Satu


Hai, Guys. Cuma mu ngingetin sebelum baca kisah ini , sebaiknya memupuk kesabaran nya😁. Sebab pe er aku banyak. Ide liar bermain di kepala sayang kalau dibiarkan.

Mendung masih menggantung saat baru saja perempuan tua yang biasa ia panggil eyang putri itu dikebumikan. Safira duduk terpekur di kursi yang biasa dia dan sang putri duduk menikmati senja. Dirinya sudah begitu menyatu dengan wanita tua itu. Bagi dirinya, Eyang Fatima adalah pengganti orang tua. Sejak peristiwa kecelakaan tujuh tahun silam yang menewaskan kedua orang tuanya, gadis berkulit kuning langsat itu menjadi sebatang kara.

Kedua orang tua Safira adalah petani penggarap sawah milik Eyang Fatima. Meski keadaan ekonomi yang tidak begitu baik, ia tetap bisa sekolah hingga lulus SMA di desa kecilnya. Saat ditinggal bapak ibunya, Safira baru saja mengikuti ujian akhir sekolah.

Kejadian pilu itu sempat membuatnya patah arang. Namun, Allah menolongnya melalui majikan kedua orang tuanya. Ia bekerja di rumah besar Eyang Fatima sebagai asisten yang melayani perempuan tua itu hingga ia di panggil Tuhan.

Usapan lembut di bahu membuat Safira terkejut. Di hadapannya seorang ibu tersenyum menatap. Seraya menyusut air mata ia mengangguk hormat.

"Ibu Santi," lirihnya beranjak dari kursi, tapi cepat perempuan bijak itu mencegah.

"Duduk saja, ibu mau bicara," ungkapnya seraya menjajari Safira. Gadis berambut panjang itu merapikan posisi duduk. Jemari lentiknya saling bertautan.

"Safira, ibu ingin kamu ikut ke kota, kamu tinggal bersama ibu di sana," ungkap Ibu Santi mengusap punggung Safira. Gadis berkaki jenjang itu mengangkat wajah tak percaya menatap perempuan setengah baya tengah tersenyum di sampingnya.

"Saya bekerja di rumah Ibu?" tanyanya ragu. Masih dengan senyum, perempuan itu menggeleng.

"Ibu saya pernah cerita kalau kamu pintar membuat kue?"

Wajah Safira berbinar kemudian mengangguk. Ibu Santi menawarkan agar ia membuka cake and coffe shop di komplek tempat tinggalnya.

"Kebetulan ada kios dijual di sana, kamu bisa memulai usaha toko kue juga cafe, bagaimana?"

Tawaran itu tentu saja membuat dirinya bahagia, meski ada percik duka di hati. Mengingat ia akan meninggalkan desa tempat ia dibesarkan.

"Kamu nggak perlu khawatir, kamu bisa sesekali datang ke tempat ini. Rumah ini juga sudah seperti rumahmu kan?" ujar Ibu Santi seolah tahu apa yang ia pikirkan.

***

Rumah besar berpagar tinggi terbuka menyambut Safira dan Ibu Santi. Satu penjaga menunduk hormat saat mobil melewati pagar. Saat berada depan rumah, Bu Santi mengajaknya turun. Safira turun dengan tas berisi baju. Mata indah gadis itu menelusuri setiap sudut halaman rumah itu. Semua tanaman terawat rapi, dengan rumput hijau bak permadani mempercantik tampilan taman depan rumah tersebut.

"Ayo, masuk Safira," ajak perempuan yang masih terlihat cantik di usianya itu. Ia melangkah ragu mengikuti wanita di depannya. Seorang perempuan yang lebih tua tergopoh menyambut Bu Santi mengangguk sopan.

