🌷2. Kesan Pertama🌷
Believe mengesah keras. Selesai memeriksa pasien terakhir, ia masih terpaku di tempat duduk sambil mengetuk-ngetukkan pulpen di permukaan meja kaca. Permintaan sang mami dengan pandangan penuh harap tadi pagi membuat batin tak nyaman. Siapa gadis yang Joana katakan beruntung bersanding dengannya? Bahkan Aileen pun kabur karena tidak ingin terjerumus menjadi menantu yang merawat mertua.
Andai saja, ada perempuan yang mencintainya dan bisa tulus mengasihi sang mami, Believe akan sangat berbahagia. Apakah permohonannya ini terlalu berlebih? Apa mungkin para perempuan di sini sudah tercuci otaknya karena sajian sinetron menantu yang teraniaya oleh sikap mertua yang jahatnya melebihi ibu tiri Cinderella.
Tidak bisakah Aileen, wanita yang dipuja dan dicintai Believe bersabar sedikit saja? Harusnya Aileen tahu bahwa hanya Joana Arshinta yang Believe punya. Wanita yang membesarkan dan bertahan dalam kesendirian tanpa seorang suami. Tak bisakah Aileen bersabar sebelum pada akhirnya, Believe akan menghadiahinya istana untuk mereka bernaung.
Nyatanya, cinta Aileen tidak sekuat itu. Faktanya, gadis cantik itu kukuh dengan pendiriannya, sehingga hubungan mereka kandas.
Believe bangkit dari duduknya hendak pulang, setelah berpamitan dengan Rini, perawat senior di poli Interna. Entah kenapa, kaki Believe justru melangkah menuju poli anak tempat Aileen bekerja. Melihat Aileen keluar dari ruangan, Believe pun mempercepat langkah.
"Lin!" panggil Believe.
Gadis cantik dengan polesan make up yang membuat wajahnya segar itu, menoleh. Aileen tampak anggun dengan balutan snelli. Berhenti di ambang pintu, Aileen menanti Believe menghampirinya.
"Ada apa?"
"Boleh bicara sebentar?" tanya Believe dengan suara bergetar. Ia merutuk dalam hati. Tingkahnya ini seperti remaja labil yang sedang mendekati gadis yang diincar.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Mas. Semua sudah selesai." Aileen membuang muka, tak mau memandang Believe. "Aku sudah katakan. Jangan sampai kita menyadari berharganya sesuatu saat kita sudah kehilangan. Dan, saat aku memberi kesempatan itu, Mas Believe tidak merengkuhku!" Aileen memicingkan mata, menatap tajam Believe dengan manik mata hitamnya. "Selamat tinggal!"
Believe mengeratkan rahang saat kalimat itu mengalun di liang pendengaran. Lembut nadanya, tetapi mengandung belati yang mencabik-cabik hati. Ia sedih kehilangan Aileen. Namun ia tidak menyesal karena memilih maminya yang sudah membesarkan sepenuh hati.
Believe menyeringai dengan embusan kasar dari ujung hidung mancungnya. Ya, perempuan cantik, tak selamanya hatinya cantik. Cukup! Cukup ia mengiba pada Aileen Dewanti. Ia yakin di dunia ini masih ada perempuan baik yang bisa menjadi istri dan menantu bagi maminya.
***
Hari itu, Brave memutuskan memboyong keluarga kecilnya ke rumah ibunya. Sebenarnya Believe sudah meyakinkan Brave agar tidak perlu.merepotkan Cinde, hanya saja justru Cinde yang kukuh mendukung ide Brave.
Malam ini, setelah ia memastikan Joana beristirahat, ia menemui kakak iparnya yang sedang membersihkan dapur. Pembantu baru mereka hanya bisa bekerja pagi dan pulang sore hari, sehingga Cinde masih harus membereskan dapur usai makan malam. Sementara Brave, kakaknya, sedang menidurkan Brain, putra sulungnya, yang berumur empat tahun di kamar.
"Cin, udah deh, kamu istirahat aja. Ibu hamil ga boleh capek."
Cinde tersenyum, menoleh sejenak sementara tangannya masih menari di atas permukaan piring di bawah guyuran air kran yang mengalir. "Nanggung."
Believe terenyuh. Istri kakaknya, yang mati-matian diperjuangkan oleh Brave, rela merawat maminya. Padahal Believe ingat, bagaimana Joana awalnya tidak menyetujui hubungan mereka.
"Cin, ada stok cewek kaya kamu ga sih?"
"Sorry, aku limited edition. Cuma Mas Brave yang punya." Believe tergelak. Cinde selalu membuat suasana di rumah terasa menyenangkan. Mereka seumuran sehingga Believe enggan memanggil Cinde dengan embel-embel 'Mbak'.
"Sorry, kamu bukan tipeku juga." Giliran Cinde yang terkekeh mendengar jawaban Believe.
"Bil, ada kok pasti yang bakal jadi rusukmu. Sekarang aja belum nemu yang pas. Mungkin lagi dijagain sama yang lain. Lagian kalau rusuk yang ga pas dipaksain yang ada malah bikin sakit hati."
"Mami pengen aku nikah. Aku juga kasihan kamu, udah hamil, ngurus Brain, trus ngurus Mami." Believe mendesah melontarkan uneg-unegnya.
"Kamu tenang aja. Aku ikhlas. Toh karena Mami aku bisa bertemu Mas Brave yang sekarang jadi figur suami bertanggung jawab, dan ayah yang baik buat Brain. Tanpa ada wanita yang kuat seperti Mami yang bisa menjadi sosok ayah dan ibu sekaligus, mungkin kalian ga bisa seperti sekarang."
