Bagian Satu: Mbah Sumitro
Saya percaya, kreativitas dan budaya adalah sebuah karya tanpa penyesalan.
***
Kalau mereka tanya siapa mbah Sumitro, maka semua orang akan menjawab kalau beliau adalah pemilik Reog paling terkenal di Ponorogo. Semua sudah kenal siapa mbah Sumitro. Beliau adalah priyayi sekaligus tetua, dengan segala kekayaan dan juga kebijaksanaannya. Beliau yang selalu jadi panutan, beliaulah tokoh penting di Ponorogo. Tidak ada satu orang pun yang tidak mengenal mbah Sumitro selama dia peduli dengan kebudayaan Reog Ponorogo.
Rumah beliau yang paling besar dan luas di Ponorogo sana. Beliau punya padepokan Reog yang sudah terkenal, dengan jumlah anggota paling banyak dan makmur. Setiap ada tanggapan 1), orang kaya selalu melirik Reog kepunyaan mbah Sumitro. Bukan hanya orang kaya saja, bahkan pejabat internasional saja tertarik dengan Reog mbah Sumitro yang terkenal itu. Mereka berlomba untuk datang ke Ponorogo hanya untuk melihat pertunjukan Reog yang mbah Sumitro gelar. Terkadang beliau pakai padepokan besar dan luasnya untuk pagelaran, namun pejabat setempat juga mengizinkan mbah Sumitro mengadakan pertunjukan di alun-alun dengan tangan terbuka. Tiap malam grebeg suro, mbah Sumitro mengeluarkan taringnya, memperkenalkan betapa megah dan jaya luar biasa Reog miliknya.
Semua orang tahu, mbah Sumitro adalah tokoh sentral di Ponorogo.
"Bawon! Bawon!" Mbah Sumitro berteriak, memanggil pembantunya yang paling setia. Tak lama setelah itu seorang lelaki tua berlari tergopoh-gopoh menghampiri majikannya.
"Nggih, ndoro 2)..." Bawon menunduk penuh hormat pada mbah Sumitro.
"Ambilkan selopku."
Abdi mbah Sumitro yang paling setia itu mengambil sepasang selop dari rak dan meletakkannya di depan kaki majikannya. Kaki besar dan berototnya itu memakai sandalnya dan melangkah cepat. Langkahnya berat, suara gesekan selop dan ubin dinginnya membahan, seolah menciptakan aura tersendiri saat beliau melangkah gagah. Matanya menatap para lelaki yang sedang fokus di belakang alat musik tradisional.
Hari ini seperti pagi sebelumnya sebelum beliau mandi pagi, Mbah Sumitro melihat anak buahnya yang sedang berlatih tabuhan 3). Melihat junjungan mereka datang, para penabuh itu memberi hormat dengan membungkukkan badan sekilas. Tabuhan berhenti. Mereka menatap mbah Sumitro dengan keperkasaannya melangkah melewati mereka.
"Lanjutkan!" Hanya itu yang mbah Sumitro katakan, lalu tabuhan berlanjut lagi. Tapak kaki mbah Sumitro menjauh dari tempat itu. Melangkah, memeriksa setiap sudut tempat di padepokan Reognya.
Nyatanya, di usia tua itu pun mbah Sumitro masih gagah. Tubuhnya besar, tinggi dan tegap. Wajahnya tajam khas warok-warok di Ponorogo. Kekayaannya malang melintang di setiap sudut tempat hampir di seluruh wilayah Ponorogo. Beberapa hektar sawah, peternakan sapi, lalu cabang paguyuban Reog lainnya.
Sebenarnya bagaimana sosok asli mbah Sumitro di balik kegagahannya itu?
Lelaki tua itu sebenarnya sudah memiliki dua orang istri, namun beliau tidak punya anak. Usut punya usut, mbah Sumitro tidak pernah menancapkan kejantanannya di liang vagina sang istri. Ndak ilok 4)katanya. Bikin kesaktian beliau luntur. Meski begitu mbah Sumitro masih jaya perkasa dan sanggup menahan nafsunya. Beliau tidak pernah bersenggama dengan siapapun. Begitu kuatnya mbah Sumitro menahan segala macam birahi hingga warok lain menatapnya iri.
"Won! Bawon!" Mbah Sumitro berteriak kencang, memanggil Bawon yang sedang menyiapkan pakaian mbah Sumitro. Meski hanya sepasang celana kolor panjang dan sebuah kaos, namun Bawon harus tetap menyiapkan semua keperluan ndoro-nya.
"Nggih, ndoro..." Kalimat itu seolah sudah jadi kalimat yang selalu Bawon ucapkan di depan majikannya. Mbah Sumitro melangkah dengan handuk di pinggang. Tubuh gagahnya masuk ke dalam kamar, tangannya meraih baju dan celana yang sudah Bawon siapkan. Lelaki yang lebih muda itu menunggu majikannya bicara.
