Bagian Dua: Aji Arya Kamandanu

Saya percaya, budaya dan cinta memiliki kasta yang sama: diciptakan, disepakati, dikagumi, dijalani, dan dijaga.

***

Anak itu tersenyum manis. Mata bulatnya mengerjap sesekali, menatap sang ibu yang sedang mengaduk adonan ketan. Air liur sudah menetes di sudut bibirnya. Dia mencecap sesekali, lalu tergelak geli. Hidung mungil mancungnya kembang kempis tiap kali aroma ketan merasuk. Bibir tipisnya menjilat-jilat, seolah sedang menikmati makanan meski itu hanya semu.

Semua orang mencintai anak itu.

Meski terlihat sangat manis dengan tingkah bodohnya, meski terlihat sangat lucu dengan kepolosannya namun anak itu sangat disanjung dan dipuji oleh orang-orang di sekitarnya. Lantaran wajahnya yang sangat manis dan menawan, juga tata kramanya yang luar biasa meski masih belia. Anak itu masih sibuk mengerjap, sesekali menatap ibunya yang tampak kelelahan karena mengaduk adonan ketan. Anak usia sepuluh tahun yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah itu mendekat ke arah ibunya. Mereka sangat miskin. Untuk makan saja masih harus banting tulang. Meski pendidikan katanya gratis, namun Aji tidak mau membebani ibunya lagi. Anak itu sudah dewasa sebelum waktunya. Bahkan dia tidak pernah iri pada teman-temannya yang lain, yang lebih beruntung daripada dirinya.

"Bu'e 1), Aji bantu ya!" Anak itu mencoba menghampiri ibunya. Ibu Aji bekerja menjadi salah satu pegawai di industri rumahan ini. Di luar sana ada plakat besar bertuliskan "Jenang Ketan Bu Suwongso". Ibunya bekerja sebagai pegawai sejak beberapa minggu lalu. Aji selalu mengekori ibunya, lantaran di rumah sepi. Ibunya tidak mau meninggalkan anaknya sendiri. Anaknya terlalu menawan, jadi ibunya takut kalau ada orang yang bermaksud jahat padanya.

"Ndak usah, cah bagus 2). Bu'e bisa sendiri..." Ibunya tersenyum, menatap anaknya dengan raut yakin. Aji masih menatap ibunya. Dia ingin membantu ibunya mengaduk ketan itu, meski dia tahu kalau dirinya masih terlalu kecil untuk ikut campur.

"Aji bisa bantu apa, Bu'e?" Anak itu bertanya lagi. Ibu-ibu di sekitarnya tersenyum geli mendengar tuturan polos Aji. Mereka sering memuji Aji. Anak itu masih kecil, masih polos, tapi pemikirannya sangat dewasa.

"Ndak usah, cah bagus..."

"Aji bantu pijetin bu'e, ya..."

"Nanti saja kalau di rumah, ya nak! Bu'e lagi kerja. Aji duduk saja di sana menunggu bu'e sampai selesai."

Aji mengangguk patuh. Dia berbalik dan duduk mengawasi ibunya. Bu Suwongso – pemilik industri rumahan ini – adalah orang yang baik. Beliau sering memberikan makanan untuk Aji. Anak itu seolah tahu diri. Ketika bu Suwongso membelikannya kue, Aji pasti mengucapkan matur sembah nuwun sanget 3)dengan intonasi senang. Anak itu juga mau menyapu halaman bu Suwongso sesekali. Semua orang sudah jatuh cinta terlalu dalam pada anak itu.

Sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, Aji dan ibunya berjuang sendiri. Ibunya mencari uang, Aji menemani. Anak itu sudah berjanji pada ibunya kalau sudah besar nanti dia ingin memboyong ibunya ke rumah yang lebih layak. Aji tidak pernah ditinggal sendirian di rumah. Ibunya takut terjadi sesuatu, jadi beliau selalu menggandeng Aji ketika pergi bekerja.

"Aji ikut bu'e kerja, ya! Nanti kalau bu'e lelah, Aji bisa bantu pijetin pundak bu'e." Malam itu Aji merajuk di pangkuan ibunya. Ibunya tersenyum, mengelus kepala anaknya.

