Dua puluh enam.


Memberikan apresiasi buat teman-teman yang sudah setia ❤️ aku kasi part yang seharusnya aku save, hehe. Sebagai ucapan dan ungkapan terima kasih dari aku spesial untuk kalian semua. Love you all 🤗

✨✨✨

"Aku hanyalah kunang-kunang dan kau hanyalah senja dalam gelap kita berbagi dalam gelap kita abadi ..." -LOVE-

***

Safira melangkah cepat menuju ruangan Tyo. Andai ia tak ingat kondisi saat itu, mungkin ia berlari.

"Mas Tyo! Mas sudah bangun?" Ia menghambur memeluk tubuh sang suami. Lelaki itu tersenyum kecil, tangannya bergerak lemah membalas genggaman Safira. Terlihat bibirnya mencoba mengucapkan sesuatu.

"Jangan banyak bicara dulu, Mas. Saya di sini nggak ke mana-mana," ungkapnya seraya mengusap pipi yang basah. Bu Santi yang sejak tadi mematung menyaksikan peristiwa itu perlahan mendekat. Lembut ia mengusap kening putranya.

Tyo menatap ke ibunya. Ia memberi isyarat agar sang ibu lebih mendekat. Bibir anak lelaki pertamanya itu bergerak mengucapkan sesuatu. Meski samar, tapi perempuan paruh baya itu bisa mencerna. Ia menggeleng lalu membisikkan sesuatu di telinga Tyo.

Pria itu melihat ke arah Safira yang tak melepas genggaman. Tampak Tyo berusaha membalas dengan mengeratkan tautan tangan mereka. Bu Santi menyaksikan peristiwa itu tak lagi bisa menyembunyikan air mata.

Tak lama genggaman tangan Tyo melemah dan matanya menutup, setelah sebelumnya ia memberi isyarat pada Safira agar kuat dengan berkali-kali mengeratkan genggaman. Menyadari hal itu Safira memekik memanggil nama sang suami. Diguncangnya tubuh itu agar mata Tyo kembali terbuka.

"Dokter! Ibu, Mas Tyo, Bu. Panggil dokter, Bu!"

Mertua perempuannya segera memeluk dan mencoba menenangkan Safira, meski hatinya telah terlebih dahulu luka. Ia tahu saat ini akan tiba, setidaknya itu yang dikatakan dokter padanya. Harapan hidup untuk Tyo tipis.

Sebagai seorang ibu, ia tak ingin hal ini diketahui oleh Safira, mengingat menantunya itu tengah mengandung cucu pertamanya.

Teriakan Safira melemah saat para medis tiba. Oleh Bu Santi dan Pak Yuda, ia di ajak duduk membiarkan para medis memeriksa Tyo. Ia tak bisa sabar menanti penjelasan dari dokter, dengan kekuatan yang ia punya, Safira bangkit melangkah mendekat, diikuti oleh mertua perempuannya.

Namun, langkah wanita itu terhenti saat para medis yang mengelilingi Tyo mundur. Satu persatu dari mereka menatapnya dengan wajah pilu. Menyadari hal itu cepat Bu Santi memeluk tubuh menantunya. Safira limbung, tubuhnya luruh seolah tak bertulang setelah mendengar penuturan dokter yang menyatakan bahwa Tyo telah tak lagi bersama mereka.


**

Pada akhirnya terkadang kita harus membiarkan Tuhan bekerja. Sekuat apa pun usaha jika Dia tak mengizinkan, semua tak akan terjadi. Hari itu Tuhan memanggil suami Safira. Ia pergi meninggalkan istri dan calon anak yang sangat dinanti. Tak ada yang abadi, karena keabadian hanya ada dalam hati.

Rasa yang ditanam Tyo pada Safira sangat dalam, dan membekas terpahat di palung hati. Kesedihan jelas tak bisa jauh darinya. Luka, kecewa begitu tampak di mata indahnya. Tak ada pesan dari lelaki hangat itu, Tyo pergi seolah membiarkan dirinya belajar untuk mandiri.

Tiada yang bisa menentang apa yang telah digariskan. Meski tangis pilu mengiringi kepergian sang suami. Genggaman tangan itu pada akhirnya harus disudahi. Tak akan ada lagi belai manja dari lelaki bijak itu.

Safira hanya akan bermain-main dengan memori yang mungkin tak akan pernah usang. Potret kebersamaan akan tersimpan baik meski hati berakhir menyakitkan.

