E Sp
Selamat malam, selamat beristirahat. Saya sayang kalian semua. Selamat membaca.
TAKDIRKU besok END. mudah mudahan kalau nggak ada halangan. Saya akan publish ANDANTE. Mood saya sudah agak membaik. Terima kasih sudah sabar menunggu.
***
Kinan melangkahkan kaki memasuki kediaman Angin. Ini pertama kali ia melihat secara langsung rumah mewah milik laki laki itu. Dengan wajah takut perempuan itu menyeret kopernya. Angin menggenggam tangannya yang terasa dingin. Baru kali ini Kinan menginjakkan kaki ditempat semegah ini.
Semua barang-barang disana hanya pernah dilihatanya di rumah orang kaya saat menonton televisi. Ada rasa takut kalau kelak ia akan memecahkan benda-benda tersebut. Pasti sang empunya rumah disebelahnya ini akan marah besar.
"Inilah tempat tinggalmu sekarang. Disini ada delapan kamar tidur. Dua ruang tamu, dua kolam renang dan juga tiga buah dapur. Kamar kita berada dilantai dua. Kamu akan menjadi nyonya rumah disini. Bersikaplah seperti perempuan berkelas. Kamu bukan penghuni panti lagi. Jaga sikapmu, jangan terlalu ramah pada siapapun."
Kinan hanya mengangguk.
"Letakkan kopermu, seseorang akan membawanya ke lantai dua."
Perintah itu segera terdengar, Kinan menurut, tangannya ditarik oleh Angin menuju kamar mereka. Sepanjang jalan, ia menatap seisi rumah, ini terasa sangat luas. Semua tampak bersih. Setiap tempat yang dilalui, menunjukkan betapa berkelasnya sang empu rumah.
Pria itu membuka salah satu pintu. Dan dihadapannya terpampanglah kamar maha luas.
Ada tempat tidur berukuran sangat besar. Seperangkat sofa berikut televisi besar. Juga sebuah bagian berdinding kaca. Dimana seluruh aktifitas tempat tidur mereka akan tampak secara nyata dari sini. Masih ada tiga pintu lain disana. Yang kemudian diketahuinya sebagai pintu kamar mandi, walk in closed dan ruang kerja Angin.
Pria itu kemudian membawanya ke sebuah ruangan lain. Ternyata tempat berganti pakaian. Koper bagus beraneka ukuran yang berjejer. Juga aksesoris khas pria yang tertata rapi milik Angin. Baik itu jam tangan, penjepit dasi, manset dan banyak jenis lagi. Termasuk sepatu dan sandal.
Angin membuka lemari yang masih kosong, disisi lain.
"Pakaianmu nanti akan terletak disini. Pelan, kamu akan mengisinya dengan sesuatu yang kamu suka. Tugasmu setiap pagi adalah menyiapkan pakaian kerjaku. Memakaikannya dan mengantarku ke pintu. Sama seperti tugas istri diluar sana. Menemaniku di meja makan dan juga mendampingi bila ada pesta.
Akan ada seseorang yang datang mengajarkan kamu table manners, berdansa dan juga cara bersikap di depan umum. Semua ini akan menjadi milikmu, apa yang kamu lakukan harus sesuai dengan aturanku, kamu tidak punya hak untuk menolak. Termasuk saat aku menginginkan tubuhmu.
Setelah malam pertama kita, kamu akan mengunjungi seorang dokter kandungan. Kamu harus menggunakan kontrasepsi. Aku tidak ingin ada anak diantara kita. Karena aku tidak suka bentuk tubuhmu berubah. Kalau itu terjadi, aku akan mengembalikanmu ke panti. Dan seluruh bantuan akan kuhentikan!"
Kinanthi hanya bisa diam. Tidak bisa mencerna semua yang datang tiba tiba didepannya. Yang ia tidak tahu, kedepannya nanti. Akan semakin banyak aturan yang menjengkelkan itu mengurungnya.
***
Tubuh Angin terasa lemas. Sudah sebulan semenjak pemeriksaan terakhir. Sampai saat ini ia belum memutuskan apakah akan melakukan operasi dan mengikuti kemoterapi atau tidak. Ia gundah, tubuhnya mengurus. Nafsu makannya menurun drastis. Rasa sesak itu semakin menjalar.
Pengobatan pasti butuh waktu panjang. Ia harus bolak balik ke Penang. Seseorang harus menyertainya. Tapi siapa? Ia hanya membutuhkan Kinan untuk melewati hal yang menakutkan serta membosankan itu.
Tapi jujur pada Kinan dan mbok Jum adalah pilihan terakhir Angin. Ia tidak ingin dikasihani. Apalagi kemudian dianggap sebagai pesakitan. Proses penyembuhannya butuh waktu lama dan pasti menyakitkan. Ia sudah membaca pengalaman orang lain di berbagai situs.