"Aji ndak mau sekolah?"

Aji menggeleng.

"Kenapa, toh cah bagus? Katanya pengen sekolah biar pinter..."

Aji menggeleng lagi.

"Aji ndak mau sekolah, bu'e... Kalau Aji sekolah nanti bu'e ndak punya uang untuk beli beras. Aji lebih milih makan daripada sekolah.."

Ibunya tertunduk haru, lalu mengecup kening anaknya. Mata bulat jernih itu mengerjap, lalu bibirnya tersenyum lagi. Siapa yang tahan dengan ekspresi seperti ini? Ibunya semakin cemas, apalagi sekarang banyak sekali tindak kriminal.

Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, sang ibu mulai bersenandung dalam bahasa Jawa. Kepala Aji berada di pangkuannya dengan mata terpejam. Di bawah bukan kasur empuk seperti rumah lainnya, namun hanya sebatas dipan biasa. Suara sang ibu membahana di balik bilik bambu itu.

Tak lelo lelo lelo ledung 4)

Cup menenga putraku cah bagus

Tak lelo lelo lelo ledung

Enggal bobok mangke mundhak ngantuk

Tak gadhang bisa urip mulyo

Kinayungan urip kang prasaja

Dadiyo satria utomo

Tansah jujur, pendekaring bangsa

***

Bagi anak seusia Aji, bermain adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Usia Aji masih tergolong anak-anak. Usia sepuluh tahun bagi anak seusianya pasti sudah mendapatkan banyak hal dari orang tuanya. Aji tahu diri, lantas tidak mau iri. Anak itu tetap mengekori kemana pun ibunya pergi. Aji tidak mau terpisah dari ibunya meski sebentar. Aji tidak ingin melepaskan orang yang dia sayangi lagi.

Aji Arya Kamandanu.

Semua orang di desanya tahu anak itu. Anak itu selalu menggandeng tangan ibunya sambil tersenyum, berjalan dengan kaki mungilnya yang terhentak riang. Usianya sepuluh tahun, namun orang-orang mengira anak itu masih berusia tujuh tahun lantaran tubuhnya yang kecil dan manis.

"Aji ndak malu gandengan tangan sama bu'e?" Ibunya bertanya pelan. Aji menggeleng, kakinya masih melangkah dengan wajah senang. Semua orang yang menatap Aji tersenyum, menyapa sesekali. Aji balas tersenyum lalu menjawab sapaan mereka.

"Cah bagus mau kue?" Seorang ibu yang ditemuinya di jalan bertanya, menghampiri Aji sambil mengulurkan sebuah bungkusan.

"Bu'e?" Aji meminta persetujuan ibunya. Ibunya sudah mengajari Aji untuk tidak meminta-minta pada orang. Ibunya mengangguk sambil tersenyum. Aji menyambut uluran tangan ibu itu, lalu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih dengan sopan.

"Maturnuwun sanget, nggih bu..."

Satu cubitan melayang di pipi Aji. Ibu yang baik hati itu tersenyum melihat tata krama yang Aji tunjukkan. Pipi Aji bersemu merah. Ibu itu semakin tergelak melihatnya. Anak itu tertunduk dengan wajah malu-malu. Aji tumbuh tanpa seorang ayah. Aji hanya punya seorang ibu. Meski begitu, anak itu tidak pernah manja. Dia hanya pemalu dan polos menawan.

"Bu'e, kenapa orang-orang memanggil Aji cah bagus semua?" Aji masih menggandeng tangan ibunya, melangkah dengan wajah penasaran. Mungkin karena pergaulannya tidak seperti anak-anak lainnya, anak itu jadi terlihat sangat polos. Ibunya tidak memungkiri itu. Perlakuan orang-orang juga berpengaruh pada kepribadian anaknya. Ibunya tidak pernah menyesal kalau anaknya tumbuh lebih polos dibanding anak seusianya. Sama sekali tidak pernah menyesal. Bahkan ibunya takut kalau Aji akan tumbuh semakin dewasa dan meninggalkan sikap ingin tahunya yang lucu dan menggemaskan ini.

