Dua puluh dua
Kamu adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan
🌼🌼🌼
"Safira, tunggu!" Wanita itu terpaksa menghentikan langkah. Matanya menatap tangan Alva yang erat memegang pergelangan tangannya. Sadar genggaman itu terlalu kuat, cepat pria itu melepaskan.
"Maaf, jika membuatmu sakit."
"Ada apa?"
Alva menelan saliva. Kerinduan berdekatan dengan wanita di depannya membuat lelaki itu tak bisa berkata-kata. Matanya seolah ingin mengungkap perasaan yang selama ini terpaksa ia tekan dalam-dalam.
"Mas Al. Ada apa?" Kembali Safira mengulang pertanyaan. Perlahan Alva meraih tangan Safira menempelkan di dadanya dengan mata yang tak berpindah dari wajah wanita itu.
"Safira, katakan! Apa kamu merasakan debar itu? Katakan!"
Tak menjawab, Safira mencoba melepas. Namun, tenaganya tak cukup kuat untuk berontak. Ia merasakan debaran kuat dari dada Alva.
"Kamu tahu, debar itu hanya milikmu! Aku tidak pernah merasakan hal itu pada siapa pun!"
"Saya harus kembali. Maaf!"
"Tidak! Sebelum kamu tahu perasaan ini, kamu tidak boleh kembali!" Alva mendekatkan wajahnya ke Safira. Wanita itu berusaha membuat jarak.
"Aku mencintaimu, Safira!" Sebuah kecupan cepat mendarat di bibirnya. Merasa diperlakukan tak seharusnya, wanita itu sontak mendorong kuat tubuh kekar Alva dan mendaratkan tamparan di pipinya.
"Saya milik Mas Tyo! Jangan pernah berpikir segila itu!"
"Aku sudah berusaha mengendalikan diri dan egoku dari segala hal tentangmu.
Jangan salahkan aku. Aku merindukanmu, Safira!"
"Cukup! Jangan berkata apa-apa lagi!" Ia menyeka matanya yang basah untuk kemudian ke ruang depan bergabung dengan yang lain.
Tyo tersenyum melihat istrinya kembali.
"Kenapa lama?" tanyanya khawatir.
"Nggak kenapa-kenapa, Mas. Saya hanya sedikit mual."
"Tapi nggak apa-apa, 'kan?"
"Nggak, Mas. Nggak apa-apa."
Acara lamaran berlanjut. Awalnya kedua keluarga sepakat mempercepat pernikahan, tapi Alva menolak dengan alasan ingin fokus bekerja juga agar bisa mengenal lebih dekat Gita, calon istrinya. Lelaki itu meminta waktu satu tahun lagi. Dengan alasan itu akhirnya keluarga besar menyetujui, meski menurut mereka terlalu lama.
Alva menyematkan cincin di jari manis Gita, demikian juga sebaliknya. Ada senyum malu di bibir gadis itu, tapi jelas tak ada binar bahagia di wajah Alva. Mata tajamnya sesekali menangkap Safira yang ikut bertepuk tangan menyambut pertunangan itu.
Saat menjelang acara makan-makan, Tyo meminta waktu pada ayahnya untuk menyampaikan sesuatu. Dengan mata penuh kebahagiaan, ia mengumumkan kehamilan sang istri di hadapan keluarga besar. Semua menyambut dengan ucap syukur, tak terkecuali keluarga calon istri Alva.
"Wah, kita bakal jadi sepasang kakek dan nenek, Yah!" Bu Santi mengusap perut Safira.
"Dan kamu, Alva! Kamu akan dipanggil om!" sambungnya lagi.
Pria itu diam tak bereaksi, rahangnya terlihat mengeras dengan tangan mengepal.
"Al? Kamu nggak bahagia?"
"I-ya, Bu. Bahagia pasti! Al bahagia!" jawabnya sambil menatap Safira yang membuang pandangan ke arah lain.
***
Kehamilan Safira membuat Bu Santi semakin sayang padanya itu. Seringkali ia berkunjung ke rumah Tyo membawakan makanan yang diinginkan sang menantu.
"Al, kamu lagi nggak ngapa-ngapain, 'kan?" tanyanya sore itu.
"Kenapa emang, Bu?" Alva menoleh malas ke arah Bu Santi.
"Tolong antar ibu ke rumah Tyo. Ibu mau ketemu Safira." Alva terdiam menatap gadget yang sejak tadi ia mainkan.
"Al?"
"Ya, Bu?"
"Bisa kan antar ibu sekarang?"
"Pak Joko ke mana emang, Bu?"
