Bagian Enam: Dadak Merak
Saya percaya, budaya adalah sebuah nilai mati. Nilai yang tak akan bisa mati meski pergantian zaman.
***
Mbah Sumitro sadar diri. Meski di usia tuanya dia masih terlihat tampan, muda dan perkasa, namun tetap saja menaruh rasa terhadap anak bau kencur bukanlah hal yang dibenarkan menurut ideologinya. Meski kadang tiap malam ketika mbah Sumitro melantunkan kidung malamnya, wajah manis anak itu akan nampak di pelupuk matanya. Aji menjelma jadi candu tersendiri untuk mbah Sumitro.
"Atiku kang tansah eling. Mergo rasa kang ngubek-ngubeki...1)" Lantunan kidung itu membahana di taman belakang. Meski malam sudah larut, namun mbah Sumitro masih terjaga. Matanya masih terbuka lebar. Ketika matanya menatap beberapa dadak merak atau barongan yang telah bersandar di tembok taman belakang padepokannya membuat beliau tersenyum. Ada sesuatu yang mulai menggelitik hati warok Sumitro.
Warok Sumitro tak sabar untuk menunggu hari esok. Ketika tapak kaki bocah manis menawan itu melangkah ke arahnya dengan santun, menggenggam tangannya dan mencium punggung tangannya tersebut. Warok Sumitro benar-benar seperti seorang wanita yang sedang jatuh cinta. Selalu menanti seseorang yang menapaki lantai dingin ruangannya, mengerjap polos, lalu bertanya banyak hal padanya.
Suara kokok ayam mengejutkan lamunanya. Bibirnya tertarik ke samping, tersenyum. Sebentar lagi matahari akan terbit. Sang warok segera bersiap-siap menanti bocah menawan itu lagi.
Sementara itu Aji juga tidak bisa tidur. Dia ingin tahu banyak hal. Dia ingin pagi segera datang, lalu pak Suwongso mengajaknya ke padepokan ndoro-nya. Anak itu ingin tahu. Apa topeng besar itu yang dulu dibuat oleh raja Kelanaswandana untuk dijadikan mahar pinangannya terhadap Dewi Sanggalangit? Ada bulu merak di sana, ada kepala macan seperti perlambangan raja Singobarong dan meraknya.
Aji tersenyum. Begitu ibunya bangun untuk menanak nasi, anak itu memaksa membantu seperti biasanya. Membantu mencuci beras, mengupas sayuran, dan ikut memasukkan kayu bakar di tungku. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, akhir-akhir ini Aji dan ibunya sudah bisa makan nasi. Dulu mereka terpaksa makan singkong karena tidak punya uang untuk membeli beras.
"Sarapan dulu, ya sayang. Biar nanti di jalan ndak kelaparan." Ibunya tersenyum, menyendokkan nasi ke piring Aji.
"Iya, bu'e. Biasanya di rumah ndoro warok disuguhi makanan enak-enak. Aji sungkan mau minta buat oleh-oleh bu'e..." Aji menunduk malu. Ibunya tersenyum.
"Sudah, bu'e ndak apa kok cah bagus. Lebih baik merasa malu daripada harus minta-minta begitu." Ibunya mengelus kepala Aji. Aji mengangguk paham.
Seperti hari-hari sebelumnya, Aji ikut pak Suwongso mengantarkan jenang ketan ke padepokan warok Sumitro. Begitu sampai, ndoro waroknya tersenyum menyambut mereka di joglo padepokan. Aji mencium punggung tangan warok Sumitro seperti biasa sambil tersenyum.
"Sudah siap sama pelajaran hari ini, cah bagus?" tanya beliau senang. Aji mengerjap, menoleh pada pak Suwongso untuk minta izin. Pak Suwongso mengangguk, lalu pamit mengantarkan jenang ketan. Sebelum langkah pak Suwongso menjauh, beliau menoleh ke arah warok Sumitro.
