Dua puluh tiga
Tak perlu berandai, sebab rindu pun sebenarnya bisa menemukan jalan untuk sampai ke telinga dan hatinya
❤️❤️
Semenjak mendapat saran dari Deva, Alva lebih sering menyendiri. Bahkan ia selalu menolak halus ajakan orang tuanya untuk bertandang ke kediaman sang kakak. Selalu ada saja alasan untuk itu.
Sore itu ia dan Gita berjanji untuk bertemu, setelah sekian lama hanya merancang rencana. Ia sendiri tak tahu apa yang akan dibicarakan gadis itu. Namun, dari pesan yang dia tulis, sepertinya penting. Alva tahu, meski tak terungkap, sebenarnya Gita juga kurang nyaman dengan perjodohan mereka. Setidaknya itu tertuang dari beberapa kali chatting.
Alva hanya berharap rencananya kali ini disetujui oleh gadis itu. Ia tidak mungkin melawan takdir. Meski sadar sulit baginya untuk mengelak dan membohongi diri sendiri.
Dengan mengenakan t shirt dan celana denim, Alva tampak santai. Sesuai janji, ia dan Gita bertemu di salah satu cafe di pusat kota. Dua puluh menit kemudian ia sampai di pelataran parkir. Langit sore terlihat cerah, dengan helaan napas dalam-dalam ia melangkah. Suasana cafe yang tidak begitu ramai membuat pria itu bebas memilih duduk. Baru saja ia hendak meletakkan tubuh seseorang memanggil namanya.
"Sini!" Gadis berambut pendek yang baru beberapa bulan ia kenal melambaikan tangan. Matanya menyipit melihat pria di samping Gita.
"Hai, Al! Kenalkan ini Mas Surya ... Mas, kenalkan ini Alva yang aku ceritakan waktu itu."
Keduanya berjabat tangan dan saling mengenalkan diri. Setelah memesan minuman, Gita membuka pembicaraan. Gadis berkulit cokelat itu mengutarakan niatnya untuk membatalkan rencana pernikahan mereka. Namun, ia membutuhkan bantuan Alva.
"Aku dan Mas Surya telah lama berhubungan, tapi orang tua justru ingin aku dan kamu menikah! Aku ...."
"Oke aku paham!" potong Alva. Ia tersenyum menatap Surya. Pria berpostur tak jauh beda dengan dirinya itu ikut tersenyum.
"Aku akan bantu."
"Caranya?"
Alva terdiam sejenak, kemudian menceritakan bahwa dirinya pernah juga membatalkan pertunangan dengan seorang gadis, sehingga membuat ibunya kesal.
"Jadi, kamu yang harus lebih dulu mengatakan hal ini pada ibuku, Gita. Katakan apa sebenarnya yang kamu inginkan."
"Ibumu?"
Pria itu mengangguk. Alva menjelaskan akan percuma jika gadis itu mengatakan pada orang tuanya, karena pasti orang tua Gita akan menolak.
"Karena orang tuamu tak akan mendengar keinginan itu. Berbeda jika kamu mengatakan hal ini pada keluargaku. Aku yakin mereka bisa memaklumi. Percayalah!" Wajah gadis itu berseri, ia menatap Surya penuh cinta.
"Lalu kamu sendiri, Al? Apa kabar dengan gadis yang kau cintai itu?"
Alva tersenyum getir, ia meneguk lemon tea di depannya.
"Aku ... ah sudahlah itu urusanku, Gita!"
"Karena kamu sudah bersedia membantu kami, mungkin kami bisa membantumu," timpal Surya ramah.
Alva menggeleng. Jangankan orang lain, dia sendiri pun tahu tak mungkin bisa meraih impian itu.
"Nggak perlu, aku bisa atasi itu."
Mereka kembali larut dalam obrolan hingga senja menjelang. Setelah sepakat Gita dan Surya mengatur waktu untuk bertemu keluarga Alva, lelaki itu mohon diri.
"Aku harap kamu bisa bahagia, Al!" Gita menjabat tangannya erat.
"Thanks! Ayo Surya, aku cabut dulu!"
