Delapan

Heyy, bintang udah di- klik beluum?😁😘
Terima kasih sudah setiaa

Mobil meluncur pelan, Safira diam menatap ke luar jendela.

"Semalam ke mana aja sama Mas Tyo?" tanyanya dingin tanpa menoleh. Gadis itu tak menjawab, ia masih terus memandang ke luar jendela. Merasa tak ditanggapi Alva mengerem mobil mendadak menyebabkan Safira tersentak.

"Mas Alva apa-apaan sih?"

"Aku sedang bicara denganmu! Kamu nggak dengar?" hardiknya menatap Safira.

Gadis berambut panjang itu mengambil napas dalam-dalam.

"Kami jalan-jalan ke taman, itu saja. Emangnya kenapa, Mas?" tanyanya melirik pria yang tengah menatap tajam itu. Jika pada awal dulu ia hanya bisa mengalah, kali ini Safira seperti memiliki keberanian untuk sedikit beradu argumen dengan Alva.

Mendengar jawab gadis itu, ia menyeringai lalu kembali menjalankan mobil. Sementara Safira tak berharap mendapat jawaban, ia tahu seperti apa sifat pria di sampingnya itu.

"Oke, nggak apa-apa!" gumamnya pelan.

Tak lama mereka tiba di cafe. Beberapa teman Alva tampak sudah berkumpul di dalam. Satu dari mereka ada yang datang mengenal Safira. Lelaki berkaos putih mendekat kemudian mengulurkan tangan padanya.

"Masih ingat aku, Safira?" tanyanya melepas kacamata hitam. Senyum lelaki itu mengembang saat gadis di depannya mengangguk.

"Sudah kuduga, kamu pasti mengingatku," kelakarnya dengan mata menggoda. Safira tersenyum menanggapi, ia hendak melangkah ke dalam namun dicegah oleh Alva.

"Mau ke mana?"

"Ke dalam."

"Nggak perlu! Kan sudah ada pelayan," tukasnya.

"Tapi, 'kan ...."

"Kamu di sini aja dulu," perintah Alva seraya memberi isyarat supaya duduk.

Gadis itu mengangguk kemudian duduk di sampingnya. Beberapa hidangan yang dipesan sudah terhidang di meja.

"Al! Jadi dia cewek yang ditunangin ke elo?" Deva menatap serius Alva. Pria itu mengangguk tersenyum masam. Bibir Deva tertarik miring.

"Luna gimana?"

Pria berhidung mancung itu menepuk bahu Deva seraya tertawa kecil.

"Jangan bilang loe mau mainin Safira!"

"Loe kenapa sih, Dev? Care banget perasaan sama dia?"

Pria bernama Deva itu terkekeh menyugar rambut, lalu meneguk capuccino di depannya. Tak lama pintu kaca cafe terbuka. Seorang gadis berambut sedikit pirang dengan blue jeans dan t shirt ketat berwarna putih menampakkan tubuh indahnya. Suaranya renyah menyapa Alva dan kawannya yang berada di sana.

"Sayang! Aku telepon kok nggak diangkat sih?" protes gadis bergincu merah itu pada Alva. Tangannya menggayut lengan pria itu.

"Sorry, ponsel ketinggalan, Lun!" Alva melirik Safira yang masih diam duduk di sampingnya.

"Dia siapa, Al?"

"Dia Safira. Safira kenalin ini Luna," tutur Alva padanya.

Kedua gadis berbeda penampilan tersebut saling berjabat tangan. Terlihat Alva menatap gadis yang lama merawat eyangnya itu.

"Saya ke dalam dulu ya, Mas. Eum ... Mbak Luna mau pesan apa?" Sopan ia bertanya.

Dengan merapikan rambut, Luna menyebutkan menu yang ia pilih. Safira mengangguk kemudian beranjak meninggalkan mereka.

Sepeninggal Safira, Luna kembali bertanya tentang gadis itu.

"Dia perawat eyang di kampung dulu." Datar ia menjelaskan. Namun, Luna tidak puas dengan jawaban Alva.

"Dia tinggal di rumah kamu?" selidiknya.

Lelaki itu mengangguk meneguk secangkir kopi. Ia menatap Luna kemudian tersenyum.

"Kenapa emang? Cemburu?" ledeknya dengan menyentuh pipi Luna.

Kekasihnya itu mencebik membuang muka ke arah lain. Melihat itu Alva semakin terkekeh.

"Nggak apa-apa kalau cemburu! Itu tandanya kamu cinta," ungkapnya mencubit gemas hidung Luna. Sontak ia menggelandot manja ke Alva.

Sepasang mata bening mengamati dari belakang tanpa mereka sadari. Meski Safira tahu pria itu tak mungkin mencintai dirinya, tapi mata indahnya seolah menyiratkan kesedihan menatap pemandangan tersebut.