Kondisi psikologis Safira yang tidak stabil membuat dirinya berkali-kali tak sadarkan diri. Hingga wanita itu harus istirahat total guna menyelamatkan kandungannya yang sebentar lagi akan dilahirkan. Tak ada binar indah di sorot mata itu, yang tampak hanya luka dan muram.

Memeluk sunyi kini ia tapaki. Meski hati patah bahkan hancur ia tetap mencoba berdamai dengan kenyataan. Kenyataan bahwa harapan terkadang tak pernah bersahabat.

Sore itu ia sendiri di ruang tengah, wanita itu menolak tinggal di rumah Bu Santi. Ia memilih tinggal di istana kecil milik sang suami. Tak ingin Safira kesepian, ibu mertuanya memberinya seorang wanita paruh baya yang menemani sang menantu.

"Mbak Safira, ayo makan dulu. Ini sudah lewat waktu makan siang." Seorang wanita bertubuh subur mendekat membawa nampan berisi makanan.

"Makasih, Mbok."

Telaten Mbok Sum melayaninya. Perempuan itu tahu bahwa majikannya sedang dalam posisi psikologis yang tidak baik. Bu Santi pun mewanti-wanti agar ia sabar menemani Safira.

"Mbok, sebenarnya dari pagi tadi, perut terasa sakit. Tapi kadang muncul kadang hilang," ungkapnya setelah menghabiskan nasi beserta lauk pauknya.

Wajah Mbok Sum menegang sekaligus berbinar. Ia mengatakan bahwa majikannya itu tengah mengalami awal-awal kontraksi.

"Kita ke dokter, Mbak," ajaknya dengan wajah khawatir.

Safira mengatakan ia akan ke dokter jika kontraksi semakin sering. Sebab pesan dokter, sesaat kontraksi masih berjeda sebaiknya digunakan untuk berjalan-jalan agar memudahkan jalan lahir. Mendengar itu, Mbok Sum mengangguk mengerti.

**

Bu Santi tampak terburu-buru hendak pergi, ia memerintahkan pada sopir untuk segera bersiap ke rumah bersalin. Alva yang sejak tadi berada di teras bertanya-tanya.

"Ibu pergi dulu. Safira akan segera melahirkan."

Wajah lelaki itu menegang mendengar keterangan ibunya. Hampir saja ia bangkit dari kursi roda, jika tak ingat kakinya masih dalam perawatan.

"Ibu, Al ikut!"

"Jangan seperti anak kecil, Al! Sudah, tinggal di rumah. Doakan Safira diberi kemudahan melahirkan!"

Alva mengepalkan tangan seolah menyesali keadaannya. Kursi roda adalah sahabatnya setelah keluar dari rumah sakit. Ia harus melakukan terapi rutin guna mengembalikan fungsi kakinya.

Semenjak kejadian itu, Alva tak pernah lagi bertemu Safira. Kerinduan menatap wanita itu membuncah, tapi ia menyadari bukan saatnya hal itu ia utarakan pada orang tuanya. Betapa ia ingin menggantikan posisi Tyo di hidup Safira.

Namun, sadar hal itu tidak mudah. Alva juga mengerti kemungkinan besar wanita yang ia kagumi itu tentu akan berkeras menolak, mengingat posisinya saat ini adalah janda dari sang kakak.

"Bu."

"Ya?"

"Hati-hati, sampaikan salamku buat Safira."

Bu Santi hanya mengangguk kemudian berlalu. Deru mobil menandakan Pak Joko dan ibunya telah pergi. Alva membuang napas kasar. Ia mengusap ponsel yang sejak tadi ia pegang, sesaat kemudian ia terlihat menghubungi seseorang.

**

Di mobil Bu Santi berharap segera sampai, sementara hal itu agak sulit karena arus lalu lintas sangat padat. Sore adalah saat orang-orang kembali ke ruang dari seharian bekerja. Ia menyandarkan kepala berusaha menenangkan diri. Sesekali ia menghubungi Safira, menantunya itu sudah semakin sering kontraksi.

"Pak Joko, apa nggak ada jalan lain selain jalan ini?" tanyanya resah. Lelaki di balik kemudi itu mengatakan bahwa ia sedang mencoba mencari jalan tikus agar mereka segera tiba di rumah bersalin.

