Tujuh

Beri taburan 🌟🌟🌟🌟🌟 biar kisah ini bersinar 🌝🌝☀️

Thank you, happy reading

"Mas, tapi ini masih sore ...."

"Sejak kapan owner harus pulang bersama karyawan?" Alva melangkah keluar cafe dengan memberi isyarat agar Safira menyusul. Tergesa ia mengikuti langkah Alva, setelah berpamitan pada karyawan. Pria dingin itu menatap lurus di belakang kemudi. Ia hanya melirik sekilas saat Safira masuk. Mobil meluncur meninggalkan cake shop.

Tak ada percakapan sepanjang perjalanan hingga mereka tiba di rumah. Seperti biasa jam segini rumah masih sepi. Hanya terdengar nyanyian burung peliharaan Pak Yuda. Tak ingin berlama-lama berdua dengan pria itu, cepat Safira keluar mobil. Suara klakson dari mobil belakang membuatnya tersentak. Renyah tawa Tyo dari dalam mobil melihat ekspresi gadis itu.

"Ih, Mas Tyo! Ngagetin ah!" serunya mengusap dada dengan wajah mencebik.

"Sorry! Tumben pulang sore," Lelaki berpenampilan rapi itu melangkah menjajari Safira. Gadis itu tak menjawab ia hanya melirik Alva yang masih berada di balik kemudi. Tyo kembali terkekeh kemudian mengajak gadis berkaki jenjang itu masuk ke rumah.

Lantai berwarna abu-abu dan dinding marmer berwarna coklat itu terlihat mengkilat bahkan tak jarang Safira menggunakan untuk berkaca sekedar merapikan rambutnya. Seperti sore ini, sekilas ia merapikan rambut, hal itu ditangkap oleh sepasang mata teduh milik Tyo. Pria jangkung itu menarik bibirnya.

"Ngaca? Tuh ada cermin," cetusnya menunjuk cermin berukuran besar di ruang tengah. Menahan malu, cepat ia berlari menuju kamar.

Tyo menggelengkan kepala, meletakkan tubuh ke sofa. Sudut matanya menangkap sang adik baru masuk langsung menuju dapur. Ia tahu sang adik sedikit kesal melihat kejadian barusan. Lelaki itu melihat ekspresi yang berbeda dari wajah Alva. Sambil mengendorkan dasi ia menghampiri adiknya yang tengah duduk di ruang makan.

"Ehm, jadi gimana?"

Malas Alva melirik Tyo.

"Gimana apa?"

"Sudah bicara ke ibu tentang ...."

"Belum!" sergahnya lalu menandaskan air putih di depannya. Lelaki berlesung pipi itu tertawa mendengar jawaban adiknya. Ia sudah bisa menebak bahwa sang adik tidak akan berani meminta sang ibu untuk membatalkan rencana itu.

"Nggak lucu, Kak!" gerutunya kesal. Tawa Tyo semakin kencang melihat kekesalan lelaki yang empat tahun lebih muda darinya itu. Alva mendengkus beranjak meninggalkan sang kakak yang masih terkekeh.

Sedikit berlari ia menaiki tangga menuju kamar. Di saat bersamaan Safira keluar kamar dan hampir saja mereka bertabrakan.

"Ck, kamu lihat apa sih!" ucap Alva geram melihat gadis berambut panjang di depannya.

"Maaf, Mas. Saya mau ...."

"Mau ke mana?" selidiknya.

Gadis berdagu lancip menatap Alva heran.

"Mau ke dapur, nggak boleh?"

Alva tak menjawab, ia melanjutkan langkah menuju kamar seraya menyugar rambut.

🍓🍓

Selepas makan malam, Safira duduk sendiri di teras menikmati gemericik air dari kolam ikan di halaman. Bu Santi dan Pak Yuda belum tiba. Suara dedaunan menyapa menemaninya.

"Safira, ibu yakin nanti kamu akan sukses, Nak." Ucapan ibunya terngiang kembali. Ia dilahirkan bukan dari golongan orang mampu. Kedua orang tuanya harus membanting tulang menjadi buruh di kebun milik Eyang Fatima, untuk membiayai sekolah. Keinginan untuk membahagiakan ibu bapaknya harus kandas saat mereka berdua dipanggil Tuhan secara bersamaan. Keduanya tertimpa longsor saat bekerja.