"Ndoro, pangapunten... saya kok ya bingung jalan mau ke sini kemarin. Saya sempat nyasar. Boleh saya minta kertas dan pulpen? Mau saya catat rutenya..." Pak Suwongso minta izin. Bawon mengangguk di belakang warok Sumitro, lalu mengajak pak Suwongso ke dalam. Diam-diam Bawon menyadari kalau sebenarnya ndoro-nya yang sengaja berbuat seperti itu kemarin.
Setelah kepergian pak Suwongso, Aji dan warok Sumitro duduk di joglo. Dengan banyak makanan di depan mereka. Aji duduk diam menunggu ndoro-nya itu membuka suara.
"Jadi, ingin tanya apa hari ini cah bagus?" Mbah Sumitro tersenyum. Aji menunduk, memilin kaos sederhana miliknya. Celana kain bocah itu kusut karena sejak tadi duduk di motor dan memangku kotak jenang ketan.
"Soal itu, ndoro. Barongan..."
Mbah Sumitro tersenyum. Dini hari tadi beliau sudah merencanakan untuk bercerita soal barongan atau dadak merak pada Aji. Sekarang anak itu juga menceritakan keinginan yang sama seperti apa yang sudah direncanakan oleh warok Sumitro.
Apa ini yang dinamakan ikatan batin?
"Mau tanya darimana dulu, cah bagus?" Warok Sumitro bertanya pelan. Aji tersenyum, lalu menggaruk tengkuknya malu.
"Apa benar kalau dadak merak atau barongan itu dulu kepala raja Singobarong dan meraknya, ndoro?" Aji bertanya pelan, mengerjap.
"Menurut yang Aji baca begitu, ya cah bagus?" Warok Sumitro tersenyum. Aji mengangguk antusias. Dia sudah membaca dari buku yang dibelikan oleh pak Suwongso, bagaimana cara raja Kelanaswandana menciptakan hewan berkepala dua. Cambuk Samandiman yang membuat raja Singobarong bersatu dengan meraknya dan membuat raja congkak tersebut jadi tidak waras dan kehilangan akal.
"Ndoro punya cambuk Samandiman?" tanya bocah itu polos. Warok Sumitro tergelak geli. Diusapnya rambut lembut anak itu dengan sayang. Duh, ngger... kalau saja kamu wanita dewasa, mungkin ndoro-mu ini akan segera pensiun jadi warok!
"Punya, cah bagus.."
"Sakti, ya ndoro?"
"Iya, cah bagus.."
"Untuk mencambuki dadak merak, ya ndoro?"
"Iya, cah bagus..."
"Dadak merak itu dibuat dari apa, ndoro?"
"Cah bagus lihat topeng besar yang kepala singa dan punya sayap lebar itu?"
Aji mengangguk antusias.
"Dadak merak atau barongan namanya, cah bagus. Itu peralatan paling dominan kalau mau buat pertunjukan. Ada kepala macannya..."
"Itu dibuat dari apa, ndoro?"
"Dari kayu, bambu, rotan, lalu ditutup dengan kulit harimau Gembong, cah bagus."
"Lalu bulu merak di atasnya itu asli, ndoro?" Aji bertanya cepat. Warok Sumitro mengangguk cepat. Anak itu menunduk dengan wajah sedih.
"Kok malah sedih, cah bagus?"
"Ndoro, kalau bulu meraknya diambil apa mereka harus dibunuh?"
Warok Sumitro bungkam. Tidak tahu apa yang mendasari lelaki tua itu hingga hatinya menghangat seketika. Dipeluknya tubuh mungil yang sedang menunduk sedih itu. Warok Sumitro tahu, anak ini punya banyak hal yang menarik perhatiannya.
Aji menunduk dalam pelukan warok Sumitro. Aji tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Ketika warok Sumitro datang dengan kebijaksanaan dan kasih sayangnya, Aji larut dalam kehangatan milik beliau.
"Lalu ndoro-mu ini harus bagaimana toh cah bagus?"
"Aji juga mboten ngertos, ndoro...2) Kalau harus mengorbankan hal lain demi nama budaya, apa itu tidak apa-apa ndoro?"
Pertanyaan polos itu mulai mengusik hati warok Sumitro. Selama ini tidak ada hal yang sanggup membuat lelaki tua itu mengernyit. Semua pertanyaan sulit pun bisa beliau jawab. Namun kali ini, warok Sumitro benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
"Menurut Aji bagaimana?"
