Bagian Delapan: Bujang Ganong

Saya percaya, ketika cinta dan budaya bersua... maka naluri jawabannya.

***

Sudah belasan pertunjukan yang ditunjukkan warok Sumitro pada Aji. Anak itu selalu saja mendapatkan apa yang dia inginkan. Warok Sumitro senang dengan suara langkah anak itu ketika menapak di ubin dingin padepokannya. Anak itu sedikit berjinjit, takut mengganggu anggota padepokan yang sedang berlatih. Ketika dia bicara dengan kepala tertunduk dan tangan yang memilin-milin ujung bajunya itu membuat warok Sumitro selalu terpesona.

Anak itu belajar banyak hal, bahkan daya tangkapnya cepat sekali. Tiap kata yang warok Sumitro katakan selalu dia ingat. Warok Sumitro tahu kalau anak kecil ini adalah cucu dari mendiang sahabat lamanya. Warok Sumitro bahkan yang memberikan nama ini padanya. Warok Sumitro kagum dengan ibunya yang sudah mendidik Aji hingga bisa tumbuh seperti ini.

"Cah bagus mau lihat apa lagi hari ini?" Warok Sumitro menawarkan. Sudah biasa beliau bertanya dengan nada seperti itu. Beliau senang sekali saat Aji menyampaikan keinginannya. Biasanya anak lain akan meminta ini-itu, misalnya mainan dan lainnya. Namun Aji tidak pernah meminta. Dia hanya akan bertanya dan selalu bertanya tentang Reog dan lain-lain.

"Aji mau lihat mereka, ndoro.." Aji menatap beberapa anak laki-laki yang sedang menyiapkan topeng-topeng.

"Tahu namanya apa, cah bagus?"

Aji menggeleng kencang.

"Mboten, ndoro..." jawabnya malu. Warok Sumitro harus menjawab semua pertanyaan Aji. Rasa ingin tahu anak itu sangat tinggi. Dia tidak pernah sekolah, tapi warok Sumitro yakin kalau anak itu bisa lebih cerdas dibanding anak lainnya.

"Itu namanya Bujang Ganong, cah bagus.." Warok Sumitro tersenyum, lalu mengelus rambut hitam anak itu. "Biasanya dikenal dengan sebutan Patih Pujangga Anom. Tokoh yang sangat enerjik, kocak dan mempunyai keahlian bela diri. Beliau adalah patih muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti."

"Hebat sekali, ndoro..."

"Aji senang dengan Bujang Ganong?"

"Senang, ndoro..." Anak itu mengangguk antusias.

"Ingin belajar jadi Bujang Ganong, cah bagus?"

Aji mengerjap.

"Apa boleh, ndoro?"

"Tentu, cah bagus... Tapi tunggu usia kamu cukup besar untuk itu. Kamu masih terlalu kecil, le..."

"Apa ndoro mau mengajari Aji?" Aji menunduk malu. Warok Sumitro tergelak. Tentu saja beliau mau. Tidak ada hal yang akan beliau tolak kalau Aji yang meminta. Bahkan tiap kali datang, tangan warok Sumitro akan selalu menggandengnya dan mengajaknya berkeliling. Semua orang menatap mereka dengan wajah senang, seperti melihat kakek dan cucunya yang saling menyayangi.

Warok Sumitro mengajak Aji untuk melihat pertunjukan Bujang Ganong itu. Anak lelaki yang usianya lebih tua itu menampilkan kepiawaian mereka. Aji masih melongo kagum dengan pertunjukan itu. Jauh di lubuk hatinya dia juga ingin menari seperti mereka kalau sudah agak besar nanti.

Mereka bisa melompat, jungkir balik, salto, kayang, bahkan berjalan dengan dua tangannya. Aji bertepuk tangan kagum, hingga sebuah pekikan terdengar. Musik berhenti. Warok Sumitro menoleh. Seorang Bujang Ganong terjerembap ke lantai. Tangannya terkilir. Pelatih Bujang Ganong itu berlari ke arahnya. Warok Sumitro juga ikut menghampiri Bujang Ganong itu, mengabaikan Aji yang sedang duduk di sampingnya. Aji ikut berdiri, lalu berlari ke arah lelaki berusia sekitar belasan tahun itu. Ketika topengnya dibuka, Aji terdiam. Bujang Ganong yang bersembunyi di balik topeng macannya itu sangat tampan. Matanya mengerjap ke arah Aji. Aji menunduk, mundur. Bujang Ganong itu juga terpesona.