Ada bulir bening jatuh di pipinya. Saat Tyo muncul.

"Ngelamun?" sapanya menatap dengan kening mengernyit, "kamu nangis? Kenapa?"

Cepat gadis itu mengusap pipi kemudian tersenyum.

"Ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Nggak ada, Mas. Saya hanya rindu almarhum ibu bapak saya," jawabnya pelan. Lelaki itu mengangguk paham. Tak ingin melihat Safira sedih ia mencoba menghibur mengajak gadis itu jalan-jalan.

"Ada ice cream enak yang baru buka di dekat taman nggak jauh dari komplek ini, ikut aku yuk!" ajaknya bersemangat. Gadis itu terlihat ragu, lalu cepat ia tersenyum dan beranjak mengikuti langkah Tyo menuju mobil.

"Kamu suka ice cream?" Tyo bertanya saat mereka berdua telah berada di dalam mobil. Safira mengangguk bercerita bahwa dia sangat jarang menikmati makanan itu.

"Kamu bisa beli dan menikmati sebanyak yang kamu suka nanti," tutur pria yang tengah fokus mengemudi itu.

"Nanti saya gemuk, Mas!" tukas Safira tertawa.

"Emang kalau gemuk, kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa, sih. Tapi kalau gemuk nanti jadi berat mau ngapa-ngapain," selorohnya tertawa lirih.

Tak lama mereka sampai di tempat yang di maksud. Taman itu lebih tepat dinamakan tempat bermain buat anak kecil. Ada banyak permainan di sana, dari jungkat-jungkit hingga mandi bola.
Lampu -lampu menghias setiap sudut, suara teriakan dan canda anak kecil terdengar.
Para penjaja makanan tak kalah ramai. Dari makanan tradisional seperti kue rangi, kerak telor hingga yang kekinian seperti burger, crepes dan lainnya. Mata indah Safira berbinar melihat pemandangan di depannya.

"Kamu mau main itu?" tawar Tyo menunjuk permainan seluncuran tak jauh dari tempat mereka berdiri. Wajah gadis itu merona menahan malu.

"Ih, Mas Tyo, itu 'kan permainan untuk anak kecil!" ujarnya mencebik menepuk lengan pria di sampingnya. Tyo terkekeh lalu mengajak ke sebuah kedai ice cream.

Suasana homy menyambut mereka. Kedai itu tak terlalu besar. Semua terbuat dari kayu, dari mulai bangunan hingga meja dan kursinya. Kedua orang itu mengambil duduk di dekat jendela. Setelah memesan dua porsi ice cream mereka berbincang sambil menunggu pesanan datang.

Tyo menanyakan kenapa Safira pulang lebih awal tadi. Awalnya ia enggan menjelaskan, setelah didesak akhirnya ia menceritakan hal yang terjadi.

"Kenapa kamu nggak terima? Itu kesempatan karir yang bagus loh!" tanya Tyo seraya mengucapkan terima kasih saat pramusaji mengantar pesanan mereka.

"Saya nggak berani, Mas. Lagian saya belum bicara ke ibu," jelasnya sambil menyendokkan ice cream coklat ke mulutnya.

"Kenapa nggak bilang? Bilang aja, ibu pasti senang dan setuju. Apa aku yang sampaikan?"

Safira menggeleng, kemudian tersenyum. Tyo menautkan alisnya seolah sedang menerka sesuatu.

"Alva jangan-jangan yang larang kamu ya?"

"Nggak, Mas! Nggak ada yang melarang saya kok."

"Kamu yakin?" Tyo kembali bertanya seolah tak percaya.

Safira mencoba meyakinkan pria di depannya. Tak ingin membuat gadis itu serba salah, Tyo mengangguk mencoba percaya. Meski hati kecilnya merasa bahwa sang adik telah melarang Safira.

"Mau nambah?" Ia melirik ke mangkuk ice cream cokelat milik Safira yang telah tandas.

"Emang boleh?"

"Siapa yang ngelarang? Kan tadi aku sudah bilang kamu boleh makan sepuasnya," balas Tyo tersenyum. Gadis itu tersenyum lebar kemudian mengangguk. Tyo memanggil pelayan untuk kembali memesan seporsi  makanan beku yang terbuat dari produk susu itu.