Ada senyum terukir di bibir lelaki itu saat meninggalkan pasangan tersebut. Ia lega, setidaknya tak perlu berpura-pura suka dan memupuk cinta pada wanita lain.
"Sepertinya kali ini ayah dan ibu harus ikuti keinginan aku!" gumamnya.
***
Keputusan Alva akhirnya dikabulkan kedua orang tuanya. Pria itu memilih mengelola bisnis sang ayah di luar kota. Setelah Gita menghadap pada Bu Santi dan Pak Yuda, keduanya menerima baik semua alasan yang dikemukakan gadis itu. Hingga akhirnya tak ada masalah terkait gagalnya pertunangan mereka.
"Sayang ... besok kita ke rumah ibu ya. Alva memutuskan untuk mengelola bisnis di luar kota."
Safira mengangguk. Hatinya lega mendengar, meski sedih mendapat kabar bahwa Gita dan Alva batal menikah.
"Mas, sepertinya kita harus belanja bulanan deh." Safira menatap manja kepada sang suami. Sambil mengecup kening istrinya, Tyo berkata, "Kita berangkat sekarang."
Awal bulan seperti biasa, banyak keluarga yang juga membeli kebutuhan bulanan mereka. Tyo sabar menemani sang istri membeli semua keperluan rumah, tak terkecuali kebutuhan hamil Safira.
"Susu, buah jangan lupa, Sayang."
"Sudah, Mas. Bukannya tadi Mas yang pilihin buahnya?" Tyo tertawa geli melihat ekspresi Safira.
"Oke, kita ke kasir sekarang?"
Wanita berbaju hamil itu mengangguk.
"Sayang, biar aku aja yang antre. Kamu bisa tunggu di pujasera situ. Kamu nggak boleh berdiri terus," tuturnya menunjuk pujasera yang terletak satu area dengan swalayan itu.
"Saya nggak apa-apa kok, Mas," tolaknya.
"Aku yang khawatir. Sudah kamu tunggu di sana ya."
Ia tak lagi membantah, wanita itu tahu betapa sang suami sangat menyayanginya.
***
Safira duduk dan memesan dua gelas minuman segar, sambil sesekali ia melempar pandangan ke arah Tyo. Lelaki itu masih berdiri menanti giliran.
"Kamu Safira, 'kan?" Seseorang mengejutkannya.
"Gita?"
"Ah, syukurlah kamu masih ingat! Boleh aku ikut duduk?" Gadis itu bertanya di jawab anggukan serta senyum olehnya.
"Kamu masih ingat, padahal baru sekali kita ketemu."
"Aku mudah mengingat orang! Apalagi perempuan cantik yang bikin aku iri, sepertimu!" tukas Gita tersenyum.
"Kamu pintar bikin aku ge er!" balasnya tertawa.
Sejenak mereka terlibat obrolan hangat hingga muncul pertanyaan tentang pembatalan rencana pernikahan itu. Gita menceritakan apa yang terjadi padanya, pada Alva juga pada kekasihnya, Surya. Wanita yang tengah berbadan dua itu mendengarkan dengan seksama.
"Aku bersyukur, Al mau membantuku. Dan akhirnya keluargaku bisa mengerti. Aku berharap dia bisa juga memperjuangkan cintanya," tutur Gita.
Safira tersenyum menanggapi.
"Tapi aku nggak tahu siapa perempuan itu, yang aku tahu Alva sangat mencintainya! Kamu tahu siapa dia? Atau pernah kamu bertemu perempuan itu?"
"Tidak. Aku tidak tahu." Kembali terngiang ucapan Alva tempo hari. Ada bayangan pria itu melintas sekilas di memorinya.
"Sayang, ada apa? Ini ...."
"Gita, Mas." Gadis itu beranjak dari duduk menjabat tangan Tyo.
"Ah iya, silakan duduk. Kita bisa ngobrol di sini," ajaknya. Namun, Gita menolak dan meminta maaf. Ia mengatakan masih ada urusan yang harus diselesaikan.
"Di minum, Mas. Saya tadi pesan dua gelas."
Tyo mengangguk.
"Ternyata Gita ingat banget sama saya, Mas."
