Dua puluh delapan

Hidup harus berlanjut, suka atau tidak masing-masing harus menjalani takdirnya. Safira yang akhirnya harus menjadi single parent sudah bisa perlahan bangkit dengan caranya. Putra buah cintanya dengan Tyo tumbuh menjadi anak pintar membuat sang eyang selalu merindukannya. Kerapkali mertuanya itu datang menjenguk bersama Alva.

Meski tak memiliki ayah, tapi si kecil Satria tak kekurangan kasih sayang dan figur Tyo. Karena Alva perlahan telah hadir mengisinya. Sering Safira melihat kedekatan mereka dari kejauhan, saat keduanya melepas rindu bermain di halaman rumah.

Celotehan Satria yang terkadang memanggil papa Al, membuatnya serba salah. Entah siapa yang mengajarkan bocah itu sehingga memanggil demikian.

Pernah sekali waktu ia melarang Satria memanggil dengan panggilan itu, tapi cepat Alva berkata, "Nggak apa-apa, Safira. Toh itu cuma sekedar panggilan. Aku nggak masalah kok."

"Tapi kan nanti bisa mengganggu pasangan Mas Al. Dengan panggilan itu, mereka akan berpikir bahwa ...."

"Aku kan sudah bilang, bahwa sama sekali tidak masalah. Jika mereka mempermasalahkan, itu urusan mereka, ya kan, Satria?"

Anak kecil itu mengangguk meski tidak mengerti apa yang diucapkan Alva.

"Tuh, Satria aja nggak masalah. Atau ... kamu yang keberatan?"

"Eum ... saya, saya hanya ...."

"Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Aku sedang tidak minat mencari pasangan, kecuali ...."

"Kecuali apa, Mas?"

"Kecuali kamu sudah menemukan papa untuk Satria."

Obrolan itu yang hingga kini melekat di kepala Safira.

Di desa, ia kembali mengajar dan membuka usaha pemesanan kue bersama Bu Soleh juga Mbok Sum. Jika ada waktu senggang, ia tak jarang  berkunjung ke rumah mertuanya sekaligus menyambangi makam Tyo.

***

Hari itu tepat tiga tahun kepergian sang suami, ia masih bergeming meski ada beberapa yang menginginkannya sebagai pendamping. Pagi-pagi sekali Safira sudah siap berangkat ke makam Tyo. Saat hendak mendatangi kedua mertuanya, ada percakapan yang membuat ia mengurungkan niat.

"Sudah tiga tahun kepergian Tyo, dan kita belum mewujudkan keinginan anak itu, Yah," tutur Bu Santi.

"Ibu bicarakan hal ini ke Safira. Jika dia mau, laksanakan keinginan Tyo itu, tapi jika tidak. Sebaiknya jangan memaksa." Pak Yuda memangku Satria yang tengah asik bermain.

"Tapi, Yah. Ibu kasihan melihat Safira. Dia harus menjadi single parent di usia muda yang seharusnya didampingi suami," jelas Bu Santi.

Sejenak keduanya terdiam menatap Satria yang tengah asik bermain.

"Ayah paham. Kita bicarakan itu nanti."

"Entah kenapa, ibu merasa Alva sebenarnya masih sangat mencintai Safira, tapi terlambat."

"Itulah sebabnya sampai saat ini dia selalu menolak jika kita akan mengenalkan pada gadis yang kita ajukan," sambung Bu Santi.

"Begini saja, jika memang demikian ... kita biarkan Alva berusaha sendiri. Dan kita biarkan juga Safira memutuskan hidupnya," tegas Pak Yuda menatap wajah istrinya.

Bu Santi hanya mengangguk menanggapi. Safira yang sejak tadi mendengar di balik dinding menyeka air mata. Teringat bagaimana kelembutan Tyo dan cara pria itu mencintainya.

Ia juga tahu sebenarnya seperti apa perasaan Alva padanya, tapi itu sudah lama diendapkan dalam-dalam. Meskipun dirinya tak memungkiri jika ada perasaan berbeda saat melihat pria itu begitu dekat dengan putranya.

Safira sendiri masih tak ingin melepas semua tentang suaminya, hingga masa yang entah dia sendiri tak tahu. Namun, saat melihat kedekatan Satria dengan Alva ada hati yang menghangat. Bocah kecilnya itu selalu berbinar saat berdua dengan adik papanya tersebut.

Setelah memastikan tak ada air mata yang menggenang, ia menghampiri kedua mertua.

"Bu, Safira mau ke makam Mas Tyo, lalu mampir untuk membeli keperluan Satria juga ada beberapa bahan kue yang mau Safira beli," pamitnya pada Bu Santi yang tengah bercanda dengan cucunya.