"Kok ya bisa kamu ini sudah latihan berkali-kali masih bisa jatuh?" Warok Sumitro mengurut kaki anak laki-laki pemeran Bujang Ganong itu.

"Saya kurang konsentrasi, ndoro..."

"Kok bisa? Memangnya kenapa? Apa yang kamu pikirkan, toh Ga?" Warok Sumitro masih mengurut pergelangan tangan anak itu. Raga, pemeran Patih Pujangga Anom itu terdiam. Matanya melirik Aji sesekali. Tentu saja dia tidak konsentrasi dan kehilangan fokus. Ada anak manis yang sedang duduk di sana, di sebelah ndoro warok. Matanya mengerjap imut, tangannya bertepuk tangan senang, bibirnya tersenyum lebar. Siapa yang bisa tahan dengan itu? Oh, jangan salah! Teman-temanmu yang lain tidak kehilangan konsentrasi sepertimu, Ga!

Aji menggigit bibirnya. Cemas. Khawatir. Sepertinya luka mas-mas di depannya ini parah. Bisa saja luka dalam. Aji merenung, namun bukan masalah itu yang dia cemaskan. Ndoro waroknya sedang fokus pada anak lain. Aji tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Tiba-tiba saja Aji merasa marah dan sedih bersamaan.

"Sudah baikan?" Warok Sumitro bertanya pelan. Raga mengangguk, lalu berterima kasih. Matanya masih melirik Aji yang sedang tertunduk menatap tangannya. Setelahnya, warok Sumitro mulai mengajari para Bujang Ganong yang lain. Mereka senang karena ndoro waroknya mengajari mereka secara eksklusif. Langsung turun tangan.

Aji?

Aji terdiam, tertunduk iri dengan kedekatan ndoro waroknya bersama anak-anak lain. Aji mulai cemburu.

"Nama kamu siapa?" Raga bertanya pelan. Aji menoleh dan mendongak. Matanya mendapati Raga yang sedang duduk nyaman di sebelahnya dengan pergelangan tangan yang sudah dibaluri minyak urut.

"Aji, mas!" jawab Aji pelan. Raga tersenyum, lalu menepuk kepala anak itu sesaat.

"Suka lihat Reog, ya?"

Aji mengangguk.

"Pengen jadi anggotanya juga?"

Aji mendongak, menunduk lagi, lalu mengangguk.

"Aji pengen seperti kalian..." Anak itu berbisik. Agar bisa dekat dengan ndoro waroknya, agar bisa terus mengobrol dengan ndoro waroknya cara satu-satunya adalah dengan bergabung di sini.

"Kalau sudah agak besar, Aji boleh gabung di sini. Ndoro warok pasti ndak keberatan."

Saat itu, ada semacam api meletup-letup di hati Aji. Ibunya sudah mengajarkan untuk tidak iri atau cemburu terhadap barang milik orang lain. Tapi saat ini Aji hanya ingin dekat dengan ndoro waroknya. Aji senang dengan beliau.

"Cah bagus, sini le..." Akhirnya suara warok Sumitro terdengar. Memanggilnya. Aji menoleh, mendongak dan akhirnya berdiri. Langkah kakinya terlihat riang saat berlari ke arah beliau. Warok Sumitro menggandeng jemarinya, lalu mengajak anak itu pergi.

"Aji senang hari ini?" Warok Sumitro bertanya pelan. Aji mengangguk. Bukan anggukan penuh semangat seperti biasanya, namun hanya sekedar anggukan biasa. Bayangan ndoro waroknya yang sedang mengajari para Bujang Ganong itu membuat Aji merasa sedih. Seperti ada hal yang diambil darinya.

"Aji boleh datang lagi ke sini, ndoro?" Anak itu bertanya dengan nada gemetar. Warok Sumitro tahu, ada yang aneh dengan anak ini. Beliau menundukkan badannya, lalu berjongkok di depan Aji. Anak itu sesenggukan dengan wajah sedih. Air mata mengalir membasahi kedua pipi gembilnya.