"Safira, kenalkan ini Mbok Mirah. Mbok, ini Safira, dia nanti akan tinggal di sini. Oh iya, kamarnya sudah disiapkan?" Ibu Santi berkata seraya menjatuhkan diri ke sofa empuk berwarna kuning gading. Masih dengan posisi hormat perempuan bernama Mirah itu mengangguk seraya mengucap, "sudah, Bu."

"Safira, kamu ikut Mbok Mirah ke kamarmu, setelah itu makan siang, ibu tunggu," perintahnya sambil tersenyum.

Gadis berbaju biru bermotif bunga itu mengangguk melangkah mengikuti Mbok Mirah menaiki tangga.

"Nah, ini kamar buatmu, letakkan baju-baju kamu di sana," ujar Mbok Mirah menunjuk lemari besar yang menempel di dinding berwarna kuning pucat itu. Gadis itu mengangguk canggung. Seumur hidup baru dia melihat ruang kamar besar tiga kali rumah tinggalnya.

"Sekarang kamu mandi, ganti baju lalu ke ruang makan ya," ujar perempuan berambut sedikit putih itu seraya keluar kamar.

Tinggal Safira sendiri masih berdiri tak percaya dengan apa yang ia lihat. Satu ranjang berukuran queen size, berlapis sprei berwarna kuning gading, ada televisi berukuran besar, meja rias di sudut ruangan diatasnya tersedia peralatan rias lengkap yang ia tak pernah tahu fungsi masing-masing.

Pelan ia melangkah dan meletakkan tubuh di sofa yang tersedia di kamar itu. Mata indah mengamati benda yang menempel di dinding. Sejenak ia mengingat sesuatu, dulu saat merawat Eyang Fatima, beliau menyebut dengan AC yang berfungsi menyegarkan ruangan, tapi hingga eyang putri meninggal ia sama sekali tidak bisa mengoperasikannya.

Lama ia mengamati ruangan itu. Dari luar terdengar suara lelaki yang ia tak tahu siapa. Gadis itu hanya mengira-ngira. Suara itu memanggil Mbok Mirah untuk segera membersihkan kamar.

Safira ingat ia harus segera membersihkan diri. Cepat mengambil baju dari tas yang ia bawa, tak lupa perlengkapan mandi. Pelan membuka pintu mencari Mbok Mirah, sebab ia tak tahu di mana letak kamar mandi. Dengan langkah ragu ia menuruni anak tangga.

"Safira, kamu mau kemana?" tegur perempuan yang ia cari itu.

"Saya ... saya mau ke kamar mandi, Mbok," sahutnya pelan seraya menggenggam baju juga peralatan mandi. Mbok Mirah menarik pelan lengannya mengajak gadis itu kembali ke kamar.

"Nak, kamu tidak perlu keluar kamar jika ingin mandi, sudah ada kamar mandi di kamar ini," jelasnya setelah mereka berdua di kamar Safira. Mbok Mirah membuka pintu di sebelah meja rias. Sebuah kamar mandi dengan shower dan cermin besar di dalamnya sudah tersedia sabun mandi dan semua pelengkapnya. Mata gadis itu lagi-lagi membulat.

"Sudah mandi sana, cepat ya. Kan tadi ibu bilang ditunggu," ucapnya menatap Safira.

"Iya, Mbok. Terima kasih," balas gadis itu tersenyum.

***

Mengenakan baju panjang berwarna maroon dengan rambut dikepang dua, Safira melangkah menuju ruang makan. Di sana telah menunggu Ibu Santi dan Pak Yuda suaminya juga seorang pria berhidung mancung yang terlihat mengerutkan keningnya. Wajah lelaki itu bergantian menatap kedua orang tuanya penuh tanya.

"Duduk sini," perintah Ibu Santi yang telah berganti pakaian lebih santai. Sambil terus memilin ujung baju, ia duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja besar itu.

"Alva, ini gadis yang ibu ceritakan waktu itu. Dia Safira, kamu ingat? Dia yang merawat eyang di desa," jelas Ibu Santi menatap putra keduanya. Terlihat lelaki itu mengamati detail gadis bernama Safira di depannya.