"Kita jalan ke sana yuk!" ajak Tyo menunjuk ke arah air mancur di ujung taman.
Gadis itu mengangguk, mereka berjalan berdampingan. Taman masih ramai, maklum besok adalah hari minggu. Banyak keluarga yang menghabiskan waktu bersama di tempat ini.

"Kamu pernah pacaran, Safira?" tanya Tyo memberi isyarat agar gadis itu duduk di bangku taman dekat dengan air mancur. Mendengar pertanyaan itu ia hanya menggeleng sambil tersenyum.

"Saya tidak punya waktu untuk itu, Mas!"

Tyo mengangkat bahu tersenyum.

"Oh ya?"

Safira mengangguk, ia melangkah mendekati air mancur. Jemari lentiknya bermain-main di sana. Pria berkemeja hitam itu mendekat.

"Sudah hampir tiga bulan saya di sini, Mas. Saya merindukan bermain di bawah gemericik air terjun di kampung, berlari di pematang sawah, bersama teman menjemur gabah ...." Mata beningnya menatap lurus. "Mas tahu, itu sangat menyenangkan," imbuhnya tersenyum.

"Kamu merindukan itu semua?"

Safira mengangguk menoleh ke arah Tyo.

"Kamu ingin berkunjung ke sana?" Kembali ia mengangguk.

Tyo mengangguk tersenyum seraya menepuk bahu Safira lalu mengajaknya pulang.

🍓🍓🍓

Hari Minggu pagi biasanya Safira ikut menyibukkan diri di dapur bersama Mbok Mirah. Perempuan seusia ibunya -jika masih hidup- itu sangat menyenangkan. Menurut Mbok Mirah ia memiliki seorang putri yang sebaya dengan Safira. Putrinya kini tengah bekerja di luar kota, dan pulang sebulan sekali. Kehadiran Safira menjadi pelipur rindu perempuan paruh baya  tersebut.

Tengah asik membantu membuat sarapan bersama Mbok Mirah, namanya dipanggil. Gadis itu menoleh.

"Mas Alva? Ada apa?" Matanya membulat lalu cepat menutup dengan kedua tangan saat melihat pria bertelanjang dada di depannya.

"Kamu siap-siap jam sembilan nanti, akan ada teman-temanku datang  ke cafe!" ucapnya acuh tak peduli dengan ekspresi gadis itu.

"Tapi kan kalau minggu saya nggak ke cafe, Mas?" ungkapnya masih dengan tangan menutup wajah.

"Ck! Bisa kan kamu temani aku hari ini? Eum maksudku, kamu kan owner, aku minta hari ini kamu bisa datang. Sekalian promosi!" Tanpa menunggu jawaban Safira lelaki berhidung mancung itu melangkah kembali ke kamar.

Gadis itu menghela napas kemudian kembali melanjutkan membantu memotong sayuran.

"Sebaliknya kamu mengikuti keinginannya, Nak. Mas Alva itu beda dengan Mas Tyo," bisik Mbok Mirah mendekat.

"Tapi kan kalau minggu, saya libur, saya  ingin merawat bunga anggrek di halaman belakang, Mbok," keluhnya.

Mbok Mirah menggeleng memberi isyarat untuk mengikuti keinginan lelaki putra ke dua Bu Santi itu.

🍓🍓🍓

Memakai dress panjang putih dengan corak bunga kecil berwarna kuning dengan rambut dibiarkan tergerai, Safira siap berangkat. Kaki jenjangnya memakai sandal flat berwarna hitam pemberian Bu Santi. Alva sudah berada di mobil dengan t-shirt putih dan celana jeans biru gelap. Tanpa menunggu aba-aba ia masuk duduk di belakang. Tak seperti biasa, ia duduk di depan. Sengaja Safira melakukan itu sebagai bentuk protesnya.

"Kenapa di belakang? Aku bukan sopir!" sentaknya dingin, "cepat pindah!" sambung Alva menoleh ke belakang. Kemarahan pria itu tak urung membuat Safira gentar. Dengan berat hati ia mengikuti perintah itu.

Mobil meluncur pelan, Safira diam menatap ke luar jendela.

"Semalam ke mana aja sama Mas Tyo?" tanyanya dingin tanpa menoleh.

🍓🍓🍓

Udahaaan ...

Thank alot udah setia sampai di titik ini.
Aku suka berteman, semoga bisa terus begitu yaa ...
Love you all 🤗😘
Tetep colek jika typo😁



























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top