Bagian Empat Belas: Ngondolan

Saya percaya, cinta itu budaya. Selama ada cinta, maka bersiaplah untuk berbudaya.

***

Ada masa dimana kesetiaan, cinta dan budaya harus sampai di ujung. Ujung dari sebuah budaya adalah takdir dan nasib. Nasib yang membuat mereka harus mengakhiri semuanya, yang mereka kukuhkan dengan rasa welas asih, dari hati. Pelukan Aji sudah harus berakhir. Harusnya begitu. Masa tiga tahun adalah masa kontrak seorang gemblak, namun warok Sumitro yang sedari awal tidak menganggap itu adalah tradisi gemblakan maka beliau tidak setuju kalau harus melepaskan diri dari seorang Aji Arya Kamandanu. Warok Sumitro sudah terlarut dalam rasa cinta, yang membumbung tinggi seperti beliau mencintai Reog dan budayanya. Lagipula, Aji tidak punya siap-siapa lagi selain dirinya. Tidak, beliau tidak akan pernah melepaskan remaja tampan yang penuh tata krama ini. Karena beliau sudah menyayangi anak ini, tidak.. tapi mencintainya.

"Kalau dalam praktik gemblakan, mungkin kontrak kita sudah habis ya ndoro?" Aji tersenyum dalam pelukan warok Sumitro. Warok tua itu mengecup keningnya gemas. Beliau jelas tidak akan pernah melepaskannya. Persetan dengan segala tradisi dan budaya gemblakan, dari awal beliau tidak pernah menganggap Aji sebagai gemblaknya. Kekasihnya. Lelaki yang beliau sayangi.

"Kamu bukan gemblak ndoro, cah bagus..."

"Lalu? Aji apa, ndoro?" Aji benar-benar ingin tahu posisinya di hati warok Sumitro. Warok Sumitro tersenyum lagi, lantas tertawa geli.

"Kenapa masih tanya itu, toh cah bagus?"

Aji menunduk malu.

"Aji hanya tidak mau terlalu percaya diri, ndoro..."

"Kamu budaya ndoro sekarang. Seseorang yang tidak akan pernah ndoro lepaskan sampai maut nanti."

Aji mengerjap.

"Bagaimana kalau ada orang lain yang memisahkan kita, ndoro?"

"Siapa yang berani, cah bagus?"

Warok Sumitro memeluk tubuh Aji dengan raut lembut. Aji punya kebahagiaan baru sekarang. Warok Sumitro adalah kekuatan barunya saat ini. Setelah kepergian ibunya, Aji selalu saja menangis tiap malam. Saat itu warok Sumitro akan datang ke kamarnya, memeluknya hingga pagi menjelang.

"Aji sudah tidak punya siapa-siapa saat ini, ndoro. Aji hanya punya ndoro," bisiknya lembut. Warok Sumitro bungkam. Tangan kekar itu memeluk tubuh remaja berusia tujuh belas tahun tersebut. Warok Sumitro juga tidak akan melepaskan Aji.

"Aji pernah dengar dari mas Raga, ndoro."

"Dengar apa, sayang?"

"Ternyata masih ada gemblak lain, ndoro." Aji berbisik. Warok Sumitro menatapnya lagi. Aji sudah dengar dari Raga soal gemblakan. Meski langka, namun mereka masih ada. Aji mengusap dada warok Sumitro, lalu menyandarkan kepalanya di tempat itu.

"Lalu apa yang kamu harapkan, cah bagus? Kalau memang kamu takut dipandang sebagai gemblak ndoro-mu ini, biarkan saja cah bagus. Mereka tidak akan pernah tahu yang sebenarnya."

"Ndoro, bagaimana kalau mereka menganggap Aji gemblak? Lantas bagaimana jika mereka tiba-tiba merampas Aji dari ndoro?" Kecemasan remaja itu membuat warok Sumitro mencoba menjelaskan dengan sabar. Warok Sumitro mengelus rambut hitam legam itu, mengecup mata Aji yang sedang terpejam.

"Siapa yang berani merampasmu dari tangan warok ini, hem?"

Aji mengeratkan pelukannya.

"Ndoro, bukankah waktu tiga tahun itu sebentar?" Aji bertanya lagi. Kontrak gemblak biasanya terjadi selama tiga tahun, lalu diganti dengan gemblak lain. Gemblak bisa juga dipinjamkan ke warok lainnya.

"Kamu bukan gemblak, sayang!"

"Tapi orang menganggapnya begitu, ndoro. Lagipula, sekarang praktik gemblakan dianggap tabu."

"Lalu?"

"Tapi Aji tidak peduli, ndoro."

"Kenapa, cah bagus?"

"Karena Aji mencintai ndoro sebagai lelaki, bukan sebagai gemblak terhadap ndoro waroknya." Aji merengut. Warok Sumitro tersenyum.

"Ndoro-mu ini sudah kehabisan kata untuk mengungkapkan cinta padamu, sayang."