"Kalau nanti ada yang cari, suruh langsung ke ruangan, Won!"
Mbah Sumitro melangkah. Bawon menunduk, menganguk penuh takzim. Namanya saja unggah-ungguh, ondo-usuk, dan tata krama. Yang muda harus menghormati yang lebih tua. Bawon jelas punya usia yang lebih muda daripada mbah Sumitro. Bawon mengabdi sejak dulu, secara turun temurun. Bawon bukan pembantu biasa. Mbah Sumitro sudah meletakkan kepercayaannya pada Bawon sejak dulu. Apapun yang mbah Sumitro katakan, Bawon selalu melaksanakan. Entah itu baik ataupun buruk.
"Ndoro putri bagaimana, ndoro?" Bawon bertanya pelan. Ndoro putri yang Bawon maksud adalah istri mbah Sumitro. Mbah Sumitro menatap Bawon dengan wajah tajamnya. Beliau menghembuskan nafasnya, lalu tersenyum.
"Kalau mereka mau bicara soal Reog, boleh saja mereka masuk!"
Bawon paham kalau maksud mbah Sumitro adalah tidak. Kedua ndoro putri-nya tidak paham dengan Reog. Mereka berdua adalah wanita yang bertugas di dapur. Bagian memijat tubuh lelah mbah Sumitro, meskipun mbah Sumitro lebih senang dengan pijatan Bawon yang lebih kuat dan antep itu.
Hari ini, harusnya mbah Sumitro kedatangan tamu. Tamu dari negeri lain, yang meminta beliau mementaskan Reognya di luar negeri. Jelas ini proyek dan juga hal yang sangat bagus untuk mbah Sumitro dan padepokan Reognya. Para penabuh harus siap dengan segala macam konsekuensinya. Mereka harus berlatih siang malam untuk mbah Sumitro. Bukan keharusan lagi, namun mereka ikhlas melakukan itu untuk majikan sekaligus junjungannya itu.
Tak berapa lama kemudian tiga buah mobil masuk pelataran padepokan. Beberapa orang membuka pintu. Pembantu mbah Sumitro paham kalau itu tamu. Mereka menyambut rombongan itu dengan wajah ramah. Beberapa dari mereka berwajah asing dan menggunakan bahasa Belanda.
Bawon mengangguk, lalu memandu mereka untuk pergi ke ruangan pribadi mbah Sumitro. Mereka masuk serentak, lalu duduk di sana. Makanan dan minuman sudah terhampar rapi di meja yang berada di tengah ruangan. Mbah Sumitro sedang menjamu mereka, dan tentunya mereka merasa menjadi tamu kehormatan mbah Sumitro.
Seseorang yang berwajah asli Indonesia berdehem sekilas. Mungkin dia adalah juru bicara atau bahkan penerjemah bagi utusan dari Belanda itu.
"Kami sudah dengar tentang padepokan Reog mbah Sumitro..."
Mbah Sumitro menatapnya biasa saja. Mata tajam beliau berkilat sekilas, lalu seulas senyum muncul dari bibir mbah Sumitro. Senyum itu membuat aura dalam ruangan jadi mencekam.
"Lalu?"
"Kami ingin bekerja sama dengan mbah. Kami ingin mengadakan pertunjukan di Belanda."
"Apa yang akan Saudara tawarkan?" Mbah Sumitro sudah malang melintang di dunia bisnis Reognya. Beliau tahu dengan pasti apa yang ingin mereka cari sebenarnya. Kalau hanya sekedar hiburan, mungkin mereka tidak akan menunjuk padepokannya. Ada motif lain yang mendasari mereka bicara seperti itu.
Juru bicara itu terlihat berbisik-bisik dengan orang Belanda di sebelahnya. Mereka mengangguk sekilas, lalu kembali menatap wajah mbah Sumitro.
"Kami sedang mengadakan kampanye, Mbah. Jadi kami sengaja..."
Mbah Sumitro bahkan tahu apa yang akan mendatanginya hari ini. Karena itulah beliau memerintahkan pembantunya di pawon 5)untuk menyiapkan jamuan. Bahkan beliau sudah bersiap di ruangannya. Mbah Sumitro tahu, karena mbah Sumitro sakti mandraguna. Itu yang orang katakan. Semua hal pasti mbah Sumitro ketahui, jadi tidak heran kalau beliau juga jadi semacam sesepuh desa. Beliau yang menjadi panutan di sana.
"Jadi Saudara sengaja menyewa Reog kami untuk kepentingan pribadi?"
"Maksud kami...." Juru bicara itu tergagap.
