🌷11. Doa Mami🌷

Believe terperangah mendengar Ayah Gula-gula itu kembali disinggung Magda. Bagaimana bisa Magda membicarakan Daddy-nya yang betul akan berperan sebagai daddy saat pernikahan mereka. Betul-betul Believe tak habis pikir dengan kegilaan yang ia lakukan.

Ya, ia sudah gila seperti sudah terkena guna-guna oleh Magda. Bahkan ia berpikir gadis itu memakai susuk atau pengasihan yang membuat lawan jenis tergila-gila. Kini Believe merasa lebih gila karena tiba-tiba otaknya yang selalu nalar, memikirkan hal-hal aneh yang berbau klenik.

"Tidak ada yang lain?" tanya Believe dengan suara tertahan berusaha meredam volumenya.

Magda menggeleng. Alisnya mengernyit, memindai reaksi Believe. "Aku 'kan bilang, kami di sini ga punya siapa-siapa. Mami cuma punya ibu di Gunung Kidul. Sementara keluarga besar yang lain tidak mau mengakui Mami karena punya anak haram."

Pengakuan Magda kembali membuat iba hati Believe. Apalagi Magda menceritakan dengan mata polos itu. Rasanya Believe ingin memasangkan kacamata hitam pada Magda agar mata itu tak membuat kerja otaknya kusut.

Ia hanya bisa mendesah panjang. Pasrah.

"Mas, Daddy baik kok."

Believe memberi senyuman tanggung. Apa baiknya seorang laki-laki hidung belang yang suka bermain dengan perempuan belia, melupakan anak dan istrinya?

"Terserah. Pastikan semua baik-baik saja. Dan inget, setelah pernikahan, jangan pernah berhubungan dengan dia!"

"Mas Bil cemburu?" Kali ini Magda mendongak, memindai wajah Believe.

"Ck, ngapain cemburu? Aku cuma butuh istri, yang bisa cocok dengan mamiku. Makanya aku rela bayar mahal kamu!"

Magda mencibir. "Sama sekali ga ada rasa suka gitu?"

Believe menggulirkan manik mata ke sudut. Seringainya mencemooh pertanyaan Magda. "Blas! Ga ada!"

Kekehan Magda menguar. Ia bersedekap, sambil memberi seringai miring. "Aku berani bertaruh, ga butuh waktu lama Mas Bil, bakal tresno banget sama aku."

Believe menyentil dahi Magda. Gadis itu meringis, menggosok dahinya dengan melempar pandangan gusar. "Sampai kiamat, ga bakalan! Aku cuma butuh pendamping hidup, yang bikin aku tampak normal."

Sesudah berkata demikian Believe berlalu dari hadapan Magda yang hanya bisa melongo mendengar penuturan Believe.

"Jangan-jangan, Mas Bil ...?"

***

Rencananya pernikahan akan diselenggarakan dalam 3 bulan lagi. Persiapannya cukup singkat. Setelah semua urusan administrasi untuk pencatatan negara dan gereja beres, hati Magda sangat tenang. Sebentar lagi mimpinya terwujud. Mendapat suami, dan menjalani hidup yang normal.

Awalnya, Magda tak menggubris apa pun alasan Believe menikahinya. Namun, virus tamak dan tak cepat puas merayap di hati Magda. Ia ingin kehidupan normal yang sempurna. Mempunyai suami ... yang mencintainya.

Apalagi reaksi Believe yang tak akan mencintai Magda justru membuat perempuan itu gregetan. Ia ingin membuat Believe bertekuk lutut kepadanya. Ya, Magda yakin bisa menaklukkan Believe yang suka menghakimi itu.

Selepas penyelidikan kanonik di gereja, mereka memutuskan untuk mampir fitting gaun pengantin yang sedang dipesan oleh Magda. Believe sedikit bersungut karena Magda memaksanya. Bahkan Believe terlihat merajuk, tak bersuara sepanjang perjalanan menuju ke butik bridal.

"Kamu ga bisa berangkat sendiri?" Pandangan Believe masih fokus tertuju ke depan.

"Ga enak lah. Nanti kalau ditanya groom-nya mana, aku jawab apa coba?"

"Ck, aku bayar kemarin harusnya dikasih syarat, terima bersih aja ya? Kenapa aku jadi yang repot?"

Ekspresi Believe yang sok cuek ini justru membuat Magda tertantang. "Apa batal aja? Lagian uangnya belum kepakai kok. Mau dikenain pinalti juga ga apa-apa. Aku bisa balik modal lagi dalam ... semalam?"

