Tiga belas
Cicit burung di pohon depan jendela Alva memaksa pria itu membuka mata. Sejenak ia mengumpulkan kesadaran, melirik arloji kemudian kembali bersembunyi di balik selimut. Baru saja ia berniat melanjutkan mimpi, seolah tersadar segera pria itu bangkit. Mengusap wajah, masuk ke kamar mandi.
Alva keluar dengan wajah segar. Ia menatap seluruh ruangan, sepi. Ia menuju ruang makan, sudah tersedia hidangan di meja. Pria itu hanya meneguk air putih kemudian keluar rumah.
Suasana pagi di desa adalah hal baru baginya. Anak-anak berlarian dan tertawa lepas di halaman rumah mereka yang masih luas. Iringan petani berangkat ke sawah membawa pikulan dan tentengan dengan wajah ramah membuat bibir Alva ikut membentuk pisang.
"Pagi, Mas Alva. Semoga tadi malam tidurnya nyenyak," sapa Pak Sholeh yang baru saja tiba dengan membawa seikat singkong.
"Eh, pagi, Pak. Iya ,saya bisa tidur nyenyak, kok. Eum ...."
Seolah tahu apa yang ingin pria itu katakan, Pak Sholeh menjelaskan bahwa Safira masih di kebun bersama istrinya.
"Atau, Mas Al mau nyusul ke sana? Ayo kalau mau, sekalian ngajak pulang, sepertinya hujan mau turun," tuturnya menatap langit yang memang sudah mulai gelap.
Terlihat ragu di wajahnya, tapi ia teringat ini adalah cara supaya dirinya bisa dekat dengan Safira. Dengan anggukan tegas ia mengikuti langkah Pak Sholeh.
Kebun yang di tuju tidak dekat, untuk sampai ke sana harus melewati persawahan terlebih dahulu. Hal itu tidak masalah bagi Alva. Dirinya sudah terbiasa berolah raga. Namun, yang jadi masalah adalah kakinya menjadi tidak bersih lagi, karena melewati tanah becek dan berlumpur.
"Pak, apa tidak ada jalan lain selain lewat sini?"
Pak Sholeh mengatakan ada, tapi akan semakin jauh sebab mereka harus mengambil jalan berputar.
"Sebentar lagi kita sampai, Mas. Kemarin Mas Tyo juga jalan ke kebun," tuturnya tanpa menoleh. Alva mendengkus mengetahui sang kakak telah lebih dulu ke tempat itu.
"Bersama Safira, Pak?" Pertanyaan aneh itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Pak Sholeh mengangguk, tak menghiraukan mimik muka Alva yang bercampur aduk.
Setelah lama berjalan, akhirnya mereka sampai di kebun. Ada banyak pohon buah-buahan di sana. Belimbing, rambutan dan mangga hampir semua berbuah. Matanya menyapu mencari sosok cantik.
Pandangannya berhenti melihat gadis yang baru saja turun dari pohon dan tertawa lepas dengan Bu Sholeh. Lalu ia tampak sedang mengumpulkan rambutan dalam satu keranjang bambu. Rambut hitamnya dikuncir tinggi ke belakang menampakkan lehernya yang jenjang.
"Itu Safira, Mas."
"Eh, i_ya, Pak," sahutnya gelagapan saat tahu Pak Sholeh sejak tadi menatapnya. Mereka berdua mendekat. Mata Safira membulat melihat Alva ada di tengah-tengah mereka.
"Mas Al?"
"Iya, saya ajak ke sini, tadi nyariin kamu, Safira," jelas Pak Sholeh ditanggapi senyuman serba salah oleh Alva. Gadis itu hanya melirik sekilas kemudian melanjutkan mengumpulkan rambutan yang masih tercecer di tanah.
"Aku bantu?" tanyanya saat kedua suami istri itu memilih memetik belimbing. Safira hanya mengangguk. Dengan senyum lega ia membantu.
