🌷10. Lamaran🌷
Keluarga Ganendra akhirnya sudah berada di dalam kendaraan roda empat yang akan membawa mereka ke rumah Magda. Jalanan yang lengang, berlawanan dengan suasana hati Believe yang dipadati gelisah. Lelaki itu tak berhenti menggigit sudut bibir bawah kirinya. Sesekali ia melirik ke arah spion tengah mobil saat mengendalikan kemudi, melihat ekspresi suka cita maminya bercakap dengan Cinde. Mami yang Believe sayangi, dan ingin Believe rawat di masa tua itu tak pudar kecantikannya walau kerutan menghias di paras. Riasan yang dipoles di wajah Joana oleh Cinde itu mampu menimbulkan kesan segar dan muda.
Embusan napas kasar Believe terdengar oleh Brave, dan disambut kekehan. Mendengar Brave yang tertawa ringan, Believe mendengkus. Kakaknya ini tak tahu beban pikiran yang ia tanggung akibat kecerobohan lidahnya, keputusan tak nalarnya. Orang lain pasti akan terkejut bila mengetahui kenyataan bahwa Believe membeli istri. Believe selalu dikenal anak yang baik sejak ia kecil. Anak kedua Joana ini cenderung kutu buku, tidak senakal kakaknya. Ia enggan berlaku di luar hal yang bisa menghambat cita-citanya. Urusan cinta? Believe tak ambil pusing. Toh Aileen yang katanya cinta, tega meninggalkannya.
Dan kini ia membuat keputusan besar yang tak akan ada jalan mundur bila sudah tercebur. Mengambil gadis di tempat hiburan untuk dijadikan istri. Gadis yang dalam gerak geriknya di pertemuan pertama telah mencuri perhatian Believe.
Lamunan Believe buyar saat Brave menepuk bahunya. "Perhatikan depan! Kamu membawa banyak nyawa," ujar Brave membuat Believe terkesiap.
Believe tersenyum sumir. Lidahnya kaku, malas banyak bicara. Ia terlalu tegang menghadapi lamaran hari ini.
"Kamu terlihat tegang, Bil," timpal Joana dari belakang.
"Pastilah, Mi. Ga nyangka aku bakal melamar anak orang secara resmi." Believe tidak berbohong. Ia memang tidak menyangka akan melamar Magdalena yang merupakan anak seorang mucikari.
"Jodohnya udah datang 'kan, Bil. Untuk apa lama-lama. Mami semakin menua, pengen lihat kamu menikah. Kalau sudah dapat yang cocok, ya diambil saja." Joana menanggapi.
Jodoh? Believe tak paham hal itu. Apakah ia benar berjodoh dengan Magda. Jodoh yang dipaksakan, karena harus dibayar? Kenapa harus dengan anak mucikari? Kenapa harus dengan wanita penghibur yang punya Sugar Daddy?
Believe tak bisa berhenti merutuk dalam hati. Ia merasa kepandaiannya selama ini, luruh begitu saja seperti santan yang keluar dari kelapa parut, saat jemari mungil itu meremas bagian tubuh kebanggaannya. Jemari yang setiap malam selalu menghampiri mimpi, menggoda imajinasi.
"Mami berharap Magda mengerti kamu, Bil. Kalau dengan Aileen, dia memang cantik dan pintar. Tapi kalau dengannya, Mami yakin dia akan mendominasi dan kamu seperti suami-suami takut istri."
"Aku cuma pengen istriku bisa mengerti Mami. Seperti Cinde yang bisa telaten merawat Mami."
.
.
.
Senyap di seluruh kabin. Senyum Joana terulas. Dari sewaktu Believe kecil, anak itu yang selalu bisa menyenangkan Joana. Tak pernah melakukan hal yang membuatnya kecewa. Anak bungsu yang selalu khawatir bila maminya sakit, sehingga ia bercita-cita menjadi dokter agar bisa merawat Joana.
Kepergian sang papi menorehkan duka bagi kedua putranya. Brave ketakutan akan tindakan medis, darah dan rumah sakit, sementara Believe cenderung berlaku takut kehilangan sang mami dan ia akan menjadi yatim piatu.
"Believe, Mas Brave … makasi sudah menjadi dua jagoan Mami. Mami merepotkan kalian ya?"
Alis Joana mengerut. Matanya mulai memerah. Ia menengadah mencegah air matanya gugur. Bukan maksud Joana ingin merepotkan anak-anaknya dengan berganti-ganti perawat, hanya saja tidak semua orang bisa menerima sikap tegas dan kerasnya. Mungkin bila menantu Joana bukan Cinde yang berani menghadapinya, pasti akan mundur teratur.
"Di hari bahagia Om Bil, kok malah melankolis gini sih?" Cinde menengahi. "Mami ga merepotkan! Cuma seringnya rewel ngalah-ngalahi Brain."