"Satria biar di rumah aja sama ibu, kamu bisa pergi diantar Pak Joko."

"Iya, Bu. Safira pergi dulu." Setelah menyematkan kecupan di pipi tembem Satria, ia menghampiri Pak Joko. Saat wanita itu baru saja hendak bicara, Alva sudah ada di tengah tengah mereka.

"Mau ke mana?"

"Mau ke ... Mas Tyo," lirihnya.

"Aku antar, ayo!" ajak Alva memberi isyarat agar Safira mengikutinya.

Sejatinya wanita itu ingin menghindari Alva, karena setiap bertatapan dengan lelaki itu ada kilas bayangan sang suami di sana. Meskipun ia telah mencoba menghapus itu, tapi tak dipungkiri jika senyuman Tyo selalu tercetak di bibir Alva. Kemiripan sang suami itu yang kerapkali menghantui.

"Safira, ayo masuk!"

Ia mengangguk setelah sadar bahwa sejak tadi pintu mobil telah dibukakan pria beraroma mint di sampingnya. Mobil meluncur menuju pemakaman Tyo, sementara Safira memilih membisu menatap keluar melalui jendela. Alva sesekali melirik kemudian kembali fokus mengemudi.

"Kamu nggak beli bunga?"

Wanita itu mengangguk tersenyum. Alva menepikan mobilnya di depan kios bunga gak jauh dari komplek pemakaman. Beberapa kuntum bunga lily dan bunga yang hendak ditabur telah berada di tangan.

"Aku yang bayar," cegah Alva saat melihat Safira hendak membayar.

Alva berjalan di belakang Safira. Sesampainya di depan pusara Tyo, wanita itu meletakkan rangkaian bunga lily dan menaburkan bunga diatasnya.

"Tiga tahun sudah, apa kabar, Mas Tyo? Saya rindu ...," gumamnya dengan suara bergetar. Mata beningnya kembali berair.

"Satria sudah besar ... dia mirip dirimu, Mas. Dia juga sering bertanya tentang papanya ... setiap kali dia bertanya seperti itu, saya akan bercerita semua tentangmu berulang-ulang. Saya ingin dia selalu merasa papanya masih ada ...." Bahu wanita itu bergetar.

Begitu yang selalu terjadi, setiap ia mengunjungi makam sang suami. Alva yang baru kali ini menemani Safira, terkesima dengan kesetiaan wanita itu. Ada sudut hati yang ikut luka menyaksikan tangis Safira. Perlahan ia meletakkan tubuh di sampingnya, ia ikut mendengarkan wanita itu melangitkan doa.

"Tisu ...." Ia menyodorkan ke wanita itu setelah Safira selesai berdoa.

"Makasih, Mas."

"Kita pulang sekarang?"

Sambil merapikan kerudung ia mengangguk. Kali ini mereka berjalan bersisian. Hampir saja Safira jatuh karena kakinya tersandung akar pohon yang menyembul tak jauh dari komplek pemakaman. Namun, hal itu tidak terjadi karena Alva sigap menangkap tubuhnya sehingga seperti orang yang tengah berpelukan.

"Maaf ... aku hanya ...."

"Saya tahu, terima kasih." Segera Safira menyudahi kontak itu lalu kembali melangkah menahan nyeri di kaki.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Alva melihat Safira meringis kesakitan saat mereka sudah di dalam mobil.

Dengan wajah resah pria itu melajukan mobilnya pulang.

***

Alva cepat membuka pintu membantu Safira keluar dari mobil.

"Hati-hati, kamu bisa pegang lenganku," tuturnya memberi isyarat pada Safira, "Sepertinya kamu terkilir."

Suasana rumah sepi, hanya ada Mbok Sumi yang tergopoh-gopoh menyambut keduanya.

"Satria mana, Mbok?" Safira duduk di sofa menahan sakit.

Perempuan itu mengatakan bahwa Satria diajak kedua eyangnya jalan-jalan.

"Mbak Safira kenapa?"

"Sepertinya dia terkilir, Mbok tolong ambilkan minyak zaitun di kotak obat," perintah Alva.

"Aku coba bantu meringankan sakitnya, boleh?" Lelaki itu menatap hangat ke arah Safira setelah menerima minyak dari Mbok Sum.

"Eum ... saya bisa sendiri," tolaknya halus.

Lelaki itu tersenyum menaikkan alisnya seraya berucap, "Oke."

"Saya ke kamar dulu," pamit Safira mencinta melangkah meski lagi-lagi ia menahan sakit.

"Aku bantu?"

"Saya bisa, terima kasih, Mas Al."

Alva mengangguk, ia membiarkan wanita itu berjalan tertatih menuju kamar. Semenjak Safira mendengar perkataan kedua mertuanya pagi tadi, ada rasa canggung yang tak bisa dihindari. Jika sebelumnya ia telah bisa bersikap wajar pada pria itu, tapi kali ini tidak.

