Dua
Lagi mood nerusin yang ini, Guys 😁 kuy lah. Beri taburan bintang dan komentar ciamik.
Gadis berkepang dua itu semakin jauh masuk kedalam toko tanpa ia sadari. Suara musik di mall semakin membuatnya lupa. Safira semakin menikmati tempat itu. Setelah puas berkeliling, ia menemukan jalan menuju gerai baju. Matanya berkali-kali berbinar dengan senyum di bibir ia menyentuh satu persatu gaun yang bergantung rapi. Terus melangkah ke berbagai gerai, dari mulai peralatan rumah tangga, sepatu, baju, tas, kosmetik hingga mainan anak.
Sementara Pak Joko kebingungan mencari Safira, ia telah menyusuri setiap sudut mall tapi belum menemukan gadis itu. Hingga terpaksa Nia memanggil dari ruang informasi mengharap agar Safira mendengar. Namun, sia-sia. Lelaki itu mulai gelisah, setelah ia melihat arloji menunjukkan pukul 13.00 WIB. Itu artinya ia hampir setengah hari kehilangan gadis itu. Dengan wajah resah ia terlihat menghubungi seseorang.
Langkahnya terhenti saat ia merasa perutnya minta diisi. Saat itu seolah ia baru saja tersadar. Menatap sekeliling berharap ada Pak Joko di sana, tapi tak ditemui. Wajahnya mendadak seputih kapas, terlihat sangat ketakutan. Ia menepi di satu sudut dekat dengan toilet. Jemarinya terus saling bertautan dengan mata mengawasi setiap sudut.
"Neng mau ke toilet?" tanya seorang bapak berseragam security mendekat. Sambil tersenyum ia menggeleng.
"Sedang menunggu seseorang?" tanyanya lagi. Safira kali ini mengangguk. Bapak ramah itu mempersilakan Safira duduk, lalu ia pergi.
Mata indahnya membeliak melihat seseorang yang ia kenal berjalan ke arahnya. Bergegas ia beringsut memanggil nama pria itu.
"Mas Al!"
"Pulang!" ujarnya ketus dengan menatap tajam pada gadis itu. Merasa pria itu tak bersahabat ia mengurungkan diri tersenyum. Sambil menunduk Safira mengikuti langkah Alvaro. Derap langkah pria penyuka olah raga terlalu cepat sehingga gadis itu tertinggal cukup jauh. Kesal melihat langkah lambat, Alva mendekat.
"Kamu bisa jalan lebih cepat?" sergahnya kesal.
"Bisa, tapi ...."
"Ck, kenapa lagi?"
Safira diam, ia sebenarnya takut jika harus menggunakan tangga berjalan itu. Sedang tadi saat naik, ia ikut kerumunan orang yang tengah mengantre menaiki lift. Ia sendiri baru pertama kali naik kapsul yang bisa naik turun itu. Hal itu ia lakukan terpaksa karena dirinya berjebak dan ikut naik.
"Kamu dengar nggak sih! Ditanya malah ngelamun!"
"Saya takut itu," balasnya seraya menunjuk eskalator. Alvaro mengacak rambut frustrasi.
"Kalau takut kenapa bisa sampai di lantai tiga?" sungutnya. Dengan suara pelan ia bercerita jika menggunakan lift. Sambil membuang napas kasar ia menggamit lengan Safira mengajaknya menuju eskalator.
"Aku takut, Mas Al," ucapnya.
"Perhatikan langkahku!" ujar Alva saat mereka telah di depan tangga turun. Dengan wajah tegang Safira menatap langkah Alvaro. Namun, ia tak bisa mengikuti apa yang dicontohkan lelaki itu. Alva sudah lebih dulu turun sementara dirinya masih berdiri terpaku menatap pria yang telah berada di lantai bawah.
Alva mendengkus kesal mendapati Safira masih kebingungan di atas sana. Terlihat ia memberi isyarat gadis itu agar turun, tapi Safira menggeleng melangkah mundur. Alva bergegas kembali menuju tangga ke atas.
"Ck! Norak banget sih! Sini!" Ia menggamit lengan gadis itu membawanya masuk ke dalam lift.
Sesampainya mereka di lantai dasar Alva mengajak gadis itu masuk ke mobilnya. Namun, Safira menolak. Gadis itu mencari keberadaan Pak Joko. Dengan wajah semakin kesal Alva menjelaskan bahwa sopir yang ia cari telah pulang.
"Ini semua karena kamu! Sok tahu, udah dibilang suruh nunggu malah pergi, kamu sadar nggak sih, ulahmu ini menyusahkan banyak orang?" hardiknya menatap tajam pada Safira. Dengan menunduk gadis itu mengangguk menyembunyikan mata yang berkaca-kaca. Alva mengusap wajah kasar lalu memerintahkan Safira masuk.
Mobil meluncur membelah jalanan.
"Maafkan saya, Mas Al. Saya hanya terlalu senang melihat berbagai macam barang di sana," ucapnya lirih. Alva tak menanggapi.
Tiba-tiba mata gadis itu membulat seolah mengingat sesuatu.
"Mas! Berhenti, berhenti!" serunya.
Panik mendengar ucapan Safira, cepat Alva meminggirkan mobil.
"Ada apa lagi?"
"Saya kan belum beli apa pun seperti yang diperintahkan ibu ...."
Terdengar umpat kecil dari bibir Alva.
"Itu bukan urusanku!"
Kembali ia menyalakan mobil dan meluncur pulang. Keinginan Alva untuk segera sampai rumah tak terwujud. Jalanan macet total, sementara waktu menjelang sore. Berkali-kali Safira meringis merasakan perutnya melilit. Maklum sejak tadi ia hanya makan pagi saja. Hal itu tak luput dari perhatian Alva.