"Ehem, nggak usah sedih!" tegur Deva yang sudah ada di depannya. Gadis itu tersentak lalu cepat memberi senyuman untuk lelaki berkulit cokelat itu.

"Mas Deva mau pesan apa?" cetusnya seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga. Pria itu terkekeh menggeleng.

"Tidak, semua sudah tersedia. Aku hanya ingin berbincang denganmu, boleh?" Deva menyugar rambut hitamnya tersenyum kearah Safira. Gadis itu tersenyum mengangguk. Deva mengajaknya duduk di sudut ruangan yang masih kosong. Mereka duduk berhadapan.

"Kamu senang tinggal di sini?"

Safira tersenyum menanggapi pertanyaan Deva.

"Senang kok," jawabnya.

"Alva baik, 'kan?" selidiknya.

Cepat ia mengangguk mengiyakan. Deva tersenyum lalu berkata, "serius dia baik?"

"Baik kok, serius."

Lagi-lagi Deva mengangguk.

"Aku dengar kamu bertunangan dengan dia?"

Safira menggeleng.

"Bukan bertunangan, tapi ditunangkan atau lebih tepatnya dia dipaksa ditunangkan dengan saya," paparnya pelan dengan jari saling bertaut. Deva menangkap sedih pada air muka gadis itu.

"Lalu kenapa dulu kamu nggak menolak?" cecarnya seakan tahu gayut rasa di hati Safira.

Seolah memiliki kawan untuk berbagi gundah, ia menceritakan semua tentang dirinya, tentang kampungnya , tentang kegemaran berlari di sepanjang pematang sawah, tentang bermain di bawah guyuran air terjun, semua itu ia ceritakan pada pria itu. Kepiawaian Deva mendekati hati, membuat Safira terlihat nyaman.

"Saya nggak punya pilihan selain mengikuti takdir ini, Mas."

Sejenak pria itu diam, sudut matanya menangkap Alva tengah memperhatikan mereka.

"Safira, aku jadi ingin melihat suasana kampungmu, sepertinya indah." Deva berujar sambil meneguk soft drink.

"Saya nggak yakin Mas Deva suka," sambut Safira.

"Kenapa?"

"Di sana tidak banyak lampu jika malam, hanya di beberapa rumah tertentu saja."

"Hmm, aku yakin suara binatang malam menjadi nyanyian indah," tukas Deva. Safira tergelak mendengar ucapan pria itu.

"Nyanyian malam?"

"Iya, jangkrik dan suara burung malam itu luar biasa. Aku bahkan hanya bisa menikmati di film-film saja," tuturnya.

Gadis itu mengangguk, rambut panjangnya ia gulung membentuk cepol. Hal itu mengeksplor leher jenjang bersih miliknya. Melihat pemandangan itu Deva terkesima. Matanya seolah tak ingin lepas menatap Safira. Tanpa ia sadar Alva juga menatap ke arah yang sama.

"Al! Kamu lihat apaan sih?" Luna menjentikkan jari ke depan mata kekasihnya itu.

"Eh, kenapa, Lun?"

Luna mencebik memajukan bibirnya kesal.

"Kamu lagi merhatiin apa sih?" Luna mengarahkan dagu pria itu untuk menghadap ke arahnya.

"Oh, nggak. Cuma ...." Alva menghentikan kalimat saat ia tak lagi mendapati Safira dan Deva di tempat semula.

"Shit!" cetusnya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia beranjak dari duduk.

"Ke mana, Al?"

"Deva ke mana tadi?" Ia bertanya pada salah satu kawan yang berada di tempat itu. Mereka semua menggeleng. Pria itu mengacak rambut kasar dan tak henti mengumpat.

"Al! Kamu kenapa sih?" sergah Luna kesal.

"Kamu tunggu di sini! Aku keluar sebentar." Alva meninggalkan Luna yang bertanya-tanya.

🦋🦋

Di bawah pohon Deva duduk menjajari Safira, mereka berdua menikmati es kelapa muda tak jauh dari cafe Safira.

"Mas Deva suka nongkrong di kaki lima seperti ini?" tanyanya sambil memainkan sedotan untuk mengaduk es segar di tangannya. Pria itu mengangguk meneguk es kelapa muda.

"Saya pikir nggak suka, sebab kaki lima itu untuk sebagian orang, dianggap tidak higienis," paparnya.

Deva tergelak sambil berkata, "itu semua kembali ke mindset masing-masing. Kalau aku sih, cuek aja!"

