🌷3. Magdalena🌷
Remasan di pangkal paha Believe masih tersisa sensasinya bahkan saat Believe sudah tiba di rumah. Dalam bunga tidurnya pun wajah perempuan itu membayangi, seolah tangan kecil itu mencengkeram bahkan mengebiri buah kejantanannya.
Believe terbangun gelisah. Napas Believe tersengal saat kesadarannya kembali memupus mimpi buruk. Peluhnya meleleh deras. Begitu terjaga, ia memegang pangkal paha, dan satu tangannya mengangkat karet celana memastikan 'adik kecil'-nya baik-baik saja. Mengembuskan napas keras, Believe mengambrukkan badan dengan desah lega karena semua hanya mimpi buruk.
Believe kembali memejamkan mata. Namun, sekelebatan wajah manis gadis mungil itu kembali menari di kepalanya. Menari ... menari tiang alias pole dance yang erotis.
Believe kembali membuka mata. Ia bergidik mendapati otaknya berimajinasi liar. Gadis bermata bulat yang dalam sekali mengerjap meluluhkan hati para lelaki itu sedang menari tiang dengan baju ketat nan seksi.
Semua orang mengakui bahwa gadis itu memang menawan. Begitu pula dengan Believe, seorang dokter internis yang berusia 30 tahun itu. Wajah bulat telur gadis itu dilapisi kulit yang sehalus porcelen, rambutnya bercat cokelat menebarkan aroma pisang yang begitu manis, punggung yang terkuak itu seolah mengundang para lelaki untuk membelai. Satu yang mengundang perhatian Believe, gadis itu membalut kaki dengan sepatu sneakers. Sebuah padanan yang aneh menurut Believe.
Believe berusaha menepis bayangannya. Terpesona dengan wanita penghibur tidak ada dalam kamusnya. Masih banyak perempuan baik-baik yang pasti mau dengannya.
Nyatanya, mencari jodoh seperti mencari jarum di dalam jerami. Setelah kehilangan Aileen, Believe tidak bisa menemukan spesifikasi perempuan seperti Aileen Dewanti. Baik dari paras, fisik, latar belakang keluarga, pendidikan, kecerdasan, yang mampu memikat hati Believe.
Waktu terus berjalan dan Believe masih terkungkung dalam kesendiriannya.
***
Melihat Cinde yang makin hari perutnya makin membesar membuat Believe semakin tak tega dan harus segera mencari perawat. Tidak gampang mencari perawat lansia yang mengerti maminya. Kadang Believe dan juga Brave membujuk Joana agar sedikit mengerem emosi, tetapi yang ada kakak beradik itu yang akan mendapat semburan dari sang mami.
Seperti pagi ini, saat Believe menyuapi maminya. Amukan itu bertubi dilontarkan Joana.
"Bagaimana Mami ga marah, kalau nasi yang disuapkan Mami masih panas!" keluh Joana. "Dari mana kamu mendapat perawat tidak kompeten seperti itu?"
"Iya, nanti aku cari perawat lain." Believe berusaha bersabar. Dalam hati ia mengingat-ingat agar menganginkan makanan yang ada di piring dulu sebelum dikonsumsi oleh sang mami
"Bil, mami kasihan Cinde kalau harus urus mami. Brain aktif sekali polahnya. Kalau ada Tante Ratna, Cinde nggak akan kewalahan, tapi kalau sendiri dia akan kewalahan."
"Makanya itu mami jangan sering marah-marah-"
"Loh, kamu kok jadi nyalahin mami? Mami ini sakit! Udah sakit, masih mikir anak bungsunya mami yang nggak nikah-nikah."
Believe menelan ludah kasar. Ujung-ujungnya Joana akan menyinggung kejomloannya lagi. "Sabar, Mi. Belum ketemu jodoh yang pas."
Joana mendesah kasar. Memandang putra kedua yang matanya selalu membuat Joana tak tega memarahinya. Wanita lanjut usia itu menyeka pipi berahang tegas dengan profile wajah mirip almarhum sang suami. Membuat Joana selalu merasa tak sendiri, walau lama tak ditemani Brian Ganendra, papi dari dua putranya.
"Bil, Mami hanya pengen, sebelum Mami dijemput Papi, Mami bisa menyaksikan upacara pemberkatan nikahmu. Apakah itu berlebihan?"
Believe meringis canggung. Selalu kematian yang disinggung Joana.
