Bagian Sebelas: Kumpulan
Saya percaya, terlepas dari kisah kelamnya.. budaya juga punya nilai filosofinya sendiri.
***
Aji sudah jadi buah bibir banyak orang. Semua orang seolah tahu siapa anak itu. Meski kenyataannya dipandang negatif, namun tetap saja hal itu sudah dianggap biasa. Warok zaman dulu memelihara gemblak. Warok Sumitro tidak menganggap sedang memelihara gemblak. Beliau mencintai Aji. Mungkin beda ceritanya kalau dulu. Dulu gemblak sudah biasa dipelihara oleh seorang warok, namun zaman sekarang hal itu sudah punah dan langka. Karena mbah Sumitro sama sekali tidak menganggap Aji sebagai gemblaknya, ataupun kelangenan. Beliau mencintai Aji. Benar-benar cinta.
Aji bergelung dalam pelukan warok Sumitro. Tubuh kekar itu masih memeluknya, menyalurkan rasa hangat yang belum pernah Aji rasakan sebelumnya. Aji terlelap dalam pelukan warok tua itu. Meski tubuh yang sedang memeluknya ini sangat keras dan juga kokoh, namun tetap saja rasanya hangat. Dan menyenangkan.
"Ndoro mboten sare? 1)" Aji mengerjap, mendapati lelaki tua yang memeluknya ini masih membuka mata. Mata tajam namun penuh kasih itu menunduk menatap Aji. Bibir warok Sumitro mengecup kening Aji sayang.
"Ndoro tunggu kamu tidur dulu, cah bagus."
"Ndoro..."
"Ada apa, toh ngger? Tidur, tidur..."
"Kenapa jantung Aji tiap dekat ndoro kok rasanya kayak habis lari gitu?" Aji bertanya cepat. Akhir-akhir ini dia sering nonton sinetron yang jadi favorit istri Bawon.
"Aji nggak suka?"
Aji menggeleng.
"Rasanya aneh, ndoro..."
Aji memeluk erat tubuh warok tua itu lagi.
"Jantung ndoro juga berdetak sama cepatnya. Jadi Aji kira wajar, ndoro..."
Warok tua itu tergelak kencang. Dikecupnya kening bocah menawan itu dengan raut sayang. Semua orang tahu bagaimana posisi Aji di samping warok Sumitro.
"Ndoro..."
"Iya, sayang?"
"Apa ada gemblak lain di luar sana? Yang seperti Aji..."
"Mungkin ada, cah bagus. Tapi asal Aji tahu saja, ndoro-mu ini tidak pernah menganggap kamu gemblak, sayang. Aji adalah katresnan milik ndoro, bukan kelangenan. Bukan..."
"Ndoro..."
"Iya, cah bagus..."
"Kalau grebeg suro nanti ndoro tampil?"
"Tentu, cah bagus..."
"Selama seminggu penuh?"
"Iya, cah bagus..."
"Aji boleh ikut, ndoro?"
"Ya jelas harus ikut, toh sayang! Ndoro nggak mau kamu ditinggal sendirian di sini."
"Sama ndoro putri juga, ndoro?" Yang Aji tahu, ndoro putri alias istri warok Sumitro tidak pernah ikut tergabung dalam pertunjukan apapun. Mereka resmi sebagai wanita warok Sumitro, namun tidak secara harfiah. Semua orang tahu dan memaklumi. Kedua wanita itu juga tidak pernah keberatan. Usia mereka sudah tua dan jelas tidak bisa memberikan keturunan pada warok tua tersebut.
"Mereka tidak paham, cah bagus."
"Lalu kenapa ndoro menikahi beliau? Bukankah menikah itu didasari pada kebutuhan lahir dan batin? Aji pernah nonton TV soal hubungan suami istri."
Warok Sumitro mengeratkan pelukannya.
"Ndoro-mu ini hanya memberikan nafkah lahir saja cah bagus. Mereka sudah setuju dengan itu..."
Aji mengeratkan pelukannya.
"Ndoro..."
"Iya, cah bagus?"
"Aji... boleh ikut kemana pun ndoro pergi?" Aji mengerjap. Tangannya menggenggam baju warok Sumitro. Sang warok tersenyum lalu mengecup kening bocah menawan dalam pelukannya itu.