"Karena Aji memang bagus tur apik bocahe 5)." Ibunya menjawab sambil tersenyum.

"Apa mereka ndak tahu nama asli Aji, ya bu'e?"

Ibunya tersenyum lagi.

"Nama asli Aji siapa memangnya?"

"Aji Arya Kamandanu."

"Tahu siapa itu Arya Kamandanu, cah bagus?"

Aji menggeleng, berkata kemudian "Mboten, bu'e..."

Ibunya tersenyum, menggandeng tangan anaknya lebih erat lagi. Meski tidak sekolah, namun ibunya sempat mengajari Aji soal huruf dan angka. Aji bisa membaca dan berhitung. Anak itu bahkan lebih cerdas daripada anak lainnya. Aji belajar dari alam, belajar dari ibunya, belajar tentang hidup dan juga belajar norma.

"Aji sudah baca di buku yang bu Wongso belikan?" Ibunya tahu kalau bu Suwongso sudah berbaik hati membelikan buku bacaan untuk Aji. Aji mengangguk semangat. "Soal apa bukunya?"

"Roro Jonggrang, bu'e."

Ibunya menganguk lagi.

"Bu'e, Arya Kamandanu itu hebat ya?" Pertanyaan itu muncul lagi. Aji selalu ingin tahu banyak hal, bahkan ibunya sampai harus bingung menjawab apa. Mereka masih berjalan menuju tempat bu Suwongso. Jarak rumah Aji dan bu Suwongso sekitar lima belas menit bila ditempuh dengan berjalan kaki.

"Oh, hebat sayang..."

"Beliau pahlawan, ya bu'e?"

"Iya, cah bagus..."

"Apa yang beliau lakukan, bu'e?"

"Beliau bertarung untuk membela yang benar, cah bagus."

"Kalau membela yang benar namanya pahlawan, ya bu'e?"

Ibunya tersenyum mengiyakan. Aji membuka kue di tangannya dan mengulurkannya pada sang ibu.

"Bu'e mau kue?"

"Dimakan nanti, ya cah bagus! Sekarang kita sedang berjalan. Ndak ilok makan sambil jalan."

Aji mengangguk patuh. Anak itu memasukkan kembali kuenya dan melangkah bersama ibunya. Begitu rumah bu Suwongso terlihat, Aji mencium punggung tangan ibunya.

"Aji tunggu di luar, ya bu'e. Bu'e hati-hati kalau kerja, ya! Nanti di rumah Aji pijet lagi kalau capek." Anak itu tersenyum manis sekali. Lesung pipinya tampak begitu bibirnya tersenyum. Ibunya mengangguk, lalu mengecup pipi anaknya.

"Aji jangan main jauh-jauh, ya!"

Aji mengangguk.

"Aji mau baca buku di teras depan rumah bu Wongso, bu'e..."

Ibunya tersenyum lagi. Aji melangkah riang. Kakinya terhentak senang. Beberapa buku sudah bertumpuk rapi di teras bu Suwongso. Aji menyelonjorkan kakinya, lalu mulai mengambil beberapa buku. Bu Suwongso mengatakan kalau Aji bisa melakukan apapun dengan buku itu. Buku itu milik Aji sekarang. Namun Aji menggeleng, mengatakan kalau dia hanya senang meminjam. Dia tidak mau serakah dan menginginkan sesuatu yang seharusnya tidak dia miliki.

"Hari ini mau baca apa, cah bagus?" Pak Suwongso muncul dan tersenyum. Anak beliau lebih senang bermain dengan komputer, jadi buku-buku itu seolah terbengkalai. Karena itulah pak Suwongso memberikan buku-buku itu pada Aji. Aji senang bukan kepalang saat mendapati beberapa buku cerita baru. Salah satu yang mengusik mata polosnya adalah sebuah buku berjudul Tutur Tinular.

"Mau baca yang ini, pak..." Aji menunjukkan buku di tangannya dengan raut senang. Tiap malam ibunya selalu bercerita soal kehebatan Arya Kamandanu. Nama miliknya juga berasal dari nama pahlawan itu. Kakeknya yang dulu memberi nama ini, hasil diskusinya dengan seorang kawan lama. Seorang warok yang tidak Aji ketahui namanya. Ibunya hanya mengangguk mengiyakan, berharap kalau Aji dapat menjadi Arya Kamandanu dalam hidupnya.

