Lima

Holaaa

Nungguin kisah ini? Yuk lah klik bintang 🤩🤗

"Saya nggak bisa jalan pakai sepatu ini," ungkapnya seraya menjinjing high heels berwarna putih.

"Ck! Kalau nggak bisa ya nggak usah dipaksa. Udah pakai apa aja lah! Buruan, jangan sampai bikin malu dan menyusahkan orang banyak! Paham?" Alva memberi isyarat agar Safira turun.

Gadis itu mengangguk tanpa menatap mengikuti langkah pria di depannya. Ia melihat Ibu Santi dan Pak Yuda telah berada di mobil. Gadis itu melangkah menuju mobil yang di tumpangi mereka berdua.

"Sayang, kamu ikut mobil Alva ya," kata wanita itu ramah membuka kaca jendela mobil. Ia mengangguk tersenyum, kemudian tak lama meluncur meninggalkan rumah.

Safira menoleh mencari sosok Alva. Ia mendapati pria itu juga telah berada di dalam Fortuner hitam. Wajah dinginnya memberi isyarat agar gadis itu cepat masuk.

🌸🌸🌸🌸

Safira tercengang melihat banyaknya undangan yang telah berkumpul di depan toko yang akan di buka. Wellcome to Safira bakery and cafe tertulis besar menyambut kedatangan mereka. Di depan lokasi Ia mengerjap tak percaya. Mata indahnya mengabut, teringat kedua orang tuanya yang tak lagi bisa melihat kebahagiaan yang ia rasakan. Terlintas juga bayangan Eyang Fatima yang selalu memberikan semangat belajar untuknya. Gadis itu larut dalam suasana emosional, sehingga bulir bening jatuh di pipinya.

"Hapus itu air mata! Jangan sampai mereka berpikir yang bukan-bukan! Setelah itu cepat keluar!" Alva memberikan tissue kepadanya lalu bergegas turun dari mobil. Tak lama Safira menyusul. Alva meraih tangan gadis itu masih dengan tampang yang tak berubah. Tetap dingin.

Gaun panjang hijau lembut membalut tubuh langsingnya dengan rambut dibiarkan tergerai dan sedikit polesan lipstik membuat aura cantiknya semakin terlihat. Semua mata memandang terpesona. Ibu Santi tersenyum bangga melihat calon menantunya menjadi perhatian para tamu.

Ia melangkahkan kaki dengan hati-hati, sebab high heels membuatnya kesulitan. Sedang Alva terlihat gusar karena langkah Safira yang lambat.

"Kamu bisa jalan agak cepat, 'kan?" gerutunya menatap Safira. Alva kesal sebab sang ibu menyuruh dirinya agar menggandeng gadis itu hingga sampai tepat di depan pita yang akan di gunting.

"Maaf, Mas. Kan tadi saya bilang kalau saya kesulitan pakai sepatu ini. Mas Alva bisa jalan duluan," ungkapnya melepas genggaman tangan Alva. Namun, secepat kilat pria itu kembali menggenggamnya.

"Jangan bikin drama di sini, aku begini karena Ibu yang meminta! Paham?"

Safira tak menjawab, ia serius melangkah menjaga agar tidak jatuh.

"Jadi ini calon menantu, Ibu Santi?" bisik salah satu undangan yang terdengar jelas di telinganya.

"Cantik ya! Ibu Santi nggak salah pilih," komentar yang lain. Meski dengan susah payah akhirnya ia sampai di samping Ibu Santi. Perempuan berkacamata itu memuji penampilannya. Lalu memandang ke arah putranya.

"Alfa, nanti yang menggunting pita itu Safira. Kamu wajib mendampingi dia hingga acara berakhir!" tuturnya menatap tajam. Alva berkelit mencari alasan, tapi kalimat Bu Santi membuat Safira dan Alva saling menatap.

"Apa, Bu? Tunangan?" pekik Alva membuat hampir semua tamu menatap padanya. Santai sang ibu mengangguk tersenyum. Alva terdengar memaki.

"Bu, nggak bisa! Yah, apa-apaan ini? Nggak, aku nggak bisa! Aku ...."

"Kamu kenapa? Toh ibu sudah siapkan semuanya, momen ini adalah momen terbaik, sambil menunggu momen puncaknya," tukas ibunya masih dengan wajah serius.

Pak Yuda yang sedari tadi menyapa tetamu, ikut mengamini ucapan istrinya. Seraya mengatakan bahwa gadis bernama Safira itu baik untuknya. Alva menatap tajam pada gadis yang tengah berdiri menunduk di samping ibunya.