"Kalian mau Reog saya yang pergi ke Belanda dengan membawa embel-embel partai tertentu?"
"Tidak seperti itu, mbah..." Juru bicara itu masih mencoba mencari kata-kata yang pas untuk menjelaskan. Namun sekali lagi, bibirnya seolah kelu karena tatapan tajam mbah Sumitro.
"Saudara jangan bertele-tele. Saya ndak suka lho kalau ada orang yang mau ngomong lapar saja harus mendeskripsikan suasana dan cuaca."
Hari itu semua seolah bungkam karena ucapan mbah Sumitro. Semuanya menunduk. Juru bicara tersebut menatap mbah Sumitro lagi, kali ini dengan ekspresi ketakutan. Juga bersalah.
"Mbok ya kalau mau sewa Reog itu tinggal bilang saja. Kami tidak peduli mau dibuat apa, namun kejelasan jelas sangat saya pertimbangkan. Lagipula, pertunjukan Reog kami adalah murni soal budaya. Bukan soal kampanye. Kalau memang itu salah satu trik dan cara panjenengan 6)kampanye, ya monggo... Tapi satu yang harus diingat, kami murni disewa untuk pertunjukan."
Juru bicara itu menghela nafas lega. Sepertinya bicara dengan mbah Sumitro tidak perlu menggunakan bahasa mbulet dan juga penuh kebohongan. Warok perkasa itu seolah tahu apa yang sedang dia pikirkan.
"Kalau begitu, kami akan segera mengirim utusan agar mempersiapkan semuanya..."
Rombongan itu pergi setelah mbah Sumitro mengizinkan mereka pulang. Bawon yang sibuk membersihkan piring dan gelas di meja bersama pembantu lainnya hanya terdiam. Ada sekelumit rasa penasaran dalam hati Bawon. Tidak biasanya majikannya itu semudah itu mengizinkan orang asing menyewa Reognya.
Pasti ada sesuatu yang mulai mengusik mbah Sumitro.
"Kamu tahu kenapa aku izinkan mereka menyewa Reog kita, Won?" Mbah Sumitro berbisik. Bawon terdiam. Sudah biasa mbah Sumitro membaca pikirannya, jadi Bawon sudah tidak perlu kaget lagi.
"Mboten, ndoro... Pripun 7)?" Bawon bertanya pelan.
"Aku sudah tahu maksud kedatangan mereka kemari untuk kampanye partai. Mereka ingin mengadakan pertunjukan yang lain daripada yang lain. Mereka ingin menyerap dukungan dari TKI dan TKW, Won. Karena itu...." Mbah Sumitro menghentikan penjelasannya, lalu menatap Bawon yang masih menatap matanya dengan raut penasaran.
"Kita bawa misi lain ke sana. Kalau perlu, kibarkan bendera merah putih di sana!"
Itu salah satu pemikiran luar biasa dari mbah Sumitro terhadap padepokan Reognya. Bawon mengangguk hormat.
"Kita hanya perlu tunjukkan identitas budaya kita, biar TKI dan TKW sana juga terhibur. Iki, lho budoyo negoroku. Apik tenan, toh 8)? Biar mereka semua bangga dengan budaya dari negerinya sendiri."
Bawon manggut-manggut. Sudah banyak kali Bawon dibuat terpesona dengan pemikiran mbah Sumitro. Beliau seolah punya banyak pemikiran yang nyeleneh namun benar yang sering ditunjukkan.
"Tapi apa mboten bahaya, ndoro?"
"Bahaya opo?"
Bawon menelan ludahnya takut. Dia awam sekali dengan masalah seperti ini. Jiwa yang mbah Sumitro sebut dengan jiwa nasionalis, atau jiwa bangga terhadap budaya itu seperti sedang mempermainkannya. Mempermainkan pemikiran dan rasa penasarannya. Bawon tidak tahu apa-apa, namun akhirnya ingin tahu.
"Kalau mereka mengira ndoro sengaja melakukan pertunjukan atas nama budaya Indonesia, pripun?" Bawon bertanya takut-takut. Mbah Sumitro memilin kumisnya, lalu terbahak kencang. Tubuh besarnya tergelak, bergerak seirama nafasnya yang menderu karena tawa.
"Lalu mereka mau kita bawa bendera partai mereka gitu? Itu kepentingan golongan mereka, Won. Mereka sewa kita, maka kita juga berhak menentukan harga sewa."
Rasa kagum Bawon terhadap ndoro-nya membuncah makin tinggi. Tidak heran kalau kedua orang tuanya sangat mengelu-elukan mbah Sumitro. Bawon merasa beruntung tinggal di sini bersama dengan istrinya. Istrinya juga bekerja di sini, di bagian dapur. Bagian memasak kalau misalnya ada tanggapan.