"Ibu mau kamu yang antar, bukan Pak Joko. Lagian Mas-mu bilang, sejak dia pindah, kamu belum pernah sekalipun datang berkunjung ke sana. Kenapa sih?"
Tak ingin lebih jauh ibunya bertanya, segera ia bangkit merapikan baju, lalu menyambar kunci mobil.
"Ayo, Bu. Al antar!"
Di perjalanan Bu Santi meminta Al untuk berhenti di swalayan. Ibunya bertutur bahwa sebagai wanita hamil, Safira butuh asupan buah dan sayuran yang cukup. Pria itu hanya mengangguk menanggapi ucapan sang ibu.
Alva memilih menunggu di mobil sementara Bu Santi berbelanja. Memang sejak awal kepindahan sang kakak, ia tak pernah berkunjung ke rumah itu. Bukan apa-apa, ia hanya tak ingin hak buruk terjadi pada Safira seperti saat ia bertemu di rumah saat acara lamaran tempo hari.
Telepon genggam miliknya bergetar, maka ia menanggapi. Tertulis Gita memanggil, ia kembali meletakkan benda itu ke dashboard, lalu memutar lagu kesukaan di tape mobilnya. Dua puluh lima menit kemudian sang ibu tiba dengan trolly penuh. Sigap ia turun dan membantu memasukkan belanjaan ke mobil.
Mobil kembali meluncur.
"Kamu sering ketemu Gita kan, Al?"
"Iya," jawabnya singkat.
"Syukurlah. Bagaimana dia? Baik kan?"
"Baik."
"Kamu sudah ngerasa klik?"
Alva diam, ia menaikkan kecepatan kendaraan.
"Al? Ibu sedang bertanya."
"Entah, Bu. Jangan tanyakan itu dulu, Bu. Al sedang tidak mood."
Bu Santi mengangguk tak lagi bertanya. Ia tahu sang putra tengah memikirkan sesuatu yang ia tak mengerti apa.
Mobil tiba di depan pagar rumah Tyo. Bu Santi bergegas turun dan meminta Alva membawakan barang belanjaan ke dalam.
"Safira! Kamu ngapain di dapur? Tyo sudah melarang kan?" Bu Santi mengejutkannya.
"Ibu ke sini kenapa nggak bilang?" Tyo membantu menenteng tas belanjaan dari tangan Alva.
"Emang nggak boleh? Ibu mau ketemu Safira, memastikan asupan gizinya juga gizi buat calon cucu ibu."
"Bukan nggak boleh, Bu. Kami bisa siap-siap menyambut kedatangan ibu. Safira bisa buatkan pie susu kesukaan ibu," jelas Safira seraya mencium punggung tangan ibu mertuanya.
Bu Santi menggeleng cepat, mengatakan bahwa ia sedang tidak ingin apa pun selain mendampingi dan merasakan kebahagiaan Tyo dan Safira juga calon anak mereka.
Alva memilih duduk di teras, kembali meneliti ponselnya.
"Al, apa kabar? Speechless, kamu akhirnya berkunjung ke rumah." Tyo menyodorkan segelas jus jambu padanya.
"Thanks, Kak. Maaf, pekerjaan itu sangat menyita waktu, jadi ...."
"No problem, aku senang akhirnya kamu bisa bekerja dengan baik."
Alva mengangguk tersenyum. Sesaat hening.
"Bagaimana Gita?"
Sang adik mengangkat bahu kemudian menggeleng.
"Kamu sudah bicarakan hal ini ke ibu?"
"Aku nggak ingin ibu terluka lagi, Kak!"
"Lalu?"
"Satu-satunya harapan adalah Gita ... dia yang akan kuminta untuk membatalkan rencana pernikahan itu! Secepatnya."
Tyo menarik napas dalam-dalam.
"Apa itu tidak melukai hatinya? Eum, maksud aku, hati Gita?"
"Dia akan lebih luka jika tahu aku tidak pernah mencintainya," balas Alva.
Kembali suasana hening. Terdengar sayup-sayup suara Safira tengah bercanda dengan Bu Santi. Alva melirik sang kakak kemudian berkata, "Selamat ya, Kak. Aku ikut bahagia. Sebentar lagi aku dipanggil om."
"Thank, Al. Kamu tahu ... ini sesuatu yang luar biasa. Bahkan nggak pernah menyangka secepat ini. Menikah dengan gadis seperti dia di luar perkiraaan, tapi justru dari dia Mas dapat kebahagiaan!" papar Tyo.
Alva mengangguk mencoba menarik bibirnya.
Matahari meninggi, panasnya menyengat siapa pun siang itu. Bu Santi mengurungkan niat untuk pulang. Perempuan itu ingin beristirahat di rumah sang putra.