"Kenapa kamu?" tanyanya seraya menatap kaca di atas kemudi.
Safira yang duduk di bangku belakang menggeleng takut. Ia tak ingin menyusahkan lelaki itu lagi. Setelah apa yang diucapkan Alvaro membuat luka. Melihat wajah Safira pucat tak urung membuatnya sedikit panik. Ia memberikan segelas air mineral pada gadis itu.
***
Setelah seharian kemarin Safira berada di luar rumah dan tak membawa pulang apa pun, membuat Ibu Santi kesal dengan Alvaro. Lelaki itu menjadi sasaran omel sang ibu.
"Sebagai gantinya,hari ini kamu harus antarkan dia belanja!"
"Bu, ini hari kerja, Al harus masuk kerja," protes lelaki itu.
"Ibu nggak peduli, itu urusan kamu. Mau kamu antar malam kek atau pulang kerja kek, bisa 'kan?"
Alva mendengkus kesal. Kali ini ia bukan hanya kesal pada ibunya karena memaksa, tapi tentu saja kesal pada Safira.jika saja perempuan itu pintar keadaan seperti kemarin tak akan terjadi. Alva melirik gadis yang baru saja melintas di depannya. Kedatangan Safira membuat dunia dan segala rencana hidupnya berantakan.
"Bu, Al minta waktu sebentar boleh?" tanya Alva sedikit melunak.
"Bicara saja, ada apa?"
Alva kembali meminta agar rencana pertunangan dirinya dengan Safira diurungkan. Pria berkulit bersih itu beralasan bahwa dirinya telah menemukan pasangan yang benar-benar cocok dan bisa membuat dirinya berubah jadi lebih baik.
Menanggapi ucapan putranya, Ibu Santi menggeleng tersenyum.
"Keputusan kami, ibu dan ayahmu sudah bulat. Kami jatuh cinta pada Safira, dan ibu yakin kamu akan begitu. Jadi sekarang pikirkan jam berapa kamu jemput dia untuk belanja!" Ibu Santi bergegas beranjak dari duduk lalu keluar menuju mobil yang sudah ada Pak Yuda di sana. Alvaro menyugar rambut kesal.
"Pak Joko nanti antar Safira ...."
"Maaf, Mas. Saya tidak boleh sama bapak untuk mengantarkan lagi," sela Pak Joko yang tengah mencuci mobil. Lelaki itu mengumpat meninggalkan sopir mereka.
"Kamu, nanti siang aku jemput jam satu. Kita belanja seperti yang ibu mau!" ucapnya pada Safira yang sedang merapikan buku di rak. Gadis itu mengangguk tersenyum. Alva melangkah ke kamar bersiap untuk bekerja. Lelaki itu terlihat tampan dengan kemeja dan dasi yang bergantung di leher.
"Oh iya, ingat! Nanti di sana ikuti aku, jangan pergi sendiri!"
"Iya, Mas."
"Bagus! Oh iya, satu lagi aku nggak suka kamu seperti kemarin, penakut! Ingat jam satu tepat kamu harus sudah siap, aku malas nunggu."
Setelah mengucapkan itu, ia pergi.
***
Tepat pukul 13.00 WIB Safira siap. Ia memang gadis desa tapi kecantikan alami yang ia miliki tak kalah dengan gadis kota yang rajin ke salon. Baju panjang berwarna biru dengan rambut panjang yang dikepang membuat tampilannya menarik. Sesekali ia merapikan anak rambut yang bermain di wajahnya. Mobil berwarna hitam berhenti tepat di teras tempat dia duduk. Terlihat jendela mobil di buka. Lelaki itu membuka kaca matanya.
"Masuk!"
Safira bergegas masuk, seperti biasa ia memilih duduk di belakang.
"Duduk di depan, aku bukan sopir taksi online!" perintahnya lagi. Gadis itu menurut saja. Baginya diam lebih baik daripada membuat lelaki bertubuh atletis itu marah.
Sepanjang jalan Alva membiarkan tape mobilnya bersuara keras dengan musik yang menghentak. Sengaja ia memang tengah membuat gadia itu kesal. Namun, Safira bukan gadis seperti yang ia sangka. Perempuan itu diam saja membiarkan suara itu, meski memekakkan telinganya.
"Ingat ikuti perintahku. Jangan pergi sesukamu!" ucapnya saat mereka baru turun dari mobil. Gadis itu mengangguk melangkah di belakang Alva.
"Aku harap kali ini kamu bisa naik tangga itu," serunya menunjuk eskalator ke lantai dua. Meski gugup, ia mengangguk sambil mengumpulkan keberanian.
Saat berada tepat di ujung tangga, Alva melangkahkan kakinya, demikian juga dengan Safira. Namun, karena gugup dan rasa takut menguasai gadis itu, ia hampir saja terjatuh. Tapi Alva sigap menangkapnya.
"Maaf, Mas," bisik Safira membetulkan letak tubuhnya.
Alva bergeming, seolah tak terjadi apa-apa.
"Siap-siap, sebentar lagi kita sampai di atas!" ucapnya kesal.
"Saya takut jatuh, nanti Mas malah tambah malu," ungkap Safira dengan suara bergetar.
"Ck, sini!" Bersungut Alva menggenggam tangan Safira hingga gadis itu terlihat salah tingkah. Sedang pria itu sama sekali tak peduli hal itu hingga mereka tiba di lantai dua.
Segera Alva melepas genggamannya.
"Ayo ikut aku, kita membeli keperluan untuk toko dulu, setelah itu kita beli untuk keperluan pribadimu!"
Lagi-lagi Safira mengangguk mengikuti langkah Alva.
***
Makasih, sudah baca, cilok jika typo😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top