Aji membuka buku barunya.

"Coba, cah bagus baca yang keras biar pak Wongso bisa dengar kisah Arya Kamandanu itu." Pak Suwongso tersenyum, sedikit menggoda Aji. Beliau ingin mengetahui sampai mana kemampuan anak itu. Aji mengangguk mengiyakan. Baginya keinginan ringan seperti itu tidak akan ada apa-apanya dibanding kebaikan yang selama ini Aji dan ibunya dapatkan dari pak Suwongso beserta istrinya.

"Kisah ini berawal dari seorang pemuda desa Kurawan. Arya Kamandanu namanya. Dia adalah putra Mpu Hanggareksa, seorang ahli pembuat senjata kepercayaan Prabu Kertanegara, raja Kerajaan Singosari." Aji menghentikan ceritanya. Matanya mengerjap, memindai gambar di lembar sebelah kanan. Bibirnya melongo, terkagum-kagum dengan polos.

"Kenapa berhenti, cah bagus?"

"Arya Kamandanu punya ayah hebat, nggih pak."

Pak Suwongso tergelak mendengar penuturan polos anak itu. Pak Suwongso tahu kalau anak itu tidak memiliki ayah dan hanya hidup berdua bersama ibunya.

"Pak Wongso ke dalam dulu, ya cah bagus. Kamu lanjutkan saja bacanya."

"Nggih, pak..." Aji mengangguk antusias, lalu matanya mulai membalik halaman selanjutnya. Bibirnya bergerak, melafalkan tulisan yang ada di sana.

"Pemuda lugu ini kemudian jatuh hati dengan seorang wanita dari desa Manguntur bernama Nari Ratih, putri Rakriyah Wuruh, bekas prajurit kerajaan Singosari." Mata Aji menatap gambar di halaman selanjutnya dan terkagum-kagum. "Duh, ayune. Mirip ibu Aji..." Anak itu tersenyum lagi.

Aji masih membuka lembaran selanjutnya, hingga ilustrasi pada halaman itu tidak terlalu baik. Ada seorang lelaki lain yang berdiri di antara Arya Kamandanu dan Nari Ratih. Bibir Aji kembali membaca tulisan di sana dengan raut sedih.

"Namun hubungan asmara di antara mereka harus kandas karena ulah kakak kandung Arya Kamandanu yang bernama Arya Dwipangga. Kepandaian dan kepiawaian Dwipangga dalam olah sastra membuat Nari Ratih terlena dan mulai melupakan Kamandanu yang polos. Duh, sastra itu kekuatan yang menakutkan..." Bibir mungil itu berkomentar di akhir kalimat. Anak itu bahkan tidak tahu kenapa ada kakak yang rela berbuat jahat pada adiknya. Aji ikut sedih karena Kamandanu dikhianati.

Anak itu sedih, namun rasa penasaran lebih besar. Tangannya membalik halaman selanjutnya dan menemukan sebuah candi dan kobaran api. Aji mulai sakit hati, namun dia masih ingin membacanya.

"Cinta segitiga itu akhirnya berujung pada peristiwa di Candi Walandit, dimana Dwipangga dan Nari Ratih diburu oleh api gelora kemudian memadu kasih hingga kembang dewa Manguntur itu hamil di luar nikah."

Sampai di kalimat itu, Aji menghentikan bacaannya. Anak itu menutup rapat-rapat bukunya, meletakkan bukunya di tempat semula, lalu berlari ke ruang kerja ibunya. Ibunya sedang mengepak beberapa jenang ketan. Ibunya kaget mendapati anaknya sedang berdiri di ambang pintu dengan air mata yang hampir menetes dari kedua bola matanya.

Aji menghapus paksa air matanya, lalu duduk menunggu ibunya.

"Cah bagus sudah selesai baca? Kok duduk di sini?" Bu Suwongso menghampiri anak itu. Aji mengangguk, menggigiti bibirnya sendiri dan mengerjap polos ke arah bu Suwongso.