"Kenapa nangis, cah bagus?"

Aji mulai sesenggukan, lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Warok Sumitro menghalau tangannya, mengusap air mata itu, lalu memeluk tubuh kecil Aji.

"Ada apa, toh cah bagus? Coba ceritakan ke ndoro..."

Aji sesenggukan, lalu bertanya pelan. Mengalun di telinga warok Sumitro manis sekali.

"Kalau sudah besar nanti, apa Aji boleh ikut nari seperti mereka ndoro?"

Warok Sumitro tersenyum, menepuk punggung mungil itu sekilas lalu melepaskan pelukannya. Bibir warok Sumitro tersenyum, lalu beliau mengangguk setuju. Sangat setuju.

"Biar ndoro warokmu ini yang mengajarimu sendiri, cah bagus!"

Setelah itu pak Suwongso datang menjemput Aji. Waktu yang sangat pas atau memang karena sudah ditentukan sebelumnya?

***

Setelah kejadian hari itu, Aji masih sering datang ke tempat warok Sumitro. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Lelaki tua yang masih sangat tampan dan gagah itu juga sering mengajak Aji jalan-jalan, membelikannya baju bagus, dan juga memberinya makanan. Meski pada akhirnya sang ibu datang untuk sowan sekaligus mengucapkan terima kasih, tetap saja warok Sumitro masih memberikan banyak hal pada Aji.

Aji tumbuh, menjadi saksi perkembangan Reog milik warok Sumitro. Padepokan itu semakin besar. Paguyuban di bawahnya berkembang pesat. Beberapa tahun berlalu. Mbah Sumitro masih terlihat sama seperti dulu, bahkan lelaki tua itu semakin gagah perkasa hari demi hari.

Aji tumbuh dari bocah manis dan polos menjadi bocah tampan rupawan, berusia lima belas tahun yang masih sering berkunjung ke tempat warok Sumitro. Anak itu semakin terlihat, dengan aura yang apa adanya. Santun dan penuh tata krama. Semua orang menyayanginya, memujinya, lalu dekat dengannya.

"Ndoro semalam tidur jam berapa?" Aji bertanya lembut. Anak itu sedikit banyak sudah berubah sekarang. Dulu Aji akan selalu menunduk dan juga berbisik tiap kali bicara, namun kali ini dia sudah berani menatap mata lawan bicaranya. Kecuali ndoro warok. Aji masih malu tiap kali bertatapan langsung dengan mata tajam yang tampan itu.

"Ndoro-mu ini akhir-akhir ini bermimpi aneh, Ji..."

Aji menatap warok Sumitro spontan. Tatapan mereka bertemu. Aji menunduk lagi. Malu. Warok Sumitro tertawa.

"Kamu itu, lho.. dari dulu kok ya tiap lihat ndoro-mu ini selalu saja menunduk?" tanya warok Sumitro lagi. Aji memilin kaosnya. Meski sudah lima tahun berlalu, namun tetap saja anak itu masih belum meninggalkan kebiasaannya ketika gugup dan malu.

"Aji malu, ndoro..."

"Malu kenapa, toh cah bagus?" Warok Sumitro bertanya cepat. Ah, panggilan itu lagi! Meski Aji sering kali dipanggil dengan nama itu, namun tetap saja dia merasa panggilan itu sudah tidak cocok lagi dengan dirinya. Dia sudah tumbuh jadi anak laki-laki berusia lima belas tahun yang sangat tampan dan menawan.

"Dari hari ke hari, ndoro makin tampak muda. Apa toh rahasianya, ndoro?" Aji tersenyum malu. Separuh bercanda. Warok Sumitro mengajarinya banyak hal beberapa tahun ini. Mengajari Aji untuk lebih berani, mau menolak permintaan orang kalau memang tidak sanggup, dan mengajari Aji banyak hal. Hanya satu hal yang belum warok Sumitro ajarkan pada Aji. Hal yang dulu sempat beliau janjikan, namun sampai sekarang belum diwujudkan.