Rasa gelisah membuat beberapa pekerjaannya terganggu. Beberapa kali ia keluar kantor untuk sekedar mebebangkan diri. Dan saat tidak ingin pulang ia akan menginap dirumah ayahnya. Angin benar benar ingin sendiri sekarang.
***
Angin memasuki rumah dengan wajah memerah. Dari pagi hingga siang ia mendapat laporan kalau Kinan pergi tanpa pamit. Tidak ada yang tahu ia kemana. Dengan mengepal sebelah tangan, pria itu memasuki kamar tidur mereka. Didapatinya sang kekasih tengah menyisir rambut panjangnya. Kelihatan kalau baru saja mandi.
"Mas?" Sapa Kinan.
Angin hanya diam dan menutup pintu serta menguncinya. Tatapan matanya sangat menakutkan bagi perempuan itu.
"Berdiri kamu!" Teriak Angin.
Kinan menurut, meski dalam hati takut. Dan seketika sebuah tamparan keras mendarat dipipi mulus gadis itu. Kinan terjatuh dilantai. Tidak cukup, Angin menendang tubuhnya berkali kali.
"Ampun mas, apa salah Kin?" Ucap perempuan itu dengan nada memelas.
Tidak puas, Angin menarik tubuh itu keatas tempat tidur dengan kasar. Merobek pakaian yang melekat pada tubuh Kinan. Dan tanpa aba aba. Ia menyetubuhi gadis itu dengan brutal.
.
.
.
Mbok Jum menatap tubuh Kinan dengan penuh rasa kasihan. Angin benar-benar diluar batas. Lebam kebiruan dan juga tanda merah terdapat di seluruh tubuh Kinan. Perempuan tua itu hanya menggeleng. Ia menatap kasihan pada pasangan anak asuhannya yang masih menangis dalam diam. Tidak berani bersuara.
Tangan tua itu mengoles seluruh bercak dengan cream yang diberikan sang tuan muda tadi. Setelah selesai melampiaskan emosinya, Angin turun kebawah. Memintanya mengobati Kinan. Awalnya perempuan tua itu mengira Kinan hanya demam. Tapi saat melihat Kinan yang hampir pingsan itu. Mbok Jum bertanya dalam hati, apa yang sudah terjadi?
Kamar mereka kedap suara, jadi apapun aktifitas didalamnya tidak akan terdengar keluar. Pasti ada masalah besar diantara keduanya. Tapi apa? Angin memang keras. Bukan pribadi yang mudah untuk ditaklukan. Tapi baru kali ini ia memukul perempuan.
Kinan masih menangis, pelan mbok Jum membelai rambutnya. Tapi belum berani bertanya. Karena gadis ini masih terlihat syok. Tak lama setelah memastikan Kinan tertidur. Mbok Jum menutup sebagian tubuh itu dengan selimut. Baru kemudian memunguti pakaian yang berserakan dan sudah tidak bisa dipakai. Sekali lagi ditatapnya punggung yang membiru dan penuh cakaran itu dengan iba. Perlahan Mbok Jum keluar meninggalkan kamar.
Yang mereka tidak tahu, di rumah orang tuanya. Angin tengah mencambuk tubuhnya sendiri. Ia menyesal sudah memukuli Kinan. Teringat bagaimana wajah itu berteriak kesakitan akibat ulahnya. Saat ini seluruh tubuh pria itu juga sudah terluka. Namun ia belum puas. Pasti Kinan merasa jauh lebih sakit dari ini. Pikirnya!
.
.
.
Angin pulang saat tengah malam. Dengan lesu ia memasuki rumah. Namun langkahnya terhenti saat Mbok Jum memanggilnya.
"Ang!"
Angin membalikkan tubuhnya. Menghadap perempuan yang sangat dihormatinya tersebut.
"Ya Mbok."
"Kenapa?"
Anak asuhnya itu tertunduk. Tidak juga menjawab. Dan memilih duduk di tangga sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergetar pertanda ia tengah menangis. Mbok Jum paham, ini sangat berat buatnya. Terakhir kali melihat Angin menangis. Adalah saat ayahnya meninggal. Dan itu sudah hampir sepuluh tahun lalu.
Mbok Jum mendekatinya lalu duduk disampingnya.
"Mbok tidak tahu ada apa diantara kalian. Tapi tidak baik memukuli perempuan. Kasihan Kinan, dia kesakitan karena ulahmu. Boleh marah, tapi jangan bertindak kasar. Apapun kesalahannya menurutmu, sebaiknya dibicarakan dulu baik baik. Kalaubdia salah, kamu nasehati."
Angin hanya mengangguk. Lama mereka membisu.
"Kamu sudah makan?" Tanya mbok Jum.
Pria itu menggeleng.
"Ayo, biar Si Mbok siapkan. Nanti kamu sakit."
"Aku mau ketemu Kinan dulu, Mbok."