"Bu, asal ibu tahu, aku menyayangi ibu juga ayah, tapi jika harus mengikat hubungan dengan perempuan ini, aku tidak bisa! Tak bisakah ibu menangguhkan rencana absurd itu, Bu?" tanyanya dengan menatap pada Safira.

"Kecilkan suaramu, Alva!" tegas Pak Yuda. Mendengar Ayahnya berucap dengan nada tinggi, Alva diam. Tak lama terdengar suara MC mengumumkan bahwa pemotongan pita segera di mulai. Bu Santi memberi isyarat agar Alva menggandeng tangan Safira.
Terlihat ia membuang napas kasar meraih tangan gadis itu. Tepuk tangan riuh saat keduanya berdiri tepat di depan pita yang berhias bunga melati itu. Seseorang memberikan gunting kepada Alva, kemudian pria itu memberikannya pada Safira.

Sesuai dengan perintah sang ibu, ia menuntun tangan gadis itu, lalu berdua menggunting pita. Kembali riuh tepuk tangan untuk mereka. Kedua orang tua Alva tersenyum puas. Sedang ia dan Safira berusaha melepaskan senyum terbaik kepada para undangan. Sang MC memandu para undangan untuk masuk mengikuti acara kejutan.

"Alva, sematkan cincin ini di jari manis Safira. Hari ini dia resmi menjadi tunanganmu," titah Bu Santi menyerahkan kotak kecil beludru berbentuk hati pada putranya.
Sejenak Alva terdiam menatap ibu lalu beralih pada gadis disampingnya. Dengan wajah kecut ia menerima kotak itu.

Mereka semua masuk ke dalam toko yang terbilang luas itu. Bu Santi menginginkan toko kue ini bukan hanya sekedar toko, tapi ia menginginkan agar bisa menjadi sebuah cafe juga. Maka tak heran jika ada banyak kursi disediakan di sana.

MC kembali meminta para tamu untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Acara kejutan yang ditunggu tiba. Pertunangan Alva putra kedua Bu Santi dan Pak Yuda adalah acara yang ditunggu itu.
Saat pembawa acara mempersilakan Alva untuk menyematkan cincin di jari manis Safira, sambil mengucapkan kalimat selayaknya seorang pria melamar kekasihnya, sejenak ia diam menatap tajam lalu berbisik, "kamu tahu, ini semua untuk Ibu! Jangan harap aku bisa meneruskan sandiwara ini!"

"Safira, maukah kamu menjadi pendamping hidupku? Maukah kamu menikah denganku?" suara Alva menggema memenuhi ruangan. Safira ragu menatap pria yang tengah berlutut di depannya. Sudut mata gadis itu menangkap Bu Santi tersenyum memberi isyarat agar ia menerima.
Sambil mengangguk gadis itu berkata iya.

"Iya, saya mau," jawab Safira lirih seraya tersenyum datar. Ada sedih tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Ia sangat tahu seperti apa perasaan pria putra Ibu Santi itu padanya.

Safira, gadis desa yang sama sekali belum pernah berhubungan dengan pria mana pun itu, terpaksa mengikuti apa yang telah diatur oleh putri almarhum Eyang Fatima. Tak ada jalan lain selain patuh dan mengikuti apa kata takdirnya kelak.

Alva berdiri meraih jemarinya kemudian menyelipkan cincin di jari manis Safira. Kembali para undangan bertepuk tangan membuat suasana meriah. Meski diliputi rasa gundah, ia mencoba tersenyum menanggapi ucapan selamat dari para undangan. Sekilas ia melirik Alva yang sama sekali tidak menikmati acara itu.

Gadis itu tidak memikirkan apa yang terjadi nanti, baginya diberi kepercayaan oleh keluarga ini adalah tanggung jawab yang harus ia emban dengan baik. Hidup sebatang kara bukan hal mudah. Ketika Tuhan memberi padanya keluarga baru, maka Safira bertekad untuk menjaga kepercayaan itu semua dengan baik.

"Safira, sekarang usaha ini resmi milik kamu, kelola dengan baik. Ibu tahu kamu mampu," ucap perempuan paruh baya itu menepuk lembut bahunya.

"Bu, aku ada janji sama rekan kerja. Boleh aku pergi?" Pria yang sejak tadi gelisah itu membuka suara. Ibu Santi menatap penuh selidik pada putranya seolah tak percaya.