Safira ikut tertawa, tapi tak lama mata indahnya membulat melihat segerombolan anak kecil sedang berlarian mengejar layang-layang tak jauh dari tempat mereka duduk. Layangan itu nyangkut pada salah satu ranting pohon. Bergegas ia melangkah mendekat ke arah anak-anak itu. Mereka berusaha mengambil benda berbentuk wajik dengan buntut panjang itu.

"Tunggu, kakak ambilkan!" ucapnya pada anak-anak itu. Tanpa berpikir panjang, ia lincah naik ke atas pohon yang tidak terlalu tinggi oleh kaki jenjangnya, sehingga tak menunggu lama layangan itu telah berada di tangan mereka.

Sekali lompat, Safira kembali menjejak ke tanah. Deva yang sedari tadi terdiam menatap gadis itu, kini ikut tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Kamu pinter banget manjat pohon," tuturnya tertawa kecil.

"Itu bukan manjat, cuma sedikit naik aja," candanya tertawa lepas. Deva terlihat menikmati kedekatan dengan gadis itu.

Safira bercerita ia teringat saat kecil ketika melihat anak-anak tadi.

"Maaf jika itu mengganggu Mas Deva," sesalnya.

"Safira!" Panggilan dari belakang membuatnya menegang. Pelan ia membalikkan badan, lalu menelan saliva dan membalas tatapan serba salah dari pria di depannya.

"Mas Alva," gumamnya.

"Kembali ke cafe!"

"Eit, sabar, Bos! Dia keluar gue yang ajak," sela Deva mencoba mencairkan suasana.

"Dev, dia ke sini gue yang ajak. Jadi loe wajib bilang ke gue kalau mau ajak dia," timpal Alva dengan mimik wajah dingin.

Deva mengangguk dan memberi isyarat pada Safira unt mengikuti perintah Alva.

🦋🦋

Pertemuan Alva dan beberapa rekannya selesai. Satu persatu dari mereka pulang. Deva pun pulang setelah ia bertukar nomor telepon dengan Safira.

"Al, antar aku pulang dong," Luna manja meminta.
Terlihat Alva enggan menanggung. Ia masih sibuk menekuri laptopnya.

"Al!"

"Hmm."

"Ish! Kamu kok gitu sih!"

"Luna, kamu ke sini tadi sama siapa?"

"Sendiri lah!"

"Please, kamu bisa pulang sendiri juga, 'kan?" Alva menatap gadis di sampingnya itu sekilas.

"Kamu nggak mau nganterin aku?" protesnya masih dengan suara manja.

Alva menggeleng seraya mengatakan bahwa ia sibuk dan meminta maaf.

"Aku harus menyelesaikan laporan hasil meeting ini ke pimpinan. Please, Luna. Kita bisa ketemu besok, oke ...."

Meski kesal perempuan itu tak urung mengangguk juga. Setelah memberi kecupan di kening, Alva mengantar Luna hingga mobil yang ditumpanginya meluncur pergi. Kemudian ia kembali masuk ke cafe.
Mata tajamnya menangkap Safira tengah ramah melayani pembeli. Pria itu duduk di tempat semula melanjutkan pekerjaan.

Tanpa terasa hari menjelang sore, tapi tak ada tanda-tanda Alva mengajaknya pulang. Gadis itu memberanikan diri untuk mendekat dan bertanya, "maaf, Mas. Apa kita bisa pulang sekarang?"
Pria itu menoleh sebentar lalu kembali netranya menatap layar di depan.
Safira menarik napas dalam-dalam, lalu kembali berucap, "maaf, maksud saya apa saya boleh pulang sekarang?"

"Ck! Kamu bisa diam?" ketusnya melirik gadis itu.

"Tidak, kamu tidak boleh ke mana-mana. Duduk di sini!" sambungnya tanpa menatap.

"Tapi saya harus pulang, Mas."

"Ada apa emangnya?" selidik Alva ingin tahu.

"Mas Tyo menunggu saya di rumah, tanaman bunga pesanan saya sudah datang. Mas Tyo janji akan menemani saya menanam bunga-bunga itu," jelasnya perlahan berharap Alva setuju.

"Tidak boleh!"

"Kenapa tidak boleh?"

"Suka-suka aku dong! Bukannya kamu itu tunanganku?"

Safira terdiam sejenak, perlahan ia mengangkat wajah menatap lelaki keras kepala di hadapannya.

"Tunangan?" Safira balik bertanya.

"Iya, kamu lupa?"

"Bukannya Mas Alva tidak menginginkan saya?" Pertanyaan Safira membuat Alva berhenti dari aktivitasnya.

🦋🦋🦋

Udiiin Gaes 😁
Alva cowok ga jelas ye. Kita tunggu aja apa mau dia😅
Komentar cetar ditunggu 🤩

Btw tanya dong, selain Wattpad kalian punya aplikasi apa lagi yang semisal?

Colek jika typo yaa 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top