Bagian Lima: Jathilan
Saya percaya, perubahan budaya terkadang menimbulkan luka.
***
Karena mbah Sumitro menjanjikan akan memberi sangu untuk Aji, maka anak itu semangat sekali untuk ikut pak Suwongso mengantarkan jenang ketan. Aji tersenyum, bercerita pada ibunya dengan nada menggebu. Ibunya sungkan pada pak Suwongso dan mbah Sumitro, lantas ibunya menulis sebuah surat yang ditujukan untuk warok terkenal tersebut.
"Sugeng enjing, ndoro... 1)
Pripun kahananipun panjenengan? Kula ibu saking Aji. Pangapunten ingkang kathah menawi putra kula nggadah kalepatan dumateng ndoro. Putra kula tasik alit, ingkang mboten paham menawi nyuwun-nyuwun niku mboten enggal becik. Pangapunten ndoro... pangapunten ingkang kathah...
Sugeng enjing."
Aji tahu surat itu. Dia tidak sengaja membacanya ketika kertas itu belum terlipat. Aji mengerutkan keningnya. Lalu, air mata mulai menetes membasahi pipi gembilnya. Sang ibu yang baru saja keluar dari dapur kaget mendapati anaknya berjongkok di depan meja, sambil memeluk surat yang baru saja ditulisnya. Anak itu menangis sesenggukan di sana. Ibunya kaget dan langsung memeluk anak tercintanya tersebut.
"Maafkan Aji, bu'e. Aji sudah bikin bu'e malu. Harusnya Aji ndak boleh minta-minta sama orang..." Anak itu menangis lagi. Ibunya tercekat dengan ucapan anaknya.
"Bukan itu maksud bu'e, cah bagus... Bu'e hanya ndak mau kalau warok Sumitro memberikan uang untuk Aji lagi. Bu'e ndak mau merepotkan warok Sumitro."
Aji mengangguk lagi. Dia sudah jadi anak yang nakal, karena berani sekali dia menerima sangu dari warok Sumitro. Aji tidak boleh begitu. Kalau memang ingin membelikan rumah untuk ibunya, harusnya Aji harus menabung. Aji harus mendapatkan uang dengan bekerja, bukan dengan menerima kebaikan orang lain. Aji menangis makin kencang dalam pelukan ibunya.
"Maafin Aji, bu'e. Aji ndak tahu malu sudah menerima sangu dari ndoro warok. Aji nggak mau ke sana lagi besok. Aji nggak mau ke rumah beliau lagi. Aji malu, bu'e..." Aji masih tersedu, memeluk ibunya erat. Ibunya berkali-kali menghibur anak itu, namun Aji masih terlanjur kecewa dengan dirinya sendiri.
Aji tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di padepokan mbah Sumitro.
***
Mbah Sumitro kecewa.
Mendengar penuturan pak Suwongso soal Aji tadi membuat beliau benar-benar dirudung resah. Sakit hati. Pak Suwongso menyerahkan amplop yang berisi surat dari ibu Aji tersebut dan terpekur dalam diam. Mbah Sumitro tidak tahu apa yang menghinggapi hatinya, namun tetap saja beliau merasa sakit hati karena Aji tidak lagi datang ke tempatnya.
"Berikan ini pada ibunya, So!" Mbah Sumitro menyerahkan amplop lain. Beliau membalas surat ibu Aji. "Aku ndak suka kalau ada orang yang menghindariku karena sungkan padaku. Anak itu ingin belajar tentang budaya, kok ya sampai dilarang. Kalau memang ndak suka aku memberikan sangu padanya, ya bilang saja. Ndak perlu sampai menghindar begitu!" Warok Sumitro kecewa. Pak Suwongso menunduk dalam. Ndoro-nya itu sedang emosi.
"Aji sendiri yang mboten purun dateng mriki, ndoro..2)."
Mendengar penjelasan pak Suwongso, mbah Sumitro terusik. Lelaki tua yang masih gagah itu benar-benar tersinggung sepertinya. Atau mungkin tidak ingin kehilangan sosok bocah manis itu. Pak Suwongso tidak tahu harus bicara apa lagi. Setelah pamit pulang, diserahkannya surat dari mbah Sumitro itu pada ibu Aji. Ibu Aji membuka amplop itu perlahan, lalu terhenyak kaget begitu mendapatkan sebuah tulisan di sana.
Hal yang selama ini disembunyikan oleh ibu Aji dari anaknya.