Mengajari Aji menari, melakukan atraksi seperti Bujang Ganong dulu. Warok Sumitro pernah berjanji akan mengajarinya secara eksklusif. Lalu mana janji itu? Aji benar-benar kecewa. Juga... cemburu. Ketika ndoro waroknya sedang melatih para penari dan juga bagian barongan, Aji selalu menatap mereka dengan pandangan iri. Kapan, ya ndoro warok mau mengajari Aji? Apa Aji dianggap belum layak dan juga belum cukup usia untuk melakukannya?

"Ndoro-mu ini mau cerita dulu, cah bagus!"

Aji tersenyum.

"Monggo..."

"Tiap dini hari, ndoro-mu ini selalu terbangun lantaran mimpi yang sama. Semacam ada seseorang yang memeluk, lalu mencium. Lalu..."

Aji bungkam. Dia juga sudah diajari pendidikan seks oleh ndoro-nya waktu itu. Aji dibelikan buku mengenai seks, agar dia paham dan juga tidak polos. Pendidikan seks sejak dini itu penting, demi menghindari kesalahpahaman bukan?

"Pangapunten, ndoro... Kalau saya boleh tanya, apa mungkin ndoro terlalu ingin sampai bermimpi seperti itu?" Aji mengerjap takut. Takut salah bicara. Dia adalah tempat curhat warok Sumitro sekarang ini. Dulu tiap kali warok Sumitro bercerita, Aji hanya bisa mengerjap lalu bertanya maksud cerita itu. Tapi sekarang Aji sudah tumbuh, sudah bisa merespon hal-hal yang datang padanya.

"Anehnya aku hanya ingin dalam mimpi, lho cah bagus. Waktu ndoro-mu ini bangun dan melihat istri-istri cantik ndoro, nggak ada minat ataupun nafsu lagi..."

Aji benar-benar tidak paham kenapa bisa seperti itu. Aji tersenyum, matanya menunduk melihat lantai di bawahnya dan bibirnya bergerak untuk berbisik.

"Mungkin ndoro tidak ditakdirkan jadi Arya Dwipangga..." Aji tergelak, namun sedetik kemudian bungkam. Dia mendongak, menatap ndoro waroknya takut-takut. Akan tetapi yang dilihatnya justru sebaliknya. Warok Sumitro sedang terbahak kencang, tertawa hingga meneteskan air mata.

"Cah bagus, ndoro-mu ini dari dulu heran sama sesuatu." Warok Sumitro berdehem, menghentikan tawanya lalu menatap mata Aji. Aji mendongak spontan, lalu kembali menunduk.

"Apa itu, ndoro?"

"Kamu lho.. tiap kali ndoro-mu ini tawari sesuatu kok ya selalu nolak. Kalaupun dipaksa, kamu mintanya selalu aneh-aneh. Anak laki-laki lain biasanya kan minta duit, atau baju baru, atau HP yang bisa disentuh-sentuh begitu. Kamu ini lho... malah mintanya yang aneh-aneh. Minta lihat jathilan anak laki-laki, minta lihat pertunjukan Bujang Ganong sendirian, lah kok yang wajar sesuai umur gitu lho le..."

Aji tersenyum malu.

"Itu kan wajar, ndoro.. Daripada Aji nanti minta nikah, malah pada kaget semuanya." Aji tertawa pelan. Harusnya warok Sumitro paham dengan maksud permintaan Aji. Aji ingin memberitahu warok Sumitro secara tidak langsung kalau dia juga ingin belajar menari. Seperti yang sudah beliau janjikan dulu.

Namun sekali lagi, ndoro waroknya tidak peka akan hal itu.

TBC

Aji umur 15 cakep kali ya... *ngiler

Mulai kelihatan kan alurnya? Mehehehehe.... Jadi gini, guys... Mungkin kalian pikir ini cerita alurnya lambat. Memang, aku sengaja memperlambat. Beda misi dengan cerita humu lainnya. Mungkin cerita kayak Assalamualaikum, Pesantren! itu temanya Homo yang beragama. Tapi kalau cerita ini genre mayornya adalah Budaya Reog Ponorogo. Hanya saja... ada kisah homo di balik itu semua.

mrI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top