Bawon meminta izin untuk undur diri, meninggalkan mbah Sumitro yang masih sibuk membuka-buka sebuah buku tua. Entah berapa tahun usia buku itu Bawon tidak tahu. Namun buku itu memiliki huruf-huruf yang bahkan tidak dia ketahui maknanya.
Mbah Sumitro itu menyerupai bentuk lambang budaya. Kokoh, tegap, perkasa, bijaksana, dan juga misterius. Begitu aneh, nyeleneh, unik, namun menarik. Mbah Sumitro masih menatap buku di depannya, membacanya dengan wajah serius. Hari itu, mbah Sumitro menghabiskan waktunya untuk membaca buku itu. Lagi.
***
Kalau ada yang bertanya siapa mbah Sumitro itu, maka katakan saja dengan jelas kalau mbah Sumitro adalah warok segala warok. Beliau yang punya padepokan Reog paling terkenal di Ponorogo. Warok yang memiliki wajah sangar dan seram, tubuh yang gagah dan perkasa, namun belum memiliki anak. Bukan karena mandul dan sudah impoten, bukan! Meski sudah berumur, kejantanan mbah Sumitro masih bisa keras dan juga kokoh. Beliau punya rapal alias mantra sakti untuk membuatnya tetap perkasa meski sudah tua.
Gembar-gembor mbah Sumitro mengadakan pertunjukan hingga ke Belanda membuat orang-orang semakin kagum. Meski mereka tahu kalau ini bukan kali pertama mbah Sumitro menjejakkan kaki di luar negeri, namun tetap saja berita itu membuat orang-orang semakin kagum terhadap eksistensi Reog mbah Sumitro.
Pertunjukan Reog beliau di Belanda itu membuat yang lain terheran-heran. Tak sedikit rasa kagum dan bangga yang muncul dari hati tenaga kerja Indonesia yang ada di sana. Mereka berbondong-bondong datang untuk melihat pertunjukan Reog mbah Sumitro. Warga asli juga penasaran dan tertarik dengan pertunjukan itu.
Hal paling mengejutkan mereka adalah ketika mbah Sumitro, dengan tubuh tegapnya berdiri di depan dan berteriak lantang sambil membawa bambu yang sudah diikat dengan bendera merah putih.
"Hidup Indonesia!!!"
Hari itu, seluruh tenaga kerja Indonesia juga berteriak serentak. Menyebutkan kata serupa dengan mimik bangga dan haru. Nama Indonesia disebut di tanah orang dengan penuh rasa hormat.
Sekali lagi, mbah Sumitro bukan dikenal sebagai sosok sentral dalam Reog Ponorogo saja... namun juga sebagai pahlawan bagi tenaga kerja Indonesia di Belanda. Ketenaran beliau tidak akan pernah pudar.
TBC
*Glosarium
1) Tanggapan : Semacam acara mengundang sebuah pertunjukan
2) Nggih, ndoro : Iya, ndoro. (Ndoro adalah sebutan bagi priyayi Jawa. Biasanya panggilan untuk majikan yang sangat dihormati.)
3) Tabuhan : kegiatan tabuh-menabuh alat musik.
4) Ndak ilok : Tidak bagus. Tidak etis. Atau pamali istilahnya.
5) Pawon : Dapur kuno yang masih pakai tungku
6) Panjenengan : Bahasa jawa halus yang artinya "Anda"
7) Iki, lho budoyo negoroku. Apik tenan, toh?: Ini lho budaya negaraku. Bagus sekali, kan?
8) Mboten, ndoro... Pripun? : Tidak, ndoro. Bagaimana?
Maaf kalau ada yang tersinggung dan juga antipati dengan cerita semacam ini, namun sekali lagi saya ingin mengatakan : "Manusia sibuk menatap manusia lain, mengomentari apa yang ada di wajah mereka, tanpa tahu wajahnya sendiri yang sedang tercoreng arang."
NB : Minta saran. Kira-kira arti bahasa Jawa itu lebih bagus diletakkan di dekat kalimat atau di bawah aja ya? Soalnya kalau di deket kalimat kayak ganggu gitu, kesannya nggak merasuk banget. Aku letakkan di bawah aja. maaf, ya kalau kalian harus baca ulang dan mencoba mengartikannya lagi... :)
Sumber istilah dari wikipedia dengan kata kunci "Reog Ponorogo". *Gaachan cantumin biar gak dibilang plagiat, nih! Untuk bahasanya emang asli ngetik sendiri kok... *ala orang Jawa
Kalo emang mbah Sumitro dianggap umur sekitar 50an, maka cast paling menarik adalah Arbaaz Khan... huehehehe... masih ganteng yak? :v huahahahaha...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top