"Dari dulu ndoro pengen sekali ngantongin kamu, cah bagus..."
"Mas Raga juga pernah bilang begitu, ndoro. Apa Aji sekecil itu untuk dimasukkan ke dalam kantong?" Aji berbisik. Warok Sumitro tertegun. Beliau tahu kalau Aji dan Raga itu dekat sekali. Perlahan, sifat posesif seorang warok Sumitro kembali menjalar.
"Cah bagus senang dengan Raga?"
"Senang, ndoro..."
"Tresno marang Raga, cah bagus?"
Aji mengerjap, namun menggeleng kencang. Bagaimana mungkin rasa senangnya terhadap Raga dikategorikan sebagai cinta? Jelas saja bukan cinta yang Aji rasakan. Cintanya sudah terkikis habis terhadap warok perkasa yang sedang memeluknya ini.
"Aji hanya senang berteman dengan mas Raga, ndoro..."
Warok Sumitro tersenyum mendengar jawaban anak berusia lima belas tahun ini. Pelukannya makin erat.
"Aji, cah bagus... ingat pesan ndoro-mu ini ya! Kalau ada orang yang dekat-dekat dengan kamu jangan langsung nurut-nurut saja!" Warok Sumitro berkata tajam. Penyakit atau kelemahan bocah menawan dalam pelukannya ini adalah tingkahnya yang terlalu polos dan menganggap semua manusia itu baik. Mungkin warok Sumitro harus mengajari anak ini tentang betapa kejam dan kerasnya dunia ini.
Dididik dengan penuh kelembutan sepertinya tidak sepenuhnya menimbulkan kesan positif. Diam-diam, warok Sumitro bertekad untuk mengajari banyak hal pada Aji. Tanpa beliau sadari, ada janji yang tidak pernah beliau tepati terhadap anak itu.
Mengajari anak itu menari.
***
Mungkin dari sekian orang yang sedang datang ke alun-alun, Aji adalah satu-satunya anak yang jadi pusat perhatian. Lantaran anak itu datang dengan sebuah camera digital yang menggantung di lehernya, sandal gunung, juga topi rajut manis di kepalanya.
"Jangan jauh-jauh, ngger..." Itu yang warok Sumitro katakan sebelum kaki anak itu berkeliling seorang diri. Kerumunan yang belum pernah dia rasakan ini membuatnya tertarik dan terlalu antusias.
Ritual Grebeg Suro dimulai selama semingguan. Grebeg Suro adalah acara tradisi kultural masyarakat Ponorogo dalam wujud pesta rakyat. Seni dan budaya ditampilkan, mulai dari pawai Reog hingga larung sesaji di Telaga Ngebel. Acara ini adalah acara tahunan yang dirayakan setiap tanggal satu Muharram atau satu suro pada tanggalan Jawa. Alun-alun kota Ponorogo penuh dengan manusia-manusia yang juga ikut merayakan acara tersebut. Empat hari pawai Reog, dan terakhir adalah larung di Telaga Ngebel.
Aji belum pernah melihat acara seperti ini empat tahun yang lalu. Ketika warok Sumitro mengajaknya, anak itu selalu saja tidak bisa hadir. Dua tahun lalu anak itu pernah kena demam berdarah dan akhirnya masuk rumah sakit hingga tidak bisa datang, lalu tahun setelahnya malah ibunya yang sakit.
Kali ini, anak itu bisa datang. Warok Sumitro senang bukan main. Ini yang dinamakan rezeki dan juga berkah. Selain karena bocah itu bisa hadir melihat pertunjukan Reognya, anak itu juga sudah menjadi bagian dari hidupnya sekarang.
"Cucunya ndoro warok, ya?" Seorang lelaki seusia Raga bertanya cepat. Aji menoleh dan mendapati mas-mas itu memakai baju sama seperti Raga. Dia juga penari Bujang Ganong seperti Raga rupanya.
"Iya, mas..."
"Kenalan dulu, dong! Aku Agil. Dari padepokan Reog tetangga juga..."