Hati Believe berdesir. Ia iri dengan Brave. Bagaimana bisa kakaknya mempunyai istri yang berpikiran luas seperti itu. Ah, seandainya Believe menemukan wanita yang baiknya seperti Cinde, wanita itu akan Believe kejar ke ujung dunia. Tapi siapa yang akan dikejar?
***
Malam minggu ini, Believe sudah berjanji pada Iwan untuk menemaninya ke sebuah tempat hiburan. Iwan diminta menjadi narasumber dalam penyuluhan yang diadakan LSM Peduli HIV/Aids untuk para wanita penghibur yang ada di tempat itu akan pentingnya menggunakan kondom.
Sementara Iwan sedang sibuk menjadi narasumber, Believe duduk sambil melayangkan pandangan di tempat remang di sudut ruangan. Dari semua pemandangan, matanya tergelitik oleh tingkah seorang wanita yang lalu lalang tidak memperhatikan temannya memberi materi.
Karena gemas, Believe mencegat saat untuk kesekian kali wanita berambut coklat tua, bertubuh mungil dan berpakaian gaun hitam ketat tanpa lengan itu mondar-mandir.
"Mbak!"
Perempuan itu berhenti, saat langkahnya terhalangi oleh Believe. "Ya?" Suara perempuan itu terdengar lembut, dengan senyum yang terurai dari wajahnya. Senyum yang di mata Believe senyum penuh kepalsuan ... senyum seorang wanita penghibur.
"Saya perhatikan Mbak dari tadi sibuk sendiri."
Kembali perempuan itu mengurai tarikan bibir merah berpoles lipstik warna netral. "Ah, saya ada tamu. Apa anda ada perlu dengan saya?"
Believe mendengkus, memperhatikan wanita di depannya. Wajahnya bulat telur dengan mata bulat bermanik hitam kelam yang dibingkai barisan bulu mata nan lentik alami, memberi kesan polos saat mengerjap.
"Kami datang ke sini karena peduli. Kenapa malah dicuekin?"
"Maaf saya buru-buru." Perempuan itu mencari celah melalui Believe. Membuat Believe yang geleng-geleng kepala.
"Pelacur ... asal ada uang di situ dia datang."
Kaki kecil perempuan itu terhenti. Ia mendongak menatap Believe. "Apa salahnya dengan pelacur? Mereka juga manusia!"
Manik mata Believe bergulir ke sudut menatap wajah mungil yang menggemaskan itu. Believe berpikir, pasti pelanggan wanita itu sangat banyak. "Iya, mereka manusia. Manusia yang enggan berusaha."
"Ah ... begitu. Semoga Mas tidak menggunakan jasa para wanita penghibur untuk memuaskan ..." Perempuan itu meremas erat pangkal paha Believe membuat lelaki itu kehilangan rona merah. Remasan tangan kecil itu layaknya tangan yang memeras santan hingga hanya tersisa ampas. "Adik kecil Mas!"
Believe gelagapan, tak bisa menggetarkan pita suara. "Ups, sepertinya juga punya Mas tidak terlalu besar. Atau jangan-jangan dia masih tertidur di sangkarnya? Mau dibangunin, Mas?" Alis gadis itu terangkat satu membuat bulu kuduk Believe meremang.
Believe tak bisa bersuara. Lidahnya kelu, tenggorokannya seperti tercekat. Ia shock, saat barang berharganya diremas oleh perempuan asing tak dikenal.
Perempuan itu terkekeh, melepas tangannya dan mengusap telapak tangannya di kemeja yang membalut tubuh Believe yang menegang. "Jangan pernah menilai orang dari luar sebelum mengenal."
Sesudah berkata demikian, gadis itu berlalu begitu saja sambil kekehan menguar dari bibir mungilnya yang menggaung di lorong. Wajah Believe memerah dengan tubuh bergetar. Sensasi remasan itu masih ia rasakan. Baru kali ini ada orang lain yang memegang barangnya, dan orang itu pelacur!
Dada Believe kembang kempis. Ia memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam, berusaha mengurai gelenyar yang merambat di tulang belakang. Believe merutuk, memandang punggung gadis penghibur yang mulus itu.
Believe menghela napas panjang. Bukannya bertemu perempuan baik-baik, tetapi kenapa ia justru bertemu perempuan nakal yang dengan santainya bisa memegang pangkal paha lelaki.
Muka boleh imut! Kelakuannya amit-amit! Rutuk Believe. Namun, tak dipungkiri, desir itu seolah tertahan di dadanya. Membuat getaran aneh yang baru kali ini ia rasakan.
"Cih, dasar pelacur! Walaupun perempuan tinggal kamu, lebih baik aku sendiri!" seru Believe berang. Alih-alih semesta mendukung justru alam menikung tak merestui rutukannya.
***
Magdalena, perempuan bergaun hitam seksi yang memaparkan punggungnya itu berbelok ke sebuah ruangan. Di dalam seorang lelaki paruh baya sudah menunggunya. Magda memberikan senyuman manis, memperlihatkan deretan gigi putih yang ditempeli diamond di taringnya.
"Sudah datang, Dad. Aku menunggu loh!"
"Daddy kan selalu bilang, kalau kamu butuh, Daddy akan segera datang." Lelaki itu mengulurkan sebuah bungkusan yang diterima Magda dengan senang hati.
Ia melongok menatap isi bungkusan di dalamnya. Matanya berkaca, dan ditangkap oleh lelaki itu. "Kamu kenapa, Magda?"
Magda menghela napas. Ia berusaha mengurai tarikan bibir menutupi rasa sakit hatinya.
"Memang apa salahnya menjadi pelacur? Aku bisa hidup karena profesi ini 'kan?"
💕Dee_ane💕💕
Kalian bisa baca cerita lengkap di KK.
promo dulu
Dokter Believe yang uwuwu banget😍
Si cute Magdalena🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top