Bagian Empat: Reog
Saya percaya, budaya adalah hal yang tidak akan pernah lekang oleh waktu, namun bisa terkikis oleh nilai baru.
***
Reog Ponorogo adalah salah satu kesenian kebanggan Indonesia. Sejarah Reog Ponorogo berkisar antara beberapa versi. Salah satu yang tersebar di masyarakat adalah yang saat ini dimuat di berbagai media online. Aji tersenyum, menatap beberapa buku yang terhampar di depannya. Dia ingin tahu segala hal tentang sesuatu yang akhi-akhir ini menelisik hatinya. Soal Reog Ponorogo, yang jadi ikon kotanya.
"Baca apa, cah bagus?" Pak Suwongso masih saja ingin tahu ketika Aji sedang tengkurap di teras rumahnya. Anak itu terkadang terkikik sendirian, lalu membuka halaman demi halaman dengan takjub. Bila ada seseorang yang mencari pak Suwongso ataupun bu Suwongso, Aji lantas berdiri dan berlari masuk ke dalam rumah sambil memanggil mereka. Anak itu dengan segera membereskan buku-bukunya, lalu pindah tempat untuk membaca. Semua orang selalu tersenyum melihat tingkahnya.
"Reog Ponorogo, Pak..."
Pak Suwongso tersenyum, lalu membiarkan anak itu fokus dengan buku-buku di depannya. Ada tulisan besar yang terhampar di cover depan buku itu bertulisan "Legenda Reog Ponorogo".
Konon, Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada masa itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantarangin yang oleh sebagian besar masyarkat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama islam kala itu. Selanjutnya, nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata "Riqoyun" dengan makna khusnul khatimah. Kata tersebut bermakna bahwa walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Cerita itu terus berlanjut dari mulut ke mulut sampai ke beberapa generasi. (Wikipedia)
Aji manggut-manggut paham. Tak dia sangka, ternyata makna Reog sedalam ini. Aji anak yang sholeh. Rajin sholat lima waktu. Jadi, apa itu berarti dia juga punya jiwa "Riqoyun"? Aji mengerutkan keningnya, lalu mulai membaca lagi. Kali ini ada hubungannya dengan kisah sebelumnya.
Menurut legenda, Reog atau Barongan bermulai dari kisah Demang Ki Agen Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh sebab itulah dibuat barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau, sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu, agar sindiran tersebut aman maka Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, Reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan Reog untuk mengembangkan kekuasaannya. (Wikipedia)
Aji mengerutkan keningnya kali ini. Sungguh, dia bukan ahli politik dan kekuasaan. Dia hanya ingin membaca soal Reog dan keindahannya. Matanya menyipit, bibirnya mengerucut malas. Dia juga ingin membaca kisah seperti Arya Kamandanu yang gagah perkasa. Dia ingin melihat bagaimana kekuatan warok yang selalu melindungi kesenian itu. Ketika tangannya membuka buku itu dengan malas, matanya kembali berbinar tatkala menemukan sebuah bab baru. Kali ini ada banyak gambar di sana. Ada ilustrasi seperti yang ada pada cerita Arya Kamandanu sebelumnya.
Bibir anak itu terbuka, lalu mulai melafalkan kalimat dalam buku itu dengan raut antusias.
"Kisah ini berasal dari babad Kelana Sewandana. Babad ini merupakan pakem asli seni pertunjukan Reog. Seperti kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Roro Jonggrangnya, maka Babad Klono Sewandono juga memiliki versinya sendiri." Aji mengerutkan kening, namun mengangguk paham. Dia pernah membaca kisah soal Roro Jonggrang sebelumnya. Kisah yang akhirnya menciptakan sebuah candi. Aji mulai siap duduk dan melafalkan tulisan di depannya.
"Konon pada zaman dahulu kala, ada seorang putri yang cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit." Aji tersenyum. Wanita cantik sepertinya sedang jadi perbincangan pada zaman dulu. Bibir anak itu kembali melanjutkan bacaannya. "Ia adalah putri seorang raja yang terkenal di Kediri. Karena wajahnya yang cantik, banyak raja dan pangeran yang ingin meminangnya sebagai istri."
Tangan mungil anak itu mengusap gambar wanita cantik yang sedang duduk di taman kerajaan bersama para embannya.
"Namun, sang putri enggan berumah tangga hingga suatu hari kedua orang tuanya mengajukan keresahan mereka." Aji mengangguk paham. Suaranya berubah mencicit kala mendapati sebuah dialog antara Dewi Sanggalangit dan juga kedua orang tuanya.
