saja. Kontrak gemblakan biasanya hanya berlangsung selama tiga tahun. Itu juga kalau warok lain tidak melirik gemblak milik warok lain.

Namun tetap saja, membayangkan berpisah dari ndoro waroknya lalu jatuh ke tangan warok lain membuat Aji takut. Benar-benar takut.

Karena Aji tidak tahu, warok Sumitro benar-benar jatuh sayang terhadapnya. Bukan karena Aji adalah gemblak barunya. Bukan. Warok Sumitro sudah jatuh cinta sejak dulu. Bahkan posisi Aji bukan gemblak, sama sekali bukan hanya sebagai gemblak di hatinya.

Sebagai... kekasih.

***

Malam pertama sebagai seorang gemblak tidak begitu berubah. Selain karena kamarnya jauh lebih besar dan luas, juga semua kebutuhannya tercukupi... Aji masih menganggap dirinya adalah seorang anak biasa. Warok Sumitro berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang dikiranya masih belum pantas didapatkan oleh seorang anak belasan tahun.

Warok Sumitro sudah berjanji untuk tidak merusak masa kecil anak itu dengan keegoisan dan juga nafsu birahinya.

"Kok belum tidur, toh cah bagus?" Warok Sumitro bertanya pelan, mengetahui ada sepasang mata yang diam-diam mengintip dari celah pintu ruangannya. Aji tergagap karena ketahuan mengintip. "Sini masuk...!"

Aji membuka pintu besar berukir kepala barongan itu, lalu menapakkan kakinya lebih jauh. Warok Sumitro tersenyum menyambutnya.

"Aji tidak bisa tidur di tempat baru, ndoro..."

Warok Sumitro tersenyum.

"Oalah, cah bagus... Masa sehari saja ndak berjumpa dengan ibumu, kamu sudah kangen begini..."

Aji menunduk takut.

"Aji tidak biasa tidur sendirian, ndoro..."

Warok Sumitro tergelak geli. Setelah itu tangan kekarnya melambai, memerintahkan Aji untuk mendekat. Aji menurut. Ketika warok Sumitro menepuk pangkuannya, Aji sibuk dengan pemikirannya. Namun setelah itu dia kembali terlena dengan pangkuan kokoh warok Sumitro. Dia duduk di sana, dengan kepala bersandar di dada ndoro waroknya.

"Mau didongengi apa, cah bagus?"

Aji tersenyum geli.

"Aji sudah besar, ndoro. Jadi dongeng sudah tidak perlu lagi..."

"Ho, jadi kamu sudah besar, toh?"

"Anak umur sepuluh tahun itu sudah tumbuh, ndoro..."

"Lalu kenapa masih ndak suka tidur sendirian? Masih minta dikeloni, toh?"

Aji terkikik geli. Warok Sumitro mengelus kepalanya, mengecup pipinya sebentar. Rasa kasar dari bekas kumis itu menyapu pipi Aji. Aji terkikik lagi. Lalu setelahnya, warok Sumitro mulai bersenandung. Senandung ciptaannya sendiri, ketika merindukan bocah tampan di pangkuannya ini.

Atiku kang tansah tresno (Hatiku yang senantiasa cinta)

Mergo bocah kang bagus rupane (Karena bocah yang tampan wajahnya)

Apik atine... (Bagus hatinya)

Bagus kromone.. (Tampan tata kramanya)

Mbok menawa atiku ora ngerti... (Kalau misalnya hatiku tidak mengerti)

Iki nyoto opo anane (Ini nyata apa adanya)

Yo, ngger.. (Ya, ngger)

Ndoromu iki kang ngelaleni (Ndoro-mu ini yang melupakan)

Opo anane urip lan menungso paham (Apa adanya hidup dan manusia paham)

Yo, ngger.. (Ya, ngger)

Ndoromu iki mung katresnan (Ndoromu ini hanya kasmaran)

Marang cah bagus asmane Aji (Terhadap anak tampan bernama Aji)

Bocah becik kang bagus atine (Anak baik yang tampan hatinya)

Lamun ana alane, ngger... (Namun ada jeleknya, ngger)

Bocahe ora wedi nyolong atiku (Bocahnya tidak takut mencuri hatiku)

(Cr : Gaachan's_poem_collection)

Lagu yang disenandungkan oleh warok Sumitro membuat Aji membuka matanya lagi. Itu lagu tentang dirinya. Aji menoleh ke arah warok Sumitro, mengubah posisi duduknya menjadi miring. Tangannya merengkuh pundak warok tua perkasa itu. Lalu dikecupnya rahang kokoh milik lelaki tua tersebut.

Warok Sumitro tercekat-terpikat.

Tanpa aba-aba lagi, dilumatnya bibir tipis merah merona itu. Aji berjengit kaget. Namun ciuma ndoro waroknya terasa aneh. Memabukkan. Membuatnya mencandu. Aji belajar. Benar-benar belajar. Bagaimana rasa cinta itu muncul hanya dalam ungkapan fisik seperti ini.

Warok Sumitro mencoba menahan diri.

Aji tidak untuk beliau gagahi. Tidak, tidak. Aji adalah separuh mimpi dan juga cintanya. Saka ati. Dari hati. Jabatan gemblak hanya sekedar jabatan pengikat bagi warok Sumitro terhadap Aji.

Aji bukan kelangenan, tapi sudah jadi kesayangan warok Sumitro.

Sejak dulu.

TBC

*ngger : Panggilan semacam le, cah bagus. Kesannya memanjakan.

Apa kalian shock dengan mbah Mitro dan Aji? Baik, baik.. duduklah, dan kita akan mendiskusikan sebuah cerita di balik suatu budaya. Pernah tahu Ronggeng? Itu, lho.. penari wanita itu. Yang kadang disawer itu. Ronggeng itu adalah budaya dan seni. Tapi, ada kisah di baliknya. Tidak terlepas dari novel karya Ahmad Tohari dengan judul "Ronggeng Dukuh Paruk"nya. Di sana sudah dijelaskan kalau seorang penari ronggeng harus melepaskan keperawanannya. Bahkan tidak jarang kalau mereka tidur dengan tamu-tamu yang mereka hibur. Di Jepang, kita tahu soal Geisha. Kalau kalian bilang mereka hanya pelacur, oh tentu kalian salah. Mereka juga seniman. Mereka diajari menari, lalu bernyanyi dan memainkan alat musik. Hal ini sama dengan konsep Gisaeng dari negeri Korea. Bahkan mereka juga diajari berbagai teknik bermusik, bernyanyi dan juga melayani lelaki.

Lalu bagaimana dengan Gemblak? Setujukah kalian kalau mereka juga disebut dengan seniman? Saya sangat setuju. Terlepas dari soal kehidupan mereka, Gemblak juga seorang pekerja seni.

~[

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top