Perempuan yang berada di jok belakang itu sedikit lega, ia menatap ke luar jendela. Mengingat kondisi Safira, memorinya kembali ke saat Tyo menitipkan pesan untuknya. Lirih tapi cukup jelas didengar. Anak lelaki pertamanya itu meminta agar jika ia pergi, ia ingin anak dan istrinya dijaga oleh Alva.

Bu Santi menarik napas dalam-dalam kemudian memijit pelipisnya. Ia tak mau terburu-buru mengatakan hal ini pada Alva maupun Safira. Sebagai orang tua, Bu Santi sadar peristiwa yang terjadi kemarin bukan hal yang mudah bagi keduanya.

Asik berpikir sehingga ia tak menyadari mobil sudah sampai di pelataran parkir.

"Bu, kita sudah sampai." Pak Joko membuyarkan lamunannya. Gegas ia keluar mobil menuju ke ruangan Safira.

***

"Jadi maksudnya gue loe jadikan mata-mata gitu?" Deva menatap rekannya dengan kening berkerut. Alva mengangkat bahunya berkata, "Terserah apa namanya, loe mau nggak nolong gue?"

Deva menepuk bahu pria itu.

"Apa yang harus gue lakukan selain ke rumah bersalin itu?"

Alva mengusap wajahnya kasar.

"Kabarkan padaku kondisinya. Ceritakan bagaimana anaknya, itu saja."

Deva tersebut, mengatakan bahwa hal itu bisa ia dapat dari ibunya.

"Loe nggak perlu se-drama itu, Al!"

"Gue nggak lagi drama, Dev! Gue cuma nggak mau keluarga gue curiga dengan kekhawatiran ini!"

Lelaki di depannya itu mengangguk mengerti.

"Oke oke! Gue bantu loe, terus sekarang loe jadi terapi besok?"

Alva mengangguk.

"Gue harus bisa segera pulih, Dev!"

Deva tak sanggup menyembunyikan senyum, ia tahu seberapa dalam cinta Alva pada Safira meski sudah sangat terlambat.

"Loe yakin bisa membuat Safira jatuh cinta? Sebaiknya loe siap mental jika ternyata keinginan loe nggak kesampaian, Al! Jangan terlalu percaya diri, Bro!"

Alva mengangguk.

"Gue paham, Dev. Gue sudah siap bahkan jika dia berubah benci, gue siap!"

Deva menepuk pundak Alva seolah ingin memberi semangat pada sahabatnya itu.

***

Dengan perjuangan yang tidak mudah, akhirnya Safira melahirkan anak pertamanya. Rasa bahagia bercampur haru tergambar di wajah cantiknya. Pun demikian dengan Bu Santi, perempuan berkacamata itu tak sanggup menyembunyikan rasa yang menyeruak. Matanya terlihat berkaca-kaca.

Seorang bayi laki-laki berbobot tiga koma lima kilogram dengan panjang 50 sentimeter telah hadir di tengah-tengah keluarga besar Pak Yuda. Wajah bayi mungil itu sekilas tampak mirip dengan mendiang papanya.

"Selamat ya, Safira. Ibu sangat bahagia!"

Wanita itu mengangguk tersenyum lalu kembali menatap bayinya.

"Ibu, dia mirip sekali dengan Mas Tyo," bisiknya dengan mata berkaca-kaca.

"Dia ingin kamu bisa selalu melihat papanya di wajah itu, Nak." Bu Santi mengusap kepala menantunya. Safira kembali mengangguk, kali ini ia tak dapat menahan tangis teringat sang suami yang telah pergi selamanya.

***

Alva memejamkan mata membaca pesan dari Deva. Deva menyampaikan kabar tentang kondisi Safira seperti yang ia inginkan.

Besok ia bertekad untuk lebih serius melatih kakinya supaya segera pulih, dalam hati dia berjanji apa pun nanti halangan yang ditemui, tak akan menyurutkan keinginannya untuk menjaga Safira juga keponakannya itu.

"Kamu boleh benci atau bahkan tak peduli padaku, Safira. Tapi aku bukan Alva jika menyerah!"

***

Aku udah ngetik hingga part 30 dan kemungkinan akan selesai di part 35 atau lebih atau kurang hehe.

Doakan segera selesai ya. Oh iya, yang menebak Mas Alva bakal sama Safira mana suaranya? Atau jan jangan ... ada orang baru atau ...  Safira memilih sendiri? Hehe

Nah kalau itu nantikan di novelnya. Insyaallah. Doakan ya, Temans.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top