"Ehm.. ehem.... 'Anakkku, sampai kapan kau akan menolak setiap pangeran yang datang melamarmu?' tanya raja suatu hari. Sang putri pun menjawab dengan nada enggan. 'Ayahanda, sebenarnya hamba belum memiliki hasrat untuk bersuami. Namun jika ayahanda sangat memaksa, hamba ingin meminta syarat bagi calon suami hamba nanti.' Dewi Sanggalangit menjawab. Ah, dia ndak mau nikah, toh..." Aji berceloteh dengan suara mencicit. Anak itu paham banyak hal, namun kadang keingintahuannya terlalu besar. Ibunya tidak punya cukup waktu untuk menjawab semua itu.
"Sang raja pun bertanya apa syarat itu, hingga akhirnya Dewi Sanggalangit mengatakan kalau dia ingin calon suaminya harus mampu menghadirkan suatu tontonan yang menarik. Tontonan atau keramaian yang belum ada sebelumnya. Semacam tarian yang diiringi oleh tabuhan dan gamelan. Dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor sebagai iringan pengantin. Yang terakhir, mereka harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua." Aji mengerucutkan bibirnya, lalu tidak tahan untuk tidak berkomentar. Apalagi ketika mendapati raja dan ratu sedang duduk bersama sang putri.
"Mbok ya dituruti gitu, lho! Kan itu perintah orang tua." Aji mendengus tak terima. Dia tahu kalau perintah orang tua itu harus dituruti oleh anaknya, meski dia sama sekali tidak tahu kenapa sang putri menolak untuk dinikahkan. Aji membuka halaman selanjutnya dan mendapati sebuah gambar dua orang lelaki dengan bentuk berbeda. Anak itu masih bersemangat untuk meneruskan ceritanya.
"Hanya ada dua orang yang sanggup bertahan dengan syarat yang disanggupi oleh Dewi Sanggalangit. Mereka adalah raja Singobarong dari Kerajaan Lodaya dan Raja Kelanaswandana dari Kerajaan Bantarangin." Aji terpekik seketika. Mereka sama dengan apa yang disebutkan pada tulisan miring dari sumber bernama Wikipedia itu. Aji semakin bersemangat meneruskan ceritanya.
"Baginda raja sangat terkejut mendengar kesanggupan kedua raja itu. Sebab setahunya raja Singobarong adalah manusia yang aneh. Ia seorang manusia yang berkepala harimau. Wataknya buas dan kejam. Sedangkan Kelanaswandana adalah raja yang berwajah tampan dan gagah, namun punya kebiasaan aneh. Dia tertarik pada anak laki-laki. Anak laki-laki itu dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik." Aji melongo. Dia menoleh ke arah jendela depan rumah bu Suwongso. Aji juga laki-laki, tapi wajahnya manis. Mungkin dia bisa saja disukai oleh raja Kelanaswandana. Itu yang sekarang muncul di benak Aji. Aji menggeleng kencang, menghalau pemikiran yang sempat muncul di otaknya.
"Baginda raja tidak bisa membatalkan janjinya, akhirnya tetap membiarkan kedua raja itu ikut kompetisi. Raja Singobarong dari Kerajaan Lodaya memerintah dengan bengis dan kejam. Semua kehendaknya harus dituruti. Tubuhnya besar dari bagian leher ke atas berwujud harimau yang mengerikan. Berbulu lebat dan penuh dengan kutu-kutu. Itulah sebabnya ia memelihara seekor burung merak yang rajin mematuki kutu-kutunya. Raja Singobarong sudah memerintahkan kepada para abdinya untuk mencarikan kuda-kuda kembar. Dia juga mengerahkan para seniman untuk menciptakan tontonan yang menarik dan mendapatkan binatang berkepala dua. Hanya kuda kembar yang berhasil mereka dapatkan, sementara tontonan yang menarik dan binatang berkepala dua belum didapatkannya. Karena cemas, maka raja Singobarong segera mengutus salah satu pengawalnya untuk memata-matai pekerjaan Raja Kelanaswandana. Ah, itu curaaaanggg...!!" Aji terpekik marah. Bagaimana bisa seorang raja berperilaku seperti itu? Harusnya dia jujur, tidak boleh berlaku curang. Aji menautkan alisnya, cemberut.