Believe melirik sengit sambil mengangkat sudut bibir kirinya. "Jangan harap kamu bisa mundur!"

"Kenapa ga bisa? Toh ga ada perjanjian hitam di atas putih? Kalau Mas Believe tuntut aku, yang malu Mas sendiri 'kan? Bisa jadi Mas Believe masuk koran atau berita?" Magda terkekeh keras, dengan kepala menganggut berulang, membayangkan bila benar itu terjadi.

Ada benarnya perkataan Magda. Believe tidak bisa berkutik. Mau tidak mau, ia memenuhi kemauan Magda, dengan bersungut-sungut.

"Iya, aku antar. Puas?"

Magda tersenyum lebar, menepuk pipi Believe. "Makasi ya, Mas."

Benar kata maminya, Believe terlalu lembek. Ia gampang sekali disetir. Ia pikir dengan uang lima puluh juta di awal, ia bisa mengendalikan Magda. Namun nyatanya, bibir mungil itu sangat licin mengeluarkan kata-kata yang membuat Believe mati kutu dan Believe seperti dihipnotis mengikuti kemauan Magda.

Sejurus kemudian, mereka tiba di sebuah ruko, tempat di mana bridal boutique yang dipilih Magda berada. Butik itu ternyata butik yang menawarkan gaun dan setelan yang berkualitas dengan harga yang selangit. Believe turun, tak terlalu peduli, karena merasa hanya mengantar saja.

Namun, Magda menunggu di depan pintu masuk. Ia menarik tangan Believe dan mengalungkan tangannya di lengan Believe. Believe terkesiap, menundukkan wajah menatap lengan mungil yang melingkar di tangannya yang berotot.

Merasakan kecanggungan Believe, sambil mengurai senyuman, Magda mendesis, "Sudah, ikuti saja! Kalau muka Mas Bil kaya gitu, ketahuan ntar Mas Bil beli istri."

Believe mendesah. Lagi-lagi hanya menurut saja. Believe hanya membuntuti Magda saja, mengikuti instruksinya.

Seorang karyawan menyapa. Rupanya dia sudah menunggu Magda.

"Mas, aku fitting dulu. Mas Bil tunggu di sini ya?" kata Magda.

Tanpa menanti persetujuan Believe, Magda lalu mengekori karyawan butik yang akan membantu fitting gaun pengantin untuknya. Gaun itu mempunyai desain sederhana sesuai permintaan Magda. Namun, dibalik kesederhanaannya, mampu menonjolkan kepolosan dan keanggunan Magda.

Magda mengerjap berulang memandang bayangan dirinya di dalam cermin. Tarikan bibir lebar terukir di wajah ovalnya. Gaun itu membalut pas tubuhnya dengan indah. Magda memutar badan ke kanan dan ke kiri, membayangkan wajahnya dipoles dan ia berjalan menuju altar bersanding dengan Believe.

Namun, sedetik kemudian, kepuasan Magda menguap pelan. Ia masih merasa ada yang kurang. Pernikahan dengan gaun indah, resepsi mewah, terasa tidak lengkap. Seolah rasanya hambar seperti sayur tanpa garam. Magda tersenyum miris, menyadari bahwa pernikahannya tanpa ada cinta.

Magda menggeleng. Ia ingin kehidupan pernikahannya berjalan normal walau dimulai dengan ketidaknormalan. Mungkin Believe sekarang masih memandangnya sebelah mata. Namun, dalam hati Magda berjanji, tidak lama lagi Magda akan bisa mendapatkan hati Believe, sehingga lengkaplah kebahagiaan Magda menjalani kehidupan 'normal'-nya.

***

Tak terasa hari yang ditunggu Magda sudah tiba. Hari di mana dia akan memasuki kehidupan baru, dengan keluarga normal dan bebas dari pekerjaan malam. Pagi ini, Magda bahkan sudah bangun lebih pagi untuk bersiap diri.

Magda tak berhenti tersenyum dan bersenandung riang, berlomba dengan kicauan burung tetangga. Menyibak tirai jendela, ia menyambut matahari yang baru akan menyingsing dengan suka cita. Langit yang cerah, secerah suasana hati Magda yang berbunga seperti taman di halaman belakang yang kini sedang tumbuh bunga mawar kesukaan Felicia

Beberapa menit kemudian, make up artis yang akan merias Magda datang. Mendengar kedatangannya Magda bergegas menempatkan diri di depan cermin rias, siap dipoles wajahnya menjelma menjadi ratu sehari.

