Dua puluh lima

Kecelakaan yang menimpa kedua anak Pak Yuda menjadikan kesedihan yang mendalam bagi keluarga mereka. Di saat seharusnya sebulan lagi mereka akan menyambut anggota baru. Namun, bukankah selalu ada bahagia setelah duka dan demikian pula sebaliknya? Meski hancur, tapi baik Bu Santi maupun suami tetap yakin bahwa kondisi tersebut bisa segera dilewati.

Dua minggu sudah sejak peristiwa itu tak ada perkembangan yang menggembirakan bagi Tyo. Pria berhidung mancung itu tetap lelap dalam tidurnya, sedang Alva berkali-kali mengutuk diri sendiri menyesali yang telah terjadi. Sehingga kondisi psikologis lelaki itu tidak stabil. Tak jauh beda dengan Safira, wanita berwajah cantik itu seolah enggan beranjak dari sisi sang suami. Meski sesekali ia meringis merasakan tendangan kecil dari buah hatinya, ia tetap menggenggam erat tangan Tyo.

"Safira ... kamu istirahat dulu, Sayang." Bu Santi mengusap lembut bahu menantunya. Ia paham bagaimana kondisi Safira. Ia juga tahu wanita itu selalu menolak untuk menjauh dari ranjang suaminya.

"Bu ... tolong bangunkan Mas Tyo buat Safira, Bu. Mas Tyo bilang kalau dia mau ketemu anaknya bulan depan. Bangunkan Mas Tyo, Bu,'' ratapnya pilu dengan mata yang sembab membengkak.

"Iya, Safira. Kamu istirahat ya. Nanti biar ibu yang coba bangunkan," bujuknya meyakinkan.

Wanita itu mengangguk lemah. Ia dibimbing istri Pak Soleh melangkah meninggalkan ruangan Tyo. Bu Ima -nama istri Pak Soleh- mengajaknya membersihkan diri.

"Kita salat yuk. Kita minta pada Allah untuk kesembuhan Mas Tyo," ajaknya di sambut anggukan.

Safira luruh dalam tangis di atas sajadah. Bahunya bergetar menahan Isak. Keraguannya yang telah terjawab ia sesali kini. Ada beribu andai tersusun dalam kata, tapi tentu saja semua tak berguna. Ia bukan Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi di depan.

"Ya Allah, aku sudah berserah dengan hidup. Aku sudah Kau uji dengan banyak kehilangan ... jika kini aku harus kehilangan lagi, kumohon ... beri aku kekuatan untuk menghadapi ...." Ia tergugu saat mengucapkan kalimat itu. Tak lama wajahnya berubah seputih kapas kemudian pingsan.

***

"Tyo ... bangun, Nak. Kami semua menunggumu. Kami semua menyayangimu. Apa kamu tidak ingin melihat calon anakmu? Apa kamu tidak ingin mendampingi Safira melahirkan?" Bu Santi mengucapkan itu dengan air mata meleleh. Tyo bergeming, ia benar-benar seolah tak ingin diganggu. Matanya rapat terpejam.

Sementara di ruangan berbeda, Alva mengepalkan tangan dengan rahang mengeras. Ada pijar amarah jelas terlihat di matanya. Berkali-kali ia memukul-mukul dadanya dengan meneriakkan nama sang kakak. Pemandangan pilu itu terus berulang, membuat mata sang ayah dan Pak Soleh mengembun.

"Alva! Ini bukan salahmu, Nak! Ini semua takdir Allah yang memang harus kita hadapi bersama. Bukan saatnya menyesali diri seperti ini. Kamu harus bangkit dan sehat, Alva!"

"Ini salah Al, Ayah! Seandainya waktu itu Al membiarkan Kak Tyo yang bawa mobil ... ini semua pasti nggak akan terjadi!" balasnya masih dengan rahang mengeras.

"Mas Al ... sabar, Mas. Istighfar, Mas ...." Pak Soleh ikut menengahi.