"Mi, hidup itu misteri bukan? Mami yang penuh nalar mengira aku ga akan bertahan. Nyatanya, sekarang aku masih bernapas. Bahkan bisa melahirkan putra keturunan keluarga Ganendra," sahut Cinde yang masuk membawakan teh hangat untuk mertuanya.
Joana berdecak. Bila mengingat betapa dulu ia tidak menyetujui hubungan Brave dan Cinde, rasa malu menyusup di batinnya. Gadis yang ditentang dicintai putranya justru kini mencurahkan perhatian, bahkan menyayanginya dengan sepenuh hati.
"Cin, mami ngrepotin ya?"
"Mi, Mami dulu lebih repot membesarkan dua jagoan kecil Mami seorang diri. Tanpa Papi. Kalau repot sedikit seperti ini, Cinde rela."
Manik mata Joana mengikuti arah gerak Cinde yang kini mengambil alih piring berisi nasi dan lauk pauk dari tangan Believe.
"Bil, kalau bisa cari gadis yang seperti Cinde. Semangatnya, cerianya, kuatnya."
Believe berdecak. "Kata Cinde, dia limited edition. Ga ada yang nyamain."
Joana tergelak mendengar komentar Believe. Memang Cinde adalah perempuan unik yang tidak ada duanya. Terlebih bibit, bobot, bebetnya memuaskan.
"Mi, tenang aja. Om Bil akan mendapat gadis yang terbaik untuknya," kata Cinde memberi penghiburan. Namun, Believe tidak terhibur sama sekali, karena ia justru terbayangi lagi gadis yang ia temui di tempat hiburan.
***
Gadis mungil berbaju putih lengan pendek keluar dari sebuah ruangan menyusuri lorong dengan langkah tergesa. Seorang karyawan memberi tahu bahwa ia ditunggu oleh tamu di bar.
Bila mendapati ada konsumen yang memanggil, Magdalena menjadi was-was. Bisa jadi Magda akan memperoleh keluhan karena pelayanan karyawan dan sajian yang buruk. Seingat Magda, ia sudah mencicipi sup yang menjadi menu utama malam ini. Ia juga sudah memberitahu para wanita yang menjadi penghibur di tempat itu agar berperilaku ramah.
Seandainya Mamanya tidak pergi berlibur dengan Om Wira ke Paris, Magda yakin ia tidak akan dilimpahi tugas mengecek semua hal di Heaven's Coast, sebuah club milik mamanya yang diwariskan dari mucikari yang menyayangi mamanya.
Tempat ini adalah surga dunia bagi para lelaki hidung belang. Di mana mereka akan dilayani untuk mencapai puncak kenikmatan tertinggi, seperti mamanya dulu yang pernah menjadi wanita penghibur paling mahal yang bahkan menjadi simpanan seorang pejabat. Setelah ketahuan hamil pun, pamor Felicia tak surut. Banyak lelaki yang ingin mencari sensasi lain bercinta dengan wanita hamil berani membayar mahal untuk menghabiskan malam dengan Felicia.
Langkah tergesa Magda teredam oleh suara dentuman musik dari dalam bilik yang menyamarkan desahan binal dan lolongan nikmat lelaki yang suka berpetualang di pahatan raga seorang perempuan. Ia berjalan cepat menyusur lorong yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup.
Setiap melalui lorong itu, ingatannya terlempar saat Magda berusia 8 tahun, di mana untuk pertama kali ia nekat melanggar larangan mamanya melewati lorong itu. Magda ingat, jam berapa ia menapak menelusuri lorong remang itu. Angka di jam digital bergambar Mickey tertulis angka dua. Yang pasti bukan jam dua siang, melainkan dua dini hari.
Walau tahu Felicia selalu melarang, tetap saja, Magda kecil penasaran. Perlahan ia berjingkat menapak lorong, dan dia menebak salah satu bilik itu pasti ada mamanya. Perlahan ia membuka pintu yang terasa berat saat di dorong. Mata Magda membeliak, mulutny terbuka lebar seolah rahangnya tertarik oleh gravitasi bumi. Di dalam bilik yang ia buka, Magda kecil mendapati mamanya duduk bergoyang tanpa sehelai benang yang menutupi di atas seorang lelaki dengan wajah dipenuhi kabut hasrat. Lelaki itu jelas bukan suami mamanya, karena Felicia tidak pernah punya suami. Ia mengandung Magda, tanpa mempunyai suami dan sepertinya Felicia tak peduli hal itu.