Aji menggeleng kencang.
"Apa tidak ada barang tiruan lain begitu, ndoro? Yang lebih mirip gitu? Misalnya ganti dengan bulu ayam..."
Saat itu tawa kencang muncul dari bibir warok Sumitro. Para penabuh penasaran, lalu mengintip majikan mereka yang sedang tergelak geli tersebut. Warok Sumitro tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pertanyaan Aji kembali mengusik prinsipnya. Beliau tidak pernah tertawa sekencang itu.
"Lalu, ndoro... Aji masih ingin tahu soal dadak merak itu.." Anak itu kembali menuntut.
"Soal apa, cah bagus?"
"Panjang, lebar dan berat dadak merak itu, ndoro... Besar begitu berapa kira-kira ukurannya?"
"Tingginya sekitar dua koma dua lima meter, cah bagus. Lebarnya dua setengah meter. Kamu tahu beratnya? Lima puluh kilogram."
Aji melongo.
"Lima puluh kilogram itu berat sekali, ya ndoro?"
"Iya, cah bagus..."
"Lalu barang seberat itu diangkat seorang diri dengan gigitan, ndoro?" Aji bertanya cepat. Warok Sumitro mengangguk membenarkan. "Apa ndak patah giginya itu, ndoro? Topeng seberat itu digigit dan dibuat nari.." Aji mengerutkan keningnya.
"Itu sudah dilatih, cah bagus.."
"Kalau berlatih pasti bisa, ya ndoro?"
"Iya, cah bagus.."
"Kalau misalnya giginya patah jadi mboten saged bawa dadak merak lagi, ya ndoro?" Aji masih bertanya. Warok Sumitro tergelak, lalu mengangguk.
"Kalau sudah ompong juga tidak bisa?" Pertanyaan itu masih saja terlontar polos. Warok Sumitro tidak tahan lagi melihatnya. Dia ingin menahan bocah menawan ini untuk dirinya sendiri. Namun tetap saja baginya, belum etis kalau harus bertingkah mesum begitu. Mana warok Sumitro yang kuat menahan hawa nafsu itu?
"Mereka harus berlatih, cah bagus. Biar bisa kuat mengangkat beban berat itu..."
"Mereka kuat, nggih ndoro?" Penuturan polos Aji membuat warok Sumitro makin jatuh sayang.
"Mau ndoro warokmu dongengi, ndak cah bagus?" Warok Sumitro bertanya cepat. Aji mengangguk senang. Warok Sumitro menepuk pangkuannya, mengisyaratkan Aji untuk duduk di sana. Aji menurut dengan wajah canggung. Pelukan warok Sumitro terasa hangat sekali. Aji suka. Hal yang belum pernah dia rasakan bahkan dari ibunya. Meski pelukan ibunya juga nyaman.
"Becik alane menungsa iku ana ing awak'e dhewe, cah bagus. Becik ketitik ala ketara. Menungsa mung enggal ningali sejatine wong liya, tanpa mikir dheweke wis rupa apa durung.3)" Mbah Sumitro memberikan wejangannya. Aji menunduk, mengangguk. Tangannya ragu, namun akhirnya memeluk tubuh beliau dengan ekspresi damai.
"Menawi kula sampun dados becik, namung tiyang lintune ningali kula ala... kula kados pripun ndoro? 4)"
Warok Sumitro tersenyum, menangkup wajah manis menawan itu dalam genggaman tangannya.
"Siapa yang bilang kamu jahat, cah bagus? Ndang, suruh ke sini. Mau ndoro tanya langsung. Cah bagus tur ngerti tata krama ngene iki 5 )kok..."
Aji menunduk malu.
"Aji boleh datang ke sini terus setiap hari, ndoro?" Anak itu tersenyum malu, menunduk dengan wajah merona. Warok Sumitro tersenyum lagi. Bahagia membuncah begitu saja dalam batinnya.
"Tentu boleh, cah bagus..."
"Aji boleh tanya-tanya, lalu melihat pertunjukan reog punya ndoro warok?"