"Safira, mulai hari ini kamu sudah menjadi anggota keluarga kami, anggap kami juga sebagai orang tuamu." Pak Yuda membuka suara yang diiringi anggukan dari Ibu Santi.

"Dan kamu, Alvaro. Ada baiknya mulai besok temani dia belanja kebutuhan dia dan beberapa keperluan toko yang belum lengkap," ujar perempuan berkacamata itu seraya mengambil nasi ke piring.

Lelaki bermata elang itu menatap ibunya heran.

"Bu, ibu nggak salah? Kenapa Alva?"

"Tentu saja tidak, karena kalau Mas Pras nggak mungkin kan? Dia masih di luar negeri," balas sang ibu santai. Lalu kembali menjelaskan bahwa Safira dipercaya untuk mengelola toko kue di ujung komplek mereka.

"Nggak, kenapa harus sama Alva? Kenapa nggak sama Ibu aja?" protesnya sambil meneguk air mineral di depannya. Kali ini ayahnya yang menjawab bahwa ibunya besok harus bertemu tamu dari luar kota di kantornya. Meski mendapat penjelasan seperti itu, tetap pria itu keberatan.

"Ya sudah, kita makan dulu. Nanti kita lanjutkan," sela Ibu Santi menghentikan ocehan putranya.

Selesai makan siang kembali sang ibu memerintahkannya agar menemani Safira besok. Namun, lagi-lagi Alva menolak. Sementara Safira masih membantu Mbok Mirah membereskan meja.

"Alva, ibu harap kamu tidak menolak."

"Besok, Alva ada janji sama Luna, Bu," elaknya. Pak Yuda menengahi debat keduanya.

"Setidaknya kamu harus mulai terbiasa dengan gadis itu. Sebab ayah dan ibu sepakat akan menikahkan kamu dengan dia!"

Lelaki itu hampir melonjak mendengar ucapan ayahnya.

"Ayah? Ibu apa-apaan ini?" protesnya dengan suara meninggi.

"Kenapa? Safira gadis cantik dia sangat penyabar, dan pintar tentu saja. Ada yang kurang?" balas sang ibu menatap tajam.

Alva menggeleng cepat.

"Ayah, Ibu. Jangan bercanda deh!"

"Kami tidak bercanda untuk urusan masa depanmu," tegas ibunya.

Lelaki berhidung mancung itu menyugar rambut lalu mengepalkan tangannya.

"Maaf, Ayah Ibu. Alva nggak bisa!"tegasnya beringsut meninggalkan ruang keluarga.

"Alva! Tetap di situ, ibu minta kamu menurut. Tinggalkan perempuan entah siapa namanya itu. Kamu akan segera bertunangan dengan Safira!"

Saat Ibu Santi mengucap hal itu, tanpa sengaja Safira mendengar. Matanya membulat, pelan ia melangkah mundur kembali ke dapur.

"Kenapa, Nduk?" sapaan lembut Mbok Mirah mengagetkannya. Safira menggeleng seraya tersenyum.

"Harusnya kamu bahagia, sebentar lagi menjadi istri Alvaro Narendra" sergahnya mengusap punggung gadis itu.

"Mbok dengar ucapan mereka?"

"Mbok tahu masalah ini sejak eyang keluar masuk rumah sakit waktu itu," jelas perempuan dengan garis-garis ketuaan yang terlihat di wajahnya itu.

"Kenapa harus saya? Saya cuma pelayan ...."

"Bagi ibu dan dan Pak Yuda, kamu istimewa, Safira," potong Mbok Mirah.

***

Alvaro Narendra, adalah lelaki yang bebas, ia baru saja menyelesaikan kuliah dan tengah bekerja di salah satu perusahaan properti. Ia anak kedua dari dua bersaudara.