***

Safira mempercepat kunjungannya di rumah Bu Santi dengan alasan ingin segera kembali mengajar dan ada banyak kegiatan yang menunggu. Ia sebenarnya hanya ingin menghindar dari Alva. Wanita itu merasa tidak semestinya ia mewujudkan keinginan mertuanya.

"Safira, maafkan ibu jika ucapan ibu kali ini mengganggumu, tapi ini adalah amanah mendiang suamimu yang sempat ia ucapkan dulu."

Bu Santi menceritakan apa yang seharusnya ia sampaikan sejak dulu.

"Bagaimana, apakah kamu bersedia?"

Safira menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.

"Saya bukan lagi seorang gadis, Bu. Hidup saya hanya untuk Satria," lirihnya.

"Lalu?"

"Biarkan sementara saya begini dulu. Mas Al bisa mendapatkan gadis yang lebih baik dari saya," jelasnya.

"Bagaimana jika Alva benar-benar mencintaimu juga Satria?"

Safira menunduk tak berniat menjawab.

"Oke, ibu paham. Nggak apa-apa, ibu nggak memaksamu. Ibu hanya berharap kamu menemukan pasangan yang tepat untuk menggantikan posisi Tyo," pungkas Bu Santi mengusap bahu menantunya.

Safira meminta izin untuk bersiap-siap kembali ke desa.

"Mama ... antal papa Al!" seru bocah kecil itu dengan pengucapan yang masih cadel.

"Papa Al sibuk, Satria. Kita pulang sama Pak Joko aja ya ...," rayu Safira. Lelaki kecilnya itu gak mau beranjak dari duduk jika yang mengantar pulang bukan Alva.

"Satria ...."

"Aku nggak sibuk, Safira. Ayo jagoan! Masuk, papa Al antar."

Sambil bersorak si kecil Satria memasuki mobil meninggalkan Safira yang berdiri mematung.

"Mama, ayo!" panggil putranya yang sudah berada di samping Alva.

"Mbak Safira, ayo," ajak Mbok Sum.

Melihat wanita itu tak bergeming, Alva turun mendekat.

"Jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri, Safira. Setidaknya abaikan semuanya untuk Satria," ucapnya dekat.

Dengan mengangguk ia melangkah menuju mobil. Ada senyum terulas di bibir pria itu.

***

Menjadi janda di usia yang relatif muda bukan perkara mudah. Kerapkali Safira mendengar kasak kusuk tak mengenakkan tentang dirinya.

"Safira jika ada lelaki yang mau mempersuntingmu bagaimana?" tanya Bu Soleh saat mereka duduk berdua di serambi.

Safira tak menjawab, ia hanya tersenyum tipis.

"Bukan bermaksud apa-apa, hanya ingin menjagamu dari fitnah, Nak."

"Saya mengerti, Bu. Tapi maafkan saya kalau belum bisa menerima siapa pun saat ini. Bahkan ...."

"Pesan suamimu?"

Safira mengangguk pelan.

"Mungkin dengan menjadikan Mas Al sebagai penjaga kami itu sudah cukup. Saya tidak perlu menikahinya," tuturnya lirih.

Bu Soleh sudah menganggapnya sebagai anak sendiri, terlebih semenjak ia memutuskan tinggal di rumah peninggalan eyang Fatima.

"Ibu ada kenalan, dia dari keluarga baik-baik. Ibu rasa kalau kamu mau, alangkah baiknya jika ...."

"Maaf, Bu. Saya tidak peduli dengan omongan orang tentang saya. Saya tidak akan memutuskan apa pun sampai detik ini. Maaf," tangkisnya.

Hening, hanya terdengar binatang malam bersahutan.

"Ibu paham. Lalu bagaimana dengan Mas Alva?"

Safira menghela napas dalam-dalam. Belakangan ini Alva semakin sering datang. Dan tentu saja Satria menyambut dengan suka cita, berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu serba salah jika berhadapan dengan pria itu.

"Katakan, apa kamu menyukainya?"

"Bu Soleh bicara apa sih?"

"Ibu tahu, seperti apa hubungan kalian sebelum kamu menikah dengan Tyo," tandasnya.

Suasana kembali hening.

"Safira, mungkin ibu sama sepemikiran dengan ibu mertuamu. Kami semua menyayangimu, Nak."

"Bu, saya belum siap menerima siapapun. Saya mengerti maksud ibu," ungkapnya pelan.

"Baiklah, sudah malam. Sebaiknya kamu istirahat."

Safira mengangguk beranjak menuju kamar.

***

Yuk cuss komentar dan vote-nya💙 hehehe. Suka tak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top