"Sore aja kita balik, Al. Ibu pingin tidur siang di sini. Oh iya, kita makan siang dulu!" Bu Santi menuang juice jeruk kemudian duduk di ruang makan.
Alva menarik napas dalam-dalam, ia terlihat resah. Semakin lama ia di rumah itu, semakin sering matanya menatap Safira.
Makan siang telah tersedia. Hidangan sederhana sayur asem, ikan dan tempe goreng lengkap dengan sambal telah tersedia. Bu Santi sengaja memasak untuk menantunya. Safira sama sekali tak diizinkan menyentuh apa pun di dapur.
"Bu, Al pergi dulu ya. Nanti ibu telepon aja kalau udah mau pulang," pamitnya saat yang lainnya telah siap menikmati hidangan.
"Kamu mau ke mana?" Sang ibu menatapnya tajam.
"Mau ... ketemu ...."
"Gita?" potong Bu Santi. Al diam, matanya sekilas menangkap sosok Safira tengah mengikat rambut panjangnya.
"Al? Kamu kenapa?"
"Ah ... iya, Bu. Al mau ketemu Deva ... eh Gita maksudnya!"
"Sebaiknya kamu makan siang dulu. Ini ibu yang masak."
"Eum, tapi ...."
"Tapi nggak apa-apa kalau kamu mau ketemu Gita. Sampaikan salam ibu padanya."
Alva menghela napas lega. Tanpa menunggu lama segera ia keluar dan pergi dengan mobilnya.
***
Peristiwa saat acara pertunangan Alva beberapa waktu lalu membuat Safira sedikit terusik. Tak henti ia mengutuk diri sendiri ketika kilas itu melintas di kepala.
Ia tak bisa memungkiri bahwa ada ruang kecil yang masih tersisa di hatinya untuk pria itu. Namun, kasih sayang dan perhatian yang diberikan Tyo telah mampu menutupnya.
Pria bijaksana itu telah membuat dirinya yakin akan perasaannya. Akan tetapi, keberanian Alva mengungkapkan perasaannya saat itu telah berhasil kembali membuat ruang itu sedikit menganga.
Safira menarik napas dalam dalam-dalam. Jemarinya mengusap lembut perutnya yang masih datar.
"Maafkan saya, Mas Tyo. Percayalah, saya tidak akan pernah membuat mas kecewa," bisiknya, "ada buah cinta kita di sini."
Ketukan pintu membuatnya tersadar. Sesosok pria tengah tersenyum menatapnya.
"Melamun?"
"Nggak, Mas."
Tyo merengkuh bahu sang istri mengecup keningnya lama. Seolah ingin menumpahkan semua kebahagiaan.
"Aku bahagia, Safira. Sangat bahagia!"
"Saya juga, Mas."
***
"Loe gila, Al!" Deva menepuk kuat bahu pria yang tengah duduk di sampingnya.
"Iya, Dev! Gue emang gila. Gue gila."
Deva menepuk keningnya seraya menggelengkan kepala.
"Loe mending pergi jauh deh, Al! Loe sadar kan itu bisa merusak hubungan kakak loe sama istrinya?"
Alva tak menjawab. Pergi jauh sudah pernah ia ungkapkan kepada sang ayah. Tapi tidak diizinkan, justru ayahnya memberikan kepercayaan untuk mengelola bisnis di kota ini. Sedangkan di kota lain sudah ada yang menempati.
"Ya udah, kalau gitu ... loe mending percepat hari pernikahan loe!"
"Tapi loe tahu kan kalau gue ...."
"Nggak cinta sama Gita?" potong Deva, "cinta itu akan muncul dengan sendirinya, Bro! Yakin deh!"
Alva mengusap tengkuknya, mengambil sebatang rokok kemudian menyalakan.
"Gue nggak nyangka ternyata gue nggak bisa lupain dia!" rutuknya.
"Gue harus ketemu Gita berarti ...."
"Dan katakan loe mau mempercepat pernikahan kalian!" sambut Deva.
"Apa itu ide bagus, Dev?"
"Sure! Kalau loe sayang kakak loe dan kalau loe sayang sama Safira ... biarkan mereka bahagia!"
Alva tak menjawab. Matanya menerawang mengembuskan asap rokok ke langit-langit ruangan kantornya.
***
Udahan ....
Colek jika typo yaa. Selamat berpuasa.
Udah ada yang kedatangan tamu bulanan belum nih? Hehehe. Aku dah bolong hari ini 🙈
Jadi gimana dong nih Mas Al?😁.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top