"Apa ya ndak boleh aku ketemu sama cucuku sendiri? Apa ndak ingat sama warok tua yang sudah bersahabat lama sama bapakmu itu?"
Hari itu, sang ibu memanggil Aji. Mengajak anaknya membeli baju baru, lalu menangkup kedua pipi anak itu.
"Aji, mulai hari ini Aji harus baik sama ndoro warok, ya?" Ibunya menatap wajah anaknya. Aji mengerjap bingung.
"Kenapa, bu'e?"
"Beliau adalah sahabat lama kakekmu, cah bagus. Beliau juga yang memberikan nama Aji Arya Kamandanu untukmu, cah bagus."
Aji mengerjap.
"Nama Aji pemberian ndoro warok, bu'e?"
"Iya, sayang!"
"Bu'e kenal sama ndoro warok?"
"Kakekmu sahabat ndoro warok, sayang! Dulu kakekmu pernah dalam bahaya, lalu ndoro warok yang membantu beliau. Waktu Aji lahir, ndoro waroklah yang pertama kali mengusulkan nama ini untuk Aji."
Aji mengerjap lagi.
"Jadi Aji boleh menemui ndoro warok lagi, bu'e?"
Ibunya tersenyum, mengangguk. Dipeluknya Aji sekali lagi. Kalau bisa, mungkin ibunya bisa saja menemui warok Sumitro untuk berterima kasih. Sayangnya pekerjaan dan juga jarak tidak memungkinkan. Nanti saja kalau ada waktu, ibu Aji akan menemui mbah Sumitro untuk menyampaikan salamnya.
"Aji boleh lihat Reog punya ndoro lagi?" Aji bertanya antusias. Ibunya mengangguk lagi sambil tersenyum.
"Aji boleh ikut pak Wongso lagi, bu'e?"
Untuk yang kesekian kali ibunya mengangguk. Aji bersorak senang. Dia berlari ke sana kemari sambil melompat-lompat. Ibunya menggandeng jemari anak itu lalu pulang ke rumahnya. Aji punya baju baru untuk menemui mbah Sumitro.
Keesokan harinya, Aji kembali mengunjungi mbah Sumitro. Melihat kedatangan anak itu, mood mbah Sumitro naik drastis. Semalaman beliau tidak bisa tidur karena tiap menutup matanya selalu teringat Aji. Senyumnya, sopan santunnya, semuanya.
Begitu masuk ke dalam ruangan, hal pertama yang Aji lakukan adalah berlari ke arah beliau. Mbah Sumitro terkejut tatkala anak itu datang, dengan baju bagus lalu berlari menghampirinya. Bukan hanya itu, anak manis itu bahkan sudah mencium punggung tangannya. Hati mbah Sumitro menghangat tiba-tiba.
"Kemarin kok ndak datang, cah bagus?" Mbah Sumitro tersenyum, lalu mengelus pipinya. Anak itu tersenyum, mengerjap. Lesung pipinya terlihat, mata bulat menawannya mengerjap.
"Ndoro... bu'e titip pesan. Beliau bilang terima kasih dan pangapunten belum bisa sowan ke tempat ndoro." Aji menyampaikan pesan ibunya. Warok Sumitro tersenyum, mengelus rambut halus anak itu sekilas.
"Sampaikan salam ndoro buat ibumu, ya cah bagus!"
Aji mengangguk hormat. Pak Suwongso pamit sebentar untuk mengantarkan pesanan jenang ketan lainnya. Kebetulan jaraknya tidak begitu jauh. Warok Sumitro meminta Aji untuk tinggal sebentar di sini dan menunggu. Aji mengangguk semangat. Akhirnya pak Suwongso pergi mengantarkan jenangnya sendirian.
"Kok tiba-tiba nolak sangu dari ndoro-mu ini, toh cah bagus?"
"Aji harus kerja dulu kalau mau dapat uang, ndoro. Bu'e bilang, uang hasil kerja keras itu jauh lebih menyenangkan..." Aji tersenyum. Mereka berdua berada di teras padepokan. Tabuhan masih berlangsung. Mendayu-dayu, seolah sedang merayakan momen kebersamaan mbah Sumitro dan Aji itu.
"Aji sekarang tahu siapa ndoro?"
Aji mengangguk.
"Ndoro yang sudah memberikan nama untuk Aji. Terima kasih, ndoro... namanya bagus." Aji menunduk makin dalam. Warok Sumitro tergelak geli mendengar penuturan anak itu.