Melihat antusiasme anaknya, Felicia hanya bisa menggeleng kepala. Baru sekali ini, ia melihat kegembiraan Magda berasal dari hati. Tidak hanya senyum yang hanya berfungsi sebagai pajangan di wajah, seperti yang selama ini Felis lihat.

Begitu semua selesai dirias, dan sang pengantin perempuan sudah menggunakan gaun pengantin berikut veil yang menutupi wajah cantiknya, Felicia memasuki kamar.

Di balik kerudungnya, Magda tersenyum lebar saat melihat wajah maminya yang tidak kalah cantik sudah siap dengan gaun merah muda dan riasan natural. Memberitahu MUA untuk meninggalkan mereka, Felicia menarik kursi, duduk di samping Magda.

"Kamu bahagia, Magda?" tanya Felicia.

"Iya, Mi. Bahagia banget," ujar Magda.

"Kamu ... sayang bener sama Believe?" tanya Felicia.

"Sayang? Entahlah. Yang jelas Mas Bil harus sayang sama Magda. Bukannya Mami bilang kita jangan terlalu terbawa perasaan dengan laki-laki agar tidak sakit hati?" Felicia menarik bibir miring. Ia tahu anaknya sama cerdasnya dengan sang pemberi benih.

"Kalau kamu tidak sayang, kenapa menikah?"

"Apa aku harus seperti Mami? Sayang sama orang, dihamili tapi tidak dinikahi?" Lagi-lagi Magda selalu bisa membalikkan kata-katanya. "Aku hanya ingin hidup normal. Lepas dari bayang-bayang dunia malam. Yang penting Mas Bil cinta, bagi Magda itu sudah cukup." Batin Magda terasa getir. Bahkan ia baru akan berjuang mendapatkan hati Believe Ganendra.

Felicia mengangguk. "Iya. Yang penting Mas Bil mencintai kamu, kamu pasti aman bersamanya," kata Felicia meraih tangan Magda yang sudah terbalut kain renda brokat berwarna putih. Ia menepuk punggung tangan Magda, merasa bersalah karena tidak bisa memberikan kehidupan yang terbaik bagi Magda.

Magda mencelos, menatap ekspresi sendu maminya. Ia kadang berseteru dengan Felicia karena cita-cita anehnya. Felicia ingin ia kuliah tinggi-menjadi dokter misalnya-supaya hidupnya lebih baik, tak seperti dirinya. Namun, Magda justru mengambil kuliah gizi dan kursus boga. Alih-alih bekerja di rumah sakit atau resto, Magda justru ujung-ujungnya kembali ke club karena peristiwa tidak mengenakkan di tempat ia bekerja.

Sebentar lagi mimpinya terwujud. Ia akan meninggalkan dunia malam, ia akan meninggalkan maminya sendiri, mengejar harapan yang disepelekan banyak orang.

"Magda, janji sama Mami, kamu harus lebih bahagia. Ehm?"

Mendengar ucapan terakhir Felis, hati Magda tercubit. Ia tak ubahnya seperti sang ibu, yang menjual diri demi sesuatu yang ingin ia raih. Pernikahan megah yang akan diselenggarakan ini tak ubahnya hanya sandiwara.

Magda hanya mengangguk. Kehidupan normal yang akan dimulai dengan sesuatu yang abnormal semoga berakhir bahagia.

***
Ibu dan anak itu larut dalam pemikiran masing-masing menyadari setelah ini mereka akan berpisah. Rasanya baru kemarin, Felicia mengetahui kehamilannya. Rasanya baru beberapa hari lalu, ia melahirkan, menggendong dan menggandeng tangan kecil Magda. Kini ia harus melepas tangan putri yang selalu berseteru tapi tetap saja membuat ia bangga karena sikap dan kecerdasannya.

Suara dehaman berat menginterupsi mereka. Magda dan Felicia menoleh ke ambang pintu. Mata kedua perempuan itu membeliak melihat lelaki berumur menjelang lima puluh tahun tetapi masih terlihat macho sudah berdiri di depan pintu kamar.

"Daddy!!"

Seketika Magda berdiri dan menghambur ke pelukan Argo, Sugar Daddy yang selalu memanjakannya.

💕Dee_ane💕💕

Kuy, ikutan kelanjutan kisahnya di KBM. Part lengkap sampai tamat ada di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top