"Mas."
"Ya?"
Safira menunjuk satu pohon rambutan yang masih rimbun buahnya.
"Mas Al bisa manjat, 'kan?"
"Eum ... aku manjat ke sana?"
Tersenyum, gadis itu mengangguk. Matanya tampak lucu mengawasi gerak-gerik Alva. Pria itu tersenyum tampak tengah berpikir.
"Kalau Mas nggak mau, biar saya aja!" Gadis itu berniat kembali memanjat.
"Eh, Jangan, aku aja!" cegahnya menarik lengan Safira, hingga tubuh mereka saling menempel.
Keduanya saling tatap, ada banyak arti di mata Alva untuk gadis itu. Rimbun dedaunan serta embusan angin lembut ditambah dengan kicau burung membuat mereka hanyut dalam suasana. Perlahan Alva mendekatkan bibirnya sehingga menempel ke bibir Safira.
"Mas Al, Safira! Mendung makin tebal, sebaiknya kita pulang sekarang ...," teriak Pak Sholeh dari kejauhan. Bergegas keduanya membuat jarak. Alva menatap langit, semakin gelap. Meski seharusnya matahari pagi masih berpijar.
"Iya, Pak. Kami segera pulang," balasnya dengan tangan menggenggam erat lengan Safira. Pak Sholeh mengisyaratkan ia dan istri pulang terlebih dahulu. Alva membalas dengan isyarat juga anggukan. Bibirnya tersungging senyum. Pria itu melirik Safira yang masih berada di sampingnya.
"Kita bawa keranjang ini ke pondok situ" tutur gadis itu menunjuk satu saung yang terletak tidak jauh dari tempat mereka. Alva mengangguk mengangkat satu keranjang besar berisi buah rambutan.
Perlahan langit mulai memuntahkan airnya. Petir dan guntur mulai menyapa langit. Mereka berdua berteduh di saung sama seperti beberapa waktu lalu. Safira menatap langit tak peduli dengan manik hitam Alva yang sedari tadi mencuri pandang padanya.
"Safira!"
"Ya, Mas?"
"Kamu serius mau tinggal di sini seterusnya?"
Gadis itu menoleh lalu mengangguk.
"Lalu cafe milikmu?"
"Saya sudah menyerahkan semua pada orang yang saya percaya. Jadi ... saya tidak perlu ada di sana sepanjang waktu."
Alva mengangguk mengerti.
"Apa kabar Mbak Luna, Mas?" Safira menatap tersenyum.
Pria itu mengangkat bahu kemudian menggeleng. Ia seolah enggan membahas nama itu.
"Kamu sendiri gimana?"
"Gimana apanya?" Safira menatap Tek mengerti.
Alva tersenyum berkata, "setelah kita tidak lagi bertunangan ... apa kamu berniat untuk menjalin hubungan dengan seorang pria?"
Safira tertawa kecil. Ia mengatakan tak pernah memikirkan hal itu.
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Entah, Mas. Saya percaya saja jika Tuhan akan mendatangkan seorang yang tepat di saat yang tepat!" timpalnya tegas.
"Kamu pernah mencintai seseorang?"
Safira terdiam. Sekian lama sendiri, kemudian di tunangan dengan pria yang tidak menyukainya membuat dirinya sedikit kehilangan rasa percaya diri. Namun, rasa itu berubah saat kenal dengan Deva juga dekat dengan Tyo. Baginya keduanya telah membuat rasa percaya dirinya muncul. Meski ia masih tidak bisa merasakan jatuh cinta.
"Kenapa diam? Atau jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan apa, Mas?"
"Jangan-jangan kamu sedang jatuh cinta sekarang?" goda Alva mencoba mencairkan suasana.
Safira tersenyum tipis.
"Emang kenapa kalau sekarang saya jatuh cinta?" Ia balik bertanya.