"Ternyata, Raja Kelanaswandana sudah mendapatkan beratus-ratus kuda kembar dan juga sudah menciptakan tontonan yang menarik. Raja Singobarong iri, lalu memutuskan untuk menyerbu mereka di perjalanan. Raja Kelanaswandana melakukan perjalanannya dari Wengker menuju Kediri. Beliau bertubuh tampan dan gagah. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun tetap saja ada watak yang tidak baik. Raja Kelanaswandana suka mencumbui anak laki-laki yang tampan dan bertubuh molek seperti gadis remaja. Hal ini sangat mencemaskan bagi rakyat yang harus kehilangan anak laki-lakinya sebagai pemuas nafsu Raja."
Aji terdiam. Dia bingung harus bereaksi seperti apa. Namun setelah itu, bibirnya kembali bergerak. Aji harus meneruskan apa yang dia baca.
"Raja Kelanaswandana berjanji akan menghentikan kebiasaannya kalau berhasil mempersunting Dewi Sanggalangit. Dia sudah bermimpi bertemu dengan sang putri dan dewa mengatakan kalau dia akan bisa keluar dari kebiasaan buruknya kalau sudah berhasil mempersunting Dewi Sanggalangit. Mendengar itu, seluruh abdi kerajaan mengerahkan tenaganya untuk mengabulkan permintaan dan syarat dari Dewi Sanggalangit. Mereka berhasil mengumpulkan semuanya kecuali binatang berkepala dua." Aji membacanya dengan nada cemas.
"Raja Kelanaswandana tenang soal binatang berkepala dua. Dia memutuskan untuk mencarinya sendiri. Sang raja sudah mencium adanya niat buruk dari kerajaan raja Singobarong. Akhirnya ketika raja Kelanaswandana tahu apa rencana raja Singobarong, sehingga memutuskan untuk menyerang kerajaan Lodaya lebih dulu. Kala itu, raja Singobarong sedang berada di taman sari. Burung merak sedang mematuki kutu-kutu di kepalanya. Kerajaan raja Kelanaswandana berhasil masuk ke kerajaan Lodaya dan menggempur mereka. Raja Kelanaswandana masuk ke dalam kamar raja Singobarong. Burung merak masih mematuki kutu-kutu di kepala raja bengis tersebut. Raja Kelanaswandana segera mencabut pusakanya yang bernama cambuk Samandiman. Cambuk tersebut mengeluarkan hawa panas dan suaranya seperti halilintar. Tubuh raja Singobarong menggelepar di tanah, dan tiba-tiba menjadi binatang aneh. Berkepala dua, yaitu kepala harimau dan merak. Selain itu binatang tersebut juga tidak memiliki akal. Raja Kelanaswandana segera membawanya ke negeri Bandarangin." Aji melongo. Akhirnya raja Kelanaswandana mendapatkan semuanya. Aji bertepuk tangan senang.
Akhirnya pada hari yang ditentukan datanglah rombongan Raja Kelanaswandana dengan kesenian Reog sebagai pengiring. Raja Kelanaswandana datang dengan iringan seratus empat puluh empat ekor kuda kembar, dengan suara gamelan, gendang dan terompet aneh yang menimbulkan perpaduan suara aneh, merdu mendayu-dayu. Ditambah lagi dengan hadirnya seekor binatang berkepala dua yang menari-nari liar namun indah dan menarik hati. Semua orang yang menonton bersorak kegirangan, tanpa terasa mereka ikut menari-nari dan berjingkrak mengikuti suara musik. Hari itu, Dewi Sanggalangit resmi menjadi permaisuri Raja Kelanaswandana dan diboyong ke Wengker. Wengker adalah nama lain dari Ponorogo, sehingga di kemudian hari kesenian tersebut dinamakan Reog Ponorogo.
Hari itu, Aji menutup buku barunya. Dia tersenyum. Banyak hal yang diajarkan dari buku yang sudah dia pelajari. Kebenaran dan kebaikan pasti akan menang pada akhirnya. Huruf-huruf pada Reog juga mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/Ingwang sukma adiluhung/Yang Widhi/Olah kridaning Gusti/Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa.
Anak itu berdiri, lalu berlari ke arah ibunya. Ibunya masih sibuk mengepak beberapa jenang ketan untuk diantar ke rumah mbah Sumitro besok.
"Ada apa, cah bagus? Mau tanya apa lagi?" Ibunya tahu ada tatapan ingin tahu saat anak itu menghampirinya.
"Bu'e... besok Aji boleh ikut pak Wongso ke rumah warok Sumitro, mboten?" Aji mengerjap dengan tatapan polosnya. Aji menunggu persetujuan ibunya. Ketika ibunya mengangguk, Aji bersorak dan berlari ke tempat pak Suwongso untuk meminta izin.