"Aku serius. Tolong berhenti curiga, Bu," keluhnya menyugar rambut. Bu Santi mengangguk seraya berpesan agar ia tidak pulang terlalu larut. Wajah pria itu berbinar seketika, cepat ia membalik badan lalu pergi. Sementara Safira, ibu Santi dan Pak Yuda kembali membaur dengan para undangan.

🍁🍁🍁

Sebuah mobil berhenti tepat di depan butik ternama, tak menunggu lama dari bangunan bernuansa vintage itu keluar seorang gadis berambut sebahu, berbaju terusan berwarna merah di atas lutut dengan potongan dada rendah sehingga sedikit memperlihatkan dadanya. Di tangan kanan tampak menenteng tas tangan yang jika ditaksir dapat digunakan untuk membeli satu unit sepeda motor.

Wajahnya semringah melihat seseorang yang tengah duduk di balik kemudi. Segera ia membuka pintu mobil dan masuk.

"Sorry, lama ya nunggu?" ucapnya setelah berada di dalam. Tersenyum pria itu seraya mengecup jemari milik wanita di sampingnya.

"Kamu kenapa, Al? Kok muka kusut begitu?" tanya gadis itu seraya menyentuh rahan kokoh milik pria di sampingnya. Alva menggeleng tersenyum kecut. Melihat ekspresi itu ia semakin ingin tahu. Luna terus mendesak agar Alva bercerita. Pria itu berjanji akan mengatakan jika mereka sudah sampai di tempat tujuan. Hari itu Alva dan Luna menghadiri undangan kawan mereka yang menikah di hotel.

"Oke, tapi kamu harus janji cerita ke aku ya," pinta Luna manja di balas anggukan. Gadis itu menyandarkan kepala di bahu Alva, sedang dirinya terus mengemudi.

Tak lama mereka tiba di lokasi. Suasana romantis menyambut kedatangan mereka. Bunga mawar yang menyambut dari mulai pintu masuk ruangan hingga ke pelaminan membuat aroma kuat di dalamnya. Alva menggenggam tangan pasangannya erat. Wajah Luna merona melirik pria di sampingnya yang tengah menatap ke depan. Beberapa kawan menyapa mereka.

"Hai, pasangan ideal! Sepertinya setelah Naira kamu deh, Lun!" celoteh Chika menepuk bahu gadis itu. Ucapan Chika disambut anggukan oleh pria di sebelahnya.

"Ya, betul! Jadi kapan kalian akan membagi kabar bahagia itu?" Sony menimpali. Mendengar itu Alva tertawa kecil seraya berkata bahwa mereka masih lama. Alva tak ingin mendahului sang kakak. Kedua orang di depannya manggut-manggut mengerti. Lalu mereka semua membaur dengan yang lain untuk menikmati hidangan.

"Hai, Alva, Luna. Makasih kalian sudah datang," seru Naira menyambut uluran tangan keduanya.

Luna memeluk pengantin wanita yang tengah berbahagia itu, sambil mengucap selamat.

"Buruan nyusul gih!" bisiknya tersenyum menggoda Luna. Gadis berbaju merah itu tersenyum merona melirik Alva.

🍁🍁🍁

"Al." Luna membuka suara saat mereka perjalanan pulang.

"Hmm," sahut Alva menggumam menoleh sebentar.

"Kamu belum cerita kenapa murung dari tadi, nggak seperti biasa," kata Luna dengan bibir mengerucut. Alva tertawa kecil mengusap kepala gadis itu, lalu menarik bahu Luna pelan membawa bersandar di bahu kokoh miliknya. Pria itu mengatakan tak terjadi apa-apa pada dirinya.

"Aku cuma kecapean aja, Sayang. Udah nggak perlu dipikirkan," ujarnya masih fokus mengemudi.

"Al, kamu serius nggak sih sama aku?" Luna menggayut manja lengan pria itu. Sejenak Alva diam kemudian mengangguk mengatakan, "tentu saja aku serius! Kenapa kamu nanya seperti itu?"
Luna tersenyum menggeleng, ia menyentuh lembut pipi Alva.

"Aku juga ingin kepastian, Al. Tidak perlu menikah, tunangan aja dulu," jelasnya membetulkan posisi duduk lalu mengecup pipi pria di sampingnya itu.

🍁🍁🍁

Udahan dulu ...😘

Yang suka ceritanya yuk lah komentar cantik di mariii 😍😍😘
Cilok jg jika typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top