"Arya Kamandanu kasihan, nggih Bu..." Aji menunduk dengan wajah sedih.

"Aji sudah baca semua?"

Aji menggeleng.

"Mboten..."

"Lho, kenapa cah bagus?"

"Arya Dwipangga jahat, Bu..."

Bu Suwongso tersenyum lagi. Berkali-kali beliau meminta ibu Aji untuk menyekolahkan Aji. Bahkan beliau menawarkan untuk membantu biaya sekolah anaknya. Namun Aji menolak, menggeleng. Aji mengatakan kalau dia tidak mau merepotkan orang lain.

"Aji ndak mau jadi Dwipangga?"

Aji menggeleng.

"Aji mau jadi Kamandanu."

"Mau sekolah, ya cah bagus?"

Aji mengerjap.

"Di sekolah belajar sastra, Bu?" tanya anak itu. Bu Suwongso mengangguk cepat.

"Di sekolah belajar banyak hal, cah bagus..."

"Aji mboten purun 6)sekolah, Bu Wongso."

"Lho, kenapa toh?"

Aji menggigit bibirnya lagi.

"Arya Dwipangga yang pintar sastra itu berani merebut Nari Ratih dari Kamandanu. Kalau Aji belajar seperti Dwipangga atau belajar lebih banyak lagi, nanti Aji bisa jadi lebih jahat daripada Dwipangga, Bu..."

Saat itulah bu Suwongso terusik dengan pernyataan anak kecil polos yang belum pernah mengenyam bangku sekolah ini. Mantra dan ajaran seperti apa yang ibunya ajarkan pada anak seperti ini? Bagaimana bisa pemikirannya membuat orang lain kelimpungan begini?

Hari itu, bu Suwongso belajar banyak hal dari anak kecil bernama Aji Arya Kamandanu.

"Lalu Aji mau jadi seperti apa?"

Aji menunduk malu-malu. Pipinya bersemu. Bu Suwongso tak tahan untuk tidak mencubit pipi menggemaskan itu.

"Jadi seperti Arya Kamandanu, Bu Wongso. Yang tetap memaafkan meski disakiti, yang hebat dan jadi pahlawan..."

"Semoga itu terjadi suatu hari nanti, ya cah bagus..."

Aji mengangguk, mengamini apa yang bu Suwongso ucapkan. Matanya kembali mengawasi ibunya. Aji berjanji dalam hati. Kelak kalau sudah besar nanti, dia ingin membuat ibunya senang. Dia akan bekerja, ibunya akan di rumah menantinya. Ibunya akan tinggal di rumah yang lebih layak dan tidak kekurangan apapun.

Diam-diam Aji berdoa....

Untuk kesehatan dan kebahagiaan ibunya.

TBC

1) Bu'e : Ibu. Panggilan sayang anak terhadap ibunya.

2) Ndak usah, cah bagus : Tidak usah, nak ganteng

3) matur sembah nuwun sanget : Bahasa jawa halus sopan yang artinya "Terima kasih banyak"

4) Tak lelo lelo lelo ledung

Cup menenga putraku cah bagus : Diamlah anakku yang ganteng

Tak lelo lelo lelo ledung

Enggal bobok mangke mundhak ngantuk : Segera tidur, nanti semakin ngantuk

Tak gadhang bisa urip mulyo : Saya harap bisa hidup mulia

Kinayungan urip kang prasaja : Berpayung hidup yang bersahaja

Dadiyo satria utomo : Jadilah satria utama

Tansah jujur, pendekaring bangsa : Yang jujur, pendekarnya bangsa

5) bagus tur apik bocahe : Ganteng dan baik anaknya

6) mboten purun : Tidak mau

Aku jatuh cinta lho, sama si Aji! Beneran, aku nggak tahu kenapa... Kayaknya Zain nemu saingan!

Sumber istilah dari wikipedia dengan berbagai macam sumber. Namun ungkapan dan bahasa Jawa lainnya murni bikinan sendiri. Menawi panjenengan sedaya mboten ngertos, niku sampun resiko. Huahahaha.... 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top