***
Aji tersenyum. Apa yang sedang dia inginkan seolah sedang muncul begitu saja di depannya. Mbah Sumitro sedang mengadakan latihan bersama dengan anggotanya. Mereka berlatih tabuhan dengan instrumen pengiring berupa kempul, kentuk, kenong, genggam, ketipung, angklung, dan salompret. Salompret itulah yang menyarakan nada slendro dan pelog yang memunculkan atmosfer mistis, unik, dan eksotis.
Aji melongo, kakinya berhenti di depan mereka. Mereka masih berlatih, sementara pak Suwongso yang sedang menggenggam tangan Aji masih sibuk melangkah di depannya. Aji terpesona dengan Reog mbah Sumitro. Bibirnya melongo, matanya berbinar, sementara kakinya terus mengikuti tarikan pak Suwongso.
"Bapak ndak nyangka kalau hari ini akan serame ini. Ayo, cah bagus! Ikut bapak saja biar ndak ilang..."
Aji terdiam, kakinya melangkah mengikuti geretan pak Suwongso. Sementara itu kepalanya masih menoleh ke arah pertunjukan itu. Barong atau orang yang punya andil mengangkat Reog itu sibuk berguling-guling mengikuti alunan lagu. Biasanya satu grup Reog terdiri dari seorang warok tua, sejumlah warok muda, pembarong, penari bujang ganong, dan Prabu Kelanaswandana. Peran utama berada pada tangan warok dan pembarongnya.
"Sudah datang?" Bawon muncul, lalu tersenyum. Aji menyalami lelaki tua itu sambil bertanya kabar Bawon.
"Pripun kahananipun 1), Bapak?" Aji tersenyum.
"Wah, apik cah bagus! Apalagi pas lihat wajah bagus ini..." Bawon balas tersenyum dan mencubit pipi gembil anak itu. Pak Suwongso tergelak, lalu mengikuti Bawon masuk ke ruangan majikannya. Mbah Sumitro sedang menunduk, membaca daftar anggotanya yang makin bertambah. Ketika mendengar ketukan di pintu ruangannya, kepala tua gagah itu mendongak.
Mata tajam milik lelaki tua itu terbelalak lebar. Pada malam ketiga mendekati grebeg suro ini seorang anak lelaki muncul bersama sahabat lamanya. Menggandeng jemari sahabatnya itu dengan kepala tertunduk.
"Ini warok Sumitro, cah bagus. Ayo, salim dulu sana!" Bawon menyenggol lengan Aji. Wajah yang tertunduk itu mendongak, mata bulat penuh kepolosan dan kasih itu mengerjap dengan lucu. Menawan. Kakinya menapaki ubin dingin ruangan warok Sumitro. Hidung mancung mungilnya mulai mengusik warok Sumitro. Belum lagi bibir ranum merah nan tipis milik bocah itu perlahan menciptakan sesuatu dalam diri warok Sumitro. Sesuatu kasat mata bernama birahi. Tanpa warok Sumitro sadari, dirinya mulai jatuh sayang.
"Sugeng enjing, ndoro..." Aji mencium punggung tangan warok Sumitro. Ketika tangan mungil itu melepaskan diri, warok Sumitro menahannya. Tangan itu masih dia genggam dengan raut kagum.
"Namanya siapa, cah bagus?"
"Aji, ndoro..."
"Mau tinggal di sini sebentar, cah bagus? Lihat yang lain latihan Reog sebentar. Ndoro-mu ini ingin mengobrol dengan pak Wongso..."
Aji mendongak, mengerjap. Mbah Sumitro melepaskan tangan Aji, mengelus rambut hitam legam anak itu dan tersenyum lembut. Aji canggung. Dia benar-benar kagum. Dia tidak tahu kalau akhirnya bisa bertemu dengan warok paling terkenal di Ponorogo. Warok yang meski usianya sudah menginjak kepala lima, namun tetap terlihat tampan dan gagah.
"Ndang 2), sana.. duduk dulu! Bawon sudah siapkan banyak makanan itu..." Mbah Sumitro tersenyum sambil menunjuk mejanya yang sudah penuh dengan makanan. Aji mengangguk patuh, lalu dengan ditemani Bawon dia mulai duduk dan menikmati makanannya.
Mbah Sumitro dan pak Suwongso masih mengobrol macam-macam. Hanya bercerita tentang bagaimana usahanya, lalu prospek ke depannya. Mbah Sumitro tersenyum tatkala melihat kebersamaan Aji dan Bawon di depan mejanya. Mereka berdua turut bergabung bersama Aji dan Bawon setelah itu.
"Kok ikut pak Wongso, cah bagus? Ndak sekolah?"
Aji menggeleng pelan.
"Mboten, ndoro. Kula sampun mboten 3)sekolah."