Aji menjabat tangan Agil ragu. Ndoro warok bilang, Aji tidak boleh terlalu akrab dengan orang asing. Anak laki-laki seusia Raga tersebut tersenyum. Raga muncul setelah itu dan berdehem.
"Kok malah di sini, Ji? Dicari sama ndoro warok, tuh!"
Aji menoleh ke arah Raga lalu mengangguk cepat. Agil bungkam ketika melihat bocah manis itu menjauh patuh begitu mendengar nama ndoro waroknya. Begitu dia sampai di depan warok Sumitro yang sudah mengenakan pakaian hitam dengan sabuk putih, warok tua itu mengernyit.
"Darimana saja kamu, le?"
Aji berdehem.
"Aji sibuk foto-foto, ndoro!"
"Jangan jauh-jauh!"
"Mboten, ndoro..."
Warok Sumitro kembali sibuk dengan persiapan bersama yang lain. Aji merasa diabaikan. Tidak ada kegiatan yang berarti. Lalu ketika matanya menatap sebuah pemandangan menarik, langkah anak itu berkhianat terhadap perintah warok Sumitro. Ada anak laki-laki seusianya yang juga sedang sibuk didandani.
Dari gelagat mereka, Aji tahu kalau mereka juga sama sepertinya. Bahkan Aji juga tahu kalau sejak tadi warok pemilik mereka juga sibuk membantu mereka memakai baju. Aji paham, dia bukan penari. Dia hanya seorang anak yang tinggal di sisi warok Sumitro. Dianggap gemblak pun bukan berarti seperti itu. Meski hatinya mencintai warok Sumitro.
"Kok diam saja?" Sebuah suara terdengar lagi. Aji menoleh dan mendapati Agil ada di sebelahnya.
"Iya, mas Agil. Mau lihat-lihat..."
"Aji, kan?"
Aji mengangguk.
"Lihat apa?" Agil masih penasaran dengan anak tampan di depannya ini. Aji menoleh, lalu berdehem sekilas.
"Itu cucunya warok... anu..." Aji bingung mau bicara seperti apa.
"Ah, itu Bujang Ganongnya ndoro warokku."
Aji makin terpuruk. Kapan ya ndoro waroknya mengajari Aji menari seperti mereka juga? Bukankah dulu ketika usianya masih sepuluh tahun ndoro warok berjanji untuk itu? Aji kecewa. Benar-benar masih kecewa.
Anak itu kembali berkeliling sendirian. Berkali-kali dia disapa, diajak kenalan juga. Mbak-mbak penari jathil juga mengajaknya kenalan, bahkan memberinya permen. Aji ingin tertawa sekaligus menangis. Dia sudah lima belas tahun, jadi sudah tidak bisa disogok dengan permen. Bukan hanya mbak-mbak yang mengajaknya kenalan. Bahkan warok lain juga bertanya macam-macam padanya.
Sebagai anak yang dididik untuk punya tata krama oleh ibunya, maka Aji memperlakukan mereka sebagaimana mestinya. Lalu sebagai seorang lelaki yang diajari oleh seorang warok Sumitro, maka Aji juga harus punya keberanian untuk bicara.
Bahkan, ada tangan-tangan jahil yang senang sekali menyentuh bagian tertentu tubuhnya. Aji ingin menangis sekarang. Benar-benar ingin menangis. Menangis karena dia mempertahankan dua ajaran berbeda yang diterimanya dari ibu dan ndoro warok.
Karena sudah bingung menanggapi seperti apa, anak itu melarikan diri. Itu lebih aman.
Ketika yakin kalau dirinya sudah aman dari orang-orang yang ingin menariknya, Aji melirik sekitar. Sudah banyak masyarakat yang datang dari berbagai kota untuk menyaksikan pertunjukan. Ibu Aji juga ingin datang katanya, masih dalam perjalanan bersama pak Wongso dan istri.
Sementara Aji menunggu, pertunjukan dimulai. Mata anak itu terbelalak kaget, apalagi saat Reog milik ndoro waroknya yang paling terlihat dan sangat ditunggu-tunggu. Aji melongo. Dia sudah biasa melihat latihan mereka tiap hari. Namun pada kenyataannya, pertunjukan yang asli benar-benar luar biasa.
Aji terpesona.
Sekaligus iri, ingin seperti mereka.