"Kenapa ndoro jadi puitis sekali?"

"Istilah sekarang namanya gombal, cah bagus."

"Ndoro..."

"Ya, sayang?"

"Aji ingin dengar ndoro bernyanyi. Kidung yang ndoro nyanyikan tiap malam, untuk menemani tidur Aji."

Warok Sumitro tersenyum. Kali ini bukan lagu yang biasanya. Lagu baru, lagu yang selalu warok Sumitro ciptakan di antara sepertiga malamnya setelah tirakat. Lagu yang mengungkapkan betapa cintanya warok tua itu terhadap remaja di pelukannya ini.

Duh, cah bagusku... (Duh, cah bagusku...)

Ajiku, aji saka atiku (Ajiku, aji dari hatiku)

Warok iki mung katresnan, cah bagus (Warok ini hanya kasmaran, cah bagus)

Marang sliramu, duh cah bagus (Kepada dirimu, duh cah bagus)

Aji tersenyum. Lagi-lagi ndoro waroknya membuatnya terkikik geli. Tangan itu memeluk Aji, masih merengkuhnya dalam dekapan. Aji tidak punya alasan lain untuk hidup, selain ndoro warok ini.

***

Nyatanya, praktik gemblakan itu masih ada. Masih ada beberapa warok yang dengan berani mendatangi warok Sumitro, dengan bahasa halusnya mereka ingin berdiskusi. Sahabat warok Sumitro yakni warok Daus dan yang lainnya tahu kalau akan tiba masanya Aji diperebutkan.

"Saya tidak pernah mengundang kalian datang ke sini." Warok Sumitro kali ini tidak menyambut tamu-tamunya. Ketiga warok yang datang ini adalah warok yang naik ke panggung saat Grebeg Suro kemarin.

"Kami berinisiatif untuk datang, untuk berdiskusi dengan anda." Salah satu dari mereka, yang memilik wajah paling seram akhirnya bersuara. Aji bersembunyi di dapur bersama dengan Bawon. Air muka remaja tampan itu terlihat ketakutan.

"Jangan takut, cah bagus! Kita harus yakin dengan kekuatan warok Sumitro." Bawon mencoba menenangkan. Aji menggigiti kukunya.

"Kalau mereka berbuat jahat pada ndoro warok bagaimana, pak Bawon?" Aji gemetar ketakutan. Bawon menepuk bahu Aji, mencoba menenangkan.

"Kamu percaya kan kalau kebijaksanaan dan juga wibawa beliau tidak akan pernah luntur meski satu prajurit menyerang harga diri beliau?"

Aji menunduk, meremas jemarinya lagi. Bawon masih mencoba menenangkan meski hatinya sendiri juga cemas dan khawatir. Sementara itu warok Sumitro sedang sibuk berdiskusi dengan ketiga warok lainnya. Ruangan beliau penuh dengan aura mencekam. Aura permusuhan. Bukan hanya aura dari fisik mereka, namun juga keempat orang itu sedang berlomba merapalkan mantra.

"Lalu apa yang kalian inginkan? Lelakiku? Langkahi dulu mayatku!!" Warok Sumitro menggebrak meja di depannya. Ketiga warok itu terkejut, namun mereka tidak gentar untuk meminjamkan gemblak kesayangan warok Sumitro.

"Seharusnya anda sudah melepaskan dia sejak lama."

"Dia bukan gemblak!!" Warok Sumitro geram bukan main. "Dia adalah lelaki yang sangat kucintai."

"Tetap saja anda mengangkatnya di sisi anda. Lelaki di sisi seorang warok tetap punya posisi sebagai seorang gemblak!"

"Persetan dengan posisiku! Aku tidak akan menyerahkan Aji pada siapapun!!" Warok Sumitro berang. Mata warok tua itu merah menahan amarah. Giginya gemeretuk kesal. Tangannya mengepal kencang.

"Relakan dia, warok Sumitro!" Mereka bicara dengan nada tegas.

"Kujadikan dia kekasihku. Kalaupun kalian menganggap dia adalah gemblak, maka kujadikan dia sebagai ngondolanku." Warok Sumitro berkata tajam. Ngondolan adalah sebutan bagi gemblak eksklusif yang hanya milik satu orang warok. Tidak untuk dipinjamkan.

"Apa anda tidak ingin...."

"Tidak, dan segera pergi! Percuma kalian menyerangku dengan kesaktian cetek itu. Kalian masih terlalu cepat untuk menguasai ilmu kanuragan. Aku bisa menggadaikan nyawaku untuk lelakiku. Pulanglah!" Ucapan warok Sumitro membahana dalam ruangannya. Ketiga warok itu saling berpandangan, lalu keluar. Daripada harus terjadi pertumpahan darah, maka mereka lebih memilih pergi. Tidak ada hal yang aneh dalam memperebutkan gemblak. Bahkan dulu ada warok yang meregang nyawa karena bertarung demi berebut seorang gemblak.

