Delapan belas.
Kesibukan di rumah keluarga Bu Santi semakin terlihat. Pesta pernikahan putra pertama mereka akan dilangsungkan. Pesta digelar di pelataran rumah mereka. Halaman yang luas cukup untuk menampung para tetamu dan undangan yang hadir.
Safira sejak seminggu sebelumnya sudah melakukan perawatan tubuh untuk menyambut hari bahagia itu. Sementara Tyo, tidak boleh menemuinya. Pria itu tinggal di rumah pribadi miliknya. Rumah yang ia beli sejak ia berada di luar negeri. Dia sangat memperhitungkan masa depannya. Hal itu membuat dirinya berbeda dengan sang adik.
"Alva ke mana, Bu? Pesta kakaknya semakin dekat, kenapa dia jadi sering ngilang?" pak Yuda bertanya saat mereka di kamar. Sang istri yang tengah menyisir rambutnya menggeleng. Ia pun merasa heran dengan sikap anak bungsunya akhir-akhir ini. Menurut Bu Santi Alva sering mengurung diri di kamar.
"Entah, kita harus bahagia atau sedih. Jika biasanya dia sering kelayapan, sekarang dia lebih fokus ke pekerjaan, sepertinya."
Pak Yuda membenarkan, setidaknya itu juga yang ia peroleh dari progres laporan pekerjaan yang ditangani putranya itu.
"Baguslah kalau begitu. Setidaknya dia sudah berubah menjadi lebih baik," balas suaminya.
***
Seorang pria duduk bersandar menatap langit-langit ruang kerjanya. Dari matanya jelas tergambar bahwa dirinya tidak sedang baik-baik saja. Ada gurat kecewa dan sesal di sana. Berkali-kali ia menarik napas dalam-dalam. Dering telepon sedari tadi tak pedulikan. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, ia masih terjaga di ruangan kantornya.
Berperang melawan rasa membuat Alva memilih diam. Jika sebelumnya ia penuh percaya diri, kini ia tumbang dengan perasaan subur yang kian menjamur terhadap Safira. Besok gadis itu menikah, membuka lembaran baru dengan sang kakak. Gadis sederhana yang pernah ia tolak mentah-mentah justru kini membuat dirinya mati kutu.
Entah berapa bungkus rokok telah ia habiskan. Ia tak mungkin memperlihatkan kegundahan itu besok. Setidaknya ia diminta langsung oleh Tyo untuk menjadi saksi pernikahan itu. Meneguk air mineral di depannya, Alva beringsut berkemas pulang.
Meluncur dengan kecepatan sedang, akhirnya ia tiba di rumah. Suasana telah tergambar meriah, meski pesta dimulai esok hari. Bunga-bunga telah sebagian di tata sedemikian rupa. Hingga larut malam masih banyak pekerja yang menyiapkan pesta esok.
Alva menyapa mereka sebentar kemudian naik ke kamar. Langkahnya tertahan saat melihat Safira keluar kamar. Matanya menangkap pemandangan itu. Cepat Alva mengurungkan niat menuju kamar, ia memilih turun. Pria itu mencoba menekan rasa yang bergejolak. Ia sendiri sedang memikirkan untuk mengambil tawaran sang ayah untuk kerja di luar kota.
Baginya menghindar adalah hal yang paling bisa dia lakukan saat ini. Esok setelah hari bahagia sang kakak, ia merasa harus segera menyingkir.
***
Kebaya kontemporer berwarna off white membungkus indah tubuh langsing Safira. Sanggul modern berhias melati menjadikan dirinya bak puteri. Riasan wajah natural membuat siapa pun terpesona.
Bu Santi tampak bahagia, dengan wajah berbinar menggandeng menantunya menuju meja tempat Tyo baru saja mengucapkan akad. Pria berkharisma itu tersenyum menyambut sang istri. Sementara tampak Alva mencoba memalingkan wajah berusaha menghindar. Senyum Tyo dibalas manis oleh Safira. Setelah menandatangani buku nikah, keduanya di daulat untuk berfoto.
Seperti layaknya pengantin yang lain, Safira mencium punggung tangan Tyo untuk pertama kalinya. Dengan senyum bahagia, Tyo mengecup dahi sang istri. Alva perlahan menjauh dari tempat itu. Tak ingin ekspresi wajahnya terbaca.
"Al, mau ke mana?" tegur Pak Yuda.
"Eum ... mau ke ...."
"Sebentar lagi pesta resepsi dimulai, kita akan berfoto sekeluarga."
"I_ya, Yah. Al mau ke kamar mandi sebentar," kilahnya asal.
Pak Yuda mengangguk, segera pria itu berlalu.
Tyo menggandeng sang istri berjalan menuju pelaminan. Nuansa putih dengan hiasan bunga mawar dan lily membuat suasana bak di negeri dongeng. Aroma wangi segar menyeruak. Senyum bahagia tak lepas dari bibir keduanya.
Safira telah menemukan penjaga hati. Seorang pria yang lembut dan menyayangi sepenuhnya. Meski sebelum itu, dirinya harus melalui nestapa. Gadis itu bertekad melupakan semua kejadian yang lalu. Hatinya mantab memilih Tyo sebagai suami. Jika sebelumnya dia merasa ragu sebab Alva hadir, tetapi di hari-hari terakhir dirinya bisa melepaskan rasa gamang dan meneguhkan pilihan pada pria di sampingnya kini.
Pesta berlangsung meriah, satu persatu dari tamu undangan menjabat tangan keduanya serta tak lupa melangitkan doa. Sesekali terlihat keduanya bertukar netra kemudian saling melempar senyum.