"Lho, kenapa cah bagus?"
Aji menunduk, menggaruk tengkuknya malu. Mbah Sumitro mulai terusik dengan ekspresi manis anak itu.
"Bu'e mboten nggadah 4)uang, ndoro..."
Mbah Sumitro menatapnya sedih. Seharusnya anak usia Aji masih sekolah di SD. Mbah Sumitro menyayangkan itu. Aji juga sepertinya anak yang sangat cerdas, punya sopan santun, dan juga manis.
"Kalau punya uang, mau sekolah?" tanya mbah Sumitro lagi. Aji menggeleng kencang.
"Aji mau bantu bu'e saja untuk cari makan, ndoro..." Penuturan polos anak itu membuat mereka semua tergelak geli.
"Aji mau bantu bu'e cari uang, cah bagus?"
"Nggih, ndoro.."
"Kalau Aji datang ke sini untuk mengantarkan jenang ketan lagi, mau sangu cah bagus?"
Aji mendongak menatap lelaki tua yang masih terlihat tampan itu. Mbah Sumitro tersenyum. Mata anak itu mengusiknya. Benar-benar membuat dirinya seolah kehilangan kewarasannya. Dia mati-matian untuk tidak memeluk anak itu.
Anak itu menggeleng kemudian.
"Bu'e bilang, kita harus kerja kalau mau punya uang, ndoro..."
"Tapi Aji mau sangu 5), cah bagus?"
Aji mengangguk polos. Dia pikir, dengan sangu dari mbah Sumitro dia bisa menabung. Dia bisa menabung untuk membeli rumah untuk ibunya. Dia ingin memboyong ibunya ke rumah yang lebih layak.
"Kalau begitu, cah bagus harus ikut pak Wongso antar jenang ketan setiap hari ke sini..."
Pak Suwongso mengerjap. Biasanya warok Sumitro mengatakan kalau beliau hanya ingin beberapa hari sekali saja, namun ternyata beliau minta untuk diantar setiap hari. Ini benar-benar rezeki. Apalagi mbah Sumitro juga menambahkan bonus untuk ongkos transport pak Suwongso.
"Apa Aji boleh lihat Reog milik ndoro?" Aji mengerjap, meminta persetujuan.
"Cah bagus suka nonton Reog?"
Aji mengangguk senang.
"Nggih, ndoro. Aji mau lihat Reog milik ndoro. Reog ndoro luar biasa. Mirip dengan milik Prabu Kelanaswandana"
Ketiga pasang mata lainnya tertawa kencang. Aji tersenyum, menunduk malu. Lesung pipinya terlihat manis dengan kombinasi wajah itu. Mbah Sumitro makin jatuh sayang pada anak itu. Apalagi ketika mulut anak itu menjawab, dengan tata krama dan sikap polos malu-malunya, hati mbah Sumitro seakan damai. Adem begitu saja. Hari itu, mbah Sumitro merasa kalau hatinya mulai egois. Ketika Suwongso dan Aji berpamitan pulang, mbah Sumitro menatap mereka sambil melambai di joglo padepokannya.
"Duh, baguse cah iku..." Mbah Sumitro berkomentar.
"Nggih, ndoro. Anak itu polos dan unggah-ungguhnya luar biasa."
"Besok kalau mereka sudah datang, suruh cah bagus itu ke ruanganku ya Won! Sediakan makanan yang enak-enak juga."
Hari itu, Bawon melongo dengan permintaan dan perintah majikannya. Tidak biasanya mbah Sumitro meminta hal-hal seperti itu, bahkan ketika ada utusan dari Belanda waktu itu. Namun sekarang, mbah Sumitro meminta dengan gamblang soal makanan-makanan enak untuk menyambut tamu kecilnya.
Bawon berpikir, mbah Sumitro hanya jatuh sayang seperti seorang kakek karena beliau tidak pernah mendapatkannya selama ini. Bawon kembali ke dapur untuk memberitahu wanita-wanita di dapur soal makanan besok.
TBC
1) Pripun kahananipun : Apa kabar?
2) Ndang : Buruan
3) Mboten, ndoro. Kula sampun mboten : Tidak, ndoro. Saya sudah tidak
4) Bu'e mboten nggadah : Ibu tidak punya
5) Sangu : uang saku
Cerita di atas tentang babad kelanaswandana berasal dari blog lokerseni, disadur ulang oleh Gaachan dan disesuaikan. Beberapa sumber disinggung dalam beberapa narasi, yaitu dari Wikipedia.
Inilah namanya mencantumkan sumber... J Salam budaya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top