Ingatan itu melekat kuat di otak Magda, membenarkan cap teman-temannya yang mengatakan Magdalena anak seorang pelacur. Magda tak peduli karena yang ia pikirkan hanyalah ia bisa bersekolah. Seperti kata Felicia, menjadi pelacur pun harus profesional dan cerdas agar tidak tergerus wanita cantik berotak kosong.
Saat pikirannya memutar kembali kenangan masa lalu, tak terasa Magda sudah berdiri berjarak lima langkah dari seorang pria yang duduk dengan segelas lemon jus di hadapannya. Bukan vodka, whiskey atau wine apalagi sampanye, yang lelaki itu pesan.
Lelaki peracik minuman yang tadi memanggilnua memberi isyarat dengan gerakan kepala bahwa benar lelaki itu yang menunggunya. Magda mengernyitkan alis, membongkar ingatannya. Benar, lelaki itu yang ia pernah berbincang dengannya minggu lalu. Namun, tidak hanya bercakap saja, Magda juga sempat meremas organ kebanggaannya.
Magda memicing mengamati pemuda yang sedang mengaduk minumannya dengan tatapan sendu. Dari penampilannya yang rapi-kemeja lengan panjang yang digulung separuh lengan, rambut pendek disisir dengan pomade, celana jeans biru tua dan sneakers putih-Magda tahu lelaki itu cukup berada.
Magda berdeham mengatur suara. Melangkah perlahan, Magda mendekati pemuda berkulit kuning itu.
"Anda mencari saya, Pak? Mas? Om?" Magda bingung menyematkan nama sapaan untuk lelaki itu. Bila dipanggil Pak atau Om wajahnya masih terlihat muda. Namun, bila dipanggil Mas terdengar tak sopan.
Lelaki itu menengok dan tersenyum miring, seraya menepuk bangku di sebelahnya.
"Panggil seperti dulu kamu memanggilku. Sekarang duduklah dulu." Magda yakin lelaki itu tidak mabuk. Namun nalarnya seperti mengambang di udara.
"Ada apa?"
Tawanya berkumandang. Renyah, terdengar seperti keripik kentang yang digigit. Magda terkesiap dengan deretan gigi yang rapi itu, membuat bingkai senyum yang manis di wajah yang tampak lelah.
"'Ada apa'? Bukankah kalian di sini bekerja untuk menemani para lelaki kesepian? Asal ada uang kalian mau menghibur kami bukan?"
Magda mendengkus. Sungguh ia sangat kesal dengan ulah lelaki ini. Memang ia perlu uang, tetapi Magda benci kalau harus ditekankan bahwa uang seolah segalanya.
"Maaf, saya tahu Mas lebih kaya, tapi kami para wanita penghibur profesional. Tidak semua wanita penghibur masuk dalam Club kami!"
Magda berbalik, hendak meninggalkan tamunya seorang diri. "Tunggu! Siapa namamu?" Lelaki itu mencengkeram pergelangan tangan Magda.
"Magda. Magdalena."
Lelaki itu berdecih. "Bahkan namamu menunjukkan jati dirimu. Maria Magdalena, bukankah seorang pelacur?"
"Tapi ia bertobat! Oya, apa hak Mas yang menghakimi saya seperti orang berdosa?" Mata bulat berbulu mata panjang dan lentik itu membeliak menantang Believe.
"Aku Believe Ganendra."
Magda berdecak. "Persis seperti namanya. Mas Believe hanya meyakini yang ia yakini benar tetapi sebenarnya yang terlihat belum tentu sebuah kebenaran."
Believe terkekeh. Ia menepuk tangannya beberapa kali. "Wow, pelacur cerdas yang bijaksana atau sok bijak?"
"Maaf, saya banyak pekerjaan. Tidak ada waktu meladeni celotehan anda."
Sekali lagi Magda meninggalkan lelaki itu. Lelaki yang menimbulkan goresan kesan mendalam saat pertama jumpa. Tak hanya tangannya masih mendapati sensasi kenyal saat meremas buah kebanggaan Believe, tetapi lelaki itu selalu membuat hatinya tercabik.
"Siapa yang bisa memilih di mana ia dilahirkan? Aku juga tidak pernah meminta dilahirkan oleh wanita tanpa suami, oleh wanita penghibur yang sekarang menjadi mucikari."
💕Dee_ane💕💕
Makasi buat dukungannya. Ramaikan cerita ini yak😍
Part lengkap ada di KBM dan KK yak. Silakan mampir di sana.
Promo lagi🙊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top