"Iya kah? Kapan Mami rewel? Kamu ini yang kadang susah dikasih tahu, Cin! Mami ga suka makanan tawar, masih aja dikasih tawar." Joana yang keras tak terima mendengar ucapan Cinde. Ia melupakan begitu saja rasa sendunya.
"Nah itu namanya rewel! 'Kan Mami harus ikut nasihat dokter. Lagian yang Cinde dan mbak perawat lakukan demi Mami. Mami loh dokter, harusnya tahu."
"Kamu nyeramahin Mami, Cin?"
Dan, perdebatan menantu dan mertua itu tak terelakkan. Sedang kedua anak lelaki Joana itu hanya saling memandang.
"Semoga Magda ga separah Cinde kalau mendebat Mami." Believe mendesah panjang.
"Cinde sengaja tuh Bil. Katanya mending Mami diajak ngobrol gitu daripada duduk termenung kosong. Ujung-ujungnya mereka kan berpelukan. Tuh lihat, lihat ... udah kaya teletubbies aja 'kan mereka."
Manik mata Believe bergulir menatap bayangan dua perempuan yang kini sudah tertawa berdua dengan Cinde merangkul maminya. Obrolan mereka pun sudah berganti.
***
Setengah jam kemudian, mobil SUV hitam milik Believe sudah terparkir di depan rumah Magda. Perkenalan antar keluarga itu sekaligus untuk melamar Magda menjadi istri Believe.
Senyum Felicia mengembang melihat tamu yang ditunggu telah datang. Ia dan putrinya menyongsong rombongan keluarga Ganendra. Felis bahkan membukakan pintu.
Joana membalas senyuman Felicia begitu pintu terbuka. Sambil menunggu Brave menurunkan kursi roda, matanya mengedarkan pandang, terpukau dengan kemewahan rumah orangtua Magda.
"Selamat datang, Bu Joan. Saya Felis, maminya Magda."
Joana mengerjap berulang di balik kacamatanya. Menatap raut wanita yang terlihat muda. Kulit Felis yang putih, sehalus porselen. Belum lagi, dalam jarak sedekat itu, Joana bahkan tak mendapati kerutan di wajah. Pasti perawatannya sangat telaten, pikir Joana.
"Pantas Magda cantik. Lha wong maminya cantik seperti ini. Saya pikir malah kakaknya," puji Joana membuat Magda tersipu. Bibir Magda mengerucut. Dengan wajah sedikit menunduk, Magda menyibakkan rambutnya ke belakang telinga, memperlihatkan anting mutiara hitam.
Manik mata Joana juga berbinar saat Magda menyambutnya dengan mencium punggung tangannya. "Ayune, Nduk! Pantas Bil kesengsem sama kamu." Ibu dan anak gadis itu sama-sama berbunga batinnya, mendengar sanjungan bertubi Joana.
Kursi roda telah disiapkan, Brave kini membopong maminya dan mendudukkan di atas kursi roda.
"Mari masuk. Kita bercakap di dalam." Tak sungkan, Felis mendorong kursi roda yang diduduki besannya, memimpin rombongan masuk ke ruang tamu luas.
Joana dan Felis walau selisih umurnya cukup jauh tapi bisa saling bercakap dengan asyik. Believe berpikir mungkin karena kebiasaannya melayani klien dengan keramahan apa pun kondisinya sehingga memang Felis terlihat sangat luwes.
Believe melirik Magda yang berjalan di sebelahnya. Mereka berjalan bersisihan tapi justru terlihat canggung seperti baru mengenal. Lidah Believe kelu saat penglihatannya disuguhi oleh penampilan Magda yang terlihat anggun. Dengan balutan kebaya, dan rok batik selutut. Sandal berhak 7 cm sebagai alas kaki yang bisa menambah tinggi gadis kecil yang menggemaskan di mata Believe.
Belum lagi riasan di wajahnya yang menonjolkan mata innocentnya. Dalam sekali kerjap, hati Believe berdesir. Jantungnya yang berdegup kencang mendobrak rusuk dadanya. Napasnya tersengal sesaat seperti orang yang asma, hanya melihat kerlingan matanya. Sungguh, pesona Magda tak terelakkan bagi kaum adam.
Rambut coklat Magda yang mengkilat digerai seperti biasa, menguarkan harum wangi pisang yang sudah terbiasa Believe hidu. Parfum beraroma musk yang semerbak harum, telah dihafal oleh penciuman Believe sebagai aroma khas milik Magda.
"Mas Bil, kok diam?" Bibir mungil dengan lip tint nude itu bergerak-gerak mengundang gerakan jakun Believe naik turun. "Mas …."
Panggilan Magda untuk kedua kali, menyentak kesadarannya. "Y … ya?"
"Mas Believe tegang?" tanya Magda.
"Tegang? Ngga, biasa aja tuh."
Magda terkikik. Ucapan Believe tidak sesuai dengan ekspresinya. Otot wajah lelaki itu berkontraksi, susah menampakkan senyum.
"Kamu … kelihatan santai?" Believe merasa nada kekehan Magda mencibirnya.