"Pak, Kak Tyo ... dia masih belum siuman, dan itu karena Al! Dan pasti Safira sangat terpukul dengan situasi ini!" Alva mengusap wajahnya kasar, "Al memang nggak berguna! Dengar, Yah. Kemarin Safira berpesan sebelum kami agar berhati-hati ... tapi apa yang Al beri? Al mencelakakan suaminya, Yah! Ayah tahu perasaan Al sekarang? Nggak berguna, Yah! Al merasa bukan orang yang bisa diandalkan!" cecar Al histeris.

Lagi-lagi ia harus ditenangkan. Lelaki itu bahkan menolak untuk makan beberapa hari ini. Hal tersebut tentu memengaruhi proses penyembuhan.

"Mas Al. Kita semua sedang dalam kondisi prihatin, coba Mas lihat orang tua Mas. Mereka juga sedih, apalagi jika Mas terus menerus menyalahkan diri sendiri seperti ini. Tenang, Mas." Alva menarik napas dalam-dalam menatap langit-langit. Matanya berkaca-kaca.

"Yah, maafkan Al. Semua ini ...."

"Ayah sudah memaafkan, Al. Sekarang boleh ayah meminta sesuatu?"

Al tak menjawab, ia menatap ayahnya lekat.

"Cepatlah sembuh, ada banyak hal yang harus kamu kerjakan. Makan dan tertiblah minum obat, bantu ayah. Bisa?"

Pria itu mengangguk pelan kemudian memejamkan matanya.

***

Hari ini Safira kontrol ditemani Bu Santi. Dokter mengatakan bayi di rahim Safira berjenis kelamin laki-laki. Dokter ramah itu juga menganjurkan agar Safira jangan tegang dan stres saat ini. Hal itu sangat memengaruhi kondisi bayinya.

Dokter itu tahu apa yang terjadi pada wanita itu. Ia menekankan bahwa kepasrahan pada Tuhan akan membuatnya lebih tenang.

"Yang jelas kita semua harus berdoa dan berikhtiar supaya suami Mbak bisa segera pulih," pungkasnya tersenyum.

"Terima kasih, Dokter." Lirih ia berucap setelah menerima resep obat yang harus diminum.

Keduanya berjalan bersisian menuju parkiran, sunyi. Bu Santi tak ingin lagi memberi nasehat pada menantunya itu. Ia membiarkan Safira berpikir dan bertindak seperti apa yang ia mau.

"Bu ...," panggil Safira saat mereka sudah di dalam mobil.

"Ya, Nak?"

"Kondisi Mas Al gimana?" tanyanya lirih.

"Pak Joko, jalan!" perintah Bu Santi. Mobil meluncur pelan meninggalkan klinik.

"Al ... harus menjalani perawatan serius di kakinya, ada tulang yang retak di kaki kirinya," papar wanita itu.

Safira menarik napas panjang.

"Bu."

"Ya, Safira?"

"Kenapa Mas Tyo belum siuman juga?" Ada bulir bening jatuh di pipinya. Melihat itu Bu Santi merengkuh bahu wanita itu.

"Kita berdoa ya, semoga Mas-mu segera sadar."

Hening, masing-masing hanyut dalam pikirannya.

"Bu, kita langsung ke rumah sakit ya."

"Nggak pulang dulu? Nanti sore aja kita ke sana."

"Nggak, Bu. Safira ingin mengabarkan berita bahagia ini ke Mas Tyo. Dia akan memiliki anak laki-laki, Safira yakin Mas Tyo gembira," tuturnya bersemangat meski mata itu berkaca-kaca.

Bu Santi mengangguk kemudian memerintahkan pada Pak Joko untuk membawa mereka ke rumah sakit.

***

Safira menggenggam erat tangan Tyo. Bahunya bergetar menahan himpitan luka yang tertoreh, semua beban seolah ingin ia tumpahkan di hadapan prianya itu. Wajah ayunya memerah basah oleh air mata.