Begitu Aji melihat rombongan mobil itu sudah pergi, kakinya tidak tahan untuk tidak berlari ke arah ndoro waroknya. Dia masuk tanpa mengetuk pintu. Ketika melihat lelaki tua itu menoleh dengan raut penuh senyum, air mata Aji menetes lagi. Dia berlari, lalu memeluk lelaki tua itu sambil menangis.

"Aji takut, ndoro.. Aji takut..." Aji sesenggukan dalam pelukan warok Sumitro. Warok Sumitro mengelus punggungnya dan mencoba menenangkan lelaki itu.

"Sttt... cup, cup.. sudah, cah bagus. Jangan menangis lagi, sayang."

"Aji takut, ndoro."

"Tidak ada yang perlu kamu takutkan, sayang."

"Apa yang mereka katakan, ndoro?"

"Mereka ingin merebutmu dariku, cah bagus. Selama ndoro-mu ini masih bisa bernapas, maka ndoro tidak akan pernah melepaskanmu. Ingat, itu ya le..."

"Ndoro..." Aji memeluk warok tua itu makin erat, mengecup pipi yang ditumbuhi jenggot tipis itu. Lalu mengecup bibir ndoro warok kesayangannya lagi. Warok Sumitro menggendong tubuhnya, memeluknya erat.

"Ndoro-mu ini mengatakan pada mereka kalau kamu tidak untuk dipinjamkan pada semua orang."

"Ndoro..."

"Hem?"

"Terima kasih."

"Untuk apa, cah bagus?"

"Untuk semuanya..." Lalu bibir remaja itu mengecupi seluruh wajah warok Sumitro. Warok tua itu kembali mengangkat tubuh lelaki kesayangannya, menggendongnya dan meletakkannya di atas kasur dalam kamar beliau. Kamar tersebut bersebelahan dengan ruangan pribadi milik warok Sumitro.

Hari itu, untuk yang kedua kalinya warok Sumitro menyatukan pusat tubuhnya dalam tubuh remaja kesayangannya.

***

Penolakan warok Sumitro terhadap permintaan ketiga warok itu membuat mereka mundur. Mereka tahu kalau warok Sumitro bukan orang yang bisa diajak bermusuhan. Bisa hancur padepokan mereka kalau sampai melawan warok perkasa tersebut. Aji masih menjadi ikon baru di padepokan warok Sumitro. Semua orang seolah tersihir dengan penampilan remaja itu. Aji masih berlatih menari, meskipun warok Sumitro tidak memukulnya seperti dulu.

"Cah bagus..."

"Iya, ndoro?"

"Coba kamu menari, sayang."

Aji tersenyum, lantas mengambil posisi. Dia berdiri, membungkukkan badannya sekilas untuk memberi hormat. Warok Sumitro juga berdiri. Aji terkejut tatkala melihat ndoro waroknya juga tertarik untuk ikut menari.

"Lanjutkan, cah bagus! Ndoro-mu ini sejak dulu ingin menari bersamamu. Kejadian waktu grebeg suro kemarin sudah mengingatkan ndoro-mu ini kalau kamu bahaya sendirian."

"Apa tidak menimbulkan pandangan negatif nanti, ndoro? Orang-orang sekarang sensitif sekali dengan pertunjukan seperti ini. Belahan kebaya saja disensor. Padahal sudah biasa kali mbah-mbah pakai kebaya berbelah-belah." Aji merengut. Kali ini dia sudah bisa protes dan menyuarakan keluhannya. Warok Sumitro tersenyum.

"Kali ini mereka mendermakan norma dan budaya, tanpa pernah peduli kalau moralitas sedang kritis dan tertutupi kesopanan. Biarlah kita yang bebas bergerak atas nama budaya, cah bagus. Lantas, karena warok tua ini sangat mencintaimu... apa mungkin warok ini akan berbuat mesum di panggung?"

Aji tergelak geli.

Hujan turun deras tiba-tiba. Udara menjadi dingin. Aji mendekat ke arah tubuh warok Sumitro, mendekap tubuh tegap perkasa itu lagi. Hangat melanda mereka berdua. Sesekali diiringi dengan kecupan sayang, bisikan cinta, dan juga kikikan geli.

Tidak ada yang salah. Tidak ada.

Karena nyatanya cinta itu muncul dari hati. Budaya dari jiwa. Bila hati dan jiwa bersatu, lalu jadi apa? Lengkap. Itu jawabannya.

TBC

Kalimat terakhir itu aku ketik pas aku lihat pertunjukannya duo alpin waktu nyanyi tumhiho... *uhuk! Mau nyanyi, ah. Kalau jaringan dan kuota baik hati, mungkin aku bakalan bikinin versi video buat cerita ini. Masih cari video cuttingnya dulu. Juga backsound-nya. (satu part menuju tamat).

Maaf telat update. Tadi pemadaman sejak pagi. Nih baru idup... 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top