"Siapa sih yang bisa ngelupain kamu, Sayang?" selorohnya seraya memainkan alis menatap sang istri. "Bahkan ... adikku pun tidak sanggup melupakanmu," batinnya.
Flash back.
Tyo sengaja ingin memberikan surprise atas kabar pertunangan yang dengar dari sang ibu. Kegemaran Alva mengoleksi jam tangan membuat ia ingin memberikan surprise pada adiknya. Diam-diam setelah makan siang ia mampir ke kantor Alva. Pintu tak tertutup rapat, pelan ia masuk. Saat itu sang adik tengah meneleponnya seseorang.
"Aku nggak bisa, Deva ... tapi aku juga capek berpura-pura. Kamu tahu, merelakan Kak Tyo menikah dengannya saja aku sudah bersandiwara. Lalu sekarang ... aku harus bersandiwara lagi dengan menerima pertunangan itu?"
Sepi, ia melihat Alva memijit pelipisnya kemudian mengangguk.
"Oke, aku coba! Bagaimanapun aku nggak mau Kak Tyo tahu, aku mau dia bahagia! Makasih, Dev!"
Tyo mundur menutup pintu kemudian berdiri lama di luar. Mencoba mencerna apa yang ia dengar barusan. Lelaki itu menarik napas dalam-dalam kemudian mengetuk pintu, seolah-olah ia tak pernah tahu apa yang terjadi barusan.
***
"Mas Tyo, Mas? Kok malah ngelamun? Kita balik yuk." Safira menepuk lengan suaminya.
Tyo mengangguk setuju.
"Mas ngelamun apa sih?" Safira bertanya manja.
"Nggak, siapa yang melamun?"
"Saya ajak bicara, Mas malah bengong," protesnya dengan bibir mengerucut.
"Ssst, itu bibir jangan gitu ah. Mas gemes tahu!" Tyo mengusap pipi Safira lembut.
"Mas bikin kesel, saya dicuekin!"
Tak ingin sang istri terus merajuk, ia mendaratkan ciuman ke puncak kepala Safira.
"Mas, ini banyak orang!"
"Maafkan, Mas. Mas hanya ...."
"Hanya? Hanya apa, Mas?"
"Hanya terlalu sayang aja."
Wajah Safira merona, kali ini tak malu ia membenamkan kepalanya ke dekapan sang suami.
***
Alva berkemas, satu koper sudah dimasukkan ke bagasi. Setelah merasa cukup, ia kembali masuk rumah.
"Yah, Bu. Al berangkat sekarang ya." Alva bergantian mencium punggung tangan orang tuanya.
"Kakakmu datang tuh, pamit sekalian!" Bu Santi menunjuk ke arah luar. Tampak Tyo turun dari mobil. Senyumnya merekah mendekati sang adik. Tak ada Safira di sana.
"Take care, Al! Kamu sering pulang kan nanti?"
"Entah, Kak. Sepertinya ayah beri Al banyak pekerjaan. Ya kan, Yah?"
Pak Yuda tertawa. Beliau berkelakar supaya sang anak tidak ada waktu untuk melamun.
"Ayah nggak mau dengar kamu main-main lagi, Al!" tutur sang ayah.
"Percayalah, jodoh akan datang saat kamu benar-benar siap!" Tyo menepuk bahu Alva.
"Iya, Kak! Aku berangkat ya." Alva bergegas masuk mobil.
"Al, terima kasih!" bisik Tyo saat adiknya sudah duduk di belakang kemudi.
"Terima kasih?" balasnya dengan kening berkerut.
"Al ...," panggilnya lagi.
"Ya, Kak?"
"Kamu mencintainya? Maksudku masih mencintainya?"
Alva bergeming, kemudian bertanya, "Siapa, Kak?"
Tyo menggeleng, ia memberi isyarat agar adiknya segera berangkat.
"Take care!"
"Oke, thank you, Brother!"
Alva pergi demi melupakan semua jejak rasa dan salah yang ingin ia hapus. Sampai kapan? Entah hanya Tuhan dan Alva yang tahu.
***
Tbc.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Oh iya, colek jika typo. See you 🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top