"Cah bagus suka Reog?"
Aji mengangguk.
"Sudah tahu cerita asal-usul Reog Ponorogo, cah bagus?" Mbah Sumitro masih bertanya pelan. Lagi-lagi Aji mengangguk.
"Aji suka raja Kelanaswandana, ndoro..."
"Kenapa, cah bagus?"
"Beliau gagah, tampan, bijaksana dan adil, ndoro..." Aji menunduk malu-malu. Mbah Sumitro menaikkan alisnya.
"Dia suka anak laki-laki manis macam kamu, lho cah bagus..."
Aji menunduk, menggaruk tengkuknya. Dia ingin bicara banyak hal di depan warok Sumitro, namun dia takut kalau dianggap tidak sopan. Sebagai seseorang yang punya ilmu kebatinan tinggi, warok Sumitro tahu kalau anak itu ingin bicara sesuatu.
"Aji ingin bilang sesuatu?"
Aji menunduk, mengangguk pelan.
"Coba ngomong, toh le... Biar ndoro-mu ini bisa denger." Mbah Sumitro tersenyum. Awalnya beliau tidak terlalu suka dengan panggilan ndoro itu, namun ketika Aji yang mengucapkannya... semua hal terasa begitu indah.
"Raja Singobarong jahat, tapi dia suka perempuan ndoro. Kalau raja Kelanaswandana bagus, tapi dia suka anak laki-laki." Anak itu mengerjap.
"Lalu menurutmu mana yang lebih bagus, cah bagus?"
Aji tersenyum.
"Semuanya bagus, ndoro..."
Mbah Sumitro tersenyum, menunggu apa yang ingin anak itu ucapkan. Beliau senang sekali dengan cara anak itu bicara. Jujur, apa adanya, polos, dan juga terlihat murni. Seperti seorang peri dari negeri dongeng.
"Kok bisa bagus gitu, cah bagus?"
Aji menunduk.
"Raja Singobarong bisa saja bertobat dan jadi orang yang baik. Lalu raja Kelanaswandana bisa saja jadi suka ke perempuan lagi, ndoro... Bu'e bilang, semua orang juga bisa berubah."
"Kalau begitu siapa yang tidak baik?" Warok Sumitro bertanya, memancing.
"Yang ndak baik itu Aji, ndoro. Aji adalah pihak ketiga yang hanya bisa menduga, hanya mampu melihat keburukan dan kejelekan orang tapi nggak bisa instrospeksi."
Mbah Sumitro terhenyak lagi. Bagaimana bisa pemikiran itu muncul dari seorang anak yang usianya masih belia? Aji juga tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Lalu darimana pemikiran dewasa anak ini muncul? Dia juga membahas ibunya. Ibunya yang mengajari. Mbah Sumitro benar-benar jatuh sayang pada anak ini.
"Ndoro, mbak-mbak cantik itu mau menari, ya?" Aji tiba-tiba bertanya. Matanya menatap para perempuan yang sudah siap menari. Ada selendang dan juga kuda-kudaan dari kayu yang mereka pakai.
"Iya, cah bagus. Itu namanya jathilan. Cah bagus mau lihat?" Mbah Sumitro bertanya. Aji mengangguk cepat. Mbah Sumitro memanggil para perempuan itu untuk menari di depannya. Para penabuh juga semangat ketika melihat ndoro mereka ingin mengetahui latihan kerasnya.
Para penari jathilan itu mengambil posisi di depan Aji dan mbah Sumitro. Aji menegakkan badannya, matanya antusias sekali. Mbah Sumitro melirik anak itu dan terkikik geli.
"Cah bagus, dulu tahu ndak kalau yang menari jathilan itu lelaki?" Mbah Sumitro tersenyum, menatap Aji yang sedang melihat tarian itu. Aji menoleh dan menggeleng.
"Dulu laki-laki, ndoro yang nari?"
Mbah Sumitro mengangguk. Memang benar kalau dulunya semua yang tergabung dalam Reog adalah laki-laki. Termasuk pada penari jathilan ini.
"Aji mau dengar cerita soal jathil?" Mbah Sumitro tersenyum. Aji mengangguk antusias. "Ya wis, nanti ndoro ceritakan. Sekarang Aji lihat dulu..."