Prasetya putra pertama Ibu Santi tengah kuliah S2 di luar negeri. Perangai kedua saudara itu berlawanan. Alva cuek, pemarah, malas tapi sangat menjaga penampilan. Meski begitu lelaki ini sangat perhatian dan penyayang terlebih pada sang ibu.

Sedang sang kakak, lelaki dewasa, lembut, penuh perhatian, bijaksana dan tentu saja ia juga menyayangi ibunya. Kebiasaan Alvaro itulah yang menyebabkan kedua orang tuanya memutuskan untuk mencari pasangan bagi putra kedua mereka. Mereka tak ingin anak lelakinya tak punya tanggung jawab.

Adapun Prasetya telah memiliki calon istri yang telah disetujui oleh ibu dan ayah mereka.

***

"Mbok, ibu dan ayah ke mana?" tanya Alva saat menyelesaikan makan pagi. Perempuan setengah baya itu menjelaskan bahwa kedua orang tuanya pagi-pagi sekali telah pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.

"Oh iya, ibu pesan supaya Mas mengantar Safira ke ...."

"Ck! Nggak bisa, Mbok. Saya ada janji hari ini," sela Alva meletakkan separuh sandwich ke piring. Lelaki bertubuh tinggi itu beranjak pergi.

"Tapi, Mas. Ibu pesen begitu tadi," suara Mbok Mirah menghentikan langkahnya. Sebentar berbalik lalu ia menggeleng.

"Suruh dia pergi sendiri! Pak Joko bisa antar dia, 'kan?"

Tak lama terdengar deru mobil meninggalkan rumah. Safira yang sejak tadi di dapur mengetahui semuanya. Matanya mengabut, jemarinya saling bertaut.

"Safira, kamu pergi saja dengan supir ya. Nanti Mbok yang bilang ke Pak Joko," ujar asisten rumah tangga itu. Ragu gadis berwajah lembut itu mengangguk.

Bukan dia tak ingin berangkat sendiri, tetapi ia sama sekali asing dengan kota ini. Selama hidupnya ia tinggal di desa, berteman dengan rumput, pucuk padi serta harum bunga liar. Ia menurut ketika Mbok Mirah menyuruhnya masuk mobil.

"Pak Joko nanti akan memandu kamu, ingat jangan pergi tanpa Pak Joko," pesan perempuan ramah itu.

Mobil meluncur ke salah satu mall berbesar di kota. Pak Joko dengan ramah mempersilakan gadis itu turun.

"Pak, saya di suruh ibu ke pasar, bukan ke gedung ini," ucapnya bingung seraya menyapu pandangan ke berbagai arah. Lelaki bertubuh kurus itu tersenyum menjelaskan bahwa pasar yang di maksud adalah tempat ini.

"Saya tidak tahu harus beli di sebelah mana jualan bahan kue dan perlengkapannya, Pak," ucapnya terdengar ragu.

Pak Joko menjelaskan nanti ia akan memandu gadis itu. Berjalan mengikuti langkah sopir pribadi Bu Santi serta terus memilin ujung baju yang ia kenakan, gadis itu tampak sesekali menghentikan langkah menatap takjub tangga berjalan. Beruntung Pak Joko sigap, segera bisa menggamit lengan Safira.

"Nah, Mbak Safira bisa memilih bahan dan perlengkapannya di sini."

Mata gadis itu membulat melihat jajaran perlengkapan kue beserta keperluan lainnya terpampang di depan mata. Ia tak lagi mendengar pesan Pak Joko agar tetap menunggunya, sebab lelaki paruh baya berkulit legam itu hendak ke toilet. Gadis berkepang dua itu mengamati dan terus berjalan hingga ia tak sadar telah jauh dari tempat ia ditinggal oleh sopir pribadi Bu Santi.

***
Sekali lagi kisah ini slow update yes😘

Boleh komentar ciamiknya?😍😘😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top