Tiba saat foto bersama. Kedua mertuanya dan Alva adik iparnya melangkah ke pelaminan. Tanpa sengaja mata Safira bertemu dengan pemilik mata tajam yang tengah mencoba menyungging senyum.
"Selamat, Kak! Selamat Safira, semoga selalu bahagia!" ucapnya menjabat Tyo. Sang kakak menepuk bahunya lalu mereka berpelukan.
Fotografer mengarahkan mereka. Bu Santi berdiri di dekat Tyo, Pak Yuda di sebelah Safira sedang Alva berdiri di tengah-tengah antara Tyo dan Safira. Lagi-lagi pria berambut sedikit gondrong itu mencoba mengatur hatinya dengan tersenyum.
Di kepalanya menari-nari berbagai penyesalan. Berbagai kilas peristiwa kembali muncul. Masih lekat diingatan saat ibunya berusaha mempertahankan pertunangan dia dan Safira. Namun, ia berkeras untuk mengubah keputusan sang ibu, hingga akhirnya beliau menyerah.
Tepukan di bahu menyadarkan Alva dari lamunan.
"Ngelamun aja!" goda Tyo terkekeh. Lelaki itu tersenyum mengusap tengkuk kemudian melangkah mengikuti kedua orang tuanya meninggalkan pelaminan.
Tyo menatap Safira, mereka saling bertukar senyum. Lembut ia meraih jemari sang istri lalu menggenggamnya erat.
***
Pesta telah usai, para tamu sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Safira, Tyo dan kedua orang tuanya baru saja selesai bersantap malam.
"Jadi kalian besok berangkat bulan madu?" Pak Yuda membuka suara. Tyo mengangguk menanggapi. Matanya melirik ke arah Safira.
"Ibu harap kalian bisa menikmati bulan madu kalian."
"Jadi pergi ke mana?" sambung ibunya.
"Lombok," jawab Tyo lugas.
Pak Yuda tersenyum mengatakan bahwa tujuan mereka tepat.
"Banyak tempat indah di sana," tuturnya.
"Sudah, sekarang kalian ke kamar. Besok berangkat pagi, 'kan?"
Tyo menatap sang istri, bibirnya mengulum senyum.
"Safira, kamu ke kamar dulu ya. Nanti aku nyusul," ucapnya. Gadis itu tersenyum mengangguk. Ia menapaki anak tangga menuju ke kamar dengan hati berdebar. Ia tahu malam pertama adalah waktu di mana ia harus melepas hal yang paling pribadi untuk sang suami. Berbagai pikiran muncul di benak, hingga tanpa disadari ia bertabrakan dengan Alva. Pria itu pun sedang tidak fokus. Kembali mereka saling menatap meski sekilas.
"Maaf!" Kata yang sama meluncur dari bibir keduanya. Tanpa menatap, cepat lelaki itu meneruskan langkah dengan menyungging senyum datar. Sementara Safira kembali menunduk dan melangkah ke kamar.
Ia menutup pintu pelan, taburan bunga mawar merah menghampar di ranjang. Wangi semerbak memenuhi kamar. Lampu temaram memberikan kesan romantis.
Safira duduk di depan meja rias, membersihkan wajah. Ada bahagia juga haru menyelinap di hatinya. Bahagia dirinya telah menemukan sosok pendamping, sedih karena kebahagiaan itu tak dirasakan oleh mendiang kedua orang tuanya. Mendadak rasa rindu pada ibu dan bapaknya hadir. Kebersamaan dan kehangatan dalam kesederhanaan kembali muncul di kepalanya.
Ia tersentak saat bahunya disentuh lembut seseorang. Gadis itu tersadar saat menatap lurus ke pantulan cermin. Seorang pria dengan senyum tulus dan menenangkan tengah mengamati wajahnya.
"Kenapa melamun?"
Safira menggeleng.
"Ini, kenapa ada air mata?" Pria itu mengusap bulir bening yang jatuh di pipinya.
"Saya ... saya teringat ibu dan bapak, Mas," tuturnya dengan suara bergetar.
Tyo meraih bahu Safira, mendekap di dada bidangnya.
"Mas yakin beliau berdua ikut bahagia. Mas janji akan selalu membuatmu bahagia , Safira." Ia mengecup puncak kepala sang istri. Sementara gadis itu semakin merapatkan tubuhnya menikmati kenyamanan di dalam pelukan sang suami.
"Sudah, jangan menangis lagi. Senyumlah ...." Ia menangkup wajah cantik itu dengan kedua tangan. Dengan wajah malu, Safira menatap Tyo. Perlahan ia mendekatkan bibir ke sang istri dan melumat lembut.
"Istirahatlah. Besok kita pagi berangkat," perintahnya tersenyum. Gadis itu mengangguk. Tyo menyadari dia harus lebih bisa menahan diri. Safira adalah gadis sebatang kara yang harus diperlakukan lembut. Ia tak ingin terburu-buru menikmati apa yang seharusnya ia nikmati malam ini.
"Sini, mendekat. Jangan takut, aku suamimu, dan akan selalu menjagamu, percayalah." Tyo memberi isyarat agar istrinya mendekat dan berbaring di lengannya. Meski ragu, Safira mencoba menghilangkan kekakuan pada dirinya. Perlahan ia membaringkan tubuh di lengan Tyo. Pria itu lembut mendekap dan berucap, "selamat tidur, Sayang."
***
TBC dulu ...
Ada typo? Colek aja.
Kita ketemu di Lombok yak. Wkkw
Eh kamar Alva gimana yaa ... Yodah sampe ketemu di part selanjutnya 🙏❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top