Diam-diam, mbah Sumitro berdoa dalam hati. Juga sedikit mengerahkan ilmunya. Ilmu hasil olah batinnya. Mbah Sumitro membuat pak Suwongso linglung di jalan hingga nyasar. Mantra yang mbah Sumitro rapalkan membuat pak Suwongso bingung, lalu mencari jalan untuk kembali ke tempat warok Sumitro.
"Sepurane 3), yo So...! Ini biar aku lama sebentar ngobrol sama Aji!" bisik mbah Sumitro dalam hati.
***
Pertunjukan jathilan selesai. Aji duduk di depan mbah Sumitro, menghadap beliau dengan wajah ingin tahu. Mbah Sumitro berdehem sekilas lalu mulai bercerita.
"Jathil adalah prajurit berkuda, cah bagus. Jathilan adalah tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kudanya. Tarinya berpasangan. Mereka menunjukkan ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda."
Aji melongo, terkagum-kagum dengan mata mengerjap senang.
"Jadi mereka pakai kuda-kudaan itu, cah bagus. Untuk melambangkan sedang naik kuda. Dulu yang nari itu anak laki-laki. Yang halus perangainya, yang bagus kayak Aji." Mbah Sumitro bercerita lagi. Aji melongo.
"Lalu kenapa sekarang jadi mbak-mbak cantik itu yang nari, ndoro?" Aji bertanya dengan nada menggebu. Mbah Sumitro tersenyum lagi.
"Tahun 1980-an, ketika tim kesenian Reog Ponorogo mau dikirim ke Jakarta untuk pembukaan Pekan Raya Jakarta, penari jathilan diganti cah bagus. Diganti dengan para penari perempuan dengan alasan kalau perempuan itu lebih feminin."
Aji merengut.
"Harusnya Aji bisa nari seperti mbak-mbak itu ya ndoro..."
Mbah Sumitro tersenyum lagi. Ciri-ciri kesan gerak tari dalam jathilan cernderung halus, lincah dan genit. Hal itu didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik.
"Di sini juga ada lelaki yang nari, cah bagus..." Mbah Sumitro tersenyum. Aji mengerjap dan melongo.
"Aji boleh lihat kapan-kapan, ndoro?"
"Tentu boleh, cah bagus! Aji juga bisa belajar seperti mereka. Ndoro-mu ini bisa jawab pertanyaan apapun yang ingin kamu tahu."
"Aji boleh tanya apapun, ndoro?"
Mbah Sumitro mengangguk. Aji spontan bertepuk tangan, lalu mencium punggung tangan mbah Sumitro. Tangan mungil halus itu terasa benar-benar aneh ketika berada dalam genggaman tangan mbah Sumitro.
"Aji juga boleh datang ke sini, ndoro? Di tempat Aji jarang yang seperti ini.."
"Oh, sangat boleh cah bagus! Apa mau ndoro suruh utusan untuk jemput kamu misalnya Wongso ndak bisa antar?"
Aji menunduk malu.
"Aji nggak mau merepotkan ndoro. Nanti Aji izin naik bis saja kalau mau ke sini..."
Mbah Sumitro melotot, lalu menggeleng kencang. Beliau tidak akan pernah rela anak manis ini naik bis sendirian. Akhir-akhir ini banyak tindak kejahatan, jadi beliau tidak ingin terjadi sesuatu pada Aji.
"Ndoro, kenapa pak Wongso lama sekali, nggih?"
Saat itu mbah Sumitro tersadar kalau belum melepaskan mantranya pada Suwongso. Mungkin ada hari esok bertemu dengan anak manis ini, meksi hati kecil seorang warok Sumitro tidak rela. Benar-benar tidak rela kalau harus berpisah dengan anak ini.
TBC
1) Sugeng enjing, ndoro
Pripun kahananipun panjenengan? Kula ibu saking Aji. Pangapunten ingkang kathah menawi putra kula nggadah kalepatan dumateng ndoro. Putra kula tasik alit, ingkang mboten paham menawi nyuwun-nyuwun niku mboten enggal becik. Pangapunten ndoro... pangapunten ingkang kathah...
Selamat pagi, ndoro...
Bagaimana kabar anda? Saya ibu dari Aji. Mohon maaf sebanyak-banyaknya kalau anak saya punya kesalahan terhadap ndoro. Anak saya masih kecil, yang belum paham kalau meminta-minta itu tidak pantas. Maaf ndoro... beribu-ribu maaf...
2) mboten purun dateng mriki, ndoro : Tidak mau datang ke sini, ndoro
3) Sepurane : Maafkan aku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top