Mata Alva kali ini lekat menatap gadis itu. Menikmati wajah bersih kemerahan tanpa makeup membuatnya senang berlama-lama memandangi Safira.
"Mas! Kenapa sekarang Mas yang bengong?"
Safira tersenyum menatap Alva, meski tahu pria itu sejak tadi tak henti mengamati dirinya.
"Jadi serius kamu sedang jatuh cinta?"
"Pertanyaannya, emang ada yang mau saya cintai? Saya hanya perempuan kampung, tidak punya siapa-siapa ... kalau boleh jujur, saya takut mencintai seseorang, Mas." Mata bening itu terlihat mengembun.
"Kenapa kini justru aku yang takut mencintaimu, Safira," batinnya.
Petir dan guntur tak lagi ada, tapi hujan masih deras mengguyur.
"Kita pulang yuk!"
"Tapi masih hujan," tolak Alva.
"Kita hujan-hujanan!" usul gadis itu dengan senyum manis.
Pria itu mengusap tengkuk ragu.
"Hujan-hujanan?"
Dengan mata berbinar, Safira mengangguk.
"Oke!"
Mereka berdua berjalan membelah hujan. Tawa Safira tak bisa ditahan saat Alva berkali-kali hampir jatuh terpeleset karena lumpur. Tapi tak berapa lama justru Safira yang hampir terjatuh jika tidak ditahan oleh tangan kokoh Alva. Sehingga tubuhnya berada dalam dekapan lelaki itu.
"Makasih, Mas." Gadis itu mencoba melepas dekapan.
"Tunggu! Tidak bisakah kita begini lebih lama sebentar saja?" pinta Alva di bawah guyuran hujan.
Safira tak sanggup menghindar dari tatap tajam pria itu. Kembali mereka saling menyelami netra.
"Kita pulang, Mas," pintanya lirih.
"Oke, pegang tanganku erat. Jangan sampai kamu terpeleset!" perintahnya dijawab anggukan oleh Safira.
***
Keinginan Alva untuk bisa lebih dekat dengan gadis itu mulai terwujud. Setiap hari ia selalu mengikuti kegiatan Safira. Ada hal baru saat ia berada di desa. Lumpur becek sudah tak ia anggap sesuatu yang menjijikkan lagi. Bermain bersama anak-anak kampung kini menjadi kebiasaannya.
Semakin dekat dengan Safira, semakin bisa merasa mencintai gadis itu. Jika dulu ia bisa dengan mudah mengungkap perasaan cinta pada perempuan mana pun, tapi tidak kali ini. Selain malu, ia juga kehilangan rasa percaya diri jika mengingat seperti apa dia dulu terhadap Safira.
Tak terasa dua minggu sudah ia di desa. Tentu saja hal itu membuat Pak Yuda berang. Sebab ia ditegur oleh atasan Alva yang notabene adalah sahabatnya.
"Aku besok kembali, kamu mau ikut?" tanyanya saat mereka berdua di ruang makan.
"Nggak, Mas. Tempat saya di sini."
Alva sebenarnya enggan meninggalkan gadis itu. Ia mencari cara bagaimana agar Safira ikut ke kota dengannya.
"Kamu nggak kangen ibu?"
"Saya hampir setiap hari video call dengan beliau sebelum tidur."
Alva mengernyit.
"Video call setiap malam?"
Ia mengangguk tersenyum.
"Kamu nggak pernah cerita?"
"Video call biasa aja kok, Mas. Tapi memang ibu akan mengajak ke kota untuk ...." Safira menggantung kalimatnya.
"Untuk apa?"
"Untuk menikah ...."
"Menikah?"
🥀🥀🥀
Eiittssss ... Udin lewat dulu yaa😁🤭
Hayooo, apa lagi niih🤣🤭
Eh iya, colek jika typo 😍
🌷🌷
Alva terkaget-kaget 😅🙈
Yodah see you next time. Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa klik bintang dan komentar yaa😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top