Mbok Jum kembali mengangguk. Membiarkan Angin naik ke lantai dua. Mata tuanya menatap hal yang berbeda. Cara berjalan Angin sedikit aneh. Ia juga mengenakan kemeja besar. Hal yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan.
.
.
.
Kinan terbangun pagi itu. Angin sudah tertidur disampingnya. Tak biasa pasangan hidupnya tidur dengan pakaian lengkap. Kali ini tidak memeluknya melainkan hanya menggenggam tangannya. Ia mencoba bergeser, ingin mandi. Tubuh Angin tersentak.
"Mau kemana?"
"Mau mandi mas."
Angin mengangguk dan membiarkan Kinan bangkit. Selesai mandi, Mbok Jum kembali datang, untuk mengolesi lukanya. Baru setelah berpakaian gadis itu kembali ke tempat tidur. Kali ini Anginlah yang bangun. Namun saat akan ke kamar mandi, pria itu mengambil pakaiannya sendiri.
"Kamu istirahat saja. Biar pagi ini aku pakai baju sendiri." Ujar Angin menghentikan langkah Kinan. Perempuan itu menurut dan hanya menatap tubuh tegap yang memasuki memasuki kamar mandi itu. Sambil bertanya dalam hati, kenapa Angin terlihat aneh?
Sekeluarnya dari Kamar, keduanya berbaring dintempat tidur. Kembali Angin menggenggam tangan Kinan. Tanpa menoleh, pria itu berkata.
"Lain kali kalau mau pergi kamu ngomong sama aku. Jadi aku tidak mencari kemana-mana. Aku khawatir kalau kamu tersesat dan tidak bisa pulang."
Entah kenapa, Kinan jadi merasa bersalah. Meski kalimat itu terdengar berlebihan.
***
Angin sudah tiba di barber shop langganannya.
"Mau dirapikan pak rambutnya?" Tanya sang hair stylist.
"Sekali ini dibotak saja!" Jawabnya singkat.
***
Angin menarik kopernya. Seluruh perlengkapan selama empat hari sudah siap. Ia akan berangkat berdua ke Penang. Dengan seorang perawat pribadi yang disewanya. Tidak ingin ada orang dekatnya yang tahu. Pertengkaran tadi malam dengan Kinan masih membekas. Ia sampai harus kembali menampar perempuan itu.
.
.
.
"Aku mau pulang ke panti!"
Angin yang baru pulang, mendapat kalimat itu langsung menatap Kinan dengan marah.
"Apa kamu tidak punya kalimat lain?"
"Mas, tolong... "
"Jangan lupa aku sudah menolongmu mewujudkan mimpi punya rumah untuk anak-anak itu!"
"Tapi mas tidak bisa memenjarakan aku terus menerus seperti ini! Tolong mas, beri aku sedikit kebebasan."
"Kamu sudah memilih, maka sekarang nikmati konsekuensi dari pilihan kamu."
"Mas, aku jenuh, beri aku sedikit kegiatan. Setidaknya ke panti saja. Membantu mereja mengerjakan peer. Atau membantu ibu di dapur."
Angin menatap Kinanthi dengan mata memerah.
"Apa yang sudah saya tetapkan, jangan kamu tanyakan lagi. Saya tidak memaksamu dulu. Kamu yang datang sendiri."
"Bisakah mas tidak mengingatkan itu terus menerus? Aku bersedia karena menganggap mereka adalah keluargaku. Aku hanya ingin bertemu mereka. Kalau mas ke kantor aku nggak tahu mau ngapain di rumah."
"Kamu mau ketemu mereka atau mau pacaran dengan Dion?"
"Apa mas nggak bosan mengingat nama Mas Dion terus menerus? Setidaknya dia jauh lebih baik dari mas dalam memperlakukan perempuan."
Seketika darah Angin mendidih saat Kinan membandingkannya dengan pria penghuni panti tersebut.
"Apa kamu bilang? Dia lebih baik? Kalau dia lebih baik, dia pasti sudah menolong kalian waktu itu. Bukan membiarkan kamu mengemis pada saya!"
"Mas Dion tidak melakukan itu karena dia memang tidak punya uang sebanyak mas. Dan lagi ia tidak mungkin korupsi hanya karena kehidupan kami. Dia tahu apa yang bisa dia bayar. Sedangkan mas? Apa?! Mas membeli semuanya dengan uang. Mas membeli tubuhku, tapi mas lupa. Mas tidak bisa membeli hatiku!
Suatu saat nanti, cepat atau lambat aku akan meninggalkan tempat ini. Mas akan sendirian, dan saat itu Mas baru menyadari. Kalau tidak semua bisa dibayar dengan uang!" Teriak Kinan.
Tepat setelah kalimatnya berakhir, sebuah tamparan keras Angin tepat berada sipipi Kinan. Membuat gadis itu tersungkur.
"Kamu sudah melebihi batasanmu!"
Tanpa berkata apapun lagi. Pria itu meninggalkan kamar mereka.
***
270919
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top