Ketika semua orang sedang sibuk terkagum-kagum, air mata menetes perlahan di sudut mata anak itu. Aji menangis karena terbawa perasaan. Dia ingin seperti mereka yang mempersembahkan pertunjukan indah itu. Aji berjongkok, menangis lagi. Dia menangis seorang diri.
Hingga sebuah tepukan mendarat di kepalanya. Aji hafal tangan siapa itu dari kehangatan dan aroma tubuhnya. Aji menghapus paksa air matanya dan menoleh ke arah sang penepuk.
Lalu setelahnya bocah itu menghambur dalam pelukan warok Sumitro dan menangis sesenggukan.
"Duh, cah bagus... kenapa menangis?" Warok Sumitro terkejut, lantas membekap tubuh anak itu dan mencoba menenangkannya.
Aji menggeleng kencang, mencoba menguatkan dirinya sendiri. Saat ini warok Sumitro sedang fokus pada pertunjukan. Dia tidak boleh jadi beban dan merepotkan beliau.
"Ada apa, toh le...? Bilang sama ndoro warokmu ini coba..."
Aji masih sesenggukan. Tangannya gemetar, mencoba menggenggam baju hitam ndoro waroknya lagi.
"Ndoro... Aji boleh minta sesuatu?"
"Apa itu, cah bagus? Nanti ndoro belikan..."
Aji menggeleng. Warok Sumitro tahu anak itu tidak ingin hadiah berupa barang. Aji bukan anak yang senang dengan barang-barang seperti itu.
"Aji ingin belajar menari juga, ndoro..."
Warok Sumitro tercekat. Warok tua itu kembali teringat dengan janjinya di masa lalu tentang ini. Beliau sudah berjanji akan mengajari Aji menari agar bisa hebat seperti Raga dan yang lain.
Sebenarnya warok Sumitro ingat.
Hanya saja, beliau masih belum rela. Seandainya anak ini tumbuh lebih cepat, seandainya anak ini berubah... apa beliau masih sanggup mengikatnya?
"Apa segitu inginnya kamu belajar, cah bagus?" Warok Sumitro bertanya lagi. Aji mengangguk mengiyakan.
"Ndoro pernah berjanji dulu ke Aji..."
Warok Sumitro menghembuskan nafasnya.
"Aji, cah bagus... ndoro warokmu ini keras kalau mengajari seseorang. Apa kamu siap, le?"
Aji mengangguk cepat. Dia tidak pernah dipukul ataupun dibentak sebelumnya. Tidak pernah sekalipun. Dia juga ingin mendapatkan perlakuan serupa, perlakuan yang sama dari seorang warok Sumitro ketika mengajari seseorang.
"Aji siap dipukul, siap dimarahi, siap ndoro... Aji juga ingin belajar seperti yang lain," bisiknya lagi. Warok Sumitro bungkam, lalu diusapnya air mata di pipi gembil bocah kesayangannya itu.
"Le, bilang le... dari tadi ketika ndoro-mu ini cari-cari keberadaanmu, kamu kemana saja? Kamu nggak diapa-apain sama orang, kan?" Warok Sumitro itu sakti. Feeling beliau tajam meski hanya dengan melihat.
"Anu... ndoro..." Aji berbisik takut.
"Baju kamu sobek, lalu ada bekas lipstik di sini..." Suara warok Sumitro berubah posesif. Aji menunduk makin dalam.
"Aji dipegang-pegang, ndoro..."
Lalu setelahnya, mulut warok Sumitro yang selalu bicara soal budaya dan perilaku itu mengumpat. Untuk pertama kalinya di depan bocah kesayangannya. Warok Sumitro menatap bocah itu, lalu bertekad untuk memberinya mantra agar tidak disentuh oleh orang lain. Selain dirinya.
TBC
1) Ndoro mboten sare? : (jawa halus) ndoro tidak tidur?
Salam budaya!
Saya cinta merekaaaaaa..... >_< ini nih yang Gaachan bilang pas Grebeg Suro maen ke Ponorogo. Tapi dua keponakan tercinta sekarang udah kuliah, jadi nggak ada di sana lagi. Kalau ada yang tinggal di sana, coba dong tinggalin komentar...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top