"Untuk apa tegang? Ini 'kan seperti melayani seorang tamu. Kalau terlalu tegang, klien tidak akan puas."
Believe mengeratkan rahang. Menelan ludah kasar. Dia hampir lupa Magda berlatar belakang anak mucikari, bekerja di tempat hiburan malam. Bodohnya Believe, ia jatuh dalam daya pikat Magda.
"Ayo, Mas!" Magda menggandeng Believe yang hanya melongo saja. Ia mengikuti tarikan jari Magda.
Senyuman yang menguak kilau berlian di taring Magda, menyihir Believe. Otaknya seolah beku tak mampu berpikir. Tak ada lagi Believe yang pintar dengan IPK cum laude. Tak ada lagi Believe yang lebih mengandalkan logika. Dan di hadapan Magdalena, dia hanyalah seorang Believe Ganendra. Tanpa gelar dokter, berikut spesialisnya.
Percakapan para orang tua, tetap saja membuat Believe gelisah. Bola matanya bergulir ke kanan dan ke kiri, sesekali mengusap dagunya yang licin. Berulang ia membasahi bibirnya dengan ujung lidah karena terasa kering.
Telinganya tak berhenti menangkap semua jawaban Felisia saat Joana bertanya, layaknya seorang polisi mencari fakta.
"Wah, bener yang punya Taste Bud ya? Saya ga nyangka besanan dengan pemilik resto yang terkenal." Ada nada sumbang di dalam ucapan Joana.
Believe menyipitkan mata, mengerling memperhatikan ekspresi maminya. Peluh tipis mengalir di dahi. Ada kekhawatiran sang mami akan mendatangi Taste Bud tiba-tiba.
Ah, Bil. Gimana Mami mau ke Taste Bud? Jalan aja susah?
Tetap saja batin Believe tak tenang. Namun, justru Believe semakin membeliak saat Felis menanggapi dengan ramah. "Wah, kapan-kapan ya, Bu. Nanti saya traktir ke sana."
"Menu andalannya apa di sana?" Joana menyambut dengan pertanyaan lain.
"Ehm, bistik ayam tempo doeloe, Mi. Mami tahunya beres aja restonya," sahut Magda, seolah memang dia manager di sana.
"Kamu ga papa keluar dari resto, Magda?" tanya Joana.
"Iya, Mi. Kalau sama-sama sibuk kerja, kasihan Mas Believe ga ada yang memperhatikan. Lagian biar bisa bantuin Mami juga." Magda menjawab dengan mata berbinar.
"Jadi, lamaran Believe diterima nih?" tanya Joana.
Magda mengangguk kecil dengan bibir mengulum senyum dan bola matanya mengerling manja pada Believe.
"Nanti siapa yang jadi pengganti papinya Magda?" tanya Joana.
"Ada Om Argo, Mi. Kakaknya Papi," ujar Magda.
"Beliau ga ikut ke sini hari ini?"
Felicia gelagapan saat ditanya tentang pendamping.
"Tidak, Mi." Magda masih tenang menjawab. Namun, Believe merasa ada yang aneh dengan reaksi Felisia. Seolah ada raut tak setuju di matanya. "Sayangnya beliau ada acara di luar kota hari ini."
Mimik kecewa tampak di wajah Joana. Entah kenapa Believe merasa seolah Joana sekarang bertindak sebagai penyidik yang mengorek keterangan antar saksi dan mencocokkan satu sama lain. Believe mendengkus, sifat maminya begitu detail. Mata Joana seperti mata induk elang yang mengawasi anak-anaknya dari udara. Tak akan ada satu pun yang luput dari pandangannya.
Menjelang waktu makan siang, para tamu dipersilakan untuk menikmati makanan yang cukup mewah. Believe merasa pernah memakan salah satu menunya di Heaven's Coast. Mungkin mereka menyuruh chef di sana untuk memasak hidangan jamuan lamaran ini.
Setelah selesai makan, saat Joana dan Felis bersama Cinde diajak ke taman belakang, Believe menarik Magda ke sudut ruang tengah. Matanya tampak waspada meyakinkan tak ada yang mendengar pembicaraan mereka.
"Magda, aku penasaran siapa Om Argo? Bukannya kamu bilang ga ada keluarga lain," tanya Believe.
"Om Argo ya si Daddy," jawab Magda santai setelah menelan minuman yang disedotnya.
"Dad … daddy? Sugar … Daddy?" tanya Believe terbata dengan suara mencicit karena tenggorokannya seperti tersekat.
Mata Believe kini membelalak sempurna saat melihat gerakan kepala Magda mengangguk pelan.
💕Dee_ane💕
Hai, Deers! Penasaran dengan lanjutan cerita ini? Silakan mampir ke KBM dan KK yak. Di sana sudah sampai part akhir.
Semoga saya juga bisa menghibur temen2 readers dengan cerita yang lebih bermutu.
Jangan lupa vote n komennya ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top