"Tentu boleh, cah bagus! Nanti biar ndoro tunjukkan hal-hal keren untuk cah bagus.."
Aji tersenyum lagi.
Hari itu, dia berjanji akan mempelajari seluk-beluk Reog Ponorogo. Kekayaan khas milik negerinya. Begitu pula dengan warok Sumitro. Diam-diam beliau juga menyiapkan rencana, untuk menunjukkan kehebatan dan kepiawaian padepokan Reog miliknya.
Untuk membuat anak di pangkuannya ini tersenyum senang dan bangga.
TBC
1) Atiku kang tansah eling. Mergo rasa kang ngubek-ngubeki : Hatiku yang selalu ingat. Karena rasa yang mengaduk-aduk
2) mboten ngertos, ndoro : Tidak mengerti, ndoro
3) Becik alane menungsa iku ana ing awak'e dhewe, cah bagus. Becik ketitik ala ketara. Menungsa mung enggal ningali sejatine wong liya, tanpa mikir dheweke wis rupa apa durung : Baik jeleknya manusia itu ada pada dirinya sendiri, anak ganteng. Bagus diabaikan jelek diperlihatkan. Manusia hanya tinggal melihat sejatinya manusia lain, tnapa berpikir dirinya sudah begitu (baik) apa belum.
4) Menawi kula sampun dados becik, namung tiyang lintune ningali kula ala... kula kados pripun ndoro? : Kalau saya sudah jadi baik, namun orang lainnya melihat saya jelak... saya harus bagaimana, ndoro?
5) Cah bagus tur ngerti tata krama ngene iki : Anak ganteng dan mengerti tata krama seperti ini
Cerita ini jelek, ya? :( aku nggak pede... aku pesimis....
Uhuk... uhuk... aku mau buat pengakuan. Atau mungkin penjelasan. Jadi gini, bahasa Jawa di sini nyeleneh kali di mata kalian. Misalnya kesalahan fonem, atau salah arti dll...
Well, penjelasannya gini... kalau kalian tinggal di Jatim pasti tahu soal ini. Apalagi yg tinggal di daerah timur hampir ke utara.
Bahasa Jawa di Jatim banyak dialek. Ditentukan dr apa? Lingkungan, mungkin...
Misalnya dialek Suroboyoan (kami menyebutnya gitu) yg kalian tahu di berita2 TV Lokal biasanya. Dialeknya masih kasar. Mereka masih pake kata "koen" utk menyatakan "kamu". Juga kalau bertanya pakai partikel "se?". Ex : Koen kok sek urip, se?
Dialeknya kasar, tp sebenarnya itu halus. Utk referensi silakan cek video culoboyo. Hehehehe...
Lalu kita naik lagi, agak lurus. Kita sampai di Lamongan. Dekat dg surabaya, tp dialeknya mulai berubah. Lalu di madiun. Pakenya bukan "koen" lagi, tp sudah berubah jd "awakmu" atau kadang "koe" dan pakai dialek "toh?" Ketika bertanya. Semakin ke barat, bahasanya akan mendekati dialek Mataraman. Tp jelas bukan murni Mataraman. Misalnya daerah Trenggalek, dan sekitarnya. Kita mundur ke daerah agak ke tengah. Daerah tapal kuda atau disebut dengan Karisidenan Besuki. Ada banyak bahasa yg campur. Terutama Madura. Misalnya daerah Jember, Lumajang dan Probolinggo. Bahasanya sudah mix sama bahasa Madura. Jawanya juga beda. Halus ya nggak halus, kasar ya nggak sekasar Surabayaan. Apalagi Jawa di daerah Tengger. Meski masih tetangga dg probolinggo, namun jawanya beda.
Semakin ke timur, maka kita dikenalkan pada bahasa Jawa lain. Jawa using. Ini milik Banyuwangi. Mereka tidak menggunakan kata "koen, awakmu, koe" tp beda lagi jadi "riko".
Kesimpulannya?
Meski berbeda dialek, namun Jawa adalah jawa. Dan kita... Indonesia.
Salam bahasa!
Bahasa mempersatukan kita!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top