"Mas Tyo, Mas belum bangun juga? Kenapa, Mas? Mas nggak mau rasakan dia menendang? Bangun, Mas." Ia menarik napas panjang kemudian kembali berkata, "Anak kita laki-laki, Mas, dia pasti akan ganteng seperti papanya. Nanti Mas akan punya lawan main basket di samping rumah. Bangun, Mas!" Suaranya terputus karena tangis.

"Sini, Sayang. Ada ibu ... kita semua ingin suamimu bangun. Bersabar, semua ini sudah kehendak Tuhan." Bu Santi merangkul wanita itu.

"Bu ...."

"Ya, Nak?"

"Boleh Safira ketemu Mas Al?"

Bu Santi terdiam sejenak kemudian mengangguk.

Dengan isyarat, mertua Safira mengajak masuk ke ruangan Alva. Ada Pak Soleh di sana.

"Bisa tinggalkan kami berdua?" Safira menatap Bu Santi dan Pak Soleh bergantian. Keduanya mengangguk keluar ruangan.

Alva tak sanggup menatap wajah wanita yang berdiri di depannya. Ada berjuta sesal di hatinya.

"Maaf ... Safira, aku ...."

"Mas Tyo belum membuka matanya. Kenapa? Kenapa semua bisa terjadi? Kenapa Mas nggak hati-hati? Kenapa?" Safira mulai histeris.

"Safira dengar aku. Andai aku bisa bertukar posisi dengan Kak Tyo, pasti itu sudah kulakukan! Kamu nggak pernah tahu penyesalan di sini!" Ia memukul dadanya frustrasi.

"Aku yang menolak saat Mas Tyo menggantikan menyetir mobil waktu itu. Dan tentu saja kami pun tidak tahu jika hal buruk itu akan terjadi! Kamu tahu Safira, sejak awal aku sadar dan mendengar kondisi Kak Tyo, aku selalu meminta pada Tuhan agar aku bisa bertukar posisi, aku ingin Kak Tyo membuka mata dan sadar seperti aku! Aku tahu, dia akan menyambut bahagia sebentar lagi. Sedangkan aku ... aku memang seharusnya tak di sini!" cecarnya kali ini menatap langit-langit.

Safira bergeming tak bereaksi.

"Aku merasa tidak berguna, Safira! Maafkan aku," sambungnya, "Andai bisa kuminta untuk suntik mati ... aku memilih untuk disuntik mati agar aku ...."

"Jangan pernah berpikir gila, Mas! Jika memang begitu, yang paling pantas untuk mti adalah saya! Bukan Mas Tyo, juga bukan Mas Al!" tukas Safira menatap nanar ke arah Alva, "Saya yang tidak berguna itu. Saya tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Bahkan suami yang begitu mencintai saya pun kini hanya diam tak bergerak, entah sampai kapan tidak ada yang tahu." Air mata kembali menetes, kali ini Alva bahkan tak sanggup menahan diri untuk tak menghapus air mata di pipi Safira. Namun, wanita itu membuat jarak menolak halus.

"Maaf ... maafkan aku Safira. Aku benar-benar merasa berdosa. Aku ...."

"Simpan maafmu, Mas. Tak ada yang perlu dimaafkan. Semoga Mas cepat sembuh, doakan Mas Tyo segera kembali." Safira melangkah keluar dengan mata penuh duka.

***

Saat ia baru saja keluar dari pintu ruangan Alva, sang ibu menyambutnya dengan pelukan.

"Safira ... Tyo, Tyo suamimu ... dia siuman, Sayang."

***

End

TBC 🤗

Mohon berkomentar yang baik ya, buat yg kecewa karena kisah ini seolah digantung etc, yuk nabung dari sekarang untuk kekep novelnya.

Di sana -novel- Insya Allah aku jamin kelen puas dengan endingnya.

Salam santun, salam sayang buat teman teman dan mohon maaf lahir batin 🙏❤️

Yang mau baca kisah saya yg lainnya sila cek bio aku ... Terima kasih semuanya.

Nanti kl dah ready novelnya aku Share di sini 😍😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top